"Kamu tidak sarapan dulu, Zea sayang? Mama sudah membuatkan nasi goreng spesial!" seru Mona--mama Zea, gadis yang sedang terburu-buru menuju rak sepatu.
"Makasih, Ma, tapi Zea udah terlambat. Zea Pasti makan pas pulang nanti." Gadis itu berkata sambil tergesah-gesah memasang sepatu. "Zea pamit, Ma!" Sesaat kemudian bunyi pintu yang ditutup terdengar. Ia sudah berlari keluar rumah.
Pagi yang indah dan langit kota Bandung terlihat jernih. Gumpalan awan tipis berarak kearah utara, gerombolan burung melompat dari dahan satu ke dahan yang lain, angin musim dingin yang sejuk bertiup.
Gadis itu merapatkan jaket, lalu menutup pelan pintu mobil. Ia berjalan terburu-buru menyusuri koridor, kelasnya akan di mulai lima menit lagi. Dan ia tidak mau terlambat, sesekali ia berhenti untuk membenarkan tali sepatunya yang tadinya ia ikat asal, juga membenarkan tumpukan buku di tangan.
Sepanjang koridor sudah sangat sepi, Ia berharap kali ini guru biologinya mau berbaik hati membiarkan ia masuk ke dalam kelas. Ia tidak suka terlambat, demikian juga hari ini. Zea melirik jam pink di pergelagan tangannya.
Tinggal 2 menit lagi!
Ia mendesis.
Gadis itu mulai cemas, sampai di lantai koridor kelas tiga. Seseorang secara tiba-tiba menabrak bahunya, hingga buku yang ia pegang jatuh ke lantai. Pemuda tadi berlalu begitu saja tanpa meminta maaf, Zea mengeleng, ia kesal. Bahkan ia tidak sempat melihat wajah orang yang membuatnya emosi pagi ini.
Zea berlari cepat menuju kelasnya, menerobos masuk kedalam pintu kelas yang tertutup.
"Permisi Bu, maaf saya---"
"Keluar!"
"Tapi Bu."
"Saya sudah sering mengingatkan kalian. Kalau dijam saya, saya tidak menerima alasan apa pun jika kalian terlambat. Saya tidak suka dengan orang-orang yang tidak disiplin, ingat itu Zealana Adista." Bu Nurma menatap Zea, lalu pandangannya beralih kepada siswa-siswi yang lain." Dan untuk kalian juga!" Bu Nurma menatap Zea dengan mata memicing, menatap mata Zea tajam. Lalu menunjuk pintu.” Keluar!”
Zea pasrah, usahanya sia-sia. Ia berjalan pelan menuju kantin, rasanya ia malu dan was-was takut bila nilainya tidak tuntas karena tidak mengikuti ulangan harian biologi. Zea ingin menunggu di depan kelasnya tapi ia urung, tidak mau menjadi bahan ejekan kelas lain, dan juga sedari tadi ia mengabaikan rasa laparnya.
Zea mengaduk bakso miliknya, rasa laparnya terganti dengar rasa kesal. Ingin rasanya mengumpat. Tapi, Zea takut kena karma. Kata guru agama doa orang yang terzalimi itu sangat dahsyat, makanya Zea takut kalo salah bicara. Waktu baru saja menunjukan pukul sembilan lewat beberapa menit, ketika Zea baru saja selesai makan. Setelahnya ia menenteng kembali tas sembil menyelipkan anak rambut yang menutup matanya ke telinga. Sebentar lagi pergantian jam.
Zea menempelkan punggung di tembok, menunggu Bu Nurma—guru Killernya keluar kelas.
"Lain kali jangan di ulangi." Bu Nurma memandangnya sinis.
Zea menganguk dengan senyum yang di paksakan," Iya buk."
Zea menduduki bangkunya, ia menghela nafas lelah.
"Ze, tumben lo telat?" Gadis berambut pendek di belakang menepuk pundak Zea pelan.
"Tadi malem gue bergadang, ngerjain tugas mtk."
"Oh gitu, eh, Ze. Tadi Rey nyariin lo."
Zea berbalik menghadap gadis bernama Amel itu. "Dia bilang apa?"
"Ngga ada, dia cuman mau ketemu lo. katanya ada hal penting yang mau dia omongin. Kayaknya dia mau ngajak lo balikan." Amel menatap Zea serius.
Zea mengedikkan bahu acuh, ia sudah muak mendengar nama Rey. Pemuda itu lah yang memutuskannya terlebih dahulu. Tapi ia bersikap seolah dia yang tersakiti. Dasar buaya darat!
Bel istirahat baru saja berbunyi beberapa saat lalu. Secara tiba-tiba Amel mengapit lengan Zea yang tengah berdiri membenarkan rokya.
"Zeee... Anterin gue ke kelas Conan ya, pliss," pinta Amel penuh harap sambil mengedip-ngedipkan mata.
Zea mengangguk, tidak ada salahnya ia ikut bersama Amel. Dengan begitu ia bisa menghindari Rey. Rasa marah Zea belum pudar, enak saja dia ditinggal saat masih sayang-sayangnya. Dikira itu enak? Kalo Zea sih lebih milih sakit gigi daripada sakit hati.
"Makasih, Zee... emang sahabat Amel yang paling baik."
"Conan!" Teriakan itu mengalihkan perhatian pemuda berambut cepak dari layar ponselnya, ia tersenyum manis. Lalu balas melambaikan tangan ke arah Zea dan Amel.
Tangan Amel yang mengapit lengan Zea mulai melonggar, lalu terlepas. Tanpa mengatakan apa pun Amel langsung masuk ke dalam kelas, meninggalkan Zea di depan pintu.
"Dasar Amel, giliran udah ketemu sama doi. Temen di lupain," sungutnya.
Conan yang menyadari Zea belum masuk kembali melambaikan tangan." Ayo masuk, Ze."
"Eh, Iya."
Zea ikut bergabung, dengan terpaksa ia harus menjadi obat nyamuk di antara dua sejoli yang tengah berbunga itu.
"Yang, nanti aku nggak bisa nganter kamu pulang ya. Aku harus jemput Bima di bandara," Conan meminta persetujuan. Ia menggenggam jemari Amel.
"Iyah, tapi kok Bima nggak ngabarin aku sih. Padahal 'kan kita temenan, emang ya, si Bima suka lupa sama teman sendiri," cicit Amel mengebu.
"Lo juga kali," sindir Zea berpura-pura marah.
Mendengar nada sindiran itu Amel mengatupkan tangan. Ia tahu sahabatnya itu cuman bercanda. Ia mengangkat dua jari Pertanda permohonan maaf, ia nyengir lalu bergumam," maaf."
Zea terkikik geli." Gue cuman becanda, Mel. Ngga usah di bawa serius." Zea bangkit berdiri." Gue ke toilet dulu," katanya.
"Gue temenin?"
"Ngga usah."
Zea keluar dari kelas Conan, tadinya ia memang ingin ke toilet. Tapi di koridor ia melihat Rey dan kedua temannya. Jadi Zea berbelok arah dan pergi bersembunyi ke perpustakaan. Tempat yang Zea yakini tidak mungkin Rey kunjungi.
Zea terduduk di meja pojok, ia mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya. Ucapan Conan tadi kembali terngiang di benaknya. ‘Bima pulang’ dan artinya acara pertunangan akan benar-benar terjadi. Zea tidak suka Bima, pemuda itu selalu menjahilinya dulu saat masa kanak-kanak. Terlebih keputusan sepihak orang tuanya membuat Zea tidak terima, menurut Zea ini era modern bukan jaman Siti Nurbaya yang harus di jodoh-jodohkan.
Zea memegang kepalanya gusar, tunangan, Bima dan menikah. Tiga hal yang sangat jauh dari niat Zea, belum genap seminggu Zea putus dengan Rey tapi sekarang ia malah terjebak perjodohan dengan Bima. Ia pusing.
Zea meletakan kepalanya di meja, ia menguap lebar. Efek bergadang tadi malam masih ia rasakan, ia sangat mengantuk. Zea melirik jamnya, masih tiga puluh menit lagi sebelum jam istirahat berakhir. Sebaiknya ia tidur sebentar.
Amel menguncang pelan bahu Zea, di tanganya tersampir tas biru navi milik Zea. Bel pulang telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Dan Zea melewati pelajaran terakhir, beruntung guru piket tidak hadir.
"Ze, bangun!"
Merasa tidurnya terusik, Zea bangun dengan wajah bantalnya. Matanya sayu juga suaranya serak." Udah masuk Mel?" tanya Zea yang belum sepenuhnya sadar.
Amel menepuk jidat."Aduh Ze, udah pulang kali. Makanya jangan tidur sembarangan."
"What!" Mata Zea membulat sempurna, ia melirik jam tangan. Sudah pukul dua lebih lima belas menit. Ia garuk kepalanya tak gatal, mengumpulkan kembali separuh kesadaranya.
"Kok lo ngga bangunin gue sih! berarti gue bolos dong?"
"Tenang aja, Pak Beno enggak hadir."
Zea menghembuskan nafas lega, cukup tadi pagi ia melakukan kesalahan.
"Nih tas lo, baik 'kan gue,” kata Amel sambil membusungkan dada dan menepuknya bangga.
"Makasih, Mel."
" Ayo balik, gue nebeng sama lo, ya?"
"Huuu... baik ada maunya."
"Ya itung-itung bales budi, ha ha ha."
Zea dan Amel berjalan sambil bergandengan tangan. Amel terus mengoceh sementara Zea lebih banyak diam, setelah lama menunggu akhirnya Pak Budi--supir Zea datang. Setelah mengantar Amel sampai di depan gerbang rumah, Zea kembali menuju rumahnya sendiri.
Hallo makasih udah mampir💙 author sambilan Revisi maaf ya kalau merasa kurang ramah💙 jangan lupa tinggalkan jejak Vote and comen ya😊😉
"Bima!" Panggilan bernada berat yang sangat familiar di sepasang telinganya itu sontak membuat pemuda berambut cepak, berkaos putih berantakan yang terbalut jaket denim berhenti di tempatnya. Dia berdiri di denpan pintu masuk bandara Internasional Husein Sastranegara menunggu jemputan. Pandangan Bima menyorot kelima orang yang berbeda jenis kelamin itu. Ia menghampiri mereka dengan senyum sumringah, pria berjas hitam memeluk Bima erat. Menyalurkan rasa rindunya di sana, sementara itu. Wanita paru baya di samping pria itu menitihkan air mata, selama dua tahun ini ia tidak melihat wajah putra semata wayangnya itu. "Ma." Bima mencium tangan mamanya lalu memeluknya erat. "Mama rindu sekali," ucap sang Mama sambil menangkup pipi Bima dengan kedua tangannya. Bima tersenyum, lalu mengusap air mata di wajah sang mama." Bima juga kangen Mama." Zea menunduk, ia ikut terharu melihat adegan melow di hadapannya. Tadinya ia tidak ingin i
Malam ini pukul tujuh tepat. Devan--Ayah Zea pulang dari pekerjaannya di Malaysia, ia langsung menemui putri tercintanya. Ia tersenyum lebar saat melihat Zea tengah membaca majalah di ruang tamu. "Malam, Sayangnya Papa, lagi ngapain sih, sampai tidak tahu papa ada di sini?" Devan mencium ubun-ubun Zea, lalu duduk di samping putri kesayangannya itu. "Papa, zea kangen!" Zea memeluk erat pinggang pria paru baya itu, ia menangis haru. Sebulan ini ia tidak melihat pria yang paling ia cintai itu. "Kok nangis? Ayo makan malam bersama. Papa sudah lapar, Zea sudah makan?" "Huaa... ayo. Zea juga udah lapar, papa juga engga ngabarin aku kalo pulang. Tahu gitu 'kan bakal masak sayur sop kesukaan papa," Zea cemberut, ia memukul-mukul pelan lengan Devan. "Ha ha ha, kejutan,” tawa Devan, pandangganya mengedar mencari sosok yang ia rindukan. “Mama kamu diman?" "Mungkin di kamar, Pa." Saat Devan hendak menemui Mona, wanita itu justr
Pagi-pagi sekali Bima sudah sampai di depan rumah Zea. Ia membawa sebuket bunga yang mamanya beli pagi tadi, Ia menekan tombol bel, lalu seseorang membukannya. Bi Inah- tersenyum ramah, ia mempersilahkan Bima masuk ke dalam. Bima mendudukan diri di sofa, pandanganya mengedar kesegala penjuru ruangan. Terakhir kali ia datang kerumah mewah dengan gaya mediterania itu, saat ia berusia dua belas tahun. Pandangan Bima menyorot foto gadis kecil berbando pink, rambut panjangnya di ikat keatas. Bima berdiri lalu mengapai foto di atas nakas, itu foto Zea saat kecil. Bima ingat, dulu ia selalu menjahili gadis mungil itu. Rambut panjangnya selalu ia mainkan sampai gadis itu risih dan menangis. Pernah suatu hari Bima mengatai Zea jelek, lalu gadis itu menangis hingga tidak mau berbicara dengan Bima sampai ia pergi ke Michigan Usa, sehari sebelum keberangkatannya. Bima menunggu Zea mengunjunginya. Namun, gadis itu tidak pernah datang. Bima tidak menyadari kalau hal it
Sejak jam pertama sampai jam terakhir ini Amel dan Zea saling diam, mereka saling mengabaikan. Tidak ada yang mau mengalah. Zea sejujurnya merasa bersalah, tapi ia menganggap dirinya benar dan ia sama sekali enggan untuk minta maaf duluan. Teettt,teettt Bel pulang berbunyi dua kali, semua siswa menghambur keluar kelas. Amel melewati Zea begitu saja tanpa mengatakan apa pun, Zea menghela nafas gusar. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun pertemanan mereka bertengkar. Dan Zea lah yang memulainya. Bima hendak berjalan bersama Zea, namun dengan cepat Chindy menggandeng lengannya. "Hei, Bim, aku bareng kamu, ya, nggak pa-pa kan?" Bima mengangguk, dengan perlahan ia melepaskan tangan Chindy yang bergelanjut manja di lengannya. Ia terus menatap kepergian Zea, sampai matanya bertemu pandang dengan Rey. Pemuda itu melirik Bima sebentar, lalu berjalan beriringan dengan Zea. Bima melirik tempat pemuda jakun itu keluar, kelas XIIl IPS 5, ia
Zea karena bangunan dengan wajah lelah, sekujur tuhunya lengket karena keringat. Rambutnya acak-acakan juga dua kancing seragam sekolahnya terlepas, pandangan Zea masih memburam. Ia memutar kepala, mengedarkan pandanganya kepenjuru ruangan. Zea Rey. Pemuda itu membawanya kehotel dan Bima menguncinya di sana. Zea melirik pada tubuhnya, ia masih berpakaian lengkap walau acak-acakan. Ia merasa cemas, apakah tidur dia dan Rey melakukan sesuatu. Kalau iya, Zea sudah berencana akan hidup hidup. Ia
Pagi ini Rey sengaja memakai hoodie hitamnya. Ia berusaha sembunyi dari Bima dan Zea, sengaja ia tidak berangkat sekolah. Seragam putih abu melekat di tubuhnya, sebatang rokok terselip di antara jari telunjuk dan tengah. Hisapan demi hisapan terus ia nikmati berharap dengan itu rasa takutnya sirnah. Masalah keuangan keluarga Rey saat ini sedang dalam masa sulit itu sebabnya ia berencana menjebak Zea. Ia berniat mengambil video mesum dan memeras gadis itu. Sayangnya Bima datang dan membuat rencananya hancur dan malah membuat Rey bersembunyi seperti kriminal. Helaan nafas berat Rey begitu lirih, memikirkan bagaimana ayahnya yang mabuk-mabukan dan selalu memukul ibunya membuat ia tersenyum getir. Ingin sekali ia membawa pergi ibunya namun ia belum memiliki apa pun sekarang. Soal hubunganya dengan Zea, Rey memang tidak pernah serius dengan gadis itu. Ia hanya mengambil keuntungan dari kebaikan hatinya, mungkin ini karma karena ia menghianati Zea. Di taman yan
"Jadi Bima bukan anak yang di harapkan?" Bima menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, ia merasa sangat terkejut dengan penuturan mamanya. Rasa sakit menjalar ke dalam hatinya, apa ini, kenyataan seperti apa yang ia dengar? Bima anak haram? Anak yang tidak di inginkan. Rasanya Bima ingin segera menghilang dari muka bumi, ia kira dirinya sangat dinanti, tapi kebenaran justru sebaliknya. Bahkan mamanya sendiri hampir membunuh dirinya saat ia dalam rahim wanita itu. "Nenek kamu yang membuat mama sadar dan dia juga yang menyatukan mama dengan papamu. Mama minta maaf, waktu itu mama bingung." Lisa mencoba mengengam tangan Bima namun dengan cepat pemuda itu menepisnya kasar, Bima berpaling membelakangi Lisa lalu ia berdiri. Pandanganya tertuju ke lantai, Bima menelan ludah dengan susah. Ia beranjak pergi tanpa memperdulikan teriakan sang mama. "Bima, tolong dengar 'kan mama! Mama menyayangimu! Bima berhenti di sana!" ***
Bel rumah di kediama Zea berbunyi menandakan kalau Bima dan keluarganya sudah tiba, jantung Zea pun berdetak kencang ketika akhirnya rencana yang di persiapkan orang tua mereka terlaksana juga. Sontak saja rasa gugup melanda dirinya.“Sepertinya itu mereka, kamu buka gih, Sayang,” pinta mona pada anaknya itu.“Kok Zea sih, Mah?” tak mengertikah mamanya itu kalau ia saat ini sedang di landa gugup karena sebentar lagi akan bertemu Bima dalam kondisi dan situasi berbeda? Hari ini adalah lamaran resmi! tentu saja Zea sangat gugup. Acara pertunangan waktu itu belum jadi bukti yang kuat membawa mereka ke jenjang pernikahan, tapi saat ini berbeda.“Kan itu calonnya kamu, sana cepatan bukain. Nanti mereka keburu pulang, emang mau kamu ngak jadi di lamar?” tanya Mona sembari tersenyum menggoda.“Ah, bagus dong. Zea jadinya ngak jadi nikah sekarang,” ujar Zea sambil tersenyum lebar. “ Zea ngak rugi tuh.”“Dasar, mau nolak juga kamu ng