Malam ini pukul tujuh tepat. Devan--Ayah Zea pulang dari pekerjaannya di Malaysia, ia langsung menemui putri tercintanya. Ia tersenyum lebar saat melihat Zea tengah membaca majalah di ruang tamu.
"Malam, Sayangnya Papa, lagi ngapain sih, sampai tidak tahu papa ada di sini?" Devan mencium ubun-ubun Zea, lalu duduk di samping putri kesayangannya itu.
"Papa, zea kangen!" Zea memeluk erat pinggang pria paru baya itu, ia menangis haru. Sebulan ini ia tidak melihat pria yang paling ia cintai itu.
"Kok nangis? Ayo makan malam bersama. Papa sudah lapar, Zea sudah makan?"
"Huaa... ayo. Zea juga udah lapar, papa juga engga ngabarin aku kalo pulang. Tahu gitu 'kan bakal masak sayur sop kesukaan papa," Zea cemberut, ia memukul-mukul pelan lengan Devan.
"Ha ha ha, kejutan,” tawa Devan, pandangganya mengedar mencari sosok yang ia rindukan. “Mama kamu diman?"
"Mungkin di kamar, Pa."
Saat Devan hendak menemui Mona, wanita itu justru menjumpainya di ruang tamu. Mona terkejud dan langsung memeluk Devan, ia tersenyum malu saat menyadari kalau Zea masih ada di sana. Ia merasa seperti kucing yang dipergok mencuri ikan, padahal kan Devan suaminya sendiri. Tapi, Mona tetap saja merasa malu karena mereka memang jarang terlihat mesra dihadapan Zea.
"Cie ... Mama malu, ngga apa-apa, Ma, sama anak sendiri juga." tawa Zea tertahan.
"Ada-ada saja kamu Zealana," ucap Devan mencubit pelan pipi chuby sang putri.
"Oh iya, kenapa kalian belum bersiap?" tanya Mona, ia memandang Zea dengan tatapan mengintimidasi.
"Ma... Mama sama Papa serius nih mau jodohin aku? Zea masih mudah loh, Ma, Pa. Masih unyu-unyu gini. Masih suka tidur bareng Mama juga, masak... Mama tega sih lepasin Zea, nanti kalo Zea di apa-apain, siapa yang rugi?”
Mona duduk di samping Zea dan mengelus rambutnya lembut. "Zea, mama sama papa yakin. Bima orang yang tepat sebagai pendamping hidup kamu kelak, dia pemuda yang bertanggung jawab. Mama dan Papa hanya mengharapkan yang terbaik buat kamu."
"Tapi Ma, Zea engga cinta sama Bima," kata Zea lirih.
"Zealana, sayang. Papa dan mama juga menikah karena perjodohan, dan kamu lihat. Papa dan mama saling melengkapi dan bukti dari cinta kami adalah kamu," ucap Devan memberi pengertian. Ia menggenggam erat jemari Zea. Dan satu tangganya yang bebas menglus surai Zea dengan sayang.
Zea tidak mengerti dengan perasaannya, setelah mendengar penuturan orang tuanya. Ia mengangguk pasrah, lagi pula ia tidak akan bisa membantah perkataan orang tuannya.
"Sana bersiap, Mama sudah pilihkan gaun di atas meja riasmu."
"Iya, Ma."
Zea menatap pantulan dirinya di cermin, rambut pendeknya ia biarkan tergerai dengan riasan jepit rambut berwarna putih di sisi kanan rambutnya. Bibir penuhnya ia oles sedikit Lip Gloos pink, kulit fairnya sangat kontras dengan gaun hitam yang ia kenakan. Dan wajah ovalnya yang chuby terlihat imut dengan sedikit riasan tipis. Hari ini, untuk pertama kalinnya Zea berdandan. Selama ini ia tidak perduli dengan penampilan, selama ia nyaman Zea tidak akan masalah memakai pakaian yang tidak modis atau paling Amel tidak suka.
Zea mempelajari tutorial make up baru-baru ini di you tobe. Ia akan membuktikan kepada Rey kalau ia bisa cantik, tapi Zea malu. Ia mondar mandir di kamarnya, memilih tetap memakai riasan atau menghapusnya. Zea tidak percaya diri.
"Zea, ayo sayang, mereka sudah lama menunggu!" Teriakan Mona mengalihkan perhatian Zea, tidak ada waktu lagi untuk menghapusnya. Zea menarik napas pelan berusaha membuat dirinnya tenang.
"Iya, Ma. Zea turun sekarang."
Zea melangkah perlahan dengan sepatu pantofel di kakinya. Ia masih tidak bisa memakai sepatu berhak tinggi, gaun hitam selututnya tapak pas di tubuh cebonya membuat Zea makin terlihat manis. Mona sampai terkejut, baru pertama kali ia melihat sang putri berdandan. Awalnya ia tak berharap banyak, mengingat Zea yang tidak perduli dengan penampilannya.
"Ya ampun, ini benaran Zea anak mama?" Mona menangkup wajah putrinya. Ia terpanah." Cantik sekali."
"Ah mama, jangan memuji begitu dong. Zea 'kan jadi malu," ucap Zea menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya.
"Yaudah, ayo kita berangkat sekarang."
Zea mengangguk dan berjalan beriringan bersama Mona menuju mobil. Malam ini udara begitu sejuk, para pengendara terus berlalu-lalang. Zea sedari tadi merasa nerfous, ia gugup sampai berkeringat dingin. Sedekat apa pun ia dan orang tua Bima, tetap saja ini pertama kalinya dalam hidup mereka melihat penampilan Zea yang berbeda. Mamanya saja sampai tidak menyangka, apalagi orang lain?
Ada satu hal yang membuat Zea tidak ingin bersama Bima, sejujurnya Zea takut bila Bima meninggalkannya seperyi Rey. Apalagi mereka selalu bertengkar saat kanak-kanak, tidak Zea pungkiri. Bima memang terlihat seperti pemimpin bahkan saat ia masih remaja sekalipun. Bima cerdas dan sangat tampan, berbeda dengan dirinya yang biasa saja dan otak pas-pasan. Zea merasa hubungannya dan Bima tidak akan lama, sebab menurut Zea, semua pria menginginkan perempuan yang cantik. Zea bahkan tidak masuk ke dalam kategori itu. Mudah saja bagi Bima mengait gadis-gadis cantik diluar sana hanya dengan tampangnya saja, dengan kesempurnaan yang Bima miliki bukan tidak mungkin ia meninggalkan Zea yang hanya seongok debu ini.
"Tenang Ze, kamu jangan sampai jatuh hati sama Bima. Ingat semua cowok itu sama, mereka cuman suka cewek cantik. Mereka buaya, kecuali Papa," ucap Zea lirih.
Sampai di restoran, keluarga Setiawan ternyata sudah datang. Mereka sudah lobi dahulu memesan makanan dan minuman.
"Lisa maaf sekali kami terlambat," ujar Mona mencium pipi kanan dan kiri wanita bernama Lisa--Mama Bima.
"Ngga pa-pa, kami baru saja sampai beberapa menit yang lalu."
"Iya tenang saja mona dan mas deva," ucap pria parubaya dengan setelan jas formalnya, dia ayah Bima--pak Agus Setiawan.
Keluarga Zea menduduki tempat mereka masing-masing, Zea terus menunduk. Ia sangat canggung, biasanya ia tidak begini. Ia akan langsung memeluk Lisa, tapi kali ini ia tidak berani hanya sekedar untuk mengangkat kepala.
"Calon mantu mama kok menunduk terus?" Lisa mengangkat dagu Zea pelan, matanya membulat, senyum manis tercetak di wajah cantiknya. "Astagah, Zea cantik sekali,” pujinya tulus.
"Eh, anu. Eh itu, makasih tante," kata Zea gugup Ia rasanya ingin menengelamkan diri kedalam perut bumi saking malunya. Ia bahkan berbicara aneh sekarang.
Bima tertawa geli mendengar cicitan Zea, ia menutup matanya menahan tawa. Menurutnya wajah malu Zea sangat lucu, tadinya ia ingin terlihat cuek. Namun nyatanya hanya dengan melihat tingkah konyol gadis itu ia ingin tertawa.
Zea menatap Bima dengan pandangan dingin, senyum lebar Zea berubah datar saat melihat Bima menahan tawa. Ia merasa apa yang di pikirkannya tadi memang benar, Bima menertawakan penampilan juga wajahnya yang jelek. Zea salah paham, sebenarnya bukan itu yang Bima pikirkan, pemuda itu juga terpanah. Tapi ia tidak memperlihatkannya saja, menurut Bima Zea cantik apa adanya. Ia bukan tipe lelaki yang akan menilai kecantikan wanita hanya dari wajahnya, menurut Bima itu nomor sekian yang terpenting dia baik dan Bima nyaman bersamanya.
"Bima," Pak Agus memberikan kode agar putranya mengeluarkan cincin yang pagi ini mereka beli bersama. Bima mengangguk dan langsung mengeluarkan kotak berbentuk hati dari saku jasnya. Ia mengambil sebuah cincin perak kecil yang sangat cantik, dengan perlahan ia memasukan cincin itu kejemari tangan Zea. Setelahnya Zea di minta memasangkan cincin yang sama pada jari manis Bima, dengan tangan bergetar Zea meraih tangan besar bima. Ia gugup, saking gugupnya cincin itu terjatuh ke lantai, Zea memohon maaf lalu memungutnya cepat. Ah dia menggagalkan suasana romantis ini, dasar Zea. Zea terus merutuki dirinya dalam hati, beruntung sekali ia. Orang tua Bima begitu menyayanginya lebih dari Bima sendiri. Tapi masalahnya, ia tidak hidup bersama mereka. Tapi, dengan cowok tampan di sampingnya itu yang baru beberapa saat lalu resmi menjadi tunangannya.
"Saya begitu senang, zea bisa menjadi pendamping hidup Bima kelak," ucap Lisa haru.
"Saya juga mersa sangat beruntung. Tidak akan ada yang menolak Bima, laki-laki seperti dia tidak akan mudah di cari," ujar Mona tersenyum.
"Ma, Pa. Bolehkan Bima dan Zea ngobrol berdua?" tanya Bima meminta ijin.
"Silahkan, tapi tolong jaga dia," ucap Devan.
"Siap, Om."
Bima membawa Zea ketaman, ia memilih duduk di samping gadis itu yang masih terdiam. Zea terlihat murung dan tidak bersemangat. Bima melepas jasnya lalu memakaikannya di pundak Zea.
"Kalau malam itu jangan pake baju pendek. Dingin," kata Bima.
"Suka-suka gue dong, lo ngapain juga ngajak gue kesini?" tanya Zea keki, matanya memicing dan mendengkus kasar.
"Cuman mau ngobrol aja sih, udah lama kita ngga ketemu. Sekalinya ketemu... lo judes banget."
"Bodoh amat, pasti elo mau ngetawain penampilan gue kan? Gue tahu gue jelek. Sama seperti yang lo ucapin delapan tahun lalu."
"Kata siapa?" Bima menatap intens manik mata Zea, ia mengusap pelan sudut mata Zea yang berair.
"Gue tau, perkataan gue dulu pasti masih membekas di hati lo, gue minta maaf soal itu." Bima menarik nafas dalam, ia menatap lagit." Gue cuman bercanda Ze, lo dulu maupun sekarang tetap cantik. Dulu gue ngatain itu cuman sekedar candaan, gue nggak tahu kalo itu membuat lo merasa insecure." Pandangan Bima beralih menatap Zea yang menunduk.
"Ngga kok, Bim, emang benar gue ngga cantik. Lagian ngapin juga lo terima perjodohan ini? Kalo ini cara lo nebus kesalahan lo, mending ngga usah. Gue tahu lo cuman kasihan sama gue," sangkal Zea lirih matanya terlihat memerah karena menahan tangis.
"Ze, gue nggak tahu. Gue nggak ngerencanain apa pun, masalah perjodohan ini. Gue sama sekali ngga ngasut orang tua gue, mereka yang mutusin. Gue bener-bener minta maaf ze." Bima memeluk Zea erat, membiarkan gadis itu menangis di dadanya. Bima seharusnya tidak berkata bahwa Zea jelek dulu, waktu itu Bima sedang kesal kepada gadis itu karena neneknya lebih dekat dengan Zea dari pada dirinya. Ia tidak tahu kalau perkataanya saat kanak-kanak masih Zea yakini sampai saat ini. Sungguh Bima merasa bersalah.
"Yasudah, ayo kita berangkat sekarang."
Pagi-pagi sekali Bima sudah sampai di depan rumah Zea. Ia membawa sebuket bunga yang mamanya beli pagi tadi, Ia menekan tombol bel, lalu seseorang membukannya. Bi Inah- tersenyum ramah, ia mempersilahkan Bima masuk ke dalam. Bima mendudukan diri di sofa, pandanganya mengedar kesegala penjuru ruangan. Terakhir kali ia datang kerumah mewah dengan gaya mediterania itu, saat ia berusia dua belas tahun. Pandangan Bima menyorot foto gadis kecil berbando pink, rambut panjangnya di ikat keatas. Bima berdiri lalu mengapai foto di atas nakas, itu foto Zea saat kecil. Bima ingat, dulu ia selalu menjahili gadis mungil itu. Rambut panjangnya selalu ia mainkan sampai gadis itu risih dan menangis. Pernah suatu hari Bima mengatai Zea jelek, lalu gadis itu menangis hingga tidak mau berbicara dengan Bima sampai ia pergi ke Michigan Usa, sehari sebelum keberangkatannya. Bima menunggu Zea mengunjunginya. Namun, gadis itu tidak pernah datang. Bima tidak menyadari kalau hal it
Sejak jam pertama sampai jam terakhir ini Amel dan Zea saling diam, mereka saling mengabaikan. Tidak ada yang mau mengalah. Zea sejujurnya merasa bersalah, tapi ia menganggap dirinya benar dan ia sama sekali enggan untuk minta maaf duluan. Teettt,teettt Bel pulang berbunyi dua kali, semua siswa menghambur keluar kelas. Amel melewati Zea begitu saja tanpa mengatakan apa pun, Zea menghela nafas gusar. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun pertemanan mereka bertengkar. Dan Zea lah yang memulainya. Bima hendak berjalan bersama Zea, namun dengan cepat Chindy menggandeng lengannya. "Hei, Bim, aku bareng kamu, ya, nggak pa-pa kan?" Bima mengangguk, dengan perlahan ia melepaskan tangan Chindy yang bergelanjut manja di lengannya. Ia terus menatap kepergian Zea, sampai matanya bertemu pandang dengan Rey. Pemuda itu melirik Bima sebentar, lalu berjalan beriringan dengan Zea. Bima melirik tempat pemuda jakun itu keluar, kelas XIIl IPS 5, ia
Zea karena bangunan dengan wajah lelah, sekujur tuhunya lengket karena keringat. Rambutnya acak-acakan juga dua kancing seragam sekolahnya terlepas, pandangan Zea masih memburam. Ia memutar kepala, mengedarkan pandanganya kepenjuru ruangan. Zea Rey. Pemuda itu membawanya kehotel dan Bima menguncinya di sana. Zea melirik pada tubuhnya, ia masih berpakaian lengkap walau acak-acakan. Ia merasa cemas, apakah tidur dia dan Rey melakukan sesuatu. Kalau iya, Zea sudah berencana akan hidup hidup. Ia
Pagi ini Rey sengaja memakai hoodie hitamnya. Ia berusaha sembunyi dari Bima dan Zea, sengaja ia tidak berangkat sekolah. Seragam putih abu melekat di tubuhnya, sebatang rokok terselip di antara jari telunjuk dan tengah. Hisapan demi hisapan terus ia nikmati berharap dengan itu rasa takutnya sirnah. Masalah keuangan keluarga Rey saat ini sedang dalam masa sulit itu sebabnya ia berencana menjebak Zea. Ia berniat mengambil video mesum dan memeras gadis itu. Sayangnya Bima datang dan membuat rencananya hancur dan malah membuat Rey bersembunyi seperti kriminal. Helaan nafas berat Rey begitu lirih, memikirkan bagaimana ayahnya yang mabuk-mabukan dan selalu memukul ibunya membuat ia tersenyum getir. Ingin sekali ia membawa pergi ibunya namun ia belum memiliki apa pun sekarang. Soal hubunganya dengan Zea, Rey memang tidak pernah serius dengan gadis itu. Ia hanya mengambil keuntungan dari kebaikan hatinya, mungkin ini karma karena ia menghianati Zea. Di taman yan
"Jadi Bima bukan anak yang di harapkan?" Bima menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, ia merasa sangat terkejut dengan penuturan mamanya. Rasa sakit menjalar ke dalam hatinya, apa ini, kenyataan seperti apa yang ia dengar? Bima anak haram? Anak yang tidak di inginkan. Rasanya Bima ingin segera menghilang dari muka bumi, ia kira dirinya sangat dinanti, tapi kebenaran justru sebaliknya. Bahkan mamanya sendiri hampir membunuh dirinya saat ia dalam rahim wanita itu. "Nenek kamu yang membuat mama sadar dan dia juga yang menyatukan mama dengan papamu. Mama minta maaf, waktu itu mama bingung." Lisa mencoba mengengam tangan Bima namun dengan cepat pemuda itu menepisnya kasar, Bima berpaling membelakangi Lisa lalu ia berdiri. Pandanganya tertuju ke lantai, Bima menelan ludah dengan susah. Ia beranjak pergi tanpa memperdulikan teriakan sang mama. "Bima, tolong dengar 'kan mama! Mama menyayangimu! Bima berhenti di sana!" ***
Bel rumah di kediama Zea berbunyi menandakan kalau Bima dan keluarganya sudah tiba, jantung Zea pun berdetak kencang ketika akhirnya rencana yang di persiapkan orang tua mereka terlaksana juga. Sontak saja rasa gugup melanda dirinya.“Sepertinya itu mereka, kamu buka gih, Sayang,” pinta mona pada anaknya itu.“Kok Zea sih, Mah?” tak mengertikah mamanya itu kalau ia saat ini sedang di landa gugup karena sebentar lagi akan bertemu Bima dalam kondisi dan situasi berbeda? Hari ini adalah lamaran resmi! tentu saja Zea sangat gugup. Acara pertunangan waktu itu belum jadi bukti yang kuat membawa mereka ke jenjang pernikahan, tapi saat ini berbeda.“Kan itu calonnya kamu, sana cepatan bukain. Nanti mereka keburu pulang, emang mau kamu ngak jadi di lamar?” tanya Mona sembari tersenyum menggoda.“Ah, bagus dong. Zea jadinya ngak jadi nikah sekarang,” ujar Zea sambil tersenyum lebar. “ Zea ngak rugi tuh.”“Dasar, mau nolak juga kamu ng
Semua persiapan sudah rampung sejak dua hari yang lalu dan sekarang Zea dan Bima di minta mencari cincin pernikahan berdua. Zea sempat menolak dengan alasan malas keluar rumah tapi dengan terpaksa ia menurut saat mamanya mengancam dengan dalil Zea anak durhaka.Bima sengaja memakai mobil hari ini, ia duduk di kursi kemudi sementara Zea memilih duduk di belakang.“Tck. Lo jadiin gue supir?” tanya Bima tak habis pikir dengan tingkah calon istrinya itu.“Yang penting aku ikut ‘kan? Lagian kamu ngak bilang aku harus duduk di mana,” balas Zea cuek.“Terserah, lo,” jawab Bima tersenyum palsu.Mereka akhirnya sampai di tokoh perhiasan. Bima lebih dulu keluar dan membukakan pintu untuk Zea. Ia berdiri dan menyandarkan punggung di mobil. Zea yang sudah lebih dulu melangkah kedepan pintu menoleh ke belakang.“Sana pilih,” ujar Bima seraya memasukan tangan ke dalam saku celana.“Enak aja, kamu juga harus masuk sama aku!” Zea menarik le
Zea sekarang berada di kamarnya yang di ubah menjadi kamar pengantin dan ia memakai kebaya sama persis dengan kebaya yang ia pesan bersama Bima kemarin.Awalnya keluarga besar kedua calon mempelai itu berniat menyewa gedung tapi mengingat situasi dan kondisi mereka akhirnya menikahkan putra-putri mereka di kediaman pengantin wanita. Mereka memutuskan ketika Bima dan Zea sudah lulus SMA mereka akan menyewa gedung sebagai tempat resepsi. Hari ini hanya akan berlangsung akad itu sebabnya yang hadir hanya tetangga dan para keluarga dekat kedua keluarga itu.Semua para tamu dan keluarga mempelai pria sudah hadir memenuhi ruangan yang telah di dekor di rumah Zea. Terlihat wajah bahagia dari setiap orang yang datang, Conan yang duduk di sebelah Bima terus saja menggoda temanya itu. Ia berbisik-bisik tentang banyak hal pun dengan malam pertama, Bima tahu itu hanya candaan tapi tetap saja itu bahkan belum terlintas di benaknya sebelum perkara itu keluar dari bibir laknat temann