"Satu ciuman mungkin cukup."
Lyra terbelalak. Kakinya menegang. Otaknya langsung merespons dengan memerintahkan reaksi pada beberapa bagian tubuhnya, termasuk jantungnya yang kini berdebar.
Saraf pendengarannya terlalu sensitif, hingga bagian otaknya yang disebut talamus, sangat cepat menerima sinyal, lalu diteruskan ke amigdala yang mengeluarkan senyawa glutamat, yaitu zat kimia yang digunakan sel saraf untuk mengirim sinyal rasa takut ke sel lain. Refleks mukanya memucat. Lyra merasa terjebak. Sekali singa tetap saja singa.
"Bagaimana, Nona Lyra?" tanya Reksa mencondongkan badannya ke depan mendekati Lyra.
"Maaf itu... Anda gila ya, Pak?"
Di luar dugaan, Lyra malah membalas pertanyaan bosnya dengan pertanyaan yang membuat Reksa memicingkan mata.
Reksa menarik kembali tubuhnya. Menempelkan punggung kesandaran kursi. Senyum jahilnya terukir melihat Lyra yang terus saja menunduk. Dalam keadaan seperti itu pun, Lyra masih bisa mengatainya gila. Gadis ini benar-benar....
"Aku lapar. Capcay sepertinya enak!" ujar Reksa.
Lyra mendongak. Lelaki itu sudah berdiri, meregangkan otot tubuhnya. Itu cukup membuat napas Lyra lega. Sepertinya Reksa melupakan soal bayarannya itu. Bayaran yang sempat membuat sport jantung bertubi-tubi.
"Kenapa diam saja?"
"Ah, saya–"
"Aku tidak melupakan bayaran itu begitu saja, ya. Suatu saat akan aku tagih."
Apa? Lyra masih tidak percaya. Baru saja napasnya stabil, sekarang dibuat menderu lagi. Boleh tidak, sih marah-marah pada atasan? Tidak melanggar kode etik 'kan? Rasa-rasanya Lyra ingin menyemprotkan kata-kata tidak sopan yang sedari tadi ia tahan.
"Setidaknya ajak aku makan malam, jangan malah melamun, Nona. Apa kamu tidak mendengar dari tadi perutku berontak minta diisi?" protes Reksa yang melihat Lyra masih terbengong.
"Iya, Pak. Baik."
Cepat-cepat Lyra membereskan barang-barangnya bersiap meninggalkan meja kerja.
Reksa lebih dulu berjalan dengan Lyra yang mengekor di belakangnya. Tak apalah jika hanya mentraktir bosnya makan. Daripada harus menciumnya? Lyra mengedikkan bahu. Bibirnya masih suci. Harus kumur-kumur tujuh kali pakai sabun kalau itu terjadi.
Lyra berdiri canggung, agak sedikit mundur di belakang Reksa. Mereka sedang berdua saja di dalam lift. Lyra sama sekali tak berniat bergeser dari tempatnya berdiri.
Reksa yang dari tadi melihat tingkah wanita itu, menoleh ke belakang. Lalu menarik tangan Lyra agar berdiri sejajar dengannya, dan itu cukup membuat wanita itu terkesiap.
"Kenapa harus di belakangku? Di sini 'kan masih luas. Dan satu lagi, kenapa sekarang bicaramu sangat irit? Kamu sariawan?" tanya Reksa heran.
"Itu saya–"
"Bersikaplah seperti biasanya. Dan jangan saya-saya terus."
Ah, Lyra baru sadar kalau Reksa sudah membuang kata 'saya' dan berganti menjadi 'aku' yang terdengar begitu... akrab. Ah, bukan, tapi sok akrab.
Bagaimana bisa? Sejak tadi Lyra menahan agar mulutnya tidak mengeluarkan umpatan. Di balik sikap baiknya, lelaki itu bisa juga bertingkah menyebalkan. Andai saja orang di sampingnya bukan atasan, ia akan memaki habis-habisan, jujur mulutnya sudah sangat gatal.
Suara lift berdenting. Pintu terbuka. Lyra mengikuti langkah lebar Reksa sampai ke depan mobilnya.
***
Lyra pikir mobil ini akan berhenti di sebuah restoran atau kafe. Namun, malah berhenti di sebuah supermarket. Ini sebenarnya mau makan atau mau belanja?
Dan sekarang, Lyra di sini. Bersama Reksa sedang memilih sayuran segar yang terpampang meriah di display supermarket besar yang dekat dengan kantornya.
"Apa yang kita perlukan?" tanya Reksa.
"Memangnya Bapak mau masak?" tanya Reksa balik.
"Me? No, but you," jawab Reksa santai.
"Saya?"
"Yes. You can cook capcay, right? Kamu yang pilih bahan-bahannya."
Lyra menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia harus memasak untuk si bos? Yang benar saja. Walaupun ia sangat suka memasak. Tapi... Ih! Kenapa sih tidak pilih cara praktis aja? Geramnya dalam hati.
Dengan sangat terpaksa, Lyra mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan secukupnya. Jamur, bunga kol, wortel, brokoli, baso ikan, dan lain-lain.
"Cukup segini aja," katanya setelah memilih sayur dan bumbunya.
"Yakin, cuma segini?" tanya Reksa memastikan.
Lyra mengangguk, tetapi Reksa malah mengambil sayur-sayuran lebih banyak lagi masuk ke trolinya.
"Loh, Pak. Ini kebanyakan, " protes Lyra.
"Nanti aku bagi denganmu."
Reksa mendorong troli tanpa peduli dengan Lyra yang masih bengong.
Tak hanya sayur, ikan segar pun tak luput dari mata Reksa.***
Setelah selesai berbelanja, Reksa melajukan land cruisernya menuju sebuah kawasan apartement mewah di bilangan Jakarta Selatan. Lyra tahu sekali tempat ini. Karena ia sering melewatinya jika ingin jalan-jalan ke Pasar Minggu.Kawasan yang terdiri atas tiga tower. Satu tower perkantoran, dan dua tower apartemen yang memiliki fasilitas lux ala kalangan jet set.
Tanpa Lyra sadari, mobil Reksa memasuki tempat parkir di basement gedung ini. Untuk pertama kalinya, Lyra akan menginjak tempat ini. Matanya mengedar. Untuk lahan parkirnya saja ada tiga basement. Wow.
"Pak, kenapa ke sini?" tanya Lyra bersamaan dengan matinya mesin mobil.
"Untuk mengeksekusi belanjaan kita." Reksa membuka seat belt.
"Bapak tinggal di sini?"
Tanpa bertanya harusnya Lyra tahu dong. Ya, kali Reksa membawanya ke tempat orang. Reksa tak menjawab. Ia hanya tersenyum singkat, lalu membuka pintu mobil. Lyra pun mengikuti. Mereka berdua melangkah menuju lift yang akan menghubungkan langsung ke unit milik Reksa.
Reksa menekan deretan angka kombinasi akses masuk, begitu sampai di depan pintu unitnya.
"Jadi, Bapak beneran tinggal di sini? Lalu kenapa tadi kita repot-repot belanja di luar? Bukannya di sini ada farmer market?"
Reksa menoleh. Sedikit tersenyum, karena ia merasa sudah mendapati Lyra yang sebenarnya. Wanita cerewet yang menggemaskan.
"Emang nggak boleh? Ayo masuk," ajak Reksa membuka pintu.
Lyra malah diam mematung tak bergerak.
"Kenapa kamu nggak masuk?"
"Saya nggak pernah ke tempat tinggal lelaki asing sebelumnya. Saya pulang saja ya, Pak," jawab Lyra jujur. Memang ini yang pertama.
Reksa menghela napas. "Kita hanya akan memasak, itu nggak masalah. Dan aku bukan lelaki asing."
Lyra masih bergeming. Bukan lelaki asing? Kalau bukan karena Reksa atasan di tempatnya bekerja sekarang, Reksa tetaplah orang asing.
"Oke, lupakan soal bayaran itu. Ayo, sekarang masuk. Kamu nggak perlu takut."
Lyra menatap mata hazel Reksa. Mencari kebenaran atas ucapannya barusan di sana.
"Kenapa lagi? Apa kamu benar-benar ingin aku cium?" Reksa menaikkan alisnya.
Lyra menggeleng cepat. "Tidak, tidak."
"Kalo begitu, ayo masuk," perintahnya lagi.
Akhirnya, Lyra mau juga masuk ke unit mewah ini. Aroma musk menguar begitu kaki Lyra menginjakkan kaki di ruangan ini. Aroma khas laki-laki.
Dilihatnya Reksa membuka jas, dan menaruhnya sembarang. Sebenarnya Lyra takut masuk ke sini. Namun ia berusaha yakin bahwa Reksa tak mungkin menerkamnya. Tapi jika Reksa macam-macam, Lyra bersumpah akan memukul kepala bosnya itu dengan panci hingga amnesia.
Mata Lyra mengedar ke seluruh penjuru interior design yang lebih mirip hotel bintang tujuh ini. Pantas saja jika setiap unitnya dibandrol dengan harga yang fantastis, 5M.
Lyra bergidik, entah harus berapa puluh tahun ia perlu menabung hanya untuk bisa membeli satu unitnya. Bahkan untuk menyewanya saja rasa-rasanya tidak mungkin. 30 juta per bulan, hmm mending buat nabung untuk masa depannya kelak.
"Kamu suka tempat ini? Kalo kamu mau masih ada, tuh kamar yang kosong," ujar Reksa membuat Lyra melotot. Kurang waras.
Reksa terkekeh melihat reaksi Lyra.
"Ini milik Bapak atau hanya menyewa?" tanya Lyra ingin tahu.
"Apa itu penting?"
"Tidak, sih, cuma nanya. Bapak sendirian aja di sini?"
"Tidak, kalo kamu mau menemani," goda Reksa lagi.
Lyra mendengus. Ia melangkah ke dapur dengan bersungut-sungut. Dari tadi Reksa terus saja menggodanya.
"Kenapa Bapak memilih tinggal di sini?" Lagi Lyra tidak bisa menahan keingintahuannya.
"Karena letaknya tidak jauh dari kantorku. Kantorku di tower depan."
Lyra mengernyit. Aneh, jelas-jelas kantor mereka berdua sama. Dan letaknya bukan di gedung itu.
"Kantor yang lain maksudnya. Sudah cukup. Sekarang kamu harus memasak untukku."
"Ah!" pekik Lyra. Tiba-tiba saja Reksa menarik pinggangnya mendekat. Tentu saja itu membuat Lyra terkejut.
Dengan cepat Reksa mengalungkan selembar apron. Lalu tangannya merambat ke pinggul wanita itu untuk menyimpulkan tali di bagian belakang pinggang Lyra yang ramping. Posisinya sekarang seperti sedang memeluk wanita itu.
Reksa bisa mencium aroma bunga lily dari tubuh Lyra. Membuat getaran yang teramat halus menyelinap di dalam sana.
Lyra yang masih terkejut, tanpa sadar mencengkram lengan Reksa. Indera penciumannya juga tak bisa mengelak aroma pinus yang menguar dari tubuh lelaki itu. Sangat menenangkan.
"Jika sedang berdua denganku jangan panggil aku bapak. Panggil namaku, Reksa," bisik Reksa membuat kuduk di leher Lyra merinding.
"Ba-baik."
Reksa sukses membuat jantung Lyra berdetak begitu cepat. Segera Lyra mendorong tubuh liat di hadapannya. Lalu, dengan gerakan gugup berusaha menyibukkan diri dengan berbagai olahan makanan yang akan ia masak.
Reksa tersenyum senang memandang wajah merona Lyra. Terlihat begitu manis.Pertama, Lyra melumuri ikan gurame segar yang sudah dibersihkan dengan bumbu jadi yang tadi ia beli. Lalu, ia akan mendiamkannya beberapa saat agar bumbu itu meresap. Kemudian,ia memisahkan beberapa sayuran secukupnya dan bersiap untuk mencucinya.Melihat kesibukan Lyra di dapur, Reksa berinisiatif ingin membantunya."Apa yang bisa kubantu, Nona?" tanyanya melangkah ke dapur."Bapak bisa me–""Reksa, " potong Reksa cepat."Okeh Rek–" sangat aneh. "Saya tidak biasa, Pak.""Biasakan.""Ini Ba–eh, kamu cuci saja sayuran ini, lalu potong-potong."Lyra menggigit bibir bawahnya. Di pertemuan pertama padahal Lyra dengan mudahnya menyebut 'kamu-kamu' pada lelaki di sampingnya ini. Kenapa sekarang dirasa begitu sulit?"Oke.""Saya akan menanak nasinya dulu." Ia lantas meninggalkan Reksa untuk mencuci beras.*Beberapa menit kemudian.*"Selesai," seru Reksa membuat Lyra menoleh. Sedetik ke
Herdy keluar dari sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari apartemen milik Reksa, diikuti seorang wanita di belakangnya."Itu mobil Reksa 'kan?" tanya wanita yang kini sedang berada di samping Herdy.Herdy kontan menoleh, mengikuti arah pandang wanita itu. Iya, itu betul mobil Reksa yang baru keluar dari tower apartemennya."Eh, sama cewek, siapa ya? Pacarnya? Wah, ada kemajuan si bos," celetuk wanita itu lagi. Mata Herdy kembali menajam ke arah mobil Reksa. Wanita yang ada di samping kemudi Reksa itu... Lyra. Refleks tangannya mengepal. Entah kenapa ia tidak suka melihatnya."Habis ngapain ya mereka di sana? Wah, Reksa sekali dapat cewek mainnya langsung ke apartemen." Wanita itu terus berkomentar dan tertawa.Mendengarnya membuat telinga Herdy memanas."Bisa diam nggak kamu, Syilla?!" bentak Herdy. Wanita yang dipanggil Syilla itu segera menghentikan tawanya."Cepat masuk mobil," perintah Herdy. yang lang
Lyra menatap sebuah tas bekal makanan yang kini sudah ia letakkan di atas meja. Menimang-nimang, apa yang sudah ia lakukan? Pagi tadi sebelum berangkat bekerja, ia menyibukkan diri membuat bekal makan siang juga sarapan pagi. Dan kali ini, ada mama yang membantu.Meskipun ia masih terus tidak habis pikir pada dirinya sendiri, tak ayal dirinya sangat menikmati mengingat wajah Reksa saat lelaki tampan itu dengan lahap memakan hasil masakannya.Hingga kini, dua kotak bekal makanan telah saling bertumpuk di meja kerjanya. Satu untuk dirinya, dan satu untuk GM berparas menawan itu.Bunyi interkom di meja kerja Lyra berdering, membangunkan lamunannya. Ia segera meraih gagang telepon."Ya, Pak," jawabnya."Ke ruangan saya sekarang." Herdy di sana memerintah."Baik."Ada apa lagi ini? Apa laporan tadi pagi yang ia serahkan salah? Laporannya kemarin yang mengerjakan GM-nya langsung, mana mungkin salah? Lyra mengetuk pintu r
Malam ini, gara-gara Alfa yang tidak bisa ikut makan malam, mood mama jadi kacau. Sepanjang jalan mengomel tak mau berhenti. Lyra sampai bingung karena mama juga selalu bilang ini acara penting. Mama mau bertemu sahabat lama mama katanya. Awalnya, Lyra pikir cuma makan malam bersama keluarganya saja, ternyata mama juga mengundang temannya.Mereka bertiga sudah berada di meja makan yang bisa menampung delapan orang. Meja itu sudah direservasi terlebih dahulu oleh orang bernama ... tadi mama bilang siapa? Ira kalau tak salah.Wajah mama kembali sumringah, saat tak berapa lama ada seseorang yang menyapanya. Lyra sendiri masih sibuk membuka buku menu bergambar makanan yang kelihatannya lezat-lezat, sambil berpikir bagaimana cara membuat masakan seperti itu? Huh, dasar tukang masak."Lyra bangun. Lihat! siapa yang datang. Tante Ira. Kamu masih ingat 'kan?" tanya mama meraih lengan Lyra. Gadis itu refleks berdiri menyambut kedatangan I
Di dalam kamarnya, Lyra masih tidak habis pikir dengan rencana orang tuanya. Masih bertanya-tanya, kenapa Herdy? Kenapa harus orang yang selalu mengintimidasinya tiap hari itu?Bagaimana mungkin orang sepertinya bisa menjadi suami yang baik bagi Lyra? Tiap harinya saja pasang muka jutek dan horor. Menuntut ini itu. Gimana Lyra kalau jadi istrinya? Habislah ia kena omelan tiap waktu. Apalagi kalo didapatinya kerjaan yang tidak beres.'Lyra ini debunya masih menempel di jariku!''Lyra kamu ini bagaimana? masak aja keasinan!''Hey kamu dengar tidak? anakmu nangis. Bisa urus anak tidak?!'"Tidaaaaaakkkkk...!"Ia redamkan kepala ke dalam bantal. Tak mau teriakannya mengganggu penghuni lain di rumah ini. Sepertinya, hari-hari akan menjadi tambah ruwet gara-gara perjodohan ini.Lyra bangkit dari tempat tidur. Membuka pintu kamar, lalu mengendap-endap keluar rumah. Tak ada sinyal kehidupan di rumah selai
Reksa diam menatap Lyra. Dirinya ingin bertanya mengapa. Tapi ia lebih memilih diam mengamati manik hitam wanita di depannya yang tadi sempat membuatnya sangat khawatir. Pelan ia menarik napas. Lalu tangan besarnya menarik Lyra, melangkah."Kita mau ke mana, Pak?" tanya Lyra."Ke apartemenku.""Tapi, Pak–" susah payah Lyra mengimbangi langkah Reksa yang lebar.Dengan gesit Reksa menyeberang jalanan menuju mobilnya. Lyra terkejut saat melihat pintu mobil terbuka."Pak, mobilnya–""Nggak apa-apa. Aku tadi buru-buru jadi nggak sempat menutup pintunya."Lyra merasa menyesal. Lagi-lagi ia merepotkan Reksa. Kali ini dengan tindakan teramat bodoh, sampai-sampai Reksa harus meninggalkan mobil dengan kondisi sembarang seperti ini.Reksa membuka pintu mobil sebelah kiri dan menyuruh Lyra masuk."Maafkan saya, Pak. Gara-gara saya Bapak jadi meninggalkan mobil sembarangan."Reksa ya
Yang pertama kali Lyra rasakan saat baru pertama kali masuk kamar yang luasnya bisa tiga kali lipat dari kamar rumahnya di kampung itu adalah ... kehangatan. Entahlah, wangi maskulin khas lelaki. Aromanya begitu menenangkan. Beda dari aroma kamar milik Alfa, abangnya.Meski abangnya juga wangi, tapi aromanya tidak semenenangkan ini. Lyra merasa nyaman.Lyra mendekat ke sebuah sofa putih di sudut kamar. Dekat dengan kaca besar yang memperlihatkan lanskap kota Jakarta dari atas sini. Luar biasa indah jika dipandang malam hari seperti sekarang.Sebuah tempat tidur king size dengan duvert cover berwarna putih yang terbentang rapi. Sangat empuk, hingga Lyra merasa tenggelam saat berbaring di atasnya. Aroma woody kembali menusuk indera penciumannya. Lyra beringsut masuk ke dalam duvert cover. Ia benar-benar merasa nyaman dengan aroma ini. Sama seperti aroma tubuh Reksa.Lyra menarik selimut menutupi tubuh. Matanya terpejam. Begit
"Pagi, Mbak," sapa Lyra mendekati seorang wanita muda yang menjaga kasir restoran di mana ia dan Reksa kini sedang sarapan.Tadi ia pamit ke toilet sebentar dan mampir ke meja kasir ketika melihat ada pesawat telepon di sana."Pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas kassa ramah."Boleh nggak, Mbak, saya pinjam teleponnya sebentar?"tanya Lyra menunjuk pesawat telepon."Oh iya, boleh, Mbak. Silahkan.""Wah, terima kasih, ya, Mbak."Lyra segera meraih gagang telepon dan menekan nomor ponsel Alfa. Sembari sesekali melirik meja di mana Reksa berada.Terdengar suara sambungan dari sana dan tak lama suara Alfa terdengar."Halo. Siapa nih?"Ih, galak banget, nih, orang. Dasar! pantas kalau jomlo akut."Abang, ini gue Lyra.""Ebuset bocah semprul! Di mana lu?! Ya ampun, nih anak bener-bener dah! Kabur nggak bilang-bilang. Lu bikin mama kejer tau
Reksa melipat lengan kemejanya hingga siku. Dasi yang tadi pagi siang masih melekat sempurna di lehernya entah ke mana sekarang perginya. Pelipisnya terus mengucurkan buliran keringat. Mulutnya tidak berhenti mengucapkan kata-kata penyemangat untuk istrinya yang masih menahan sakit pada perutnya. Tangannya juga menggenggam tangan Lyra menyalurkan kekuatan. Sebelah tangan yang lain mengusap berulang kepala Lyra yang sesekali meringis kesakitan."Reksa, ini sakit banget," keluh Lyra lirih. Wajahnya memucat."Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi ini akan selesai. Kamu pasti kuat." Reksa terus meyakinkan.Lyra menahan napas kuat-kuat saat kontraksi semakin menguat. Rasanya ingin ia keluarkan segera isi di dalam perutnya. Ia benar-benar tidak tahan.Jeda kontraksi semakin sering. Rasa sakit yang mengiringi kini berdampingan dengan rasa mulas yang luar biasa. Sekuat tenaga Lyra menahan agar tidak mengejan kare
Derap langkah terdengar keras dan cepat. Reksa dan Bastian baru saja melakukan meeting dengan E.R Grup terkait kerjasamanya dalam pembangunan sebuah hotel di Pulau Maluku.Ini merupakan proyek pertamanya di bidang perhotelan. Ia menanamkan lima puluh persen sahamnya pada bisnis itu. Ia dan Bastian sudah memperhitungkan matang-matang sebelum memutuskan merambah ke bisnis perhotelan dan pariwisata jauh sebelum mega proyek kota mandiri baru di-release.Mega proyek kota mandiri, masih dalam tahap pembangunan. Akan memakan waktu yang lumayan lama untuk menjadikan kota itu sesuai dengan rancangan. Saat ini pengembang sedang membangun 58 tower, dengan total unit mencapai 23.500. Dari tower yang sedang dibangun tersebut, pihak pengembang mengaku telah menjual 70 persen unit. Ini pencapaian yang fantastis."Kita harus menghubungi pihak pengembang kembali. Usahakan akhir tahun ini kita bisa melakukan topping off dan serah terima kunci," uja
Kuy sebelum baca vote dulu.Berasal dari mana aja nih kalian?_________________Lyra menggeliat dari tidurnya. Mengucek mata yang masih terpejam. Bangkit perlahan dan duduk di tepi sofa. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Hanya ada suara detak jarum jam yang terdengar.Sudah pukul delapan malam. Reksa belum juga pulang. Tadi Lyra sedang menonton televisi sembari menunggu suaminya pulang, malah dia ketiduran.Akhir-akhir ini Reksa sering pulang malam. Kerjaannya sedang padat dan mengharuskan ia lembur. Lyra hampir mati kebosanan menjadi penunggu rumah sejak dirinya resign dari kantor. Apalagi dalam keadaan Reksa yang sering pulang malam. Padahal usia kandungannya sudah menginjak sembilan bulan. Pergerakan Lyra mulai terbatas. Harusnya Reksa mengurangi kegiatannya di kantor. Bagaimana jika sewaktu-waktu istrinya melahirkan? Reksa sudah mengusulkan agar Lyra tinggal di rumah Mami Loui untuk sementara, tap
Happy Reading gaess...Jangan lupa tinggalkan jejak dan vote-nya yaa 😉______________Ada banyak makanan yang tertata di meja makan saat Reksa baru sampai rumah, setelah pulang kantor.Istrinya, Lyra. Sudah terlebih dulu pulang. Usia kehamilannya menginjak bulan ke enam. Reksa memaksanya hanya boleh bekerja sampai pukul empat sore."Sayaaaang ... Aku pulang...." Reksa menghidu aroma masakan. Ia mempercepat langkah ke dapur. Dan benar seperti dugaannya, istrinya sedang bergulat dengan wajan dan sodet. Memindahkan masakannya ke piring."Sayang, apa yang kamu lakukan? Mana Bibi?"Reksa segera mengambil alih sodet dan piring yang ada di tangan Lyra. "Kan sudah aku bilang, kamu itu nggak boleh capek. Sekarang, lihat! Apa yang kamu lakukan? Memasak segini banyaknya? Buat apa?"Lyra menatap kesal suaminya yang baru datang sudah mengomel tidak jelas. Bukannya berterima kasih, malah mer
BEBERAPA BULAN KEMUDIAN"Reksa," panggil Lyra.Yang dipanggil menegakkan badan kembali. Matanya mengerjap. Kali ini apalagi keinginan istrinya beralibi calon bayinya? Mata Reksa melirik ke jam dinding di sudut kanan. Sudah hampir pukul dua belas malam. Sumpah, ia sudah sangat mengantuk. Sudah seharian ini ia dikerjai keinginan istrinya yang aneh-aneh. Kalau bukan karena calon bayi yang Lyra kandung, ia tidak mau bersusah payah seperti itu."Iya, Sayang," jawab Reksa mempertahankan senyum."Cuanki bandung enak kayaknya."Glek!"Sayang, ini udah hampir tengah malam. Gimana kalau makan cuankinya besok aja. Pasti aku cariin sampe ketemu. Oke, ya?""Aku tuh penginnya sekarang." Lyra mencebikkan bibir. Mata bulatnya masih selebar purnama.Lyra memunggungi Reksa. Suaminya itu hanya bisa menghela nafas, selalu saja begitu."Kan kamu juga yang bikin aku jadi kayak gini. Ingat Re
"Aku pikir semua kemewahan yang kamu beri sudah berakhir Reksa, tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau resepsi pernikahan ini juga tak kalah mewah. Apa tidak sayang menghamburkan banyak uang begini?" bisik Lyra di telinga suaminya.Reksa menggeleng. "Untuk urusan ini aku tidak tau, Sayang. Semua yang mengatur Mami dan adik-adikku. Kamu tau sendiri seperti apa semangatnya mereka dengan pernikahan ini.""Di sini aku sudah seperti seorang ratu saja." Lyra mencebikkan bibirnya."Kamu memang seorang ratu, sangat cantik dan memesona.""Berhenti menggodaku Reksa."Sebuah cubitan kecil mendarat di pinggang Reksa membuat lelaki itu meringis."Aku tidak menggodamu. Melihatmu yang sangat cantik seperti ini, aku jadi tak sabar membuatmu mendesah di bawahku lagi malam ini."Kali ini pukulan Lyra mendarat di bahu Reksa agak keras. Matanya melotot. Tidak sepatutnya Reksa bicara vulgar di suasana seperti ini.
Lyra masuk ke ruangan Reksa dengan wajah sebal. Sengaja ia hentakkan kaki agar orang di meja kebesarannya itu sadar."Hai, Sayang," sapa Reksa sekilas, lalu melanjutkan pekerjaannya."Aku laper." Lyra langsung menjatuhkan diri di sofa."Oh, ya. Kamu mau makan apa? Kita bisa delivery.""Aku udah bawa bekal kalau kamu lupa."Reksa menutup fail yang ada di depannya. Lalu beranjak dari kursinya dan menghampiri Lyra yang sudah duduk di sofa."Oke, kita makan. Aku selalu suka masakan yang kamu buat."Lyra masih menampakan wajah kesal saat ia membongkar bekal makanan yang ia bawa. Kejadian di toilet rasanya ingin ia adukan pada Reksa."Kamu nggak pernah menyeleksi dengan baik calon karyawanmu di sini, ya?" tanya Lyra dengan bibir berkerut."Maksudnya?""Nggak pa-pa." Lyra menyerahkan satu kotak bekal pada Reksa. Rasanya terlalu kekanakan kalau harus mengadukannya langsung."Kamu mengalami hal ya
Mobil Reksa memasuki gerbang dan berhenti di halaman sebuah rumah mewah yang Lyra tidak tahu siapa pemiliknya. Bahkan dari sejak mengajaknya, Reksa tidak memberitahu tujuan jelasnya.Mungkin ini adalah salah satu rumah milik saudara atau temannya. Entahlah. Reksa masih saja bungkam saat dirinya menyuruh Lyra untuk turun.Lyra mengedarkan mata, menyapu semua sudut yang bisa ia jangkau. Halaman rumah ini cukup luas dengan sebuah taman yang tertata rapi dan indah. Ada sebuah kolam ikan kecil di sudut taman itu. Sebuah carport yang lumayan besar kira-kira bisa menampung tiga sampai empat mobil. Di sisi kanan rumah ada sebuah jalan terbuka yang sepertinya menghubungkan halaman samping dan belakang.Biarpun rumah berlantai dua ini terlihat megah dan indah, Lyra merasa rumah ini sepi penghuni. Bahkan sejak Lyra berdiri di sini beberapa menit lamanya, pemilik rumah belum menampakan batang hidungnya."Bagaimana menurutmu?"Lyra
Rumah masih nampak ramai. Sisa-sisa kegaduhan karena kedatangan keluarga Reksa juga masih ada. Pasalnya keluarga mempelai pria datang dengan membawa seserahan yang mengundang kehebohan. Baik dari keluarga Lyra sendiri maupun para tetangga yang turut menyaksikan itu.Lyra sendiri tidak menyangka semua permintaan yang hanya diucapkan dengan mode bercanda itu malah diwujudkan oleh Reksa. Lyra bukan wanita sematre itu. Ia hanya mengerjai Reksa padahal, tidak serius sama sekali.Lupakan soal itu. Karena Reksa sendiri bilang ada kejutan lain di Jakarta sana. Padahal ini cukup membuat Lyra dan keluarganya terhenyak.Kini Reksa dan Alyra sudah sah menjadi sepasang suami istri. Dan sekarang mereka sedang menjadi raja dan ratu sehari di sebuah gedung serba guna sederhana yang tidak jauh dari rumah orang tua Lyra. Karena ini di Palembang, maka kebanyakan tamu yang hadir memang dari keluarga dan teman-teman orang tua Lyra. Karena ini sejatinya