Helaian rambut cokelat tua wanita berparas cantik itu berayun, seiring langkah kaki yang terbalut high heels mahal di kedua kaki jenjangnya berdecit dengan lantai marmer pusat perbelanjaan ternama kota New York City—bersamaan dengan kedua tangannya menenteng beberapa paper bag dalam berbagai ukuran yang berbeda.
Namanya Alessia Mikhayla. Wanita berperawakan tegas dengan alisnya yang tebal, hidung mancung juga bibir kecil merah mudanya. Cantik nan memesona. Setidaknya, begitulah tanggapan orang-orang tentang dirinya.
Alessia merupakan anggota secret agen rekrutan departemen Central Intelligence Agency (CIA). Tidak ada yang mengetahui profesinya, termasuk keluarganya. Alessia menutup identitas sebagai pasukan grup GK yang tak lain adalah Girls Knight sebagai keamanan privasi.
Girls Knight sendiri beranggotakan empat wanita cantik termasuk Alessia—penembak jitu, setidaknya itu julukan dari rekan tim-nya. Dan tiga di antaranya ada; Arabella Alison—si pintar menggunakan benda-benda tajam, lalu ada Keira Sashenka—si pemanah handal, dan yang terkahir ada Velove Agneiszka—jagoan andalan Girls Knight. Selain mereka tergabung menjadi satu anggota, mereka juga menjalin persahabatan. Bahkan sejak kecil. Bisa dikatakan ... Mereka adalah ksatria wanita dalam organisasi yang menjunjung tinggi nilai solidaritas.
Bola mata biru Alessia menelisir—sibuk memilah beberapa tas yang terpajang cantik dalam estalase hingga pilihannya jatuh pada sebuah tas merah metalik merek Chanel terbaru. Setelah mendapatkan pilihannya, Alessia bergerak menuju kasir kemudian membayar dan sepasang high heels itu kembali berjalan anggun meninggalkan toko kemudian berhenti ketika sampai di lobby pusat perbelanjaan.
Ara is calling...
"Fuck you, Ale! Aku sudah menunggumu hampir limabelas menit! Jika kau masih lama, cari taksi saja!"
Suara Arabella terdengar marah. Tanpa sapaan dan basa-basi seperti biasanya. Alessia sedikit menjauhkan ponselnya sebelum menarik bibir, menahan kedutan di ke dua sudut bibir yang pada akhirnya tetap menampilkan senyum. "Calm down, Babe. Limabelas menit, apanya yang lama?" kekehnya tanpa rasa bersalah.
Cebikan Arabella terdengar di ujung sambungan. Alessia yakin, perempuan itu pasti tengah menyiapkan serentetan umpatan untuknya begitu dia sampai. "Kau jelas tahu aku benci menunggu!" gerutunya.
"Alright." senyum Alessia mengembang. "Look, arah jam enam." ucap Alessia memberi instruksi. Ia mengerling begitu Arabella menoleh sambil memelotot tajam kearahnya. Sayangnya, Alessia sudah kebal dan dia tidak terpengaruh sama sekali dengan apa yang coba Arabella perlihatkan padanya.
Tatapan jijik Arabella tampak sangat kentara begitu Alessia mendekat. Dari kejauhan Alessia tahu Arabella kesal tetapi sekali pun begitu Alessia tetap tidak menaruh simpati. Benar-benar pertemanan yang luar biasa.
"Wajahmu membuatku takut," suara Alessia terdengar begitu pintu samping kemudi terbuka, ia mengulas senyum manis sembari meletakkan belanjaannya pada kursi belakang tanpa mengalihkan Arabella yang bergegas meninggalkan pelataran.
"Setan cilik. Senyummu mengatakan sebaliknya, sialan!"
See....
Tawa rendah Alessia mengudara mendengar balasan Arabella, membenarkan kalimatnya. Senyap. Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Alessia sendiri tidak peduli dengan memilih melempar pandangan ke luar jendela. Hiruk-pikuk lalu lintas sejenak mengambil alih perhatiannya.
Sudah berlalu lama... Batinnya menggumam.
"Kapan kau akan berhenti melakukan kebiasaan burukmu itu, Ale?" Alessia memperhatikan Arabella yang sedang mengamati belanjaannya di kursi belakang melalui kaca spion. "Kau harus mengingat kalau sekarang ini kau hidup sendirian."
"Masih ada kalian," sergah Alessia tidak peduli.
"Pertanyaannya, sampai kapan?" teguran itu terdengar serius sekali pun pandangan Arabella masih terfokus pada jalanan kota. "Kau jelas tahu arah semua ini."
Sesaat, Alessia merasakan dadanya menyempit. Benar. Mau sampai kapan? Pertanyaan itu terus terulang, menumpuk dan berakhir tidak menemukan jawaban seperti yang sudah-sudah. Alessia tidak tahu dengan pasti tapi saat ini, setidaknya untuk saat ini biarkan dia melewati jalan yang sudah ia pilih. "Jangan ingatkan aku tentang itu, Ara. Kau jelas mengerti diriku, bukan?" jawab Alessia berusaha santai. Tampak terlihat sekali dia menghindari topik ini.
Arabella melirik Alessia malas. Bergerak lambat ketika berhenti di lampu merah. Kali ini Arabella benar-benar memusatkan perhatiannya pada Alessia. "Pada kenyataannya kau memang perlu diingatkan mengenai hal itu, Ale. Listen, kau harus belajar hemat atau kau akan menjadi miskin dalam waktu dekat jika terus melakukan kebiasaan burukmu itu." ucap Arabella serius.
Lantas, seperti biasanya. Alessia hanya memutar bola matanya untuk menanggapi segala jenis komentar teman-temannya. Sekilas dia terlihat tidak peduli padahal sebanarnya ia juga sedikit khawatir tentang apa yang Arabella katakan.
"Kau punya saran?"
Jemari Arabella meraih kertas kecil di dashboard mobilnya lalu mengulurkannya pada Alessia sembari kembali mengalihkan atensi ke depan ketika lampu berubah hijau.
Kartu nama.
Alessia menerimanya.
Albyazka Stevano.
Sebelah alis Alessia terangkat. Stevano? Jika tidak salah mengingat, Stevano International merupakan perusahaan property terbesar yang sudah berhasil mendirikan banyak perusahaan anak cabang dengan perkembangan sama pesatnya di tiap negara. Bisa dibilang, Stevano International merupakan perusahaan inti yang sudah merambat dalam pasar internasional terbesar saat ini.
"Kudengar saat ini perusahaan mereka sedang mencari sekertaris. Gajinya lumayan besar dan tentunya kau tidak harus kembali hanya untuk mengemis uang belanjaan." Arabella menjelaskan sirat dengan cibiran pada akhir kalimatnya.
Wajah Alessia tertekuk, tidak terima. Kembali melihat kartu nama di tanganya sebelum memasukkannya ke dalam tas. "Akan kupikirkan," Alessia menghela napas panjang sambil memejamkan matanya. "Lagipula, kembali hanya untuk uang bukanlah tipeku."
"Aku bahkan tidak yakin mengingat kebiasaanmu." cibir Arabella terang-terangan. Membuat Alessia mendengus namun, juga tidak memungkirinya.
Alessia sadar diri kalau kebiasaan belanja dalam hidupnya sudah mendarah daging. Besar dengan lingkungan serba berkecukupan membentuk pola hidup tidak sehat yang bersarang pada dirinya. Belanja, belanja dan belanja. Hanya itu kegiatan harian Alessia jika tidak sedang dalam tugas.
Well, setidaknya itu dulu. Hampir satu tahun belakangan ini Alessia beberapa kali menghemat meski tidak bisa dikatakan berhasil karena selalu gagal di hari ke-tiganya. Jadi, untuk apa pun itu Alessia sama sekali tidak berniat mengoreksi.
Biarlah ... Karena itu memang kenyataan.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk mereka sampai di sebuah cafetaria tempat perkumpulan Girls Knight biasanya. Alessia membuka pintu mobil seraya bersenandung kecil, tampak percaya diri dan mulai melangkah masuk. Binar matanya sangat kentara seakan mengatakan bahwa ia memang tengah merasa senang.
"Well, biar kutebak, kau pasti habis menguras isi dompetmu. Right?" Keira mencibir ketika Alessia baru saja sampai di meja mereka. Binar keceriaan dari raut wajah Alessia sangat mudah di tebak. Begitu responsif.
Alessia merupakan sosok moody-an. Mudah merasa senang dan sedih di saat bersamaan.
Alessia mengendik acuh seraya menarik kursi di sebelah Velove yang tampak biasa saja. Memang di antara mereka berempat, Velove Agnieszka memang lebih pengertian hingga mengetahui segala hal berkaitan mengenai mereka. Bisa di katakan ... Hal semacam ini sudah biasa. Sangat biasa.
"Jika bukan sahabatku, aku tidak akan sudi menungguinya." dengus Arabella mengambil duduk di samping kiri Keira.
Alessia tertawa riang. "Sekali-kali kau juga harus tahu rasanya menunggu, Ara."
"Aku hampir bosan melakukannya dulu."
"Yeah, Jangan ungkit. Kita bicara saat ini. Artinya sekarang, bukan dulu."
"Terserah."
"Bodohnya, dia tidak pernah menyadarinya. Di sakiti berkali-kali tapi masih memilih bertahan. Satu kata untuknya...." sahut Keira yang langsung disambut Alessia dan Velove bersamaan.
"I.d.i.o.t." ucap mereka serentak.
"Sialan! Jangan ungkit lagi. Membuatku mual saja!" kesal Arabella diiringi tawa geli dari mereka bertiga.
"Kau harus tahu sebodoh apa dirimu dua tahun lalu, Ara. Kolot dan keras kepala. Sangat memuakkan." cibir Alessia masih dengan kekehan yang terpantri di wajahnya.
Arabella tidak menanggapi. Ia hanya mendengus. Merasa jengkel dengan bahasan mereka yang menurutnya sangat kekanakan. Demi Tuhan .. Masing-masing dari mereka jelas sangat tahu mengenai aib masing-masing. Pembicaraan semacam ini sangat tidak berguna.
"Ada lagi...." Velove memberi jeda, menarik perhatian mereka hingga memusatkan atensi padanya sepenuhnya. "Ada seorang yang lebih keras kepala dengan menuruti hobinya di saat keuangannya berada di ambang kemiskinan. Childish."
Velove nyaris terjungkal begitu kursi yang di dudukinya menggeser sebab terjangan kaki Alessia. Tawa riuh seketika memenuhi meja, terdengar sangat menyebalkan tapi sayangnya, hal seperti ini selalu terulang. Menjahili, memaki, bertengkar hingga tetap saling support. Bukankah memang seperti ini fungsi seorang teman? Saling mengisi bukan saling menjatuhkan.
Ke-empat perempuan hebat ini selalu melakukan hal main-main hanya untuk sekedar bersenang-senang tanpa berniat menyakiti.
Beruntungnya, mereka masih bisa dengan baik mengontrol nada suara hingga tidak terdengar yang lain.
Alessia mengacungkan jari tengahnya sambil berkata. "Fuck you, Vee!" katanya pelan namun, penuh penekanan.
Sesaat meja mereka menjadi pusat perhatian ketika lagi-lagi tawa riuh memenuhi meja. Selain dari paras cantik mereka yang sudah mencuri perhatian, tawa lepas mereka mampu membuat kaum Adam sekitar terpana, lain hal dengan para wanita yang menatap mereka seolah merasa sangat terganggu. Mereka mengabaikannya—memilih tidak peduli sembari melanjutkan ejekan satu sama lain.
Sementara itu, di pelataran cafetaria sepasang kekasih terlihat tengah saling melempar argumen. Tidak peduli orang-orang yang berlalu-lalang, kedua orang dewasa itu masih saja saling berdebat.
"Kau tidak mengerti bahasaku? Aku tidak tertarik denganmu." kata sang pria dengan suara tegas.
Yeah, sedikit koreksi. Mereka bukan sepasang kekasih.
Wanita pirang itu menggeleng pelan—menolak percaya. "Kau selalu begini, menolak semua wanita yang berusaha mendekatimu." ucapnya mengambil asumsi.
"Terserah apa katamu, aku tidak peduli. Yang perlu kukatakan adalah ... Menjauhlah dariku. Ingat ini dalam kepala cantikmu, Aku sama sekali tidak memiliki perasaan padamu. Bahkan, melirikmu saja aku enggan. Sampai di sini kuharap kau bisa mengerti."
Sakit. Mengapa rasanya masih begitu menyakitkan?
"Kau egois, Alby! Kau memaksaku untuk mengertimu tapi, kau? Kau bahkan sama sekali tidak peduli tentangku!"
Benar. Dia Albyazka Stevano. Pria tampan dengan sejuta pesona itu selalu memiliki cara menghancurkan perasaan para wanita yang mengaguminya. Alby tidak pernah benar-benar merasa tertarik pada seorang wanita. Menurutnya, memiliki wanita di hidupnya hanya akan menghambat kebebasannya.
Nyaris semua wanita yang selalu mengejarnya, terlihat seperti benalu bagi Alby. Mudah di dapatkan sekaligus membuatnya mudah bosan. Dan tentunya Alby tidak menyukai waktu berharganya terbuang sia-sia karena seorang wanita. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi pada dirinya seperti apa yang sahabatnya—Axelle Wynne alami.
"Kenapa aku harus?"
Sesaat, keduanya sama-sama terdiam. Wanita pirang itu kehilangan kata-kata lalu, kemudian ia berusaha tegar, bersusah payah menyusun pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja terjadi. "Apa kau memiliki seseorang di hatimu?"
"Bukan urusanmu."
"Aku perlu tahu! Kau tiba-tiba memecatku hanya karena aku menyatakan perasaanku. Selama ini ... Hanya ada aku. Lalu, kenapa? Jika itu karena seseorang aku sudah pasti tida—"
"Ya. Aku memiliki seseorang dalam hatiku dan, tentunya itu bukan kau. Tidak ada alasan lain." sela Alby yang tidak membiarkan mantan sekertarisnya itu menyelesaikan ucapannya.
"Bohong!" sergahnya.
"Kau yang menolak memercayainya."
"Bagaimana bisa? Aku bahkan tidak pernah melihat wanita lain di sisimu selain Elena."
"Benar. Aku memang sengaja menyembunyikannya dari publik karena aku tidak suka milikku di lihat orang lain."
Wanita pirang itu terkekeh, antara kecewa dan tidak percaya. Keduanya mendominasi. "Kau berbohong lagi...." lirihnya.
"Aku, tidak. Wanitaku terlalu berharga hanya untuk di pamerkan pada publik. Dia milikku, lalu apa urusannya dengan publik mengenai itu?"
Kedua tangan wanita itu mengepal di antara tubuhnya. Malu sekaligus terluka. Ia tidak pernah membayangkan jika dirinya akan ditolak seperti ini. Setelah meyakinkan dirinya untuk mengakui perasaan yang ia simpan hampir lima tahun lamanya, ini ... Adalah hal terakhir yang ada dalam bayangannya selama ini. Dan Alby berhasil menjatuhkannya—menghancurkannya tanpa sempat memberinya kesempatan untuk memulai.
"Kenapa bukan aku?" wanita pirang itu mengusap sudut matanya yang berair, terdengar putus asa. Lalu, senyumnya muncul, tampak sekali di paksakan. "Well, jika memang benar. Kenalkan dia padaku." pintanya.
Tepat pada saat yang bersamaan Alessia berjalan melewati mereka, tidak peduli dengan pertikaian kedua orang di sana dan sejujurnya Alessia tidak pernah menyangka ciuman pertamanya hilang begitu saja ketika lengannya tiba-tiba di tarik mendekat. Alessia terkesiap, tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya begitu embut dan hangat bibir pria gila yang menarik lengannya kini menyapu bibirnya.
Sialan! Apa yang terjadi di sini?
Lidah Alessia kelu, bahkan Alessia memgumpati dirinya sendiri yang mendadak lemah hanya dengan sebuah ciuman tidak berdasar.
"Sudah kukatakan sebentar lagi. Kenapa kau tidak sabaran, Darling?" ucap Alby lembut sembari melingkarkan lengannya pada pinggang Alessia. Menyadarkan perempuan itu dari keterkejutannya.
"Bedebah! Apa yang kau bicarakan, huh?!"
Kedua lesung pipi Alby terbentuk begitu bibirnya tertarik, membentuk senyuman manis lengkap dengan tatapan penuh cinta di sana. "Tak apa. Kau tidak perlu berakting lagi."
Mual seakan mendera Alessia mendengar nada manis yang keluar dari bibir pria di depannya. Senyum tanpa dosa, tatapan tanpa rasa bersalah bahkan tidak ada permintaan maaf. Wajah Alessia memerah padam, bersiap menyumpah serapahi pria gila itu tapi Alby lebih dulu menghentikanya dengan kembali memberi ciuman singkat di bibir. "Dia perlu tahu sosok wanitaku. Jadi, kenapa aku tidak memberinya kesempatan 'kan?"
"Kau ... Dasar gila! Lepaskan aku, Bedebah!"
Suara isakan sontak membuat Alessia mengalihkan atensi pada wanita pirang yang sedari tadi memperhatikan mereka nyaris tanpa kedip. Tatapannya rapuh, antara putus asa, kecewa dan malu. Tergambar jelas di wajahnya.
Ah, sekarang Alessia tahu. Pria gila yang tengah memeluknya ini sudah pasti menolak wanita itu dan menjadikannya sebagai tameng. Hebat sekali.
Benar-benar sialan!
Tanpa mengatakan apa-apa wanita pirang itu bergegas pergi. Ia berlari kecil menuju sebuah mobil audy yang terparkir tidak jauh dari mereka.
Tepat begitu Alby menoleh, satu tamparan mendarat sempurna di pipinya. Alby baru hendak membuka bibir untuk protes ketika Alessia lebih dulu kembali menamparnya.
Dia Alessia Mikhayla. Siapa pun tidak boleh sembarang menyentuhnya apalagi pria asing.
"Asshole!" umpat Alessia berjalan melewatinya.
Alby berkedip dua kali.
Dia baru saja ditampar? Dua kali? Oleh seorang wanita?
Tidak bisa dipercaya.
***
Seri ke-2 Girls Knight series | Arabella Alison & Keenan Maxfield
Judul : Lovely BASTARD / bisa temui dengan cara klik profil penulis R_Quella
*Kisah seorang player yang bertemu dengan lelaki Casanova di tengah keterpurukannya akibat pengkhianatan mantan kekasih*
Nama Keenan Maxfield sudah terkenal dengan berita mengenai sepak terjangnya pada dunia malam, bermain dengan banyak wanita hingga di juluki Casanova. Tertarik pada seorang perempuan yang juga terkenal dengan gelar player yang di miliknya, siapa lagi kalau bukan Arabella Alison—seorang secret agent dengan sejuta pesona.
Pertemuan keduanya cukup terbilang unik karena pada awal pertemuan, Ken yang pada saat itu menemukan Ara di kelab dengan kondisi mabuk berat, berniat membawa perempuan itu bermalam sebagai penghangat ranjangnya tapi yang terjadi malah Ken mendapat tamparan dan berakhir merelakan malam panjangnya untuk menenangkan Arabella yang tengah terisak sambil mengoceh tidak jelas. Parahnya lagi, pagi hari ketika Ken terbangun, Arabella sudah pergi meninggalkannya seorang diri dengan hanya di temani selembar cek dan japitan rambut yang dia letakkan di atas meja.
Satu tahun kemudian, pada acara malam pesta kliennya, Ken kembali bertemu dengan Arabella. Dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi membiarkan Arabella pergi meninggalkannya seperti kejadian di Swiss satu tahun yang lalu. Terhitung mulai dari pertemuan kedua mereka, segalanya berubah. Satu malam yang mampu menjungkir balikan keadaan juga perasaan emosional keduanya hingga sampai pada di level tertinggi ingin saling memiliki.
BAB DUA It won't end here Marquee nightclub. New York, USA | At 9:46 PM. Hingar-bingar musik dj mendengung, memenuhi ruangan yang temaram di bawah lampu kerap-kerlip di atas sana. Alunan musik masih menghentak keras, lengkap dengan tarian erotis di lantai dansa. Pandangan Alessia menggedar, muak dan kesal mendominasi begitu tatapannya tidak sengaja menemukan orang-orang yang tengah bercumbu di sudut ruangan, kumpulan perempuan bergaun minim yang tengah menemani pelanggan dengan minuman, sementara beberapa yang lain hanya sekedar minum-minum seperti yang tengah Alessia dan teman-temannya lakukan. "Ada apa denganmu?" Teguran Velove mengalihkan atensi Alessia, perempuan itu hanya mengendikkan bahu sambil kembali menyesap anggurnya. Sejujurnya Alessia masih memikirkan kejadian siang tadi. Harinya yang indah mendadak mendung hanya karena seorang pria yang bahkan sama sekali tidak di kenalnya. Sialnya lagi ... Itu adalah ciuman pertamanya. D
BAB TIGA I can see you STEVANO INTERNASIONAL , NYC | USA. At 09:15 AM. "Kau sudah menemukannya?" Alby berjalan dengan langkah panjang memasuki gedung Stevano lengkap dengan ponsel yang menempel di samping telinga. Setelan abu-abu di tubuhnya begitu menggoda untuk jamah, membungkus otot-otot tubuhnya yang keras dari balik kemeja. Dasi bercorak yang menggantung di lehernya nampak serasi dengan Rolex silver yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sesekali tak sedikit ada beberapa pegawai yang menyapanya, sementara yang lain hanya menunduk begitu Alby melewati mereka. Iris matanya berpendar, tampak dingin hingga aura kewibawaannya terpancar semakin jelas. "Aku tidak mendapat apa pun. Sebenarnya kau bertemu dengan wanita itu di mana? Sungguh merepotkan." gerutu seseorang di ujung telepon. "Aku memintamu mencari tahu bukan bertanya padaku." "Riwayat hidupnya bahkan sama sekali tidak ada. Kosong. Aku sempat mengira kau s
BAB EMPAT~Woman or Stray cat?"Kau tidak lelah berakting?"Alessia menatap malas seorang pria yang kini berdiri di ambang dinding pembatas. Pria itu tengah menatapnya penuh dengan pandangan sirat permohonan yang sangat kentara."Ale, aku serius. Coba tantang aku dan kupastikan kau akan melihat kematianku tepat di depanmu." kata pria itu lagi."Aku sudah bosan mendengarnya," keluh Alessia malas. "Berhenti mendeklarasikan kematianmu padaku, Rey. Itu tidak berguna. Sama sekali tidak ada gunanya." katanya dengan nada tidak peduli."Kenapa?" pria yang di panggil Rey itu menatap Alessia kecewa. Tatapan sesak di kedua matanya begitu kentara, memenuhi wajahnya yang puas. "Kenapa kau tidak bisa melihatku sebagai pria, Ale? Aku mencintaimu, dan kau tahu itu. Lalu kenapa kau tidak berusaha melihat kearahku?" suara Rey kian merendah, lebih menyerupai bisikan.Sejenak, hening seakan bagaikan teman. Udara seakan berderak di sekitar mereka, m
BAB LIMA ~ I want you!"Dia tidak datang?" terselip nada geli dari suara Alby. Pria itu sudah memperhitungkan dengan baik dan tentu saja kemungkinan semacam ini sudah tidak lagi mengejutkannya.Jean mengangkat wajah, melirik jam yang melingkar di tangannya lalu menjawab lugas. "Sepertinya tidak, Sir."Alby mengendik acuh. Sangat tahu perempuan keras kepala seperti Alessia Mikhayla bukanlah sesuatu yang akan mudah menuruti perintahnya. Pihak perusahaan sudah menginformasikan padanya bahwa dia sudah bisa mulai bekerja tapi tanggapan perempuan itu di luar nalar.Alessia membalas pesan perusahaan, tapi bukan untuk mengucapkan terima kasih, yang ada hanyalah serentetan umpatan yang dia titipkan untuknya. Memang benar-benar sesuatu. Mengingat itu, Alby tidak bisa untuk menahan senyumnya.Bagaimana mungkin sebuah umpatan malah membuatnya begitu menarik perh
BAB ENAM ~ Chaos at the bar"Want, me?""You hear me well,"Senyum nakal Alessia tersungging begitu suara rendah Alby terdengar. Ia bergelayut manja di lengan Alby dengan satu tangannya yang lain mulai menyentuh dada bidangnya yang lebar, mengusapnya dengan lembut dan perlahan. Membelainya dengan gerakan menggoda."Memohonlah...."Sebelah alis Alby naik, menatapnya bertanya. "Sorry?"Alessia terkekeh merdu. Melepaskan lengan Alby darinya dan mulai berjalan menjauh dari kerumunan dengan langkah terseok. Kepalanya berdenyut, pusing memenuhi dirinya. Kemudian Alessia kembali ke kursi yang sempat di tempatinya beberapa saat yang lalu, melipat tangannya ke atas meja lalu menidurkan kepalanya di sana.Diam-diam, Alby membuntutinya. Ia duduk di samping Alessia dan berniat meraih perempuan itu lagi hingga Alessia ter
BAB TUJUH ~ I Got you "Akhirnya kau kembali," seruan Keira terdengar begitu Alessia memasuki ruang tamu. Lalu, seluruh pandangan tertuju padanya.Alessia hanya mengulas senyum tanpa mengatakan apa-apa. Semua ini terjadi sangat tiba-tiba hingga Alessia belum dapat mencerna dengan baik. Pagi yang buruk.Arabella mengambil satu langkah maju. Mengulurkan tangan ke depan—menyentil kening Alessia. "Kau berhasil, Ale. Kau sukses membuat kami kalang kabut mencarimu!" geramnya.Alessia meringis kesakitan. Mata birunya menatap jengkel Arabella dengan kening berkerut. "Aku baru pulang dan kau sudah menyiksaku?" ia mengusap-usap keningnya. "Babe, segala hal tidak semudah yang terpikirkan.""Memangnya apa yang kami pikirkan?" sahutan Velove membuat Alessia memutar bola matanya."Kita semua tahu cara menjaga di
BAB DELAPAN ~ NegotiationAlby berjalan dengan langkah panjang menyusuri koridor kantor. Aura kewibawaannya sangat jelas terpancar dari garis wajah tegasnya. Kuat dan memesona. Beberapa pegawai menunduk hormat ketika Alby melewatinya. Sementara Alby hanya menanggapinya dengan anggukan singkat. Tanpa kata."Bagaimana perkembangan yang kuminta selidiki?"Jean yang berjalan di belakang Alby sempat terdiam. "Masih sama. Bahkan untuk mengorek tentang keluarganya pun sulit dijangkau.""Aku sudah bilang tiga hari. Kau tahu apa artinya?""Maaf, Sir. Tetapi Nona memang bukan orang biasa. Hal terkecil darinya hanya berupa foto juga sertifikat kelulusannya saja. Kami sulit mengidentifikasinya.""Ck! Dia benar-benar, ya...."Alby memasuki ruang kerjanya sesaat Jean membuka pintu, berjalan anggun menuju kursi kerjan
BAB SEMBILAN Knick-knack Beberapa hari kemudian... Alessia menyibukkan diri dengan tumpukkan berkas-berkas yang sudah ia susun untuk mendapatkan tanda tangan Alby. Selama hampir tiga hari ia menjadi sekretaris pria itu, Alessia benar-benar disibukkan dengan berbagai hal yang sempat ditinggalkan sekretaris lama dan itu cukup membuatnya kerepotan. Untung saja Alby sedikit pengertian untuk tidak merecokinya, meski hanya dua hari. Karena sejak kemarin Alby sudah mengganggunya, mulai dari berdebat hal kecil, mengajaknya bertengkar hingga mengungkit hal-hal tidak berguna lainnya. Sangat kekanakan. "Nona Alessia, Mr. Stevano meminta Anda menunggunya di basemant." Alessia mengangkat wajah begitu suara Jean terdengar. Pria itu mengulas senyum simpul, merunduk hormat padanya. Hal yang sebenarnya sudah sering Alessia keluhkan. Mereka ini kan sama-sama pekerja, lalu mengapa Jean selalu saja memperlakukannya seolah dirinya ini wakil d
Aloha kesayangan-kesayangan Mom Girls Knight 👐Gimana kabarnya semua? Semoga kita semua dalam keadaan sehat, ya.Aku kembali dengan membawa sedikit penjelasan juga berita terkait My Fierce Secretary, nih.Berita singkat ini mungkin sudah ada yang tahu, ya.Bisa menebak?Yuks, siap-siap ter-Alby-alby dan ter-Ale-Ale!Iyups. Jawabannya sudah jelas tertulis di judul— bahwasanya My Fierce Secretary akan segera tersedia dalam versi cetak.Yey! Ada yang nunggu?Oke, aku jelasin sedikit ya. Awal tahun 2021 kemarin saya mengikuti kontes di gmg writers dan berhasil menang di kategori Best editor choice. Alhamdulillah.Lalu, ada beberapa pembaca nge-DM saya pribadi di instagram setelah saya meng-unpublish My Fierce Secretary.* Ada yang bertanya
BAB LIMA LIMA Extra part 1 Dua minggu berlalu dari acara lamaran Alby di Vienna. Setelah malam itu, esok harinya mereka kembali ke New York dan memberitahu semua keluarga mengenai lamaran yang Alby lakukan. Alessia pikir ketika Alby meminta untuk mereka segera pulang ke New York adalah untuk memamerkan status barunya. Tetapi tanpa di sangka mereka berdua di minta untuk segera melangsungkan pernikahan karena Shevana sudah mempersiapkan segalanya. Mulai dari undangan, dekorasi juga tempat yang sudah reservasi. Tinggal 30% lagi untuk menuju sempurna. Tetapi.. Alessia melupakan sesuatu. Alessia belum mengatakan apapun pada keluarganya, tetapi undangan sudah menyebar di mana-mana. "Bagus sekali." Michael menatap mereka berdua bergantian. "Kau menikahi putriku, tapi aku bahkan tidak tahu sama sekali mengenai ini." Alby terse
BAB LIMA LIMA~EpilogAlessia kira, mencoba baik-baik saja tanpa melibatkan Alby dalam hidupnya akan terasa sama saja seperti ketika belum bertemu dengan pria itu. Tetapi nyatanya lain, makin hari Alessia semakin merasakan kerinduan yang mendalam setiap kali mengingat wajah Alby, sikapnya yang menyebalkan bahkan dengan semua kisah mereka yang kerap kali bertengkar. Alessia merindukannya, sangat.Alessia tersenyum dalam diam. Lagi-lagi hanya dengan kembali mengingat Alby, kenangan yang lalu-lalu serasa berputar dalam ingatannya. Membuatnya semakin terjebak dengan perasaan rindunya yang belum tersampaikan. Alessia membenci perasaan ini, perasaan di mana dirinya harus menahan diri untuk mengalah pada egonya.Demi Tuhan.. Ingin rasanya Alessia memukul kepala Alby dengan keras. Beraninya dia membiarkan dirinya berlibur sendirian bahkan tidak menghubunginya sama sekali. Sebenarnya Alby benar-benar mencintainya seperti yang pria itu katakan atau malah dia
BAB LIMA EMPAT~She's my girl"Al.. Kau tidak ingin pulang?" tanya Elena memperhatikan Alby yang tengah serius dengan laptopnya. Elena mendengus panjang karena lagi-lagi dia di abaikan. Sudah dua hari Alby berdiam diri di kediaman Stevano sambil menatapi laptopnya terus-menerus. Entah apa yang sebenarnya pria itu lakukan.Elena lalu bangkit mendekati Alby dan berusaha mengintip layar laptopnya yang menyala, namun Alby lebih dulu menutupnya sambil menatap tajam Elena di sampingnya. "Berhenti mengusikku, Elena. Kau tidak akan suka kalau aku marah padamu."Elena mencebik malas, "Kau seperti pengangguran, Al. Diam di kamar dengan memainkan laptopmu. Apa kau sebegitu frustrasi memikirkan Alessia?" tanya Elena membuat Alby berdecak."Jangan sebut namanya. Lebih baik kau keluar, El." usir Alby yang tidak Elena hiraukan. Wanita itu malah bersandar padanya dan menarik paksa laptop Alby darinya. Ketika Elena berhasil melihat isi layar laptop Alby, Elena langsung ber
BAB LIMA TIGA~What is love is always fun?The Ritz-Carlton, Austria, Eropa. AT 06 : 35 PM.Alessia melemparkan dirinya ke atas ranjang. Menatap langit-langit kamar penginapannya yang akan ia tempati untuk satu minggu kedepan. Setelah menyetujui keinginan Alessia untuk berlibur, Michael lalu mengatur jadwal penerbangan Alessia pagi harinya ketika menyadari dalam beberapa hari salju pertama akan turun menyambut Natal dan tahun baru.Alessia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Ia lelah berusaha kuat menahan nyeri dalam hatinya menyadari Alby benar-benar memberi jarak antara mereka. Pria itu bahkan tidak menghubunginya sama sekali. Menyebalkan, tetapi Alessia juga sadar diri.Sejak semalam juga Zavier terus menerus menggodanya karena ia datang sendiri tanpa Alby dan meminta liburan secara dadakan. Alessia tentu tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Zavier padanya dan malah mengusirnya. Alessia bukan bermaksud menghindar dari masalah. Ia hanya
BAB LIMA DUA~Need a pauseUsai menghentikan perkelahian antara Alby dan Rey, kini Alessia ikut bergabung bersama mereka di sana. Suasana semakin terasa menyesakkan dengan beberapa pasang mata yang masih menatap Rey."Maaf.. Aku kemari bukan untuk membela Rey, tetapi aku merasa perlu memperbaiki ini juga." Alessia menghela napas panjang, "Rey, dia melakukan itu karenaku, sebab itu aku turut meminta maaf pada kalian terlebih, padamu Elena." ucap Alessia menatap mereka bergantian. Tampak gugup."Meski saya melakukannya karena Alessia, tapi Alessia tidak tahu apa-apa tentang ini. Ini murni kesalahanku." imbuh Rey membuat Alessia menatapnya lama.Senyum itu, Alessia akhirnya bisa melihat sedikit kemajuan pada diri Rey. Pria pertamanya sebelum akhirnya ia bertemu dengan Alby. Lalu, pandangan Alessia jatuh pada Emily yang berada di samping Rey, menatapnya dengan senyuman.Ah, bukan hanya perubahan sikap saja, ternyata Rey mulai bisa melihat ke arah Emily
BAB LIMA SATU~RecognitionAlessia duduk di kursi gereja sambil menutup matanya dan berdoa. Semua hal yang telah terjadi padanya, Alessia sebisa mungkin menerima kenyataan itu sebagai sebuah kisah perjalanan hidupnya yang penuh dengan ambisi. Alessia berharap setelah ini tidak akan ada lagi masalah berat yang mengharuskan orang lain mati karenanya lagi. Tidak Veron atau pun Vegan.Semoga kebahagiaan lekas menghamipirnya.Di lain tempat, Rey membulatkan tekad untuk memperbaiki kekacauan yang sempat ia perbuat. Selain pada Alessia dan juga Emily, Rey juga merasa ia perlu menemui seseorang lebih dulu.Rey sudah berjanji akan berubah menjadi lebih baik. Dengan bantuan Emily, perlahan keadaan juga perasaannya mulai membaik dan Rey sudah mulai menerima kenyataan bahwa yang Alessia inginkan bukanlah dirinya. Dan apa yang sempat Alessia katakan ketika itu memang benar.Ketika kau mencintai seseorang, seharusnya kau bisa menghargai pilihannya dan menurunkan
BAB LIMA PULUH Call me baby Alessia duduk lesehan di taman rumah sakit dengan Alby yang menidurkan kepalanya di pangkuan Alessia. Matahari sedang tenggelam, hingga langit di sana mulai berubah warna. Hangat, nyaman sekaligus menenangkan. Rasanya, sungguh menyenangkan. Apalagi saat ini mereka sedang bersantai ria. Menikmati kebersamaan setelah berhasil melewati badai yang cukup panjang, yang cukup menegangkan. Tanpa Alessia sadari, Alby sejak tadi terus menatapnya, mengagumi bagaiamana ketika ia memejamkan mata dan tenggelam dalam lamun nya sendiri. Alessia menikmati semua ini. Setelah smuayang terjadi dan serangakaian kejadian yang membawanya sampai di titik ini, Alessia merasa dia mulai menyadari penting hadirnya Alby do hidupnya. Lelaki yang bersedia turun tangan untuk meneyelamatkannya. Lelaki yang mau mengorbankan diri untuknya. Ah, ternyata rasanya di cintai semenyenangkan ini ya? Alessia baru paham dan sadar kalau itu indah. Kesunyian di
BAB EMPAT SEMBILAN~Better late than nothing at all"Dokter tidak mengizinkanku banyak bergerak, Ale. Aaa.." ucap Alby membuka mulutnya ketika Alessia menyuruhnya makan. Melihat sikap Alby yang manja, membuat Alessia mendengus geli sebelum mneyendokkan makanan ke arahnya."Yang sakit perutmu, tapi kau seolah sakit seluruh badan saja." balas Alessia mencibir. Kembali menyuapi Alby yang dengan senang hati menerima suapannya."Aku Ingin pulang, bagaimana kalau kita kembali ke New York nanti malam?"Alessia tidak menjawab dan malah memanggil perawat, Alby lalu menutup bibir Alessia dengan tangan besarnya sambil tersenyum. "Kau ini.. Seharusnya kau mendukungku, Darling.""Makan saja minta di suapi, sok-sok'an ingin kabur. Istirahat yang benar, setelah pulih baru kita pulang." balas Alessia membereskan peralatan makan Alby ketika makanannya sudah habis.Alby dengan tiba-tiba meraih tangan Alessia hingga jatuh di kasurnya. Meletakkan kepalanya di pu