"Mama, kenapa Papa tidak pernah mendengarkan aku!" ucapnya sendu.
Papanya bahkan lebih menyayangi anak tirinya dibanding dirinya yang notabene adalah anak kandungnya.
Darah dagingnya sendiri!.
Papa Deni Wijaya berubah semenjak menikah lagi dengan Mama Siska, yang membawa anak perempuan lebih tua 2 tahun di atasnya yaitu Clara.
Semula mereka baik-baik saja tapi Mama dan saudara tirinya hanya bersikap manis padanya saat di depan Papanya. Itu sebabnya Papanya tidak percaya kalau Laura mengadu.
Laura membenamkan wajahnya di bantal.
Belum kering luka karena dikhianati oleh orang yang dicintai sekarang mereka malah berbahagia di atas penderitaannya.
Laura yakin kalau Clara sudah merencanakan ini semua. Pantas saja setiap kali melihat Frans datang ke rumah ini, dia selalu mendekati Frans bahkan secara terang-terangan di depannya.
Clara yang menyukai pria kaya bisa saja mencari pria lain, kenapa harus Frans yang hanya seorang Manager.
Laura merasa Tuhan tidak adil padanya. Setelah mengambil Mamanya, sekarang juga memisahkannya dari orang yang satu-satunya dia harapkan memberikan kebahagiaan untuknya.
Secepat itukah Frans berpaling padanya setelah hubungan mereka selama 2 tahun ini?.
Laura menghabiskan malamnya hanya menangis dan menangis sampai dia tertidur karena kelelahan.
Di Apartment Mario...
Pria itu hanya mengenakan kaos putih tipis, duduk di tepi ranjang sambil melihat layar ponselnya.
Mario sedang mengetik pesan lalu menghapusnya lagi, mengetik lagi lalu menghapus lagi.
"Apa yang kulakukan sebenarnya?" desahnya sambil mengusap wajahnya kasar.
Tadinya dia ingin mengirim pesan pada Laura, entah kenapa dia ingin mengobrol dengannya, tapi niat itu diurungkan.
"Sudahlah lupakan!" ucapnya sambil meletakkan kembali ponselnya ke atas nakas di samping tempat tidurnya.
***
Laura bangun pagi-pagi sekali agar tidak perlu sarapan bersama orang tuanya dan juga Clara.
Dia bahkan melangkah diam-diam, mengendap seperti maling saat keluar rumah.
"Syukurlah. Rasanya aku tidak ingin tinggal di rumah ini," gumamnya sambil mempercepat langkahnya.
Satu-satunya alasan Laura masih ingin tinggal di sana karena di rumah itu memiliki banyak kenangan saat bersama Mamanya.
Lagipula Laura masih mempunyai Papa, meskipun pria itu lebih sering menghabiskan waktunya bekerja dan tidak memperhatikannya.
Laura memutuskan membeli roti dan sarapan di kantor saja selagi menunggu jam kerjanya di mulai.
Baru saja Laura melangkahkan kakinya memasuki kantor, ponsel di dalam tasnya berbunyi.
Nama sahabatnya tertera di layar ponselnya.
"Halo, Vania? Tumben nelpon pagi-pagi?"
["Hei, Ayo kita jalan. Traktir dong karena sudah pindah tempat baru!" suara Vania terdengar riang di sebrang sana.]
"Baiklah. Maaf ya, aku belum sempat main ke rumahmu," ucapnya tak enak.
["It's ok. Nanti aku jemput deh di kantormu yang baru. Kita pergi ke mall tempat biasa!" ucapnya antusias.]
"Ok sip! Aku tutup dulu ya. Sebentar lagi Bosku datang!" Laura sedikit mendongak melihat ke arah lift.
["Ok. Bye!"]
Telpon diakhiri.
Laura tersenyum bahagia, setidaknya satu hal lagi yang harus ia syukuri yaitu mempunyai sahabat yang selalu mendukungnya dan ada untuknya dalam keadaan apapun.
Vania belum mengetahui soal hubungannya dengan Frans. Dia akan memberitahunya nanti.
Laura pun membereskan mejanya sebelum memulai pekerjaan.
Mario datang bersama Niko di belakangnya. Tangannya menenteng kotak kecil berwarna kuning.
Laura pun bangkit dari duduknya dan menunduk hormat saat menyapa Mario.
"Pagi, Pak!" ucapnya sopan.
"Pagi. Apa kau sudah sarapan?" Mario langsung bertanya tanpa basa basi.
"Hah? A-apa, pak?" sahut Laura tergagap.
"Ini makanlah!" setelah mengatakan itu Mario langsung masuk ke dalam ruangannya.
Niko tersenyum penuh arti ke arah Laura dan mengekori kemana pun Bosnya itu pergi.
"Apa ini?" Laura yang penasaran dengan cepat membuka kotak itu.
Ternyata isinya adalah roti isi dengan berbagai macam varian rasa. Laura sampai menelan ludahnya karena bisa membayangkan kalau roti itu sangat enak.
Laura dengan semangat memakan semua roti itu sampai habis.
Dia bahkan lupa mengucapkan terima kasih pada Bosnya.
Telpon di mejanya berbunyi.
Laura yang kaget dengan cepat mengelap tangannya dengan tisu yang ada di atas meja.
"Ha-halo, Pak!" jawabnya gugup.
["Persiapkan berkas yang aku minta semalam. Aku akan membawanya untuk rapat pagi ini!" ucapnya datar dan sedikit angkuh di telinga Laura.]
"Baik, Pak!" jawabnya cepat.
Telpon langsung dimatikan oleh Mario.
Laura mengerucutkan bibirnya karena kesal pada Mario yang meminta sesuatu secara mendadak.
Mungkin ini adalah resiko yang harus dia jalani, karena gajinya sangat besar jadi dia akan memberikan yang terbaik.
"Semangat Laura!" ujarnya mengepalkan kedua tangannya.
Setelah 30 menit berkas yang diminta Mario sudah selesai.
Sekarang Laura bergegas untuk memberikannya pada Bosnya itu.
"Permisi, Pak!" ucap Laura setelah masuk.
"Iya, silahkan!"
Mario memandang wajah Laura dengan lekat membuat gadis itu langsung menundukkan kepalanya.
Saat ini dia sedang berdiri menyender di depan meja kerjanya dengan membaca beberapa dokumen di tangannya.
"Ini berkas yang anda minta, Pak. Oh ya, terima kasih atas rotinya. Saya permisi dulu,"
"Tunggu!"
Mario menghentikan Langkah Laura dan membuat gadis itu kembali menoleh padanya.
"Ada apa, Pak?" Laura bertanya dengan polos.
Mario mendekat ke arah Laura, semakin dekat sampai Laura bisa kembali mencium wangi maskulin Bosnya ini.
"Ada sesuatu ...," lirihnya lalu mengelap selai coklat yang masih menempel di sudut bibir Laura.
Pandangan mereka kembali bertemu.
Hal itu membuat Laura terkesiap dan memundurkan tubuhnya kebelakang.
"Maaf, Pak. Saya permisi dulu!" ucap Laura dan secepat mungkin pergi dari sana.
Mario tersenyum karena berhasil membuat gadis itu salah tingkah.
Laura memegangi dadanya saat sudah berada di meja kerjanya.
"Ya Tuhan! Apa itu tadi? Wajah kami begitu dekat!" gumamnya sambil mengatur napas.
***
Laura dijemput oleh Vania. Sahabatnya itu sudah memiliki mobil sendiri ketika sudah bekerja. Lagipula Vania berasal dari keluarga yang mampu.
Tidak seperti dirinya.
"Hai, Van!"
Setelah masuk ke dalam mobil sahabatnya, mereka pun sepakat ke mall terbesar yang ada di kota itu.
Vania yang sudah tidak sabar langsung memberikan berbagai pertanyaan padanya sampai menemukan tempat duduk untuk mereka di salah satu restoran.
"Ayo cepat katakan padaku, ada apa?" Vania bertanya dengan tidak sabar.
"Baiklah. Dengarkan baik-baik ya!"
Vania mengangguk antusias.
Laura menarik napasnya panjang, lalu mulai menceritakan semuanya dari awal.
"Apa? Dasar pria tidak tahu diri dan wanita tidak tahu malu!" ujarnya berapi-api.
Vania memang begitu, dari awal dia tidak setuju Laura menjalin hubungan pria seperti Frans. Semua ucapannya dulu terbukti kalai Frans adalah pria brengsek.
Saat tengah asik bercerita, ada pasangan yang mendekat ke arah mereka.
Membuat Laura mau tidak mau harus berani dan tegar menghadapi mereka.
"Wah, lihat siapa ini sayang!" ucap wanita itu angkuh.
"Sudahlah, biarkan saja dia," sahut pria di sebelahnya.
Ternyata pasangan itu adalah Frans dan Clara.
Dunia ini begitu sempit sampai Laura harus bertemu mereka lagi di Mall ini.
"Apa mau kalian? Pergi dari sini!" usir Vania ketus.
"Van, sudahlah!" cegah Laura tak ingin memperpanjang masalah.
"Kenapa? Apa kau malu karena Frans lebih memilihku?" Clara berkata dengan gaya yang angkuh dan bergelayut manja di lengan Frans.
"Aku sedang tidak ingin bicara pada kalian. Jangan ganggu aku," jawab Laura cepat.
"Laura, aku minta maaf. Aku harap kau bisa mengerti," ucap Frans kemudian.
Laura diam tidak ingin menanggapi dan membuang muka.
"Kenapa harus minta maaf sayang? Dia itu seharusnya malu! Karena hanya aku yang bisa membuatmu senang, iya kan?" Clara masih berusaha memanasi.
"Clara, ayo kita pergi dari sini!" ucap Frans mulai tidak sabar.
"Sebentar sayang. Dia harus tau satu hal. Hanya aku yang bisa memuaskanmu di ranjang!" bisik Clara tepat di telinga Laura.
Clara tertawa senang. Setelah mengatakan itu barulah mereka pergi dari sana, meninggalkan Laura yang terdiam dan matanya berkaca-kaca.
"Dasar pria brengsek dan gadis murahan!" maki Vania kesal.
Laura menangis dalam diam.
Setelah puas menangis, Laura kembali tenang. Vania berusaha membujuknya dengan memberikan berbagai nasehat. "Aku ke toilet dulu, Van!" ucapnya. "Ok jangan lama ya! Aku tidak suka menunggu lama," ucap Vania dengan kekehan. Laura tersenyum dan pergi ke toilet sebentar untuk memperbaiki make up di wajahnya yang sudah luntur. Sesampainya di toilet Laura kembali menangis menumpahkan kesedihannya. Pikirannya kembali mengingat apa yang sering diucapkan Frans atau Clara yang selalu mengejeknya dengan sebutan gadis sok polos. 'Sekarang aku tau salahku dimana, tapi itu bukanlah salahku kalau menolak!' batinnya berontak. Frans yang selalu mengatakan mencintainya, nyatanya dia lebih mementingkan kepuasan di atas ranjang dibanding perasaan tulus Laura. 'Apa semua pria seperti itu!' Setelah puas menang
Laura Wijaya menatap gedung apartment di depannya dengan senyum merekah.Dia sedang mengggenggam sebuah papaer bag berisi jam tangan mahal yang dibeli dari hasil tabungannya selama 3 bulan bekerja.Senyum wanita 27 tahun itu mengembang sempurna karena yakin kalau kekasihnya yaitu Frans Suhendra, pria yang sudah menjadi tunangannya dan menjalin hubungan selama 2 tahun dengannya akan terkejut juga bahagia mendapat kejutan di hari ulang tahunnya yang ke 29 tahun.Dengan jantung berdegup kencang Laura melangkah keluar dari lift menuju kamar tunangannya.Mereka sebentar lagi akan menikah, meskipun Frans belum resmi melamarnya dan datang menemui orang tuanya untuk membicarakan pernikahan mereka, tapi Laura akan tetap sabar menunggu sampai hari itu tiba karena Frans masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai Manager di salah satu bank swasta yang ada di Jakarta, dia memaklumi itu.Lagipula mereka saling mencintai. Be
Laura mengerjapkan matanya beberapa kali dengan pelan.Rasa pusing masih menderanya karena mabuk semalam.Laura melihat sekeliling kamar yang berbeda dari kamarnya. Saat tersadar Laura terkejut sambil menarik selimut ke atas tubuhnya.Ternyata dia masih berpakaian lengkap tanpa kekurangan apapun."Aku masih amankan?" gadis itu bernapas lega dirinya masih tersegel karena belum pernah melakukan hal itu."Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku bisa berada di kamar ini?" Laura bergumam sendiri masih bingung.Laura memutuskan untuk segera pergi dari kamar ini.Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, mengejutkan Laura.Sosok pria tampan berotot dengan sorot mata tajam dan dingin, membuat Laura menciut. Pria itu adalah Mario."Kau sudah bangun?" tanya Mario datar sambil menggosok rambutnya yang basah.Laura hanya mengangguk
"Kamu!" ucap mereka bersamaan.Mario sampai bangkit berdiri dari kursinya karena terkejut melihat Laura.Sementara Laura mundur satu langkah karena kaget.Mereka berdua terdiam sesaat, setelah Mario menyadari kedatangan Laura dia kembali duduk."Silahkan duduk!" ucap Mario menormalkan suaranya.'Ya Tuhan, kenapa harus pria ini yang menjadi bosku? Aku sangat malu!' batinnya menjerit frustasi.Laura duduk dengan meremas kedua tangannya dan kepala tertunduk tidak berani menatap bos yang ada di depannya. Tentu saja karena Laura mengingat bayangan saat mereka berdua berpagut mesra. Bahkan manisnya bibir pria itu seolah masih terasa sampai sekarang.Mario pun yang tadinya ingin memberikan tugas uji coba pada sekretaris barunya, mengurungkan niatnya."Siapa namamu?" Mario bertanya dengan nada datar kembali professional seperti biasanya.
Setelah puas menangis, Laura kembali tenang. Vania berusaha membujuknya dengan memberikan berbagai nasehat. "Aku ke toilet dulu, Van!" ucapnya. "Ok jangan lama ya! Aku tidak suka menunggu lama," ucap Vania dengan kekehan. Laura tersenyum dan pergi ke toilet sebentar untuk memperbaiki make up di wajahnya yang sudah luntur. Sesampainya di toilet Laura kembali menangis menumpahkan kesedihannya. Pikirannya kembali mengingat apa yang sering diucapkan Frans atau Clara yang selalu mengejeknya dengan sebutan gadis sok polos. 'Sekarang aku tau salahku dimana, tapi itu bukanlah salahku kalau menolak!' batinnya berontak. Frans yang selalu mengatakan mencintainya, nyatanya dia lebih mementingkan kepuasan di atas ranjang dibanding perasaan tulus Laura. 'Apa semua pria seperti itu!' Setelah puas menang
"Mama, kenapa Papa tidak pernah mendengarkan aku!" ucapnya sendu. Papanya bahkan lebih menyayangi anak tirinya dibanding dirinya yang notabene adalah anak kandungnya. Darah dagingnya sendiri!. Papa Deni Wijaya berubah semenjak menikah lagi dengan Mama Siska, yang membawa anak perempuan lebih tua 2 tahun di atasnya yaitu Clara. Semula mereka baik-baik saja tapi Mama dan saudara tirinya hanya bersikap manis padanya saat di depan Papanya. Itu sebabnya Papanya tidak percaya kalau Laura mengadu. Laura membenamkan wajahnya di bantal. Belum kering luka karena dikhianati oleh orang yang dicintai sekarang mereka malah berbahagia di atas penderitaannya. Laura yakin kalau Clara sudah merencanakan ini semua. Pantas saja setiap kali melihat Frans datang ke rumah ini, dia selalu mendekati Frans bahkan secara terang-terangan di depannya. Clara yang menyukai pria kaya bisa saj
"Kamu!" ucap mereka bersamaan.Mario sampai bangkit berdiri dari kursinya karena terkejut melihat Laura.Sementara Laura mundur satu langkah karena kaget.Mereka berdua terdiam sesaat, setelah Mario menyadari kedatangan Laura dia kembali duduk."Silahkan duduk!" ucap Mario menormalkan suaranya.'Ya Tuhan, kenapa harus pria ini yang menjadi bosku? Aku sangat malu!' batinnya menjerit frustasi.Laura duduk dengan meremas kedua tangannya dan kepala tertunduk tidak berani menatap bos yang ada di depannya. Tentu saja karena Laura mengingat bayangan saat mereka berdua berpagut mesra. Bahkan manisnya bibir pria itu seolah masih terasa sampai sekarang.Mario pun yang tadinya ingin memberikan tugas uji coba pada sekretaris barunya, mengurungkan niatnya."Siapa namamu?" Mario bertanya dengan nada datar kembali professional seperti biasanya.
Laura mengerjapkan matanya beberapa kali dengan pelan.Rasa pusing masih menderanya karena mabuk semalam.Laura melihat sekeliling kamar yang berbeda dari kamarnya. Saat tersadar Laura terkejut sambil menarik selimut ke atas tubuhnya.Ternyata dia masih berpakaian lengkap tanpa kekurangan apapun."Aku masih amankan?" gadis itu bernapas lega dirinya masih tersegel karena belum pernah melakukan hal itu."Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku bisa berada di kamar ini?" Laura bergumam sendiri masih bingung.Laura memutuskan untuk segera pergi dari kamar ini.Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, mengejutkan Laura.Sosok pria tampan berotot dengan sorot mata tajam dan dingin, membuat Laura menciut. Pria itu adalah Mario."Kau sudah bangun?" tanya Mario datar sambil menggosok rambutnya yang basah.Laura hanya mengangguk
Laura Wijaya menatap gedung apartment di depannya dengan senyum merekah.Dia sedang mengggenggam sebuah papaer bag berisi jam tangan mahal yang dibeli dari hasil tabungannya selama 3 bulan bekerja.Senyum wanita 27 tahun itu mengembang sempurna karena yakin kalau kekasihnya yaitu Frans Suhendra, pria yang sudah menjadi tunangannya dan menjalin hubungan selama 2 tahun dengannya akan terkejut juga bahagia mendapat kejutan di hari ulang tahunnya yang ke 29 tahun.Dengan jantung berdegup kencang Laura melangkah keluar dari lift menuju kamar tunangannya.Mereka sebentar lagi akan menikah, meskipun Frans belum resmi melamarnya dan datang menemui orang tuanya untuk membicarakan pernikahan mereka, tapi Laura akan tetap sabar menunggu sampai hari itu tiba karena Frans masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai Manager di salah satu bank swasta yang ada di Jakarta, dia memaklumi itu.Lagipula mereka saling mencintai. Be