BAB TUJUH ~ I Got you
"Akhirnya kau kembali," seruan Keira terdengar begitu Alessia memasuki ruang tamu. Lalu, seluruh pandangan tertuju padanya.
Alessia hanya mengulas senyum tanpa mengatakan apa-apa. Semua ini terjadi sangat tiba-tiba hingga Alessia belum dapat mencerna dengan baik. Pagi yang buruk.
Arabella mengambil satu langkah maju. Mengulurkan tangan ke depan—menyentil kening Alessia. "Kau berhasil, Ale. Kau sukses membuat kami kalang kabut mencarimu!" geramnya.
Alessia meringis kesakitan. Mata birunya menatap jengkel Arabella dengan kening berkerut. "Aku baru pulang dan kau sudah menyiksaku?" ia mengusap-usap keningnya. "Babe, segala hal tidak semudah yang terpikirkan."
"Memangnya apa yang kami pikirkan?" sahutan Velove membuat Alessia memutar bola matanya.
"Kita semua tahu cara menjaga diri sendiri. Kalian tidak ingat? Sudah sejak kecil, apa itu masih membuat kalian meragukanku?"
"Kami meragukan mereka. Bukan dirimu." timpal Arabella serius.
Anggukan malas lengkap dengan embusan napas lelah memenuhi wajahnya. Alessia tahu, sangat tahu kekhawatiran mereka dari banyaknya pengalaman Arabella. Tapi tetap saja, Alessia tidak suka diragukan seperti ini. "See? Kalian bisa melihatnya sendiri, aku masih baik-baik saja." katanya berniat pergi tapi pertanyaan Velove setelahnya menghentikanya.
"Kalau begitu jelaskan. Darimana saja kau semalaman? Apa kau sendirian? Dan juga...." pandangan menilai tampak jelas begitu Velove meneliti gaun yang dipakai Alessia. "Pakaianmu?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat.
Velove menyilangkan kedua tangan ke depan. Mengamatinya lekat-lekat hingga membuat Alessia tidak nyaman.
"Apalagi setelah melacakmu, kami menemukan lokasimu masih di sekitar kelab tapi kami tidak dapat menemukanmu." tambah Keira.
Alessia terdiam sejenak, tatapan Velove sekaligus penjelasan Keira benar-benar mengintimidasinya. Membuatnya resah di tempat. Ugh, oh ... Alessia harus memulai dari mana?
Butuh beberapa detik sebelum Alessia menjawab. "Pertama, aku menyewa kamar. Kedua, ya, aku sendirian. Ketiga, aku meminta Merry untuk membelikanku pakaian baru. Gaunku terkena bir semalam." bohongnya.
Keheningan merebak di antara mereka begitu tiga pasang mata di sana menyipitkan mata, menatapnya curiga.
"Ale...." panggil Velove.
"Aku serius. Lihatlah, tidak ada yang berbeda dariku, bukan?"
Alessia hanya asal mengatakan ini. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan apa yang sempat dikatakannya apalagi ketika dia pergi pagi ini tanpa sempat bercermin. Ditambah lagi dia tidak mengingat apa pun yang terjadi kemarin, Alessia merasa was-was juga kalau-kalau ada sesuatu yang membuatnya terlihat berbeda.
Karenanya Alessia memilih pergi—melewati mereka begitu saja tanpa memedulikan tatapan tajam Velove.
Helaan napas lega mengangkat sedikit beban di pundak Alessia begitu beberapa saat setelahnya mereka kembali berlalu ke ruang tengah, menikmati waktu santai mereka di depan televisi. Diam-diam Alessia menggumam syukur dalam hati. Karena kalau mereka tahu yang sebenarnya terjadi bukan suatu rahasia mereka akan membuat perhitungan dan namanya akan terangkat ke permukaan. Alessia sebisa mungkin menghindari segala yang terburuk dari yang terbaik mengingat peliknya kehidupannya.
Alessia membuka lemari pendingin, meraih sebotol air mineral lalu menenggaknya hingga setengah.
Sungguh ... Velove lebih menakutkan dari sosok ibunya. Ketegasanya kerap kali membuat Alessia kesulitan. Alessia menyukai kebebasan begitu pun Arabella, namun sayangnya Velove sedari dulu tidak pernah mengizinkan mereka bergaul secara bebas meski mereka tinggal di kota besar yang penuh dengan kebebasan.
"Ale...." panggilan Arabella membuat Alessia melonjak di tempat.
"Kau mengejutkanku, Ara!" protesnya.
Hening. Arabella diam saja sambil memperhatikannya dengan tatapan menilai—keseriusan sangat terpancar jelas dari garis wajahnya. Membuat Alessia mengernyitkan dahinya. "Apa yang kau lihat?"
"Pakaianmu."
Alessia mengangkat satu alisnya, tersenyum santai. "Ada yang salah dengan pakaianku?" tanyanya seraya kembali menenggak isi botolnya.
"Bukan," Arabella menatapnya serius. "Maksudku, parfum yang menempel di tubuhmu. Milik siapa?"
Seketika Alessia tersedak minumannya. Ia terbatuk, menepuki dadanya sendiri sambil berusaha menghindari tatapan Arabella. Sialan! Bagaimana dia tahu?
Arabella mendengus, melipat tangannya ke depan. "Kau mengenalku berapa tahun? Satu? Atau, mungkin ... dua?"
"Mana mungkin. Kita bahkan nyaris bersama sepanjang hidup." selanya yang kemudian Alessia merutuki jawaban cepatnya begitu melihat tatapan sinis Arabella yang tertuju padanya.
"Lalu kenapa kau berbohong? Membohongi kami?"
Alessia mengulum bibir, tampak gelisah. "Sebenarnya apa yang kau bicarakan, Ara? Aku tidak mengerti." elaknya.
Kecemasan menenggelamkan Alessia. Dari nada suara Arabella ia yakin perempuan itu pasti tahu. Seharusnya—seharusnya tidak begini, kan? Bagaimana dia akan memulai?
"Kau tidak sebodoh itu, Ale. Aku kerap bergonta-ganti pria. Wewangian dari tubuhmu jelas sudah menjawab semuanya. Kau mengerti sekarang?"
Yeah, Alessia melupakan satu hal. Ketika terbangun, pria gila itu memeluknya, sudah di pastikan wangi tubuhnya menempel pada Alessia. Sialnya lagi, Alessia tidak mandi, hanya mengganti pakaiannya lalu pergi. Jelas Arabella menodongnya, meminta penjelasan.
Alessia bersandar pada pintu lemari pendingin sementara tangannya sibuk memainkan tutup botolnya. Kalau sudah kepalang basah seperti ini, dia sudah tidak bisa mengelak lagi. Hingga beberapa lama setelahnya barulah ia menjawab.
"Ya. Aku berbohong pada kalian." Alessia membenarkan kecurigaan Arabella. "Aku tidak tahu, bahkan untuk mengingatnya saja aku tidak bisa. Lalu, apa yang harus kukatakan?"
Satu alis Arabella naik. "Kau tidak mengingatnya?"
Alessia menggeleng lemah dengan wajah tertunduk. Andai dia mengingat pastilah ia tidak akan secemas ini. Begitu dia bangun, dia sudah ada dalam pelukan Alby, melingsek ke dadanya dengan hanya mengenakan dalaman saja. Ia bahkan tidak ingat apa yang terjadi pada gaunnya.
Kemudian Arabella menarik napas tajam, menatap Alessia lama. "Kau...."
Alessia mengangkat wajah begitu ucapan Arabella menggantung di udara. Terdengar ragu-ragu lengkap dengan tatapan beragam di matanya. Antara penasaran dan mencoba mengerti.
"Lupakan. Kita sudah sama dewasanya. Kami tidak akan ikut campur mengenai kehidupan pribadimu, tapi kau tetap harus ingat untuk tidak sembarang menaruh kepercayaan. Mengerti?"
Seulas senyum memghiasi wajah Alessia—ia mengangkat sebelah tangan hormat lalu menjawab, "aye-aye kapten."
Arabella hanya menggeleng pelan, balas mengulas senyum pengertian layaknya seorang ibu yang memergoki putrinya mencuri sepotong kue. Dia baru saja berniat pergi sebelum panggilan Alessia membuatnya berhenti.
"I believe in you, Ara."
"Don't trust anyone in this world, Ale."
Jangan percaya siapa pun, huh? Alessia tahu kiasan itu tapi tetap saja, saat ini apa yang bisa dia lakukan selain bersikap tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa padanya? Jawabannya tidak ada.
Waktu dengan cepat berlalu. Alessia dan yang lain masih bersantai ria di depan televisi. Siaran berita masih memenuhi mereka, kegiatan membosankan Velove dan Keira yang sampai saat ini sering Alessia keluhkan. Mereka itu perempuan, bisakah mereka membaca majalah fashion atau minimal menonton drama? Tapi pilihan mereka masih tetap berita.
Jemari Alessia tengah membolak-balikan lembaran majalah fashion di tangannya. Ia berselonjor ria di sofa panjang ruang tamu sambil sesekali menyesap susu hangat buatan Arabella begitu dia selesai mandi. Tatapannya tampak santai, namun tidak dengan matanya.
Manik birunya menatap liar lembaran demi lembaran yang ia buka—meneliti, menghitung secara spontan dalam kepala, menerawang penuh pertimbangan. Tabungannya mulai menipis, tapi melihat berbagai tas dan sepatu baru membuatnya tidak bisa tinggal diam.
Alessia itu ratunya berburu barang terbaru. Dia akan membeli semahal apa pun barang tersebut meski dia tidak tahu akan ia gunakan ke mana, sebagai apa. Yang terpenting baginya adalah barang itu lucu, bermerk dan pastinya unik.
"Lupakan bulan ini, Ale. Kau sudah miskin sekarang." Alessia mencebik mendengar suara sirat ejekan Keira terdengar di belakangnya. Perempuan itu baru saja mengambil minum dari dapur dengan sedikit mengintip ke arahnya. "Lagipula tasmu sudah banyak," katanya mengingatkan.
"Lebih dari banyak," Arabella mengangguk setuju. "Tabungannya menipis dan dia bahkan menolak Stevano. Sombong sekali, bukan?" tambah Arabella dari ujung sofa, menatap Alessia remeh sambil merapikan cat kukunya.
"Kau harus berhemat, Ale. Setidaknya, sebelum kau mendapat pekerjaan baru." ucap Velove mengingatkan. Sebelah tangannya meraih gelas susu Alessia lalu meminumnya sejenak. Kalau sudah memasuki ceramah begini, mereka bisa tiba-tiba menjadi sekutu, memojokkan dirinya seakan dia anak kecil yang bebal.
Alessia mengendik acuh, masih setia memperhatikan gambar-gambar dari lembaran majalahnya. "Aku sudah berhemat lebih dari dua minggu, Vee. Setidak-tidaknya, aku perlu membeli satu bulan ini." rengeknya.
"Untuk apa? Chanel merah, Zara hitam dan YSL navymu saja belum kau pakai. Gunakan saja itu dulu."
"Itu sudah kupajang di rak," Alessia mencebik, bibirnya mengerucut sebal.
Gelengan tidak habis pikir mereka memenuhi ruangan. "Kau tidak punya pilihan, Ale." kata Velove sebelum kembali mengalihkan perhatiannya pada layar televisi.
Tak berapa lama Alessia menutup majalahnya. Ia pindah ke samping Arabella, meminta untuk di pakaikan kutek yang di balas cebikan malasnya, tapi Arabella tetap meraih jemari Alessia dan mulai memolesnya. "Well, mengapa paman tidak memberi kita pekerjaan?" Suara Alessia sempat mendapat lirikan Velove. "Setidaknya aku tidak menganggur hingga miskin seperti sekarang."
"Kau tidak ingat? Musuh masih berusaha mencari kita, Ale. Kita tidak ada yang tahu kekuatan macam apa yang dia bangun setelah kita menghancurkannya. Jangan berpikir sempit. Ayah hanya sedang menyetabilkan keadaan, bukan memblacklist kita." Keira menyahut tanpa mengalihkan pandangannya, tampak serius mendengarkan berita sementara dia sibuk berkutat dengan ponselnya.
Velove mengangguk membenarkan. "Yang dikatakan Keira benar. Beberapa bandit kelompok itu masih merajalela. Mereka bisa dengan mudah mendapatkan kita jika masih aktif dalam agensi apalagi terakhir kali wajah kita hampir ketahuan."
Kekehan geli Arabella mengudara. Ia menutup tutup cat kukunya begitu selesai dengan kuku-kuku Alessia. "Setidaknya aku masih dapat menghasilkan uang." katanya bangga.
Memang di antara mereka Arabella-lah yang sudah berhasil mendirikan butiknya sendiri. Tidak sepenuhnya, karena orangtuanya masih membantu menopangnya. Namun, tetap saja Arabella masih mampu menghasilkan uang meski mereka diliburkan sementara.
Sedangkan Alessia hanya mendengus tanpa menanggapi. Sebelah alisnya naik begitu Keira meletakkan ponselnya ke atas meja—memperlihatkan beberapa titik merah dalam sebuah grafis putus-putus yang memenuhi layar.
"Siapa?" pertanyaan Velove mewakilkan rasa penasaran yang lain.
Keira menarik layar, memperbesar tampilan hingga beberapa wajah asing memenuhi layar lengkap dengan data diri. "Tikus-tikus Lau."
Arabella menyipitkan mata, menatapnya bertanya. "Lau? Untuk apa kau melacak pak tua itu?"
Keira mengendik, menggeser layar ponselnya yang memperlihatkan pergerakan dari titik warna merah itu bergeser posisi, berhenti beberapa kilometer dari tempat mereka. Kening Alessia makin berkerut dalam.
"Apa dia—"
"Ya. Dia memantaumu. Bahkan grafik menunjukkan sudah dari lama dia mengirim orang untuk mengikutimu." sela Keira membenarkan.
Alessia merapatkan bibir. Untuk apa? Pertanyaan itu hanya tertelan di benaknya. Ia masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya pria tua itu lakukan hingga sejauh ini. Alessia tidak tahu harus menanggapi bagaimana, karena sejujurnya dia malas berurusan lagi dengannya. Ia menarik napas tajam, mengembuskan napasnya perlahan tanpa berkomentar.
"Ale...." panggil Velove.
"Tidak, Vee. Kau mengenalku dengan baik."
"Tapi, Ale...."
"Sekali pun kau menanyakan hal sama berpuluh kali, keputusanku masih sama."
***
Cling...
Sebuah notif pop-up muncul dari layar ponsel Alessia, memberitahukan pesan masuk baru. Alessia yang masih setengah sadar meraba kasurnya, mencari-cari ponselnya tapi tidak menemukannya di mana pun. Jemarinya masih menelusur, meraba bawah bantal dan begitu dia mendapat benda pipih itu Alessia membukanya.
Silau. Matanya menyipit kala sinar ponselnya menyala, menyinari sebagian wajahnya yang tidak tertutup selimut.
Nomor baru. Alessia baru saja berniat mengabaikannya sebelum kemudian sebuah pesan baru kembali masuk. Sekarang berupa file gambar. Merasa penasaran Alessia pun mulai membukanya dan didetik berikutnya ia melotot, kesadaran penuh menyentaknya dari awang-awang begitu melihat apa yang terpampang dari layar ponselnya.
Tidak mungkin...
Bagaimana bisa ada foto dirinya bersama dengan seorang pria dan yang lebih mengejutkannya adalah sosok pria yang tertidur disampingnya itu adalah Albyazka Stevano.
Astaga ... Ini gila!
Nyaris, hampir saja Alessia membanting ponselnya ketika sebuah panggilan masuk lebih dulu membuatnya berhenti.
"Aku akan membunuhmu, Stevano!" sembur Alessia tanpa sapaan bahkan tanpa basa-basi begitu panggilan terhubung.
Jauh di ujung sana tawa menyebalkan Alby terdengar jelas, berdengung di telinganya. Sialan! Mengapa sejak awal tidak pernah ada kata damai untuk mereka? Sesuatu yang berkaitan dengan Alby seakan membuat Alessia terus menerus kesal, entah itu sikap, tawa atau bahkan tingkah menyebalkan pria itu. Ingin rasanya Alessia memukul kepala pria itu dengan high heelsnya. Menyebalkan!
"Calm down, Darling. Rileks...." Alby memberi jeda yang Alessia yakini pria itu pasti tengah tersenyum mengejeknya. "Aku hanya mengabadikan moment tak terlupakan untukku, atau mungkin ... Untukmu juga,"
"Apa kau sedang tidur sambil berjalan? Aku sudah lupa. Bahkan tidak mengingatnya sama sekali." gerutunya jengkel.
"Benarkah? Sayang sekali, mengapa hanya aku yang mengingatnya? Padahal—"
"Stop, it! Katakan apa maumu. Setelah itu musnahkan gambar sialan itu." Alessia menyela tidak sabaran. Kesabarannya sudah di ujung tanduk.
"Aku mana mungkin memusnahkannya begitu saja? Terlebih, itu perintahmu."
"Lalu apa maumu, Bedebah!" geram Alessia kepalang kesal.
Tawa menyebalkan itu Alby lagi-lagi memenuhi telinga Alessia. Suara pria itu terdengar geli, tampak menikmati permainan yang ia buat. "Mudah saja. Jadilah sekertarisku, aku janji akan memusnahkannya."
"Tidak mau!"
"Alright ... Dua jam." Alby memberi jeda, nada suaranya berat—tampak menantikan. "Aku penasaran bagaimana respon dari teman-temanmu melihat foto kita. Menurutmu, mereka akan melakukan apa?" tanyanya dengan suara ditarik-tarik.
Sialan!
"Bedebah! Lupakan saja, tetaplah di sana!!"
Segera, setelah Alessia memutuskan panggilan sepihaknya ia bergegas bersiap lengkap dengan serentetan umpatan yang masih di tujukan untuk Alby.
Sementara itu...
Alby mengulas seringai menyebalkannya, menatap foto dirinya juga Alessia semalam dengan tatapan penuh kemenangan.
"I got you, Darling."
BAB DELAPAN ~ NegotiationAlby berjalan dengan langkah panjang menyusuri koridor kantor. Aura kewibawaannya sangat jelas terpancar dari garis wajah tegasnya. Kuat dan memesona. Beberapa pegawai menunduk hormat ketika Alby melewatinya. Sementara Alby hanya menanggapinya dengan anggukan singkat. Tanpa kata."Bagaimana perkembangan yang kuminta selidiki?"Jean yang berjalan di belakang Alby sempat terdiam. "Masih sama. Bahkan untuk mengorek tentang keluarganya pun sulit dijangkau.""Aku sudah bilang tiga hari. Kau tahu apa artinya?""Maaf, Sir. Tetapi Nona memang bukan orang biasa. Hal terkecil darinya hanya berupa foto juga sertifikat kelulusannya saja. Kami sulit mengidentifikasinya.""Ck! Dia benar-benar, ya...."Alby memasuki ruang kerjanya sesaat Jean membuka pintu, berjalan anggun menuju kursi kerjan
BAB SEMBILAN Knick-knack Beberapa hari kemudian... Alessia menyibukkan diri dengan tumpukkan berkas-berkas yang sudah ia susun untuk mendapatkan tanda tangan Alby. Selama hampir tiga hari ia menjadi sekretaris pria itu, Alessia benar-benar disibukkan dengan berbagai hal yang sempat ditinggalkan sekretaris lama dan itu cukup membuatnya kerepotan. Untung saja Alby sedikit pengertian untuk tidak merecokinya, meski hanya dua hari. Karena sejak kemarin Alby sudah mengganggunya, mulai dari berdebat hal kecil, mengajaknya bertengkar hingga mengungkit hal-hal tidak berguna lainnya. Sangat kekanakan. "Nona Alessia, Mr. Stevano meminta Anda menunggunya di basemant." Alessia mengangkat wajah begitu suara Jean terdengar. Pria itu mengulas senyum simpul, merunduk hormat padanya. Hal yang sebenarnya sudah sering Alessia keluhkan. Mereka ini kan sama-sama pekerja, lalu mengapa Jean selalu saja memperlakukannya seolah dirinya ini wakil d
BAB SEPULUH ~ ScandalMengejutkan! Albyazka Stevano tertangkap kamera berciuman dengan seorang wanita, yang sepertinya adalah kekasih yang selama ini dia sembunyikan.Berita menghebohkan datang dari pewaris Stevano internasional yang sekaligus menjadi sanggahan atas ketidaktarikannya terhadap wanita.Dilansir oleh florenzie media, Albyazka Stevano terlihat sedang mencium seorang wanita yang diduga merupakan kekasih yang selama ini disembunyikan. Seperti yang diketahui, publik selama ini dibuat bertanya-tanya mengenai kebenaran yang mengatakan bahwa dia seorang gay. Namun siang ini, salah satu Paparazi memergoki dirinya bersama seorang wanita. Potret dirinya dengan sang kekasih sekaligus menjawab opini-opini tidak benar yang menjadi simpang-siur dikalangan masyarakat.Setelah beberapa pekan Stevano menjadi tranding topic mengenai pesatnya S. Evael center yang baru-baru ini menjadikannya pr
BAB SEBELAS ~ Fierce Secretary?Stevano mansion, NYC, USA | 08:41 AMDi dalam sebuah kamar Alby tengah memperhatikan Alessia yang kini meringkuk di bawah selimut. Perempuan itu sama sekali tidak terganggu meski sudah berulang kali Alby mengusilinya. Senyum geli Alby memenuhi wajahnya, tersenyum tidak habis pikir.Mengapa menonton orang tidur tiba-tiba saja menjadi hal yang begitu menyenangkan?Dari beberapa keterangan yang Alby baca, Alessia adalah ratunya tidur. Sebelum ini dia hampir tidak percaya kalau data itu benar tapi begitu melihat sendiri dengan mata kepalanya kini Alby membenarkan keterangan itu. Katanya, selama tidak terkena cahaya dan berada di ruangan terbuka atau berada dalam kebisingan, selama itupula Alessia akan betah tidur dan terlelap layaknya orang mati. Begitu tenang dan damai.Tapi, semua itu bisa menjadi berkebalikan jikalau dia terb
BAB DUABELAS Why? Masih menjadi perbincangan, kekasih putra pertama keluarga Stevano ternyata merupakan sekertarisnya sendiri. Selain parasnya yang menawan juga kepintarannya, nama Alessia Mikhayla turut menjadi bahasan hangat mengenai statusnya yang tidak diketahui. Tidak banyak artikel yang memuat tentang dirinya juga kehidupan pri— sialan! Alessia mematikan radio dalam mobil ketika berita tentangnya masih tersiar dan menjadi sorotan publik. Belum lagi namanya yang turut dikenal banyak orang membuat ruang gerak Alessia semakin menipis. Dulunya, orang-orang yang tidak pernah memperhatikannya kini mendadak menjadi lebih perhatian. Mencari, menelusuri lama pencarian bahkan terang-terangan menggosip mengenai dirinya. Kehidupan yang seperti ini bukanlah yang Alessia inginkan. Dia tidak suka menjadi pusat perhatian tetapi sekarang semua orang tengah gencar-gencarhya menaruh minat lebih mengenai berita sialan itu. Alessia mengepalkan kedua tangannya
BAB TIGABELAS ~I care you"Katakan,"Seruan Alby lantas membuat Jean sejanak menatapnya. "Direktur Lau group menunjuk nona Alessia menangani rancangan proyek kerjasama di Barcelona, Sir."Seketika Alby mengangkat wajah, menaikkan satu alisnya. "Alessia?" tanyanya memastikan.Jean mengangguk singkat. "Mr. Zavier Lau sendiri yang meminta untuk ini, Sir."Zavier lau...Alby mengulas senyum penuh arti tapi memilih untuk tidak berkomentar. "Bagaimana dengan Michael Lau?""Sejauh ini beliau belum mengatakan apa-apa. Kemungkinan besar Mr. Michael menyetujui karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa Mr. Zavier belum sepenuhnya lepas dari pemantauan ayahnya. Beliau mungkin akan angkat bicara kalau dia tidak setuju."Benar juga. Mereka bekerja sama sudah lebih dari lima tahun dan sel
BAB EMPATBELAS The intruder Keesokan harinya... Alessia bergerak malas di atas ranjang Queen sizenya—meraba-raba ponsel yang sedari tadi tidak berhenti berdering. Sial! Ini hari liburnya, siapa yang pagi-pagi mengganggu hari baiknya ini? Mata Alessia menyipit ketika layar ponselnya menyala, cahaya lembut itu menerpa wajahnya. Ia mengerjap pelan sambil menguap malas. Emily is calling... "Morning, Dokter cantik." sapa Alessia begitu panggilan terhubung. Menggulingkan tubuhnya ke samping seraya kembali menarik selimut dengan mata terpejam. Indahnya hari libur adalah ketika bisa bangun siang. Itu nikmat luar biasa bagi Alessia yang sudah terkenal dengan gelar ratu tidurnya. Terdengar suara dengusan geli di ujung sana sebelum suara Emily menjawab. "Siang, Ale. Kau tidak melihat pukul berapa sekarang, huh?" tanyanya dengan nada humor. Alessia membuka matanya malas, melirik jam weker di atas nakas kemudian tergelak. "O
BAB LIMABELAS~Only have one woman"Ale...."Alessia mendiamkannya."Kau marah lagi?"Tidak ada sahutan. Geram dengan sikap Alessia yang terus diam, kemudian Alby bergerak turun dan bergabung dengan Alessia di atas karpet bulu. Duduk lebih dekat ke samping Alessia yang kini tengah memakai kutek di kuku kakinya. Tampak lebih diam dan tenang, seolah menganggap Alby tidak ada.Sejak Alby mengatakan hal yang mampu membuat Alessia berdiam di dalam kamar mandi hampir dua jam lamanya, begitu Alessia keluar hingga sampai sekarang ini perempuan itu masih mendiamkannya. Mengabaikan segala ocehan Alby bahkan, Alessia hanya bergeser duduk ketika Alby mengusilinya. Tanpa kata. Tanpa perdebatan juga tanpa ocehan seperti yang sudah-sudah.Melihat Alessia berbalik membelakanginya, lantas Alby melingkarkan lengan ke pinggang Alessia, mengunci agar
Aloha kesayangan-kesayangan Mom Girls Knight 👐Gimana kabarnya semua? Semoga kita semua dalam keadaan sehat, ya.Aku kembali dengan membawa sedikit penjelasan juga berita terkait My Fierce Secretary, nih.Berita singkat ini mungkin sudah ada yang tahu, ya.Bisa menebak?Yuks, siap-siap ter-Alby-alby dan ter-Ale-Ale!Iyups. Jawabannya sudah jelas tertulis di judul— bahwasanya My Fierce Secretary akan segera tersedia dalam versi cetak.Yey! Ada yang nunggu?Oke, aku jelasin sedikit ya. Awal tahun 2021 kemarin saya mengikuti kontes di gmg writers dan berhasil menang di kategori Best editor choice. Alhamdulillah.Lalu, ada beberapa pembaca nge-DM saya pribadi di instagram setelah saya meng-unpublish My Fierce Secretary.* Ada yang bertanya
BAB LIMA LIMA Extra part 1 Dua minggu berlalu dari acara lamaran Alby di Vienna. Setelah malam itu, esok harinya mereka kembali ke New York dan memberitahu semua keluarga mengenai lamaran yang Alby lakukan. Alessia pikir ketika Alby meminta untuk mereka segera pulang ke New York adalah untuk memamerkan status barunya. Tetapi tanpa di sangka mereka berdua di minta untuk segera melangsungkan pernikahan karena Shevana sudah mempersiapkan segalanya. Mulai dari undangan, dekorasi juga tempat yang sudah reservasi. Tinggal 30% lagi untuk menuju sempurna. Tetapi.. Alessia melupakan sesuatu. Alessia belum mengatakan apapun pada keluarganya, tetapi undangan sudah menyebar di mana-mana. "Bagus sekali." Michael menatap mereka berdua bergantian. "Kau menikahi putriku, tapi aku bahkan tidak tahu sama sekali mengenai ini." Alby terse
BAB LIMA LIMA~EpilogAlessia kira, mencoba baik-baik saja tanpa melibatkan Alby dalam hidupnya akan terasa sama saja seperti ketika belum bertemu dengan pria itu. Tetapi nyatanya lain, makin hari Alessia semakin merasakan kerinduan yang mendalam setiap kali mengingat wajah Alby, sikapnya yang menyebalkan bahkan dengan semua kisah mereka yang kerap kali bertengkar. Alessia merindukannya, sangat.Alessia tersenyum dalam diam. Lagi-lagi hanya dengan kembali mengingat Alby, kenangan yang lalu-lalu serasa berputar dalam ingatannya. Membuatnya semakin terjebak dengan perasaan rindunya yang belum tersampaikan. Alessia membenci perasaan ini, perasaan di mana dirinya harus menahan diri untuk mengalah pada egonya.Demi Tuhan.. Ingin rasanya Alessia memukul kepala Alby dengan keras. Beraninya dia membiarkan dirinya berlibur sendirian bahkan tidak menghubunginya sama sekali. Sebenarnya Alby benar-benar mencintainya seperti yang pria itu katakan atau malah dia
BAB LIMA EMPAT~She's my girl"Al.. Kau tidak ingin pulang?" tanya Elena memperhatikan Alby yang tengah serius dengan laptopnya. Elena mendengus panjang karena lagi-lagi dia di abaikan. Sudah dua hari Alby berdiam diri di kediaman Stevano sambil menatapi laptopnya terus-menerus. Entah apa yang sebenarnya pria itu lakukan.Elena lalu bangkit mendekati Alby dan berusaha mengintip layar laptopnya yang menyala, namun Alby lebih dulu menutupnya sambil menatap tajam Elena di sampingnya. "Berhenti mengusikku, Elena. Kau tidak akan suka kalau aku marah padamu."Elena mencebik malas, "Kau seperti pengangguran, Al. Diam di kamar dengan memainkan laptopmu. Apa kau sebegitu frustrasi memikirkan Alessia?" tanya Elena membuat Alby berdecak."Jangan sebut namanya. Lebih baik kau keluar, El." usir Alby yang tidak Elena hiraukan. Wanita itu malah bersandar padanya dan menarik paksa laptop Alby darinya. Ketika Elena berhasil melihat isi layar laptop Alby, Elena langsung ber
BAB LIMA TIGA~What is love is always fun?The Ritz-Carlton, Austria, Eropa. AT 06 : 35 PM.Alessia melemparkan dirinya ke atas ranjang. Menatap langit-langit kamar penginapannya yang akan ia tempati untuk satu minggu kedepan. Setelah menyetujui keinginan Alessia untuk berlibur, Michael lalu mengatur jadwal penerbangan Alessia pagi harinya ketika menyadari dalam beberapa hari salju pertama akan turun menyambut Natal dan tahun baru.Alessia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Ia lelah berusaha kuat menahan nyeri dalam hatinya menyadari Alby benar-benar memberi jarak antara mereka. Pria itu bahkan tidak menghubunginya sama sekali. Menyebalkan, tetapi Alessia juga sadar diri.Sejak semalam juga Zavier terus menerus menggodanya karena ia datang sendiri tanpa Alby dan meminta liburan secara dadakan. Alessia tentu tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Zavier padanya dan malah mengusirnya. Alessia bukan bermaksud menghindar dari masalah. Ia hanya
BAB LIMA DUA~Need a pauseUsai menghentikan perkelahian antara Alby dan Rey, kini Alessia ikut bergabung bersama mereka di sana. Suasana semakin terasa menyesakkan dengan beberapa pasang mata yang masih menatap Rey."Maaf.. Aku kemari bukan untuk membela Rey, tetapi aku merasa perlu memperbaiki ini juga." Alessia menghela napas panjang, "Rey, dia melakukan itu karenaku, sebab itu aku turut meminta maaf pada kalian terlebih, padamu Elena." ucap Alessia menatap mereka bergantian. Tampak gugup."Meski saya melakukannya karena Alessia, tapi Alessia tidak tahu apa-apa tentang ini. Ini murni kesalahanku." imbuh Rey membuat Alessia menatapnya lama.Senyum itu, Alessia akhirnya bisa melihat sedikit kemajuan pada diri Rey. Pria pertamanya sebelum akhirnya ia bertemu dengan Alby. Lalu, pandangan Alessia jatuh pada Emily yang berada di samping Rey, menatapnya dengan senyuman.Ah, bukan hanya perubahan sikap saja, ternyata Rey mulai bisa melihat ke arah Emily
BAB LIMA SATU~RecognitionAlessia duduk di kursi gereja sambil menutup matanya dan berdoa. Semua hal yang telah terjadi padanya, Alessia sebisa mungkin menerima kenyataan itu sebagai sebuah kisah perjalanan hidupnya yang penuh dengan ambisi. Alessia berharap setelah ini tidak akan ada lagi masalah berat yang mengharuskan orang lain mati karenanya lagi. Tidak Veron atau pun Vegan.Semoga kebahagiaan lekas menghamipirnya.Di lain tempat, Rey membulatkan tekad untuk memperbaiki kekacauan yang sempat ia perbuat. Selain pada Alessia dan juga Emily, Rey juga merasa ia perlu menemui seseorang lebih dulu.Rey sudah berjanji akan berubah menjadi lebih baik. Dengan bantuan Emily, perlahan keadaan juga perasaannya mulai membaik dan Rey sudah mulai menerima kenyataan bahwa yang Alessia inginkan bukanlah dirinya. Dan apa yang sempat Alessia katakan ketika itu memang benar.Ketika kau mencintai seseorang, seharusnya kau bisa menghargai pilihannya dan menurunkan
BAB LIMA PULUH Call me baby Alessia duduk lesehan di taman rumah sakit dengan Alby yang menidurkan kepalanya di pangkuan Alessia. Matahari sedang tenggelam, hingga langit di sana mulai berubah warna. Hangat, nyaman sekaligus menenangkan. Rasanya, sungguh menyenangkan. Apalagi saat ini mereka sedang bersantai ria. Menikmati kebersamaan setelah berhasil melewati badai yang cukup panjang, yang cukup menegangkan. Tanpa Alessia sadari, Alby sejak tadi terus menatapnya, mengagumi bagaiamana ketika ia memejamkan mata dan tenggelam dalam lamun nya sendiri. Alessia menikmati semua ini. Setelah smuayang terjadi dan serangakaian kejadian yang membawanya sampai di titik ini, Alessia merasa dia mulai menyadari penting hadirnya Alby do hidupnya. Lelaki yang bersedia turun tangan untuk meneyelamatkannya. Lelaki yang mau mengorbankan diri untuknya. Ah, ternyata rasanya di cintai semenyenangkan ini ya? Alessia baru paham dan sadar kalau itu indah. Kesunyian di
BAB EMPAT SEMBILAN~Better late than nothing at all"Dokter tidak mengizinkanku banyak bergerak, Ale. Aaa.." ucap Alby membuka mulutnya ketika Alessia menyuruhnya makan. Melihat sikap Alby yang manja, membuat Alessia mendengus geli sebelum mneyendokkan makanan ke arahnya."Yang sakit perutmu, tapi kau seolah sakit seluruh badan saja." balas Alessia mencibir. Kembali menyuapi Alby yang dengan senang hati menerima suapannya."Aku Ingin pulang, bagaimana kalau kita kembali ke New York nanti malam?"Alessia tidak menjawab dan malah memanggil perawat, Alby lalu menutup bibir Alessia dengan tangan besarnya sambil tersenyum. "Kau ini.. Seharusnya kau mendukungku, Darling.""Makan saja minta di suapi, sok-sok'an ingin kabur. Istirahat yang benar, setelah pulih baru kita pulang." balas Alessia membereskan peralatan makan Alby ketika makanannya sudah habis.Alby dengan tiba-tiba meraih tangan Alessia hingga jatuh di kasurnya. Meletakkan kepalanya di pu