Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Lampu-lampu sudah mulai dipadamkan. Hanya beberapa meja yang masih tampak terang. Itu artinya, penghuni di dalamnya masih ada. Namun, satu per satu akhirnya ikut padam juga. Kecuali, lampu di dalam sebuah ruangan yang pintunya bertuliskan General Manager.
Penghuninya masih tampak sibuk membolak-balik lembar demi lembar kertas kerja yang berada di tangannya. Sesekali mengerutkan kening, menggeleng, dan menggerak-gerakkan bibirnya.
Bunyi bel sudah dari tadi terdengar. Itu artinya pergantian sif malam sudah dimulai.
Reksa Abimana, masih betah berada di atas kursi putarnya. Seolah ada masalah pelik yang membuatnya belum juga keluar dari ruang kerja. Hingga sebuah ketukan terdengar pun ia tidak merespons. Seorang gadis berpenampilan menarik memasuki ruang kerjanya.
"Ada apa, Na?" tanya Reksa tanpa menoleh dari fail di hadapannya.
"Pulang yuk, Pak. Udah malam," ajak gadis itu.
"Kamu pulang duluan saja, ya. Masih ada yang harus saya selesaikan."
Gadis itu mengerucutkan bibir. Bosnya memang selalu gila kerja. Kapan lelaki itu tidak pernah lembur barang sehari saja?
"Ya, udah. Saya pulang dulu ya, Pak."
Reksa hanya mengangguk. Nana pelan-pelan memundurkan langkahnya keluar. Selalu saja gagal bila mengajak pulang bersama.
Tepat pukul sembilan malam, Lelaki berahang tegas itu, melangkah keluar dari biliknya. Rasa lelah dan letih sangat tergambar jelas di rautnya. Pekerjaan yang menumpuk sangat menyita banyak waktu.
Menjadi eksekutif sekaligus merangkap seorang enterpreuneur, benar-benar hampir tidak bisa membuatnya memiliki waktu luang sedikit pun. Jika tidak lembur di kantor, maka ia akan lembur di bisnisnya yang lain.
"Sial sekali nasibku ini. Udah mana pulang malam, sepatu pake acara patah pula! Huwaaaaa!"
Langkah Reksa terhenti. Ia menajamkan telinganya. Lalu sedikit melaju pelan mencari pemilik suara yang barusan mengeluh.
Matanya menangkap bayangan seorang gadis yang tengah duduk di tepi pembatas tanaman hias dekat tempat parkir. Dengan mimik yang sangat lucu, gadis itu melihat sedih sepatu yang haknya sudah patah.
"Halo, permisi. Ada apa, ya, Nona?" tanya Reksa membuat gadis itu menoleh.
Matanya bulat, hidung runcing dengan bibir yang agak tipis. Manis.
"Kamu nggak lihat sepatuku patah?!"
Namun, sayang, galak.
Reksa meringis mendapat semprotan kesal gadis itu. "Sorry, sebentar."
Ia kembali masuk ke lobi kantor, mendekati sebuah rak, dan mengambil sesuatu di sana. Lalu kembali ke tempat gadis itu berada.
"Ini. Kamu bisa memakai ini dulu." Reksa menyodorkan sepasang sandal berukuran agak besar pada gadis itu. Gadis dengan rambut kucir kuda itu agak ragu menerima.
"Itu sandal safety, biasanya dipakai saat akan masuk ke gedung produksi," terang Reksa. Gadis itu melihat aneh pada sandal di tangannya.
"Kamu bisa mengembalikannya besok pagi. Sekarang pulanglah ini sudah malam, Nona," lanjut Reksa lagi.
Masih bisa dilihat gadis itu memajukan bibir sambil mengganti sepatu dengan sandal itu.
"Ini gara-gara si Herdy bos kejam itu. Seenaknya saja menyuruh lembur sampe malam seperti ini. Semoga dia berumur panjang."
Reksa mengerjap. Bos kejam, tetapi masih didoakan berumur panjang.
"Tapi penyakitan!" lanjut gadis itu membuat Reksa melotot.
Apa? Reksa menelan ludah. Ini, sih, bukan doa, tetapi sumpah sarapah.
"Ini sudah malam, sebaiknya kamu pulang dengan bus jemputan karyawan saja," katanya kemudian.
"Mana ada bus jemputan jam segini? Kamu ngigo?!" semprot gadis itu lagi.
"Oh ya?"
Untuk hal ini Reksa benar-benar tidak tahu.
"Pasti ini juga kerjaan si bos gila itu biar aku sengsara. Dasar bos kampret!" Lagi gadis itu mengumpat.
"Oke, oke. Kamu bisa ikut pulang dengan saya kalau kamu mau," ujar Reksa akhirnya.
Gadis itu tiba-tiba menatap tajam Reksa.
"Saya tidak bermaksud apa pun. Hanya menolong, karena saya juga baru pulang lembur."
Seolah tahu apa yang ada di otak gadis itu, Reksa menjelaskan kembali maksudnya. Dilihatnya gadis itu mendesah.
"Kamu pasti bernasib sama denganku. Punya bos gila yang tiap hari menyuruh bawahannya lembur," ucap gadis itu menatap sedih Reksa.
Agak sedikit merinding Reksa mendengarnya. Mungkin dirinya juga sering mendapat umpatan dari bawahannya seperti ini. Reksa tahu yang dimaksud bos gila oleh gadis itu. Herdy, dia manajer divisi keuangan yang gadis itu maksud. Dan Reksa juga paham, Herdy tipikal bos yang keras. Melihat raut di hadapannya, seolah ia mengerti jika gadis itu bekerja di bawah tekanan Herdy–yang selalu menuntut kesempurnaan dalam setiap hasil pekerjaan anak buahnya.
Jujur, Reksa sangat lelah. Ia ingin segera merebahkan diri di kasurnya yang nyaman. Namun, gadis di sampingnya seolah tak mau tahu. Ia terus saja mengoceh tanpa henti di sepanjang jalan Reksa mengantarkannya pulang.
Namun anehnya, Reksa merasa telah mendapatkan sebuah hiburan malam. Bahkan Reksa tak mengenalnya, tetapi gadis itu bercerita panjang lebar mengenai bos yang katanya kejam itu, dengan berbagai mimik yang sangat lucu dan menggemaskan.
"Lihat aja nanti, akan aku balas perbuatannya," ucap gadis itu penuh emosi.
"Oh ya? Memangnya apa yang akan kamu lakukan?" tanya Reksa, masih fokus ke depan kemudinya.
Gadis itu menyeringai. "Aku akan menggantung lehernya dengan dasinya yang selalu berkibar itu. Hahaha."
Reksa hanya menggelengkan kepala mendengar itu.
"Eh, aku sudah sampai. Aku turun di sini saja." Gadis itu bersuara lagi.
"Oh, oke." Reksa menepikan mobilnya.
Gadis itu lantas membuka seat belt. "Terima kasih atas tumpangannya. Untuk seorang karyawan biasa sepertimu, bisa memiliki mobil keren seperti ini, sangat luar biasa hebat." Ia mengacungkan jempol sebelum turun.
Reksa hanya mengangguk tersenyum.
Karyawan biasa? Tak apalah, jika gadis bermata bulat itu menganggapnya demikian. Itu lebih baik. Reksa kembali melajukan mobil menembus jalanan malam.
***
Reksa menutup pintu mobil bersamaan dengan keluarnya seseorang dari mobil lain yang terparkir berseberangan dengan mobil miliknya. Herdy, manajer divisi keuangan sekaligus juniornya saat kuliah dulu. Melihat lelaki bermata cokelat terang itu, mengingatkan Reksa pada kejadian kemarin malam.
"Selamat Pagi, Pak Reksa, " sapa Herdy ramah. Bibir penuh Herdy mengulas senyum.
"Selamat pagi, Herdy."
Mereka kemudian berjalan beriringan menuju gedung perkantoran berlantai sepuluh sembari menanyakan beberapa hal menyangkut pekerjaan.
"Apa divisi keuangan berjalan lancar?" tanya Reksa.
"Sejauh ini, sih, lancar. Hanya ada beberapa yang perlu diperbaiki," jawab Herdi diplomatis. Selaku seorang manajer dia harus sopan dalam berucap.
"Kamu benar-benar pekerja yang hebat, Her. Teliti dan cekatan," puji Reksa. Herdy memang hebat. Dia sangat kompeten.
"Sudah jadi kewajiban saya, Pak."
"Ayolah, kita sedang berdua. Jangan formal begitu memanggilku," ucap Reksa memukul pelan lengan Herdy.
"Tapi ini 'kan di kantor, Pak." Biar bagaimanapun Reksa itu atasannya.
"Whatever-lah."
Mata Reksa kemudian melihat seorang yang tak asing, berjalan dari arah kafetaria yang berada di samping gedung perkantoran.
"Itu bukanya...." Reksa menggumam melihat gadis itu berjalan cepat. Bahkan tanpa sadar langkahnya terhenti.
"Ada apa, Pak?" tanya Herdy di sebelahnya.
Herdy mengikuti arah mata Reksa. Dan ia pun menangkap sosok itu, sosok yang berjalan cepat dengan kepala menunduk.
"Lyra!" seru Herdy menyebut nama gadis itu.
Yang merasa dipanggil berhenti melangkah, berbalik badan, dan tersenyum kikuk.
'Ah itu dia... Kenapa dia berjalan terburu-buru seperti itu?' Reksa membatin seraya terus memperhatikan gadis itu.
"Selamat pagi, Pak," sapa gadis itu menganggukkan kepala.
"Alyra Morena! Kamu sedang apa pagi-pagi berkeliaran di luar?" tanya Herdy tegas.
"Saya habis sarapan, Pak," jawab Alyra polos.
"Apa pekerjaanmu kemarin sudah beres?" tanya Herdy lagi.
Reksa bisa merasakan gadis itu melirik ke arahnya.
"Sudah, Pak."
"Sebaiknya kamu segera kembali ke mejamu, jam kerja sebentar lagi mulai."
"Baik Pak, permisi."
Gadis yang dipanggil Lyra itu langsung lari terbirit-birit mendahului Reksa dan Herdy.
"Dia stafmu bukan?" tanya Reksa menarik sudut bibirnya samar.
Kepalanya mengingat bagaimana gadis itu memaki mati-matian seorang Herdy.
"Iya, Bang. Staf yang agak sedikit teledor." Akhirnya Herdy menyebut Reksa abang. Di luar dia memang memanggil Reksa begitu, sejak mengenal di bangku kuliah.
"Oh ya? kenapa?" tanya Reksa mulai penasaran.
"Pekerjaannya kadang tidak beres."
"Apa basicnya?"
"Mungkin Tata Boga," jawab Herdy asal.
"Apa?"
"Hehe, bercanda, Bang. Dia itu seorang sarjana ekonomi. Tata boga itu karena dia gemar sekali membawa masakannya ke kantor. Katanya sering bereksperimen, begitu." Herdy mengedikkan bahu, merasa tak penting juga membahas tentang Lyra bersama Reksa.
"Iya kah? Unik juga."
"Mungkin karena masih baru di sini, jadi masih perlu banyak belajar."
"Dia karyawan baru?"
"Bukan, dia pindahan dari anak cabang perusahaan kita di Sunter, tapi dia memang baru di divisi keuangan."
"Oh, begitu. Oke Herdy, aku duluan, ya."
Kemudian, Reksa masuki lift khusus dewan direksi meninggalkan Herdy yang lebih memilih lift khusus karyawan.
"Jadi namanya Lyra," gumam Reksa saat pintu lift tertutup. Perlahan senyumnya mengembang.
***
Sementara itu, di depan meja kerjanya Lyra kembang kempis merapalkan doa. Berharap semoga saja bos Herdy tidak akan memarahinya di pagi hari.
Bagaimana tidak? Lelaki yang mengantarnya pulang kemarin malam itu, terlihat berjalan dengan manajernya barusan. Jika lelaki itu membeberkan segala yang ia katakan malam itu, habislah ia.
Pintu terbuka, itu bisa dipastikan suara ketukan sepatu milik Herdy. Wajah Lyra menegang. Satu, dua, tiga. Lyra berhasil bernapas lega saat langkah Herdi melewatinya begitu saja. Namun, tiba-tiba....
"Lyra!"
Tubuh Lyra menegang kembali. Pelan ia menoleh ke arah pintu ruangan manajernya.
"I-iya, Pak," sahut Lyra terbata.
"Tolong, bawakan laporanmu ke meja saya segera," ucap Herdy sebelum memasuki ruangannya.
"Oh, baik Pak."
Herdy kembali ke ruangannya. Hanya laporan, bukan bantaian. Tenang Lyra.
_________***_________
Halo gaes, salam kenal ya. Saya author baru di Goodnovel. Semoga kalian suka dengan ceritaku. Jangan lupa dukung terus ya. ^^
Hari ini, Reksa makan siang di kantin perusahaaan yang terletak di samping gedung kantor. Entahlah, ada suatu dorongan tertentu yang membawanya ke mari.Tadinya, ia akan makan siang di luar. Namun, berhubung jam makan siang hampir habis, ia pun memutuskan pergi ke tempat yang lebih dekat saja.Dan seperti dugaannya, menu di kantin juga lumayan enak. Ia memilih duduk sendiri di salah satu bangku kantin. Menikmati makan siangnya dengan santai. Hingga sebuah desisan terdengar."Pstt... Pstt..."Reksa menghentikan kegiatan makannya, mencari dari mana asal bunyi yang sangat mengganggunya itu. Ternyata itu berasal dari belakang meja makannya.Lyra pelakunya. Gadis itu ada di sini. Reksa menggerakkan dagunya seolah bertanya ada apa.Gadis itu kemudian berjalan menunduk, memindahkan piring makannya ke meja Reksa, lalu duduk di hadapan laki-laki itu."Hai," sapa Lyra lantas duduk tanpa segan sedikit pun. Reksa ter
Di tempat duduknya, Lyra masih tidak tenang dengan kejadian makan siang tadi. Sesekali ia memijat keningnya sendiri. Baru sebulan di sini, tetapi suasana tak nyaman sering menyerang. Semakin menambah tingkat rasa ketidakbetahannya di kantor ini. Lyra menarik napas berat."Habis makan siang kok muka lo kusut gitu sih, Lyr?"Lyra mendongak, Mita rekan kerja di kubikel sebelah melongok. Lyra melirik wanita berponi itu. Mita lumayan lama kerja di sini. Dia pasti tahu perihal GM bertampang bule itu."Mit, lo tau tampang GM kita?" tanya Lyra."Sure. Siapa sih yang nggak tau si ganteng itu." Matanya Mita berbinar."What?" Bukan itu jawaban yang Lyra mau."Kenapa? Apa lo ketemu Pak Reksa?"Lyra tak menjawab, ia memutar-mutar bola mata."Sebaiknya lo nggak usah liat, ntar lo jatuh cinta."'Idih? Hellow? Gue udah liat, dan biasa aja tuh'. Lyra membatin. Yang ada dia malah tengs
Tubuh Lyra menggeliat di atas tempat tidur. Rasa-rasanya puas sekali ia tidur malam ini. Pelan ia memicingkan mata, mengangkat badan, lalu merenggangkan otot-otot yang terasa pegal."Lyra! Bangun!"Teriakan ciri khas Alfa, abangnya dari dapur terdengar.Lyra langsung menengok jam dinding. Tahu artinya apa jika abangnya sudah berteriak sekeras itu."Gawat."Buru-buru ia turun dari tempat tidur, menyambar handuk, dan masuk kamar mandi. Bisa dipastikan hari ini ia akan terlambat.Lima belas menit kemudian, Lyra sudah bersiap pergi bekerja. Namun sialnya, ia sudah ditinggal Alfa. Ia semakin telat.Lyra buru-buru keluar rumah, bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi."Udah bangun belum sih?" Suara Alfa di sana bertanya."Kenapa lu ninggalin gue sih bang ?!" Lyra bergegas menuju jalan besar."Sorry, gue juga telat.""Nggak usah telpon! Bikin kesal aja!"Lyra mematikan po
Pukul setengah enam sore, Herdy keluar dari ruangannya. Kantor tampak lengang. Para karyawan sudah pulang lebih dulu. Ia melihat ke arah meja di mana Lyra berada. Wanita itu masih ada di sana. Ia melangkah mendekatinya. Lyra terlihat sibuk dengan keyboard dan layar komputernya."Apa belum selesai juga?" tanya Herdy. Wanita itu bergeming, tak peduli dengan kehadiran Herdy. Lelaki itu menghela napas."Apa kamu lembur?" tanya Herdy lagi.Lyra menatap sekilas. "Iya, Pak," jawabnya lalu kembali ke layar di hadapannya."Apa perlu bantuan?"Tangan Lyra berhenti mengetik sejenak. Ada apa? Tidak biasanya bos kampret itu menawarkan bantuan."Tidak perlu, Pak.""Kamu tak perlu lembur kalau capek.""Lalu keesokan paginya Bapak akan memarahi saya begitu?"Herdy menelan saliva. Sebegitu horornya ia di mata wanita itu? Tapi kinerja staf satu ini memang jauh dari kata puas menurutnya.
"Satu ciuman mungkin cukup."Lyra terbelalak. Kakinya menegang. Otaknya langsung merespons dengan memerintahkan reaksi pada beberapa bagian tubuhnya, termasuk jantungnya yang kini berdebar.Saraf pendengarannya terlalu sensitif, hingga bagian otaknya yang disebut talamus, sangat cepat menerima sinyal, lalu diteruskan ke amigdala yang mengeluarkan senyawa glutamat, yaitu zat kimia yang digunakan sel saraf untuk mengirim sinyal rasa takut ke sel lain. Refleks mukanya memucat. Lyra merasa terjebak. Sekali singa tetap saja singa."Bagaimana, Nona Lyra?" tanya Reksa mencondongkan badannya ke depan mendekati Lyra."Maaf itu... Anda gila ya, Pak?"Di luar dugaan, Lyra malah membalas pertanyaan bosnya dengan pertanyaan yang membuat Reksa memicingkan mata.Reksa menarik kembali tubuhnya. Menempelkan punggung kesandaran kursi. Senyum jahilnya terukir melihat Lyra yang terus saja menunduk. Dalam keadaan seperti itu pun, Lyra mas
Pertama, Lyra melumuri ikan gurame segar yang sudah dibersihkan dengan bumbu jadi yang tadi ia beli. Lalu, ia akan mendiamkannya beberapa saat agar bumbu itu meresap. Kemudian,ia memisahkan beberapa sayuran secukupnya dan bersiap untuk mencucinya.Melihat kesibukan Lyra di dapur, Reksa berinisiatif ingin membantunya."Apa yang bisa kubantu, Nona?" tanyanya melangkah ke dapur."Bapak bisa me–""Reksa, " potong Reksa cepat."Okeh Rek–" sangat aneh. "Saya tidak biasa, Pak.""Biasakan.""Ini Ba–eh, kamu cuci saja sayuran ini, lalu potong-potong."Lyra menggigit bibir bawahnya. Di pertemuan pertama padahal Lyra dengan mudahnya menyebut 'kamu-kamu' pada lelaki di sampingnya ini. Kenapa sekarang dirasa begitu sulit?"Oke.""Saya akan menanak nasinya dulu." Ia lantas meninggalkan Reksa untuk mencuci beras.*Beberapa menit kemudian.*"Selesai," seru Reksa membuat Lyra menoleh. Sedetik ke
Herdy keluar dari sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari apartemen milik Reksa, diikuti seorang wanita di belakangnya."Itu mobil Reksa 'kan?" tanya wanita yang kini sedang berada di samping Herdy.Herdy kontan menoleh, mengikuti arah pandang wanita itu. Iya, itu betul mobil Reksa yang baru keluar dari tower apartemennya."Eh, sama cewek, siapa ya? Pacarnya? Wah, ada kemajuan si bos," celetuk wanita itu lagi. Mata Herdy kembali menajam ke arah mobil Reksa. Wanita yang ada di samping kemudi Reksa itu... Lyra. Refleks tangannya mengepal. Entah kenapa ia tidak suka melihatnya."Habis ngapain ya mereka di sana? Wah, Reksa sekali dapat cewek mainnya langsung ke apartemen." Wanita itu terus berkomentar dan tertawa.Mendengarnya membuat telinga Herdy memanas."Bisa diam nggak kamu, Syilla?!" bentak Herdy. Wanita yang dipanggil Syilla itu segera menghentikan tawanya."Cepat masuk mobil," perintah Herdy. yang lang
Lyra menatap sebuah tas bekal makanan yang kini sudah ia letakkan di atas meja. Menimang-nimang, apa yang sudah ia lakukan? Pagi tadi sebelum berangkat bekerja, ia menyibukkan diri membuat bekal makan siang juga sarapan pagi. Dan kali ini, ada mama yang membantu.Meskipun ia masih terus tidak habis pikir pada dirinya sendiri, tak ayal dirinya sangat menikmati mengingat wajah Reksa saat lelaki tampan itu dengan lahap memakan hasil masakannya.Hingga kini, dua kotak bekal makanan telah saling bertumpuk di meja kerjanya. Satu untuk dirinya, dan satu untuk GM berparas menawan itu.Bunyi interkom di meja kerja Lyra berdering, membangunkan lamunannya. Ia segera meraih gagang telepon."Ya, Pak," jawabnya."Ke ruangan saya sekarang." Herdy di sana memerintah."Baik."Ada apa lagi ini? Apa laporan tadi pagi yang ia serahkan salah? Laporannya kemarin yang mengerjakan GM-nya langsung, mana mungkin salah? Lyra mengetuk pintu r
Reksa melipat lengan kemejanya hingga siku. Dasi yang tadi pagi siang masih melekat sempurna di lehernya entah ke mana sekarang perginya. Pelipisnya terus mengucurkan buliran keringat. Mulutnya tidak berhenti mengucapkan kata-kata penyemangat untuk istrinya yang masih menahan sakit pada perutnya. Tangannya juga menggenggam tangan Lyra menyalurkan kekuatan. Sebelah tangan yang lain mengusap berulang kepala Lyra yang sesekali meringis kesakitan."Reksa, ini sakit banget," keluh Lyra lirih. Wajahnya memucat."Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi ini akan selesai. Kamu pasti kuat." Reksa terus meyakinkan.Lyra menahan napas kuat-kuat saat kontraksi semakin menguat. Rasanya ingin ia keluarkan segera isi di dalam perutnya. Ia benar-benar tidak tahan.Jeda kontraksi semakin sering. Rasa sakit yang mengiringi kini berdampingan dengan rasa mulas yang luar biasa. Sekuat tenaga Lyra menahan agar tidak mengejan kare
Derap langkah terdengar keras dan cepat. Reksa dan Bastian baru saja melakukan meeting dengan E.R Grup terkait kerjasamanya dalam pembangunan sebuah hotel di Pulau Maluku.Ini merupakan proyek pertamanya di bidang perhotelan. Ia menanamkan lima puluh persen sahamnya pada bisnis itu. Ia dan Bastian sudah memperhitungkan matang-matang sebelum memutuskan merambah ke bisnis perhotelan dan pariwisata jauh sebelum mega proyek kota mandiri baru di-release.Mega proyek kota mandiri, masih dalam tahap pembangunan. Akan memakan waktu yang lumayan lama untuk menjadikan kota itu sesuai dengan rancangan. Saat ini pengembang sedang membangun 58 tower, dengan total unit mencapai 23.500. Dari tower yang sedang dibangun tersebut, pihak pengembang mengaku telah menjual 70 persen unit. Ini pencapaian yang fantastis."Kita harus menghubungi pihak pengembang kembali. Usahakan akhir tahun ini kita bisa melakukan topping off dan serah terima kunci," uja
Kuy sebelum baca vote dulu.Berasal dari mana aja nih kalian?_________________Lyra menggeliat dari tidurnya. Mengucek mata yang masih terpejam. Bangkit perlahan dan duduk di tepi sofa. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada suara detak jarum jam yang terdengar.Sudah pukul delapan malam. Reksa belum juga pulang. Tadi Lyra sedang menonton televisi sembari menunggu suaminya pulang, malah dia ketiduran.Akhir-akhir ini Reksa sering pulang malam. Kerjaannya sedang padat dan mengharuskan ia lembur. Lyra hampir mati kebosanan menjadi penunggu rumah sejak dirinya resign dari kantor. Apalagi dalam keadaan Reksa yang sering pulang malam. Padahal usia kandungannya sudah menginjak sembilan bulan. Pergerakan Lyra mulai terbatas. Harusnya Reksa mengurangi kegiatannya di kantor. Bagaimana jika sewaktu-waktu istrinya melahirkan? Reksa sudah mengusulkan agar Lyra tinggal di rumah Mami Loui untuk sementara, tap
Happy Reading gaess...Jangan lupa tinggalkan jejak dan vote-nya yaa 😉______________Ada banyak makanan yang tertata di meja makan saat Reksa baru sampai rumah, setelah pulang kantor.Istrinya, Lyra. Sudah terlebih dulu pulang. Usia kehamilannya menginjak bulan ke enam. Reksa memaksanya hanya boleh bekerja sampai pukul empat sore."Sayaaaang ... Aku pulang...." Reksa menghidu aroma masakan. Ia mempercepat langkah ke dapur. Dan benar seperti dugaannya, istrinya sedang bergulat dengan wajan dan sodet. Memindahkan masakannya ke piring."Sayang, apa yang kamu lakukan? Mana Bibi?"Reksa segera mengambil alih sodet dan piring yang ada di tangan Lyra. "Kan sudah aku bilang, kamu itu nggak boleh capek. Sekarang, lihat! Apa yang kamu lakukan? Memasak segini banyaknya? Buat apa?"Lyra menatap kesal suaminya yang baru datang sudah mengomel tidak jelas. Bukannya berterima kasih, malah mer
BEBERAPA BULAN KEMUDIAN"Reksa," panggil Lyra.Yang dipanggil menegakkan badan kembali. Matanya mengerjap. Kali ini apalagi keinginan istrinya beralibi calon bayinya? Mata Reksa melirik ke jam dinding di sudut kanan. Sudah hampir pukul dua belas malam. Sumpah, ia sudah sangat mengantuk. Sudah seharian ini ia dikerjai keinginan istrinya yang aneh-aneh. Kalau bukan karena calon bayi yang Lyra kandung, ia tidak mau bersusah payah seperti itu."Iya, Sayang," jawab Reksa mempertahankan senyum."Cuanki bandung enak kayaknya."Glek!"Sayang, ini udah hampir tengah malam. Gimana kalau makan cuankinya besok aja. Pasti aku cariin sampe ketemu. Oke, ya?""Aku tuh penginnya sekarang." Lyra mencebikkan bibir. Mata bulatnya masih selebar purnama.Lyra memunggungi Reksa. Suaminya itu hanya bisa menghela nafas, selalu saja begitu."Kan kamu juga yang bikin aku jadi kayak gini. Ingat Re
"Aku pikir semua kemewahan yang kamu beri sudah berakhir Reksa, tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau resepsi pernikahan ini juga tak kalah mewah. Apa tidak sayang menghamburkan banyak uang begini?" bisik Lyra di telinga suaminya.Reksa menggeleng. "Untuk urusan ini aku tidak tau, Sayang. Semua yang mengatur Mami dan adik-adikku. Kamu tau sendiri seperti apa semangatnya mereka dengan pernikahan ini.""Di sini aku sudah seperti seorang ratu saja." Lyra mencebikkan bibirnya."Kamu memang seorang ratu, sangat cantik dan memesona.""Berhenti menggodaku Reksa."Sebuah cubitan kecil mendarat di pinggang Reksa membuat lelaki itu meringis."Aku tidak menggodamu. Melihatmu yang sangat cantik seperti ini, aku jadi tak sabar membuatmu mendesah di bawahku lagi malam ini."Kali ini pukulan Lyra mendarat di bahu Reksa agak keras. Matanya melotot. Tidak sepatutnya Reksa bicara vulgar di suasana seperti ini.
Lyra masuk ke ruangan Reksa dengan wajah sebal. Sengaja ia hentakkan kaki agar orang di meja kebesarannya itu sadar."Hai, Sayang," sapa Reksa sekilas, lalu melanjutkan pekerjaannya."Aku laper." Lyra langsung menjatuhkan diri di sofa."Oh, ya. Kamu mau makan apa? Kita bisa delivery.""Aku udah bawa bekal kalau kamu lupa."Reksa menutup fail yang ada di depannya. Lalu beranjak dari kursinya dan menghampiri Lyra yang sudah duduk di sofa."Oke, kita makan. Aku selalu suka masakan yang kamu buat."Lyra masih menampakan wajah kesal saat ia membongkar bekal makanan yang ia bawa. Kejadian di toilet rasanya ingin ia adukan pada Reksa."Kamu nggak pernah menyeleksi dengan baik calon karyawanmu di sini, ya?" tanya Lyra dengan bibir berkerut."Maksudnya?""Nggak pa-pa." Lyra menyerahkan satu kotak bekal pada Reksa. Rasanya terlalu kekanakan kalau harus mengadukannya langsung."Kamu mengalami hal ya
Mobil Reksa memasuki gerbang dan berhenti di halaman sebuah rumah mewah yang Lyra tidak tahu siapa pemiliknya. Bahkan dari sejak mengajaknya, Reksa tidak memberitahu tujuan jelasnya.Mungkin ini adalah salah satu rumah milik saudara atau temannya. Entahlah. Reksa masih saja bungkam saat dirinya menyuruh Lyra untuk turun.Lyra mengedarkan mata, menyapu semua sudut yang bisa ia jangkau. Halaman rumah ini cukup luas dengan sebuah taman yang tertata rapi dan indah. Ada sebuah kolam ikan kecil di sudut taman itu. Sebuah carport yang lumayan besar kira-kira bisa menampung tiga sampai empat mobil. Di sisi kanan rumah ada sebuah jalan terbuka yang sepertinya menghubungkan halaman samping dan belakang.Biarpun rumah berlantai dua ini terlihat megah dan indah, Lyra merasa rumah ini sepi penghuni. Bahkan sejak Lyra berdiri di sini beberapa menit lamanya, pemilik rumah belum menampakan batang hidungnya."Bagaimana menurutmu?"Lyra
Rumah masih nampak ramai. Sisa-sisa kegaduhan karena kedatangan keluarga Reksa juga masih ada. Pasalnya keluarga mempelai pria datang dengan membawa seserahan yang mengundang kehebohan. Baik dari keluarga Lyra sendiri maupun para tetangga yang turut menyaksikan itu.Lyra sendiri tidak menyangka semua permintaan yang hanya diucapkan dengan mode bercanda itu malah diwujudkan oleh Reksa. Lyra bukan wanita sematre itu. Ia hanya mengerjai Reksa padahal, tidak serius sama sekali.Lupakan soal itu. Karena Reksa sendiri bilang ada kejutan lain di Jakarta sana. Padahal ini cukup membuat Lyra dan keluarganya terhenyak.Kini Reksa dan Alyra sudah sah menjadi sepasang suami istri. Dan sekarang mereka sedang menjadi raja dan ratu sehari di sebuah gedung serba guna sederhana yang tidak jauh dari rumah orang tua Lyra. Karena ini di Palembang, maka kebanyakan tamu yang hadir memang dari keluarga dan teman-teman orang tua Lyra. Karena ini sejatinya