Sejak jam pertama sampai jam terakhir ini Amel dan Zea saling diam, mereka saling mengabaikan. Tidak ada yang mau mengalah. Zea sejujurnya merasa bersalah, tapi ia menganggap dirinya benar dan ia sama sekali enggan untuk minta maaf duluan.
Teettt,teettt
Bel pulang berbunyi dua kali, semua siswa menghambur keluar kelas. Amel melewati Zea begitu saja tanpa mengatakan apa pun, Zea menghela nafas gusar. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun pertemanan mereka bertengkar. Dan Zea lah yang memulainya.
Bima hendak berjalan bersama Zea, namun dengan cepat Chindy menggandeng lengannya. "Hei, Bim, aku bareng kamu, ya, nggak pa-pa kan?"
Bima mengangguk, dengan perlahan ia melepaskan tangan Chindy yang bergelanjut manja di lengannya. Ia terus menatap kepergian Zea, sampai matanya bertemu pandang dengan Rey. Pemuda itu melirik Bima sebentar, lalu berjalan beriringan dengan Zea. Bima melirik tempat pemuda jakun itu keluar, kelas XIIl IPS 5, ia mangut-mangut. Beberapa hari ini, Bima mendapat banyak informasi tentang Zea. Gadis itu sudah balikan dengan mantannya.
"Bima, kamu benaran tinggal di Michigan? Tau ngga keluarga aku juga punya Flat di sana," kata Chyndi, ia tampak senang bisa jalan berdua dengan Bima.
"Oh."
"Bima, kapan-kapan diner yuk?"
Tanpa berpikir panjang Bima mdngangguk. Lalu. “Mm... okey." Mata Bima terus mengekori kepergian Rey dan Zea. Sebenarnya ia merasa tidak nyaman dengan keberadaan Chindy. Tapi ia tidak mau menyakiti hati cewek agresif itu.
"Mau kemana mereka?" Gumamnya.
Bima menghadap kesamping, ia menghadap Chindy." Ndy, gue duluan ya. Lo bisa balik sendiri kan? Gue ada keperluan mendadak."
"Yahhh... yauda deh. Tapi kapan-kapan kamu anterin aku pulang ya?"
"Iya."
"Bye, Ndy!"
"Bye, hati-hati!"
Bima menelepon Conan menanyakan dimana lokasi sohibnya itu, entah mengapa Bima merasa khawatir kepada Zea. Belum lagi Rey terlihat mencurigakan di matannya. Setelah mengetahu lokasi Conan, ia langsung bergegas menghampirinya di toko buku. Saat ini Conan sedang mengantar Amel membeli novel.
Di perjalanan menuju toko buku, Rey melihat siluet Zea. Gadis itu tengah memeluk pinggang Rey yang membawa motor. Bima mengikuti ke mana mereka pergi, mereka berhenti di sebuah cafe. Bima juga ikut masuk, ia memilih bangku di belakang meja Zea dan Rey. Rey tampak melontarkan rayuan dan Zea merona karenanya, saat Zea meminta ijin ke toilet. Bima melihat Rey memasukkan bubuk yang entah apa ke dalam minuman Zea. Rey tersenyum nakal.
"Ayo, Ze diminum, aku paling suka sama minuman ini," ujar Rey tersenyum manis, lalu memberikan minuman yang Bima rasa telah tercampur dengan obat perangsang itu kepada Zea. Bima ingin memberi pelajaran kepada pemuda sialan itu, andai saja ia bisa. Akan Bima jebloskan pemuda jakun itu ke dalam penjara detik ini juga. Zea meminum jus itu sampai tandas, hal itu membuat Bima was-was. Ia mengepalkan tangan, wajahanya memerah menahan amarah. Bisa-bisanya pemuda seperti Rey menjebak tunangannya!
Zea dan Rey kembali menuju motor Cb 100 Rey, mereka masih tidak menyadari Bima mengikuti mereka. Amarah Bima semakin membuncah saat Rey membawa Zea ke hotel. Sementara Zea tampak terbakar gairah, sial. Bima memesan kamar di sebelah kamar yang Rey sewa. Ia bergegas menaiki anak tangga sebab Rey dan Zea berada di lift. Keringat terus membasahi tubuh Bima, tangannya kian mengepal sapai buku-buku tanganya terluka. Ia tidak boleh terlambat.
Pandangan Zea memberat, ia merasa kepanasan. Ia terus mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya. Namun cara itu tidak membuatnya merasa nyaman, Rey yang ada di samping Zea tersenyum menag. Rencananya untuk menjebak Zea berhasil. Gadis itu kini melenguh kepanasan.
Tingg... bunyi lift terbuka, Rey menuntun Zea memasuki kamar nomor 403. Saat Zea telah masuk ke dalam kamar. Rey langsung melumat bibir Zea rakus, Zea memberontak tapi entah bagaimana dirinya seolah menginginkan lebih. Rey mencoba mengunci pintu, secara tiba-tiba ia terpental. Bima mendobrak pintu itu kuat, ia langsung melayangkan bogeman mentah ke pipi Rey. Ia membawa Rey keluar dari kamar itu, ia melirik Zea sekilas. Kondisi gadid itu berantakan dengan kancing atas yang terbuka.
"Shit!" umpatnya kesal. Ia menutup pintu, lalu menguncinya dengan tergesah-gesah. Sial dia harus melawan Rey sekarang.
"Lo siapa bangsat!" teriak Rey marah, ia melayangkan pukulan kepada Bima. Namun Bima berhasil menepisnya, lagi dan lagi Bima terus melayangkan pukulan.
"Pergi lo, sialan! Kalo lo ngga mau pergi. Gue bakalan lapor polisi!"
Mereka terus berkelahi, saling memberi dan menerima pukulan. Wajah Bima babak belur, sudut bibir dan mata kirinya membiru. Keadaan Rey cukup parah. Tulang keringnya seolah mati rasa, dengan gerakan tertatih ia berlalu pergi meninggalkan Bima. Matanya menyiratkan dendam.
Bima terduduk di lantai, mengusap pelan sudut bibirnya yang berdarah. Ia tidak berani masuk ke dalam yang ia lakukan sekarang hanya menjaga pintu agar seseorang atau Rey tidak bisa masuk. Bima mengalami pergolakan batin, otaknya memerintah dirinya masuk ke dalam kamar Zea, sementara hatinya berkata tidak. Ia jadi uring-uringan sendiri, Bima terus memukul kepalanya mencoba menghilangkan pikiran buruk di otaknya. Menurut buku yang Bima baca, obat perangsang akan bertahan selama kurang lebih 24 jam. Ia menarik nafas frustrasi, bisa-bisa ia tidur di luar malam ini. Beruntung tidak ada penghuni lain di lantai 8, karena itu terkhusus untuk orang-orang dari kalangan menengah keatas.
Bima tidak menghubungi orang rumah, ia takut Zea akan di hukum. Lebih baik ia mengantarkan Zea pulang esok hari, setelah lama menimbang. Bima memilih masuk ke dalam kamar nomor 404 yang ia pesan. Luka di wajahnya ia abaikan, Bima merebahkan dirinya di kasur. Ia menutup matanya yang terasa ngilu.
"Zea gimana sekarang?" Bima terus menggumamkan kata itu, ia masih bertanya-tanya apa yang tengah gadis itu lakukan sekarang. Bima tidak bisa tidur, ia melakukan berbagai cara agar matanya terkatup. Sayang segala usahanya sia-sia. Matanya tidak memberat sedikit pun.
Malam rasanya begitu lambat bagi Bima. Ia berjalan menuju balkon. Semilir angin menerpa wajahnya. Seumur hidupnya ia baru pertama kali menghadapi situasi seperti ini, Bima telah berjanji kepada neneknya. Ia akan menjaga Zea seumur hidup.
Hallo. Makasih sudah mampir💙
Zea karena bangunan dengan wajah lelah, sekujur tuhunya lengket karena keringat. Rambutnya acak-acakan juga dua kancing seragam sekolahnya terlepas, pandangan Zea masih memburam. Ia memutar kepala, mengedarkan pandanganya kepenjuru ruangan. Zea Rey. Pemuda itu membawanya kehotel dan Bima menguncinya di sana. Zea melirik pada tubuhnya, ia masih berpakaian lengkap walau acak-acakan. Ia merasa cemas, apakah tidur dia dan Rey melakukan sesuatu. Kalau iya, Zea sudah berencana akan hidup hidup. Ia
Pagi ini Rey sengaja memakai hoodie hitamnya. Ia berusaha sembunyi dari Bima dan Zea, sengaja ia tidak berangkat sekolah. Seragam putih abu melekat di tubuhnya, sebatang rokok terselip di antara jari telunjuk dan tengah. Hisapan demi hisapan terus ia nikmati berharap dengan itu rasa takutnya sirnah. Masalah keuangan keluarga Rey saat ini sedang dalam masa sulit itu sebabnya ia berencana menjebak Zea. Ia berniat mengambil video mesum dan memeras gadis itu. Sayangnya Bima datang dan membuat rencananya hancur dan malah membuat Rey bersembunyi seperti kriminal. Helaan nafas berat Rey begitu lirih, memikirkan bagaimana ayahnya yang mabuk-mabukan dan selalu memukul ibunya membuat ia tersenyum getir. Ingin sekali ia membawa pergi ibunya namun ia belum memiliki apa pun sekarang. Soal hubunganya dengan Zea, Rey memang tidak pernah serius dengan gadis itu. Ia hanya mengambil keuntungan dari kebaikan hatinya, mungkin ini karma karena ia menghianati Zea. Di taman yan
"Jadi Bima bukan anak yang di harapkan?" Bima menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, ia merasa sangat terkejut dengan penuturan mamanya. Rasa sakit menjalar ke dalam hatinya, apa ini, kenyataan seperti apa yang ia dengar? Bima anak haram? Anak yang tidak di inginkan. Rasanya Bima ingin segera menghilang dari muka bumi, ia kira dirinya sangat dinanti, tapi kebenaran justru sebaliknya. Bahkan mamanya sendiri hampir membunuh dirinya saat ia dalam rahim wanita itu. "Nenek kamu yang membuat mama sadar dan dia juga yang menyatukan mama dengan papamu. Mama minta maaf, waktu itu mama bingung." Lisa mencoba mengengam tangan Bima namun dengan cepat pemuda itu menepisnya kasar, Bima berpaling membelakangi Lisa lalu ia berdiri. Pandanganya tertuju ke lantai, Bima menelan ludah dengan susah. Ia beranjak pergi tanpa memperdulikan teriakan sang mama. "Bima, tolong dengar 'kan mama! Mama menyayangimu! Bima berhenti di sana!" ***
Bel rumah di kediama Zea berbunyi menandakan kalau Bima dan keluarganya sudah tiba, jantung Zea pun berdetak kencang ketika akhirnya rencana yang di persiapkan orang tua mereka terlaksana juga. Sontak saja rasa gugup melanda dirinya.“Sepertinya itu mereka, kamu buka gih, Sayang,” pinta mona pada anaknya itu.“Kok Zea sih, Mah?” tak mengertikah mamanya itu kalau ia saat ini sedang di landa gugup karena sebentar lagi akan bertemu Bima dalam kondisi dan situasi berbeda? Hari ini adalah lamaran resmi! tentu saja Zea sangat gugup. Acara pertunangan waktu itu belum jadi bukti yang kuat membawa mereka ke jenjang pernikahan, tapi saat ini berbeda.“Kan itu calonnya kamu, sana cepatan bukain. Nanti mereka keburu pulang, emang mau kamu ngak jadi di lamar?” tanya Mona sembari tersenyum menggoda.“Ah, bagus dong. Zea jadinya ngak jadi nikah sekarang,” ujar Zea sambil tersenyum lebar. “ Zea ngak rugi tuh.”“Dasar, mau nolak juga kamu ng
Semua persiapan sudah rampung sejak dua hari yang lalu dan sekarang Zea dan Bima di minta mencari cincin pernikahan berdua. Zea sempat menolak dengan alasan malas keluar rumah tapi dengan terpaksa ia menurut saat mamanya mengancam dengan dalil Zea anak durhaka.Bima sengaja memakai mobil hari ini, ia duduk di kursi kemudi sementara Zea memilih duduk di belakang.“Tck. Lo jadiin gue supir?” tanya Bima tak habis pikir dengan tingkah calon istrinya itu.“Yang penting aku ikut ‘kan? Lagian kamu ngak bilang aku harus duduk di mana,” balas Zea cuek.“Terserah, lo,” jawab Bima tersenyum palsu.Mereka akhirnya sampai di tokoh perhiasan. Bima lebih dulu keluar dan membukakan pintu untuk Zea. Ia berdiri dan menyandarkan punggung di mobil. Zea yang sudah lebih dulu melangkah kedepan pintu menoleh ke belakang.“Sana pilih,” ujar Bima seraya memasukan tangan ke dalam saku celana.“Enak aja, kamu juga harus masuk sama aku!” Zea menarik le
Zea sekarang berada di kamarnya yang di ubah menjadi kamar pengantin dan ia memakai kebaya sama persis dengan kebaya yang ia pesan bersama Bima kemarin.Awalnya keluarga besar kedua calon mempelai itu berniat menyewa gedung tapi mengingat situasi dan kondisi mereka akhirnya menikahkan putra-putri mereka di kediaman pengantin wanita. Mereka memutuskan ketika Bima dan Zea sudah lulus SMA mereka akan menyewa gedung sebagai tempat resepsi. Hari ini hanya akan berlangsung akad itu sebabnya yang hadir hanya tetangga dan para keluarga dekat kedua keluarga itu.Semua para tamu dan keluarga mempelai pria sudah hadir memenuhi ruangan yang telah di dekor di rumah Zea. Terlihat wajah bahagia dari setiap orang yang datang, Conan yang duduk di sebelah Bima terus saja menggoda temanya itu. Ia berbisik-bisik tentang banyak hal pun dengan malam pertama, Bima tahu itu hanya candaan tapi tetap saja itu bahkan belum terlintas di benaknya sebelum perkara itu keluar dari bibir laknat temann
Zea duduk di kasurnya, setelah acara yang melelahkan itu akhirnya ia bisa istirahat juga. Bima membuka pintu kamar Zea perlahan, ia ikut duduk di samping istrinya itu sambil melepaskan jas.Zea meneguk ludah susah, jantungnya berdetak kencang saat Bima membuka dua kancing teratas kemejanya. Pipi Zea bersemu merah hal itu membuat Bima mengerutkan dahi."Lo kenapa?""Ngak pa-pa, ngapain kamu duduk di sini? Kamu tidur di sana..." Zea menunjuk sisi di belakang mereka dengan telunjuk di mana biasanya sofa panjang tempat Zea membaca buku tertata rapih di pojok kamar, mata Zea membelalak saat tidak mendapati benda empuk itu."Dimana?" tanya Bima heran.Zea berjalan mendekati tempat bekas sofa empuknya." Lah kok ngak ada?! Sofanya tadi masih di sini... jangan-jangan..." Zea berjalan cepat membuka lemari penyimpanan selimut dan karpet tapi tidak ia dapati satu pun benda penghangat itu di sana."Ah, Mama... mama pasti yang re
Rey memutuskan untuk masuk hari ini. Belakangan ini ia sibuk mencari uang dengan membantu paman Ujang menjadi kernek. Rey mensater motor Cb 100nya, ia berhenti di depan warung untuk mengisi bensin. Dikeluarkanya selembar uang berwarna ungu dari saku celananya. Ia kembali menerjang dinginya udara pagi, berusaha menghindar dari Bima. yakin pemuda itu akan memberikan perhitungan kepadanya. Jika ditanya takut? Rey akan menjawab jujur bahwa ia merasa takut bahkan sangat takut. Bayangan wajah Zea yang tersenyum hangat saat menyapanya kini membuat rasa bersalah itu kian membuncah. Tepat pukul 06: 12 Rey tiba di sekolah. Sekolah masih sangat sepi hanya ada dua kendaraan yang ada di parkiran. Rey Menarik tudung hoodie hitamnya. Ia berjalan menunduk, kedua tanganya ia masukan kedalam saku celana. Rey persis seperti orang yang takut ketahuan maling. Ekor matanya melirik kanan dan kiri saat tiba di kelasnya tanpa halangan Rey menarik nafas lega dan duduk bersanda