"Bima!"
Panggilan bernada berat yang sangat familiar di sepasang telinganya itu sontak membuat pemuda berambut cepak, berkaos putih berantakan yang terbalut jaket denim berhenti di tempatnya. Dia berdiri di denpan pintu masuk bandara Internasional Husein Sastranegara menunggu jemputan.
Pandangan Bima menyorot kelima orang yang berbeda jenis kelamin itu. Ia menghampiri mereka dengan senyum sumringah, pria berjas hitam memeluk Bima erat. Menyalurkan rasa rindunya di sana, sementara itu. Wanita paru baya di samping pria itu menitihkan air mata, selama dua tahun ini ia tidak melihat wajah putra semata wayangnya itu.
"Ma." Bima mencium tangan mamanya lalu memeluknya erat.
"Mama rindu sekali," ucap sang Mama sambil menangkup pipi Bima dengan kedua tangannya.
Bima tersenyum, lalu mengusap air mata di wajah sang mama." Bima juga kangen Mama."
Zea menunduk, ia ikut terharu melihat adegan melow di hadapannya. Tadinya ia tidak ingin ikut, tapi Mona--mamanya memaksa. Dengan alasan ia tidak enak hati bila tidak menjemput calon mantu katanya.
"Tante." Bima beralih mencium tangan Mama Zea.
"Jangan panggil tante dong, panggil Mama aja," ujar Mona ia menepuk bahu Bima pelan.
"Iya, Ma."
Conan menangis haru, ia memeluk Bima erat. Seharusnya ia malu, tapi saat ini tidak perduli walaupun ia laki-laki sekali pun. Ia merindukan sahabat terbaiknya. Zea yang melihat Conan menangis terkejut, bagaimana tidak? Pemuda berandalan itu menangis karena melihat sahabatnya kembali! Pikiran Zea melayang kemana-mana. Ia mulai curiga kalau Conan dan Bima sebenarnya pasangan Gay.
Karena melamun Zea sampai tidak sadar orang-orang mulai pergi. Ia masih berdiri di tempatnya sambil mengetuk jari di dagu.
"Zea ayo!" Panggilan Mamanya membuat Zea sadar dari lamunan absurdnya. Ia tersenyum bodoh, merasa ngeri dengan pikiran sendiri.
Zea dan Bima menaiki mobil Jaz milik Conan, ia terpaksa memilih bersama pemuda di sampingnya itu daripada harus terjebak pembicaraan bersama para orang tua. Conan dan Bima asyik berbincang sementara ia hanya menyimak. Zea bosan, ia menatap kelur jendela. Memandangi jalanan kota Bandung yang saat ini ramai pengendara.
"Jadi kalian berdua beneran tunangan?" tanya Conan di depan kursi pengemudi.
"Mungkin," balas Bima.
"Nggak tahu," respon Zea acuh. Ia berharap dalam hati semoga itu tidak akan terjadi. Melihat wajah Bima saja, ia rasanya ingin menampar pipi mulus itu. Zea akui Bima memang tampan, tapi apa gunanya ketampanan jika tidak saling cinta?
"Mau langsung pulang aja nih, Bim?"
"Iya, gue capek banget nih."
"Okey."
Pandangan Bima beralih menatap Zea. Gadis berambut sebahu itu masih setia menatap keluar jendela, ia mengeluarkan sesuatu dari tas hitamnya. Sebuah kotak kado dengan pita ungu di atasnya.
Bima menyerahkan kotak itu kepada Zea, Lalu." Nih dari grandma, katanya ini khusus buat Zea tersayang."
Zea menerima benda itu, lalu membukanya perlahan. Sebuah gaun berwarna biru muda dengan lengan terbuka. Gaun itu terlihat cantik dan elegan. Zea tersenyum manis, grandma memang paling tahu seleranya. Zea suka. Tapi, bisa dibilang ia buka cewek penyuka gaun sebagai pakaian ia hanya menjadikannya koleksi saja untuk dikagumi keindahannya. Dasar Zea. Ia lebih sering memakai tshirt dan celana jeans daripada pakaian menawan itu.
" Bilangin makasih, Zea suka."
"Okey."
Senyum tak pudar dari bibir manis Zea, ia kembali merindukan masa kecilnya. Dulu ia sering sekali tidur bersama Nenek Gita—nenek Bima. Ia bahkan mengangap dia sebagai neneknnya sendiri, sejak kecil Bima dan Zea memang dekat hal itu dikarenakan kedua orang tua mereka saling berteman baik. Mata Zea memanas, entah mengapa rasanya ia ingin menangis. Ia rindu nenek Gita, rindu masakan dan semua tentangnya. Nenek Gita berangkat ke Michigan USA saat ia dan Bima berusia delapan tahun, saat itu Zea tidak berhenti menangis. Ia selalu menulis surat untuk nenek Gita. Tapi, setelah SMA ia mulai disibukan dengan pelajaran hingga perhatianya teralih.
"Cengeng seperti biasannya," cibir Bima saat melihat mata Zea berkaca-kaca.
"Apaan sih, sewot amat!" semprot Zea keki. Tentu saja ia merasa terganggu saat Bima mulai mengejeknya.
"Ya ampun, Awas loh, biasannya orang yang suka berantem bakalan bener-bener jadi jodoh."
"Nggak mungkin!" sangkal Bima dan Zea serempak. Mereka saling memberikan tatapan permusuhan lalu mendengkus dan melipat tangan di atas dada.
Conan tertawa lepas." Tuh'kan. Jodoh."
"Ishh... terserah kamu!" sungut Zea keki. Ia bersedekap dada sambil mengoceh tidak terima ia berjodoh dengan Bima.
Apaan, gue nggak mau deh nikah sama ni bocah. Mending juga nikah sama lee min ho. Yang ada gue bisa mati muda, kalo sampe berjodoh sama dia!
Zea kembali dengan mobil mamanya setelah mengantar Bima sampai rumah. Ia membuat alasan sakit perut agar bisa segera kembali kerumah, rasanya Zea enggan berlama-lama dengan pemuda itu. Di perjalanan pulang ia melihat Rey membonceng seorang gadis berpakaian ketat, Zea mengepalkan tangan. Dasar buaya! Itu yang di namakan ingin balikan? Walau pun ia sudah putus dengan Rey tapi Zea masih merasa tidak terima melihat Rey bahagia dengan wanita lain. Terlebih, Rey berselingkuh darinya saat ia sedang sayang-sayangnya, gadis mana yang tidak akan sakit hati?
"Dasar cowok, semuanya sama!" umpatnya mencekram erat setir mobil, Melampiasakan kekesalan di sana.
Suara ponsel mengalihkan perhatian Zea dari motor Rey, ia menepi saat melihat nama Amel di layar ponsel.
"Hallo, kenapa Mel?"
"Ze, Shopping yuk. Gue bosen banget nih di rumah sendirian," imbuh Amel dengan nada manja.
Zea berpikir sejenak, hari ini ia tidak ada rencana apa pun. Setelah dari rumah Bima, ia memang berencana rebahan dikasur empuknya. "Yaudah deh, kita ketemu di mal aja, ya?"
"Sip."
Panggilan dimatikan sepihak oleh Amel, Zea memutar arah. Ia melaju dengan kecepatan sedang menuju pusat perbelanjaan. Sekitar lima menit Zea menunggu Amel di restoran, akhirnya gadis itu tiba, ia tampak anggun dengan balutan dres hitam selutut.
"Abis kemana sih, Kok cantik banget?" tanya Zea menggoda.
"Conan ngajak diner, tadinya gaun ini mau gue pake. Tapi kayaknya enggak cocok, jadi mau beli yang baru deh." Amel menarik kursi, lalu duduk berhadapan dengan Zea. "Lo darimana?"
"Dari bandara," jawab Zea sekenannya.
"Bandara? Dengan baju begituan? Lo ngga salah?" Amel syok, ia menatap Zea dari rambut sampai ujung kaki. Gadis di hadapannya itu memakai celana Jeans dipadukan dengan baju tshirt kuning over size, sangat-sangat memalukan menurutnya.
Merasa di perhatikan, Zea memeriksa dirinya. Tidak ada yang aneh, ia terlihat normal. Karena risish Zea lalu bertanya,"kenapa sih?"
"Astagah Ze, lihat penampilan lo. Ngga ada modis-modisnya, lo itu cantik Ze, cewek itu harus bisa merawat diri. Lo nggak lihat gue ini, cantik bak putri raja kan?" tanya Amel pede sembari tersenyum manis yang kata Conan semanis gula aren. Sampe bikin hati meleleh.
Zea mengedikkan bahu " Biarin, gue nyaman kayak gini mel, lo emang cantik. Mungkin itu alasan Rey mutusin gue, selama ini Rey malu punya pacar kayak gue yang nggak modis seperti yang lain," kata Zea Sebenarnya Zea memiliki banyak koleksi pakaian cantik dan modis tapi, ia tidak terbiasa memakainya dan malahan menumpuk di lemari.
"Ze, bukan gitu. Lo cantik, cuman pakean lo aja yang harus di ubah. Jangan isecur dong!" Amel mengebu.
"Insecure mel, bukan isecur."
"Ah, iya pokoknya gitu." Amel berdiri lalu meraih tangan Zea." Ayo belanja sekarang!"
Zea segera mengeluarkan uang di dompetnya, setelahnya ia menyimpan selembar uang berwarna biru di atas meja.
Hallo terimakasi sudah mampir
Malam ini pukul tujuh tepat. Devan--Ayah Zea pulang dari pekerjaannya di Malaysia, ia langsung menemui putri tercintanya. Ia tersenyum lebar saat melihat Zea tengah membaca majalah di ruang tamu. "Malam, Sayangnya Papa, lagi ngapain sih, sampai tidak tahu papa ada di sini?" Devan mencium ubun-ubun Zea, lalu duduk di samping putri kesayangannya itu. "Papa, zea kangen!" Zea memeluk erat pinggang pria paru baya itu, ia menangis haru. Sebulan ini ia tidak melihat pria yang paling ia cintai itu. "Kok nangis? Ayo makan malam bersama. Papa sudah lapar, Zea sudah makan?" "Huaa... ayo. Zea juga udah lapar, papa juga engga ngabarin aku kalo pulang. Tahu gitu 'kan bakal masak sayur sop kesukaan papa," Zea cemberut, ia memukul-mukul pelan lengan Devan. "Ha ha ha, kejutan,” tawa Devan, pandangganya mengedar mencari sosok yang ia rindukan. “Mama kamu diman?" "Mungkin di kamar, Pa." Saat Devan hendak menemui Mona, wanita itu justr
Pagi-pagi sekali Bima sudah sampai di depan rumah Zea. Ia membawa sebuket bunga yang mamanya beli pagi tadi, Ia menekan tombol bel, lalu seseorang membukannya. Bi Inah- tersenyum ramah, ia mempersilahkan Bima masuk ke dalam. Bima mendudukan diri di sofa, pandanganya mengedar kesegala penjuru ruangan. Terakhir kali ia datang kerumah mewah dengan gaya mediterania itu, saat ia berusia dua belas tahun. Pandangan Bima menyorot foto gadis kecil berbando pink, rambut panjangnya di ikat keatas. Bima berdiri lalu mengapai foto di atas nakas, itu foto Zea saat kecil. Bima ingat, dulu ia selalu menjahili gadis mungil itu. Rambut panjangnya selalu ia mainkan sampai gadis itu risih dan menangis. Pernah suatu hari Bima mengatai Zea jelek, lalu gadis itu menangis hingga tidak mau berbicara dengan Bima sampai ia pergi ke Michigan Usa, sehari sebelum keberangkatannya. Bima menunggu Zea mengunjunginya. Namun, gadis itu tidak pernah datang. Bima tidak menyadari kalau hal it
Sejak jam pertama sampai jam terakhir ini Amel dan Zea saling diam, mereka saling mengabaikan. Tidak ada yang mau mengalah. Zea sejujurnya merasa bersalah, tapi ia menganggap dirinya benar dan ia sama sekali enggan untuk minta maaf duluan. Teettt,teettt Bel pulang berbunyi dua kali, semua siswa menghambur keluar kelas. Amel melewati Zea begitu saja tanpa mengatakan apa pun, Zea menghela nafas gusar. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun pertemanan mereka bertengkar. Dan Zea lah yang memulainya. Bima hendak berjalan bersama Zea, namun dengan cepat Chindy menggandeng lengannya. "Hei, Bim, aku bareng kamu, ya, nggak pa-pa kan?" Bima mengangguk, dengan perlahan ia melepaskan tangan Chindy yang bergelanjut manja di lengannya. Ia terus menatap kepergian Zea, sampai matanya bertemu pandang dengan Rey. Pemuda itu melirik Bima sebentar, lalu berjalan beriringan dengan Zea. Bima melirik tempat pemuda jakun itu keluar, kelas XIIl IPS 5, ia
Zea karena bangunan dengan wajah lelah, sekujur tuhunya lengket karena keringat. Rambutnya acak-acakan juga dua kancing seragam sekolahnya terlepas, pandangan Zea masih memburam. Ia memutar kepala, mengedarkan pandanganya kepenjuru ruangan. Zea Rey. Pemuda itu membawanya kehotel dan Bima menguncinya di sana. Zea melirik pada tubuhnya, ia masih berpakaian lengkap walau acak-acakan. Ia merasa cemas, apakah tidur dia dan Rey melakukan sesuatu. Kalau iya, Zea sudah berencana akan hidup hidup. Ia
Pagi ini Rey sengaja memakai hoodie hitamnya. Ia berusaha sembunyi dari Bima dan Zea, sengaja ia tidak berangkat sekolah. Seragam putih abu melekat di tubuhnya, sebatang rokok terselip di antara jari telunjuk dan tengah. Hisapan demi hisapan terus ia nikmati berharap dengan itu rasa takutnya sirnah. Masalah keuangan keluarga Rey saat ini sedang dalam masa sulit itu sebabnya ia berencana menjebak Zea. Ia berniat mengambil video mesum dan memeras gadis itu. Sayangnya Bima datang dan membuat rencananya hancur dan malah membuat Rey bersembunyi seperti kriminal. Helaan nafas berat Rey begitu lirih, memikirkan bagaimana ayahnya yang mabuk-mabukan dan selalu memukul ibunya membuat ia tersenyum getir. Ingin sekali ia membawa pergi ibunya namun ia belum memiliki apa pun sekarang. Soal hubunganya dengan Zea, Rey memang tidak pernah serius dengan gadis itu. Ia hanya mengambil keuntungan dari kebaikan hatinya, mungkin ini karma karena ia menghianati Zea. Di taman yan
"Jadi Bima bukan anak yang di harapkan?" Bima menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, ia merasa sangat terkejut dengan penuturan mamanya. Rasa sakit menjalar ke dalam hatinya, apa ini, kenyataan seperti apa yang ia dengar? Bima anak haram? Anak yang tidak di inginkan. Rasanya Bima ingin segera menghilang dari muka bumi, ia kira dirinya sangat dinanti, tapi kebenaran justru sebaliknya. Bahkan mamanya sendiri hampir membunuh dirinya saat ia dalam rahim wanita itu. "Nenek kamu yang membuat mama sadar dan dia juga yang menyatukan mama dengan papamu. Mama minta maaf, waktu itu mama bingung." Lisa mencoba mengengam tangan Bima namun dengan cepat pemuda itu menepisnya kasar, Bima berpaling membelakangi Lisa lalu ia berdiri. Pandanganya tertuju ke lantai, Bima menelan ludah dengan susah. Ia beranjak pergi tanpa memperdulikan teriakan sang mama. "Bima, tolong dengar 'kan mama! Mama menyayangimu! Bima berhenti di sana!" ***
Bel rumah di kediama Zea berbunyi menandakan kalau Bima dan keluarganya sudah tiba, jantung Zea pun berdetak kencang ketika akhirnya rencana yang di persiapkan orang tua mereka terlaksana juga. Sontak saja rasa gugup melanda dirinya.“Sepertinya itu mereka, kamu buka gih, Sayang,” pinta mona pada anaknya itu.“Kok Zea sih, Mah?” tak mengertikah mamanya itu kalau ia saat ini sedang di landa gugup karena sebentar lagi akan bertemu Bima dalam kondisi dan situasi berbeda? Hari ini adalah lamaran resmi! tentu saja Zea sangat gugup. Acara pertunangan waktu itu belum jadi bukti yang kuat membawa mereka ke jenjang pernikahan, tapi saat ini berbeda.“Kan itu calonnya kamu, sana cepatan bukain. Nanti mereka keburu pulang, emang mau kamu ngak jadi di lamar?” tanya Mona sembari tersenyum menggoda.“Ah, bagus dong. Zea jadinya ngak jadi nikah sekarang,” ujar Zea sambil tersenyum lebar. “ Zea ngak rugi tuh.”“Dasar, mau nolak juga kamu ng
Semua persiapan sudah rampung sejak dua hari yang lalu dan sekarang Zea dan Bima di minta mencari cincin pernikahan berdua. Zea sempat menolak dengan alasan malas keluar rumah tapi dengan terpaksa ia menurut saat mamanya mengancam dengan dalil Zea anak durhaka.Bima sengaja memakai mobil hari ini, ia duduk di kursi kemudi sementara Zea memilih duduk di belakang.“Tck. Lo jadiin gue supir?” tanya Bima tak habis pikir dengan tingkah calon istrinya itu.“Yang penting aku ikut ‘kan? Lagian kamu ngak bilang aku harus duduk di mana,” balas Zea cuek.“Terserah, lo,” jawab Bima tersenyum palsu.Mereka akhirnya sampai di tokoh perhiasan. Bima lebih dulu keluar dan membukakan pintu untuk Zea. Ia berdiri dan menyandarkan punggung di mobil. Zea yang sudah lebih dulu melangkah kedepan pintu menoleh ke belakang.“Sana pilih,” ujar Bima seraya memasukan tangan ke dalam saku celana.“Enak aja, kamu juga harus masuk sama aku!” Zea menarik le