Zea duduk di kasurnya, setelah acara yang melelahkan itu akhirnya ia bisa istirahat juga. Bima membuka pintu kamar Zea perlahan, ia ikut duduk di samping istrinya itu sambil melepaskan jas.
Zea meneguk ludah susah, jantungnya berdetak kencang saat Bima membuka dua kancing teratas kemejanya. Pipi Zea bersemu merah hal itu membuat Bima mengerutkan dahi."Lo kenapa?"
"Ngak pa-pa, ngapain kamu duduk di sini? Kamu tidur di sana..." Zea menunjuk sisi di belakang mereka dengan telunjuk di mana biasanya sofa panjang tempat Zea membaca buku tertata rapih di pojok kamar, mata Zea membelalak saat tidak mendapati benda empuk itu."Dimana?" tanya Bima heran.Zea berjalan mendekati tempat bekas sofa empuknya." Lah kok ngak ada?! Sofanya tadi masih di sini... jangan-jangan..." Zea berjalan cepat membuka lemari penyimpanan selimut dan karpet tapi tidak ia dapati satu pun benda penghangat itu di sana. "Ah, Mama... mama pasti yang reJangan lupa tinggalkan jejak😁 like komen ad voe yah😘 terima kasih😍
Rey memutuskan untuk masuk hari ini. Belakangan ini ia sibuk mencari uang dengan membantu paman Ujang menjadi kernek. Rey mensater motor Cb 100nya, ia berhenti di depan warung untuk mengisi bensin. Dikeluarkanya selembar uang berwarna ungu dari saku celananya. Ia kembali menerjang dinginya udara pagi, berusaha menghindar dari Bima. yakin pemuda itu akan memberikan perhitungan kepadanya. Jika ditanya takut? Rey akan menjawab jujur bahwa ia merasa takut bahkan sangat takut. Bayangan wajah Zea yang tersenyum hangat saat menyapanya kini membuat rasa bersalah itu kian membuncah. Tepat pukul 06: 12 Rey tiba di sekolah. Sekolah masih sangat sepi hanya ada dua kendaraan yang ada di parkiran. Rey Menarik tudung hoodie hitamnya. Ia berjalan menunduk, kedua tanganya ia masukan kedalam saku celana. Rey persis seperti orang yang takut ketahuan maling. Ekor matanya melirik kanan dan kiri saat tiba di kelasnya tanpa halangan Rey menarik nafas lega dan duduk bersanda
Keduanya mengangguk walau tidak mengerti dengan tingkah Rey yang tiba-tiba terlihat aneh. Rey buru-buru berljalan menjauh, tidak menoleh sama sekali. "Mana teme lo berdua?" tanya Conan, ia duduk di samping Xion yang menunduk gugup. "Maksud lo, si Rey?" tanya Geva, ia menatap Conan dengan kening berkerut. "Iya, Bima mau ngomong sama dia." "Kita berdua nggak tau, dia emang nggak masuk satu minggu ini," kata Geva berbohong. "Kalian nggak bohong, kan?" tanya Bima yang ikut duduk di samping Geva. "Haha, bro. Emang muka gue, kayak muka penipu gitu?" Geva tertawa melengking, mencoba menetralisir kegugupannya. Bima mengangguk paham dan menarik Conan untuk pergi bersamanya. " Okey, thanks infonya," ucap Bima sembari memberikan senyum ramah. Mereka berjalan menjauhi bangku kedua pemuda itu. "Huf... untung dia percaya, ya, nggak Gev. Keliatanya si Rey ada problem nih sama si murid baru itu?" Geva
Sepulang sekolah. Bima dan Zea sepakat untuk pindahan hari ini, semua baju-baju dan barang-barang yang Zea butuhkan sudah dikemas rapih dalam koper. Apartemen Bima cukup luas, dapur dan segala isinya lengkap. Zea langsung duduk di kursi pantri saat dirinya baru saja menjelajahi hunian barunnya itu. "Suka nggak?" tanya Bima yang ikut duduk di samping Zea. "Suka... oh iya, kamar aku yang mana? Aku mau masukin baju-baju." "Tuh..." Tunjuk Bima pada pintu bercat putih gading di bagian kiri mereka. Zea mengerutkan kening, seperi ada sesuatu yang janggal. "Kalo kamar kamu yang mana? Aku tadi, nggak liat ada kamar lagi selain ruangan kosong?" tanya Zea binggung. "Iya, itu... kamar aku dan kamu. Emangnya, aku mau kamu suruh tidur dimana?" "M-maksudnya... kamu sama aku tidur sekamar?" "Iya." "Nggak bisa! Pokoknya aku nggak mau tidur berdua lagi sama kamu!" Bima menaikan sebelah alisnya binggung, ia tersenyum c
Zea membanting pelan tasnya di atas meja, Amel yang melihat kehadiran sahabatnya langsung menepuk-nepuk pundak Zea di depannya."Ze, lesu banget, kayaknya?""Au, aku lagi males.""Eh, kamu tau nggak?""Apa?""Si Bima sama Conan, ikut main di tem Futsal. Katanya sih sementara, kan kita bentar lagi lulus," ujar Amel."Oh." Zea berpikir sejenak, kalau Bima ikut tim futsal. Ia bisa punya banyak waktu bersama Rey."Serius 'kan?" tanya Zea menahan senyum kemenangannya."Iya, emang... Bima nggak ngasih tau?""Enggak," jawab Zea sambil menggeleng pelan.Suasana kelas kembali riu setelah bel masuk berbunyi. Bima berjalan di koridor dengan kedua adik kelas di kanan dan kirinya."Duluan," ucap Bima."Siap, bang. Kita tunggu di lapangan!" uc
Part 17 (Latihan Futsal) Sore ini Bima akan latihan futsal dengan timnya. Ia sudah siap-siap dengan jersey yang melekat dibadan tegapnya. Guru olahraga yang merangkap menjadi pelatih mereka mengatakan bahwa beberapa bulan lagi akan ada turnamen antar SMA-se Bandung. Semua merasa sangat excidet menyambut datangnya hari itu. Bima menatap pantulan dirinya dalam cermin, setelah dirasa siap ia keluar dari kamar dan menarik knop pintu. Zea saat ini sedang asyik selonjoran disofa ruang tamu. Ia sibuk mengunyah keripik. Bima ikut duduk disamping cewek itu dan mencomot satu potong keripik dan langsung dihadiahi pelototan tajam Zea. Bima mendengus. “Pelit banget sih, sama laki sendiri.” “Suka-suka gue, sana lo pergi. Hus, hus,” jawab Zea sembari mengibaskan tanggan. “Dasar, udah cebol, istri gue, lagi,” Bima keki ia berdiri dan mengacak rambut Zea. “ Gue pergi dulu, jangan ke mana-mana. Gue pulangnya
"Kamu tidak sarapan dulu, Zea sayang? Mama sudah membuatkan nasi goreng spesial!" seru Mona--mama Zea, gadis yang sedang terburu-buru menuju rak sepatu. "Makasih, Ma, tapi Zea udah terlambat. Zea Pasti makan pas pulang nanti." Gadis itu berkata sambil tergesah-gesah memasang sepatu. "Zea pamit, Ma!" Sesaat kemudian bunyi pintu yang ditutup terdengar. Ia sudah berlari keluar rumah. Pagi yang indah dan langit kota Bandung terlihat jernih. Gumpalan awan tipis berarak kearah utara, gerombolan burung melompat dari dahan satu ke dahan yang lain, angin musim dingin yang sejuk bertiup. Gadis itu merapatkan jaket, lalu menutup pelan pintu mobil. Ia berjalan terburu-buru menyusuri koridor, kelasnya akan di mulai lima menit lagi. Dan ia tidak mau terlambat, sesekali ia berhenti untuk membenarkan tali sepatunya yang tadinya ia ikat
"Bima!" Panggilan bernada berat yang sangat familiar di sepasang telinganya itu sontak membuat pemuda berambut cepak, berkaos putih berantakan yang terbalut jaket denim berhenti di tempatnya. Dia berdiri di denpan pintu masuk bandara Internasional Husein Sastranegara menunggu jemputan. Pandangan Bima menyorot kelima orang yang berbeda jenis kelamin itu. Ia menghampiri mereka dengan senyum sumringah, pria berjas hitam memeluk Bima erat. Menyalurkan rasa rindunya di sana, sementara itu. Wanita paru baya di samping pria itu menitihkan air mata, selama dua tahun ini ia tidak melihat wajah putra semata wayangnya itu. "Ma." Bima mencium tangan mamanya lalu memeluknya erat. "Mama rindu sekali," ucap sang Mama sambil menangkup pipi Bima dengan kedua tangannya. Bima tersenyum, lalu mengusap air mata di wajah sang mama." Bima juga kangen Mama." Zea menunduk, ia ikut terharu melihat adegan melow di hadapannya. Tadinya ia tidak ingin i
Malam ini pukul tujuh tepat. Devan--Ayah Zea pulang dari pekerjaannya di Malaysia, ia langsung menemui putri tercintanya. Ia tersenyum lebar saat melihat Zea tengah membaca majalah di ruang tamu. "Malam, Sayangnya Papa, lagi ngapain sih, sampai tidak tahu papa ada di sini?" Devan mencium ubun-ubun Zea, lalu duduk di samping putri kesayangannya itu. "Papa, zea kangen!" Zea memeluk erat pinggang pria paru baya itu, ia menangis haru. Sebulan ini ia tidak melihat pria yang paling ia cintai itu. "Kok nangis? Ayo makan malam bersama. Papa sudah lapar, Zea sudah makan?" "Huaa... ayo. Zea juga udah lapar, papa juga engga ngabarin aku kalo pulang. Tahu gitu 'kan bakal masak sayur sop kesukaan papa," Zea cemberut, ia memukul-mukul pelan lengan Devan. "Ha ha ha, kejutan,” tawa Devan, pandangganya mengedar mencari sosok yang ia rindukan. “Mama kamu diman?" "Mungkin di kamar, Pa." Saat Devan hendak menemui Mona, wanita itu justr