"Habis makan siang kok muka lo kusut gitu sih, Lyr?"
Lyra mendongak, Mita rekan kerja di kubikel sebelah melongok. Lyra melirik wanita berponi itu. Mita lumayan lama kerja di sini. Dia pasti tahu perihal GM bertampang bule itu.
"Mit, lo tau tampang GM kita?" tanya Lyra.
"Sure. Siapa sih yang nggak tau si ganteng itu." Matanya Mita berbinar.
"What?" Bukan itu jawaban yang Lyra mau.
"Kenapa? Apa lo ketemu Pak Reksa?"
Lyra tak menjawab, ia memutar-mutar bola mata.
"Sebaiknya lo nggak usah liat, ntar lo jatuh cinta."
'Idih? Hellow? Gue udah liat, dan biasa aja tuh'. Lyra membatin. Yang ada dia malah tengsin setengah mati.
"Selain keren, tampan, macho dan kaya, doi juga masih single," terang Mita lagi. Lyra yakin wanita itu sedang membayangkan sosok pria itu.
Sumpah, Lyra tidak bertanya. Mau single kek, mau double kek. Tidak ada urusan. Dirinya sudah kepalang malu.
"Dia nggak pernah masuk ke sini 'kan?" tanya Lyra. Itu poinnya.
Mita mengetuk-ngetuk dagunya, matanya seperti mengingat sesuatu.
"Kayanya hampir nggak pernah. Eh pernah sih, tapi itu udah lama banget. Lagian bos kayak dia ngapain ke sini? Yang ada tuh Bos Herdi yang nyamperin dia di kursi kebesarannya."
Lyra mantuk-mantuk. Bagus kalau begitu. Setidaknya ia akan lebih waspada, dan hati-hati agar tidak bertemu pemilik mata elang itu.
"Panjang umur. Baru diomongin udah nongol aja," gumam Mita mematung, matanya menuju pintu keluar.
Sesosok berbadan tegap berjalan sambil menyembunyikan sebelah tangannya ke saku celana yang terlihat licin. Sesekali memberi senyum menanggapi sapaan dari orang yang berada di ruangan ini. Untuk seukuran bos, ia itu tipe bos yang ramah. Jauh dari kata arogansi.
"Siang, Pak Reksa."
"Siang, Pak GM."
Deg!
Lyra gusar, tangannya berusaha meraih apapun yang ada di depannya. Matanya pura-pura fokus ke dokumen yang dia ambil sembarang.
Sosok menjulang itu sedang bertegur sapa dengan Dony rekannya. Sejak mengetahui siapa nama di balik senyum manis itu, ingin rasanya Lyra tenggelam saja jika harus melihat laki-laki itu. Kenapa juga lelaki itu harus bertandang ke kantornya? Kata Mita dia 'kan jarang ke kantor.
"Siang, Pak Reksa," suara Mita menyapa.
Lyra sama sekali tidak berniat menyapa bos besar itu seperti yang lain. Masih pura-pura tenggelam dalam kesibukan.
"Ehem!"
Suara dehaman itu... Lyra masih tak peduli.
"Selamat siang, Nona Lyra."
Suara berat yang tadi siang masih terdengar biasa, kini terdengar begitu mengerikan di telinga Lyra. Mau tidak mau Lyra mendongak. Lelaki yang memberinya sandal itu, tengah tersenyum di depan kubikelnya.
"Se-selamat siang, Pak," balas Lyra gugup. 'Jiper banget gue.'
Reksa dengan muka innocent-nya, tampak biasa dan tenang. Seolah kecanggungan yang melanda Lyra diabaikannya begitu saja.
"Bos gila kamu ada?" tanya Reksa membuat mata Lyra melebar.
Bos gila? Lyra merasa akan mendapatkan masalah besar. Dia nyengir bingung.
"Kenapa? Ada yang salah?" Reksa menarik sudut bibirnya.
Lyra menggeleng. "Pak Herdy ada di ruangannya, Pak," jawab Lyra berusaha sedatar mungkin.
"Oke, baiklah. Oh iya, apa sepatumu baik-baik saja?" tanya Reksa lagi.
Oh Tuhan. Masih berlanjut. Lyra memohon dalam hati agar mahluk di depannya ini segera lenyap dari pandangan.
"Baik,Pak."
Reksa mengangguk, lantas beranjak menuju ruangan Herdy.
Saat tubuh itu berhasil masuk di balik pintu ruangan manajernya, Lyra mengembuskan napas lega."Aku berharap dia masih nggak bicara apa pun di sana," gumamnya dalam hati.
"Lyra! What the?!"
Lyra hampir melonjak kaget. Mita tiba-tiba saja memekik dengan mata yang hampir keluar.
"Rupanya lo udah mengenal Pak Reksa?!"
Lyra buru-buru menggeleng.
"Lalu apa yang tadi kalian bicarakan?"
"Gue nggak bicara apa-apa."
"Jangan bohong." Mita memajukan tubuhnya dengan mata memicing.
"Suer." Lyra menunjukkan dua jari membentuk huruf V. Lalu ia kembali ke layar komputer.
Sedang Mita, tidak begitu saja percaya dengan ucapan Lyra. Dia masih saja memandang curiga pada Lyra.
***
Wajah Herdy menegang bercampur bingung dengan apa yang diucapkan atasan sekaligus seniornya saat kuliah dulu. Namun pemilik rahang tegas itu masih saja menampakkan wajah tenangnya, duduk dengan kaki menyilang di sudut sofa ruang kerja Herdy."Aku harap kamu mempersiapkan diri," ucap Reksa sekali lagi.
"Tapi–"
"Satu bulan dari sekarang."
"Aku belum siap, Bang."
"Harus siap." Reksa berjalan mendekati Herdy yang masih saja mematung mendengar keputusannya. Ditepuknya bahu Herdy dengan keras. "Kamu pasti bisa. Aku percaya padamu. Kinerjamu, sepak terjangmu. Semua yang perusahaan ini butuhkan, ada dalam dirimu."
"Bang, aku masih banyak belajar di sini." Herdy masih saja tidak percaya. Jabatan GM itu terlalu berat untuknya.
"Semua sudah aku pikirkan. Jangan kecewakan aku Herdy. Rapat direksi minggu depan mungkin akan membahasnya."
Herdy tercengang. Secepat itu?
"Oke, hanya itu saja." Reksa melangkahkan kaki keluar. Namun, kakinya berhenti saat hendak membuka pintu. Dilihatnya Herdy masih saja menundukkan pandang dengan gusar
"Oh ya!" seru Reksa.
Herdy sontak mendongak.
"Jangan terlalu keras dengan stafmu. Sepertinya ada yang syok karena tuntutanmu. Aku pergi dulu." Reksa tersenyum miring, dan akhirnya ia keluar meninggalkan Herdy yang tambah bingung dengan penuturanya barusan.
Syok? Siapa? Hampir semua stafnya tahu kalau ia tipikal pemimpin yang keras. Otaknya langsung menyangkut kesebuah nama. Lyra, staf baru itu. Apa sikapnya terlalu berlebihan pada wanita itu?
Herdy berdiri dari duduknya. Memutar badan, melihat ke arah luar. Melalui kaca jendela ia bisa melihat situasi para staf yang sibuk di meja kerjanya masing-masing.
Dilihatnya Reksa menghampiri kubikel di mana Lyra berada. Pikirannya semakin yakin kalau yang dimaksud Reksa adalah wanita itu. Wanita yang sering ia suruh lembur, dan kadang sedikit ia marahi.
"Apa ada sesuatu di antara mereka?" tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba ada sedikit yang menyentil hatinya, mengusik, dan membuatnya merasa tak nyaman. Entah apa itu. Herdy menghela napas tak mengerti.
Reksa kini tengah berdiri di depan Lyra tersenyum geli, melihat gadis itu salah tingkah.
"Jika ada sesuatu yang kamu belum pahami, kamu bisa tanya ke rekanmu atau bisa tanya ke bosmu langsung, Nona." ucap Reksa pada Lyra.
"I-iya Pak."
"Good, oke. Selamat bekerja."
Reksa kemudian beranjak meninggalkan divisi keuangan. Sembari menerka-nerka apa yang ada di pikiran wanita lucu itu. Padahal, aslinya ia sama sekali tidak ada niat untuk menggoda Lyra. Namun, melihat muka merona wanita itu yang sangat lucu, membuatnya tidak bisa menahan diri.
Ia menggeleng pelan. Memikirkan tingkahnya sendiri.***
"Baik. Kamu atur saja schedule-nya. Tapi kemungkinan saya datang jam lima sore."
Reksa menutup sambungan telepon. Rapat bulanan dengan para manajer perusahaan retail akan diadakan sore. Membahas laporan laba rugi, perencanaan bulanan, dan sebagainya.
Sebenarnya ini agenda yang sangat melelahkan di saat dirinya masih sibuk sebagai general manager di perusahaan multinasional sekarang. Namun, tidak mungkin juga ia melepas tanggung jawabnya dari usaha yang ia rintis dari nol. Biar bagaimana pun, usaha retailnya sudah sangat berkembang pesat. Setiap bulan kemitraan selalu datang. Pasarnya sudah menembus daerah luar pulau.
Dan sebentar lagi, perusahaan propertinya pun akan merealisasikan planning mega proyek yang digadang-gadang mengeluarkan investasi ratusan trilyun.
Reksa akan sangat sibuk, super sibuk. Mau tidak mau, ia harus berlepas diri di perusahanan yang hampir tujuh tahun menaunginya ini.
Dan Herdylah yang ia rekomendasikan untuk menggantikan posisinya sekarang, kepada dewan direksi yang dari kapan tahun tetap ingin mempertahankan Reksa di perusahaan ini.
Betapa tidak? Selama Reksa menjabat, perusahaan ini sangat maju pesat. Bahkan tahun ini perusahaan akan membuka cabang produksi lagi di kota sebelah. Sepak terjang Reksa di dunia bisnis, membuat perusahaan tidak mau melepasnya begitu saja.
Hampir setahun ini, Reksa mengajukan rencana pengunduran diri. Namun, selalu saja gagal dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Untuk kali ini, ia akan benar-benar hengkang dari sini dan memilih fokus ke perusahaannya sendiri. Segalanya sudah ia pikirkan masak-masak.
Tubuh Lyra menggeliat di atas tempat tidur. Rasa-rasanya puas sekali ia tidur malam ini. Pelan ia memicingkan mata, mengangkat badan, lalu merenggangkan otot-otot yang terasa pegal."Lyra! Bangun!"Teriakan ciri khas Alfa, abangnya dari dapur terdengar.Lyra langsung menengok jam dinding. Tahu artinya apa jika abangnya sudah berteriak sekeras itu."Gawat."Buru-buru ia turun dari tempat tidur, menyambar handuk, dan masuk kamar mandi. Bisa dipastikan hari ini ia akan terlambat.Lima belas menit kemudian, Lyra sudah bersiap pergi bekerja. Namun sialnya, ia sudah ditinggal Alfa. Ia semakin telat.Lyra buru-buru keluar rumah, bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi."Udah bangun belum sih?" Suara Alfa di sana bertanya."Kenapa lu ninggalin gue sih bang ?!" Lyra bergegas menuju jalan besar."Sorry, gue juga telat.""Nggak usah telpon! Bikin kesal aja!"Lyra mematikan po
Pukul setengah enam sore, Herdy keluar dari ruangannya. Kantor tampak lengang. Para karyawan sudah pulang lebih dulu. Ia melihat ke arah meja di mana Lyra berada. Wanita itu masih ada di sana. Ia melangkah mendekatinya. Lyra terlihat sibuk dengan keyboard dan layar komputernya."Apa belum selesai juga?" tanya Herdy. Wanita itu bergeming, tak peduli dengan kehadiran Herdy. Lelaki itu menghela napas."Apa kamu lembur?" tanya Herdy lagi.Lyra menatap sekilas. "Iya, Pak," jawabnya lalu kembali ke layar di hadapannya."Apa perlu bantuan?"Tangan Lyra berhenti mengetik sejenak. Ada apa? Tidak biasanya bos kampret itu menawarkan bantuan."Tidak perlu, Pak.""Kamu tak perlu lembur kalau capek.""Lalu keesokan paginya Bapak akan memarahi saya begitu?"Herdy menelan saliva. Sebegitu horornya ia di mata wanita itu? Tapi kinerja staf satu ini memang jauh dari kata puas menurutnya.
"Satu ciuman mungkin cukup."Lyra terbelalak. Kakinya menegang. Otaknya langsung merespons dengan memerintahkan reaksi pada beberapa bagian tubuhnya, termasuk jantungnya yang kini berdebar.Saraf pendengarannya terlalu sensitif, hingga bagian otaknya yang disebut talamus, sangat cepat menerima sinyal, lalu diteruskan ke amigdala yang mengeluarkan senyawa glutamat, yaitu zat kimia yang digunakan sel saraf untuk mengirim sinyal rasa takut ke sel lain. Refleks mukanya memucat. Lyra merasa terjebak. Sekali singa tetap saja singa."Bagaimana, Nona Lyra?" tanya Reksa mencondongkan badannya ke depan mendekati Lyra."Maaf itu... Anda gila ya, Pak?"Di luar dugaan, Lyra malah membalas pertanyaan bosnya dengan pertanyaan yang membuat Reksa memicingkan mata.Reksa menarik kembali tubuhnya. Menempelkan punggung kesandaran kursi. Senyum jahilnya terukir melihat Lyra yang terus saja menunduk. Dalam keadaan seperti itu pun, Lyra mas
Pertama, Lyra melumuri ikan gurame segar yang sudah dibersihkan dengan bumbu jadi yang tadi ia beli. Lalu, ia akan mendiamkannya beberapa saat agar bumbu itu meresap. Kemudian,ia memisahkan beberapa sayuran secukupnya dan bersiap untuk mencucinya.Melihat kesibukan Lyra di dapur, Reksa berinisiatif ingin membantunya."Apa yang bisa kubantu, Nona?" tanyanya melangkah ke dapur."Bapak bisa me–""Reksa, " potong Reksa cepat."Okeh Rek–" sangat aneh. "Saya tidak biasa, Pak.""Biasakan.""Ini Ba–eh, kamu cuci saja sayuran ini, lalu potong-potong."Lyra menggigit bibir bawahnya. Di pertemuan pertama padahal Lyra dengan mudahnya menyebut 'kamu-kamu' pada lelaki di sampingnya ini. Kenapa sekarang dirasa begitu sulit?"Oke.""Saya akan menanak nasinya dulu." Ia lantas meninggalkan Reksa untuk mencuci beras.*Beberapa menit kemudian.*"Selesai," seru Reksa membuat Lyra menoleh. Sedetik ke
Herdy keluar dari sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari apartemen milik Reksa, diikuti seorang wanita di belakangnya."Itu mobil Reksa 'kan?" tanya wanita yang kini sedang berada di samping Herdy.Herdy kontan menoleh, mengikuti arah pandang wanita itu. Iya, itu betul mobil Reksa yang baru keluar dari tower apartemennya."Eh, sama cewek, siapa ya? Pacarnya? Wah, ada kemajuan si bos," celetuk wanita itu lagi. Mata Herdy kembali menajam ke arah mobil Reksa. Wanita yang ada di samping kemudi Reksa itu... Lyra. Refleks tangannya mengepal. Entah kenapa ia tidak suka melihatnya."Habis ngapain ya mereka di sana? Wah, Reksa sekali dapat cewek mainnya langsung ke apartemen." Wanita itu terus berkomentar dan tertawa.Mendengarnya membuat telinga Herdy memanas."Bisa diam nggak kamu, Syilla?!" bentak Herdy. Wanita yang dipanggil Syilla itu segera menghentikan tawanya."Cepat masuk mobil," perintah Herdy. yang lang
Lyra menatap sebuah tas bekal makanan yang kini sudah ia letakkan di atas meja. Menimang-nimang, apa yang sudah ia lakukan? Pagi tadi sebelum berangkat bekerja, ia menyibukkan diri membuat bekal makan siang juga sarapan pagi. Dan kali ini, ada mama yang membantu.Meskipun ia masih terus tidak habis pikir pada dirinya sendiri, tak ayal dirinya sangat menikmati mengingat wajah Reksa saat lelaki tampan itu dengan lahap memakan hasil masakannya.Hingga kini, dua kotak bekal makanan telah saling bertumpuk di meja kerjanya. Satu untuk dirinya, dan satu untuk GM berparas menawan itu.Bunyi interkom di meja kerja Lyra berdering, membangunkan lamunannya. Ia segera meraih gagang telepon."Ya, Pak," jawabnya."Ke ruangan saya sekarang." Herdy di sana memerintah."Baik."Ada apa lagi ini? Apa laporan tadi pagi yang ia serahkan salah? Laporannya kemarin yang mengerjakan GM-nya langsung, mana mungkin salah? Lyra mengetuk pintu r
Malam ini, gara-gara Alfa yang tidak bisa ikut makan malam, mood mama jadi kacau. Sepanjang jalan mengomel tak mau berhenti. Lyra sampai bingung karena mama juga selalu bilang ini acara penting. Mama mau bertemu sahabat lama mama katanya. Awalnya, Lyra pikir cuma makan malam bersama keluarganya saja, ternyata mama juga mengundang temannya.Mereka bertiga sudah berada di meja makan yang bisa menampung delapan orang. Meja itu sudah direservasi terlebih dahulu oleh orang bernama ... tadi mama bilang siapa? Ira kalau tak salah.Wajah mama kembali sumringah, saat tak berapa lama ada seseorang yang menyapanya. Lyra sendiri masih sibuk membuka buku menu bergambar makanan yang kelihatannya lezat-lezat, sambil berpikir bagaimana cara membuat masakan seperti itu? Huh, dasar tukang masak."Lyra bangun. Lihat! siapa yang datang. Tante Ira. Kamu masih ingat 'kan?" tanya mama meraih lengan Lyra. Gadis itu refleks berdiri menyambut kedatangan I
Di dalam kamarnya, Lyra masih tidak habis pikir dengan rencana orang tuanya. Masih bertanya-tanya, kenapa Herdy? Kenapa harus orang yang selalu mengintimidasinya tiap hari itu?Bagaimana mungkin orang sepertinya bisa menjadi suami yang baik bagi Lyra? Tiap harinya saja pasang muka jutek dan horor. Menuntut ini itu. Gimana Lyra kalau jadi istrinya? Habislah ia kena omelan tiap waktu. Apalagi kalo didapatinya kerjaan yang tidak beres.'Lyra ini debunya masih menempel di jariku!''Lyra kamu ini bagaimana? masak aja keasinan!''Hey kamu dengar tidak? anakmu nangis. Bisa urus anak tidak?!'"Tidaaaaaakkkkk...!"Ia redamkan kepala ke dalam bantal. Tak mau teriakannya mengganggu penghuni lain di rumah ini. Sepertinya, hari-hari akan menjadi tambah ruwet gara-gara perjodohan ini.Lyra bangkit dari tempat tidur. Membuka pintu kamar, lalu mengendap-endap keluar rumah. Tak ada sinyal kehidupan di rumah selai
Reksa melipat lengan kemejanya hingga siku. Dasi yang tadi pagi siang masih melekat sempurna di lehernya entah ke mana sekarang perginya. Pelipisnya terus mengucurkan buliran keringat. Mulutnya tidak berhenti mengucapkan kata-kata penyemangat untuk istrinya yang masih menahan sakit pada perutnya. Tangannya juga menggenggam tangan Lyra menyalurkan kekuatan. Sebelah tangan yang lain mengusap berulang kepala Lyra yang sesekali meringis kesakitan."Reksa, ini sakit banget," keluh Lyra lirih. Wajahnya memucat."Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi ini akan selesai. Kamu pasti kuat." Reksa terus meyakinkan.Lyra menahan napas kuat-kuat saat kontraksi semakin menguat. Rasanya ingin ia keluarkan segera isi di dalam perutnya. Ia benar-benar tidak tahan.Jeda kontraksi semakin sering. Rasa sakit yang mengiringi kini berdampingan dengan rasa mulas yang luar biasa. Sekuat tenaga Lyra menahan agar tidak mengejan kare
Derap langkah terdengar keras dan cepat. Reksa dan Bastian baru saja melakukan meeting dengan E.R Grup terkait kerjasamanya dalam pembangunan sebuah hotel di Pulau Maluku.Ini merupakan proyek pertamanya di bidang perhotelan. Ia menanamkan lima puluh persen sahamnya pada bisnis itu. Ia dan Bastian sudah memperhitungkan matang-matang sebelum memutuskan merambah ke bisnis perhotelan dan pariwisata jauh sebelum mega proyek kota mandiri baru di-release.Mega proyek kota mandiri, masih dalam tahap pembangunan. Akan memakan waktu yang lumayan lama untuk menjadikan kota itu sesuai dengan rancangan. Saat ini pengembang sedang membangun 58 tower, dengan total unit mencapai 23.500. Dari tower yang sedang dibangun tersebut, pihak pengembang mengaku telah menjual 70 persen unit. Ini pencapaian yang fantastis."Kita harus menghubungi pihak pengembang kembali. Usahakan akhir tahun ini kita bisa melakukan topping off dan serah terima kunci," uja
Kuy sebelum baca vote dulu.Berasal dari mana aja nih kalian?_________________Lyra menggeliat dari tidurnya. Mengucek mata yang masih terpejam. Bangkit perlahan dan duduk di tepi sofa. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada suara detak jarum jam yang terdengar.Sudah pukul delapan malam. Reksa belum juga pulang. Tadi Lyra sedang menonton televisi sembari menunggu suaminya pulang, malah dia ketiduran.Akhir-akhir ini Reksa sering pulang malam. Kerjaannya sedang padat dan mengharuskan ia lembur. Lyra hampir mati kebosanan menjadi penunggu rumah sejak dirinya resign dari kantor. Apalagi dalam keadaan Reksa yang sering pulang malam. Padahal usia kandungannya sudah menginjak sembilan bulan. Pergerakan Lyra mulai terbatas. Harusnya Reksa mengurangi kegiatannya di kantor. Bagaimana jika sewaktu-waktu istrinya melahirkan? Reksa sudah mengusulkan agar Lyra tinggal di rumah Mami Loui untuk sementara, tap
Happy Reading gaess...Jangan lupa tinggalkan jejak dan vote-nya yaa 😉______________Ada banyak makanan yang tertata di meja makan saat Reksa baru sampai rumah, setelah pulang kantor.Istrinya, Lyra. Sudah terlebih dulu pulang. Usia kehamilannya menginjak bulan ke enam. Reksa memaksanya hanya boleh bekerja sampai pukul empat sore."Sayaaaang ... Aku pulang...." Reksa menghidu aroma masakan. Ia mempercepat langkah ke dapur. Dan benar seperti dugaannya, istrinya sedang bergulat dengan wajan dan sodet. Memindahkan masakannya ke piring."Sayang, apa yang kamu lakukan? Mana Bibi?"Reksa segera mengambil alih sodet dan piring yang ada di tangan Lyra. "Kan sudah aku bilang, kamu itu nggak boleh capek. Sekarang, lihat! Apa yang kamu lakukan? Memasak segini banyaknya? Buat apa?"Lyra menatap kesal suaminya yang baru datang sudah mengomel tidak jelas. Bukannya berterima kasih, malah mer
BEBERAPA BULAN KEMUDIAN"Reksa," panggil Lyra.Yang dipanggil menegakkan badan kembali. Matanya mengerjap. Kali ini apalagi keinginan istrinya beralibi calon bayinya? Mata Reksa melirik ke jam dinding di sudut kanan. Sudah hampir pukul dua belas malam. Sumpah, ia sudah sangat mengantuk. Sudah seharian ini ia dikerjai keinginan istrinya yang aneh-aneh. Kalau bukan karena calon bayi yang Lyra kandung, ia tidak mau bersusah payah seperti itu."Iya, Sayang," jawab Reksa mempertahankan senyum."Cuanki bandung enak kayaknya."Glek!"Sayang, ini udah hampir tengah malam. Gimana kalau makan cuankinya besok aja. Pasti aku cariin sampe ketemu. Oke, ya?""Aku tuh penginnya sekarang." Lyra mencebikkan bibir. Mata bulatnya masih selebar purnama.Lyra memunggungi Reksa. Suaminya itu hanya bisa menghela nafas, selalu saja begitu."Kan kamu juga yang bikin aku jadi kayak gini. Ingat Re
"Aku pikir semua kemewahan yang kamu beri sudah berakhir Reksa, tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau resepsi pernikahan ini juga tak kalah mewah. Apa tidak sayang menghamburkan banyak uang begini?" bisik Lyra di telinga suaminya.Reksa menggeleng. "Untuk urusan ini aku tidak tau, Sayang. Semua yang mengatur Mami dan adik-adikku. Kamu tau sendiri seperti apa semangatnya mereka dengan pernikahan ini.""Di sini aku sudah seperti seorang ratu saja." Lyra mencebikkan bibirnya."Kamu memang seorang ratu, sangat cantik dan memesona.""Berhenti menggodaku Reksa."Sebuah cubitan kecil mendarat di pinggang Reksa membuat lelaki itu meringis."Aku tidak menggodamu. Melihatmu yang sangat cantik seperti ini, aku jadi tak sabar membuatmu mendesah di bawahku lagi malam ini."Kali ini pukulan Lyra mendarat di bahu Reksa agak keras. Matanya melotot. Tidak sepatutnya Reksa bicara vulgar di suasana seperti ini.
Lyra masuk ke ruangan Reksa dengan wajah sebal. Sengaja ia hentakkan kaki agar orang di meja kebesarannya itu sadar."Hai, Sayang," sapa Reksa sekilas, lalu melanjutkan pekerjaannya."Aku laper." Lyra langsung menjatuhkan diri di sofa."Oh, ya. Kamu mau makan apa? Kita bisa delivery.""Aku udah bawa bekal kalau kamu lupa."Reksa menutup fail yang ada di depannya. Lalu beranjak dari kursinya dan menghampiri Lyra yang sudah duduk di sofa."Oke, kita makan. Aku selalu suka masakan yang kamu buat."Lyra masih menampakan wajah kesal saat ia membongkar bekal makanan yang ia bawa. Kejadian di toilet rasanya ingin ia adukan pada Reksa."Kamu nggak pernah menyeleksi dengan baik calon karyawanmu di sini, ya?" tanya Lyra dengan bibir berkerut."Maksudnya?""Nggak pa-pa." Lyra menyerahkan satu kotak bekal pada Reksa. Rasanya terlalu kekanakan kalau harus mengadukannya langsung."Kamu mengalami hal ya
Mobil Reksa memasuki gerbang dan berhenti di halaman sebuah rumah mewah yang Lyra tidak tahu siapa pemiliknya. Bahkan dari sejak mengajaknya, Reksa tidak memberitahu tujuan jelasnya.Mungkin ini adalah salah satu rumah milik saudara atau temannya. Entahlah. Reksa masih saja bungkam saat dirinya menyuruh Lyra untuk turun.Lyra mengedarkan mata, menyapu semua sudut yang bisa ia jangkau. Halaman rumah ini cukup luas dengan sebuah taman yang tertata rapi dan indah. Ada sebuah kolam ikan kecil di sudut taman itu. Sebuah carport yang lumayan besar kira-kira bisa menampung tiga sampai empat mobil. Di sisi kanan rumah ada sebuah jalan terbuka yang sepertinya menghubungkan halaman samping dan belakang.Biarpun rumah berlantai dua ini terlihat megah dan indah, Lyra merasa rumah ini sepi penghuni. Bahkan sejak Lyra berdiri di sini beberapa menit lamanya, pemilik rumah belum menampakan batang hidungnya."Bagaimana menurutmu?"Lyra
Rumah masih nampak ramai. Sisa-sisa kegaduhan karena kedatangan keluarga Reksa juga masih ada. Pasalnya keluarga mempelai pria datang dengan membawa seserahan yang mengundang kehebohan. Baik dari keluarga Lyra sendiri maupun para tetangga yang turut menyaksikan itu.Lyra sendiri tidak menyangka semua permintaan yang hanya diucapkan dengan mode bercanda itu malah diwujudkan oleh Reksa. Lyra bukan wanita sematre itu. Ia hanya mengerjai Reksa padahal, tidak serius sama sekali.Lupakan soal itu. Karena Reksa sendiri bilang ada kejutan lain di Jakarta sana. Padahal ini cukup membuat Lyra dan keluarganya terhenyak.Kini Reksa dan Alyra sudah sah menjadi sepasang suami istri. Dan sekarang mereka sedang menjadi raja dan ratu sehari di sebuah gedung serba guna sederhana yang tidak jauh dari rumah orang tua Lyra. Karena ini di Palembang, maka kebanyakan tamu yang hadir memang dari keluarga dan teman-teman orang tua Lyra. Karena ini sejatinya