Laura Wijaya menatap gedung apartment di depannya dengan senyum merekah.
Dia sedang mengggenggam sebuah papaer bag berisi jam tangan mahal yang dibeli dari hasil tabungannya selama 3 bulan bekerja.
Senyum wanita 27 tahun itu mengembang sempurna karena yakin kalau kekasihnya yaitu Frans Suhendra, pria yang sudah menjadi tunangannya dan menjalin hubungan selama 2 tahun dengannya akan terkejut juga bahagia mendapat kejutan di hari ulang tahunnya yang ke 29 tahun.
Dengan jantung berdegup kencang Laura melangkah keluar dari lift menuju kamar tunangannya.
Mereka sebentar lagi akan menikah, meskipun Frans belum resmi melamarnya dan datang menemui orang tuanya untuk membicarakan pernikahan mereka, tapi Laura akan tetap sabar menunggu sampai hari itu tiba karena Frans masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai Manager di salah satu bank swasta yang ada di Jakarta, dia memaklumi itu.
Lagipula mereka saling mencintai. Begitu pikir Laura.
Dengan semangat gadis itu menekan password apartment Frans yang sudah dihapalnya. Tanggal lahir pria tampan itu.
Setelah pintu terbuka, dengan pelan dan perlahan Laura melangkah agar Frans tidak tahu kalau dia datang.
Tadi Frans sudah memberi kabar bahwa dia sudah pulang ke apartment, jadi malam ini juga Laura langsung meluncur kemari.
'Kenapa berantakan sekali?' batin Laura bingung.
Sofa yang ada di ruang tamu terlihat berantakan dengan pakaian Frans yang tercecer, juga sepatunya yang seperti dilepas asal.
Setelah berjalan beberapa langkah menuju kamar Frans, mata Laura melotot melihat ada dress perempuan dan sepatu heels warna maroon yang tergeletak di lantai.
Laura seperti pernah melihat sepatu itu.
Perasaan tidak enak langsung hinggap di benaknya, tapi Laura tetap berusaha tenang dan berpikir positif.
Laura semakin mendekat ke pintu kamar dan ternyata tidak dikunci. Laura bisa mendengar suara samar pria dan wanita yang sedang mendesah menikmati permainan mereka.
Laura membekap mulutnya karena tidak percaya dengan suara itu, suara orang yang sangat dia kenal. Dengan tangan gemetar Laura memegang knop pintu.
Setelah pintu terbuka dengan lebar, mata Laura melotot melihat pemandangan di depannya.
Tunangan dan kakak tirinya berada di ranjang yang sama dengan tubuh tanpa sehelai benang pun. Frans berada di atas tubuh kakaknya, sedang melakukan hubungan yang seharusnya tidak mereka lakukan.
"Ka-kalian!" lirihnya dengan suara bergetar.
"Laura!" teriak mereka bersamaan karena terkejut.
Frans langsung bangkit dan mengambil boxernya yang ada di lantai, sementara Clara Alma, kakak tirinya menutup tubuh polosnya dengan selimut.
Air mata Laura langsung mengalir deras, bahkan sampai terduduk lemas karena shock melihat pengkhianatan dari pria yang dicintainya dengan orang terdekatnya sendiri.
"Laura! Beb, dengarkan aku!" Frans menghampiri Laura dan mengangkat tubuhnya untuk memeluknya.
"Lepas brengsek!" Laura menepis tangan Frans dari pundaknya.
Plaakkkk!!!
Dengan gerakan cepat Laura menampar pipi kiri Frans, membuat pria itu menoleh dan memegang pipinya.
"Laura! Hentikan!" teriak Clara bangkit dari ranjang.
Laura tidak tahu sudah berapa lama mereka berselingkuh di belakangnya.
"Kenapa kau tega melakukan ini padaku, Beb! Kenapa?! Dia kakakku! Kakakku!" pekik Laura histeris.
"Beb, maafkan aku! Aku bisa jelaskan semuanya!" ucapnya terus membujuk.
"Cukup! Aku tidak butuh penjelasan dari pria brengsek sepertimu!" ucap Laura yang mundur selangkah.
"Beb, please...,"
"Sudahlah, biarkan dia tahu. Kami memang memiliki hubungan. Frans mencintaiku bukan kau!" jelas Clara dengan senyuman licik.
"Clara, cukup!" cegah Frans.
Sementara itu Laura seperti dihantam jutaan ton batu di dadanya. Rasanya sangat sakit dan sesak. Ternyata mereka memang melakukannya secara sadar.
"Tega kamu, Beb! Aku benci kalian!" Laura berucap lirih.
"Salah sendiri kamu yang tidak bisa menjaga tunanganmu! Aku yang menawarkan segalanya padanya.Memenuhi semua keinginannya!" ucap Clara penuh penekanan.
Usia mereka hanya selisih 2 tahun di atas Laura tapi sayangnya rasa hormatnya pada Clara selama ini sudah hilang.
"Clara! Beb, jangan dengarkan dia! Aku hanya mencintaimu! Aku khilaf, tolong maafkan aku!" Frans kembali menggenggam tangan Laura.
Laura menepisnya dengan kasar. Dia tau kenapa Frans berselingkuh darinya, karena dia selalu menolak saat Frans mengajaknya untuk tidur bersama. Sementara Clara terbiasa melakukan itu dengan banyak pria, tapi Papanya tidak tahu hal itu.
"Aku rasa hubungan kita cukup sampai di sini!" Laura segera pergi dari sana.
Frans mengejar Laura tapi gadis itu tidak berniat untuk menoleh lagi.
Bahkan gadis itu semakin erat memegang tali paper bag yang ada di tangannya.
"Laura!"
Frans hanya bisa mengejar sampai pintu kamarnya, tidak mungkin dia berjalan keluar dengan keadaan hanya memakai boxer.
Laura menangis terisak di dalam lift. Pupus sudah harapannya menikah dengan orang yang dia cintai dan percaya.
Ternyata Frans tidak bisa menahan dirinya, bercumbu mesra dengannya tidaklah cukup untuk pria brengsek sepertinya.
"Ya Tuhan! Apa yang harus aku katakan pada Papa!" ucapnya dengan suara serak karena menangis.
Laura berlari keluar secepat mungkin dari apartment itu. Dia bersumpah tidak akan menginjakkan kakinya lagi di sana.
Melihat mobil taksi yang stop di pinggir jalan, tanpa pikir panjang Laura segera masuk ke dalam.
"Bawa aku ke Club di simpang depan!" ucap Laura cepat.
"Baik, Nona!"
Supir taksi itu mengangguk paham lalu melajukan mobilnya.
Laura melihat paper bag di tangannya. Ingin rasanya membuang jam itu, tapi itu dibeli dari gajinya, sangat sayang kalau harus dibuang. Laura menyimpan kotak kecil itu dalam tasnya.
Lalu ponselnya berbunyi, ternyata Frans menelponnya. Laura pun menolak dan mematikan ponselnya dengan perasaan amarah yang meluap.
"Dasar pria brengsek!" makinya kesal.
Laura tidak akan percaya lagi pada pria manapun mulai saat ini.
***
Setelah sampai di Club mewah yang terkenal di kota Jakarta. Laura melangkah pelan karena belum pernah pergi ke tempat seperti ini. Sahabatnya selalu membujuknya kemari tapi dia selalu menolak. Entah dorongan apa yang membuatnya nekat datang ke tempat ini.
Laura merasa ruangan ini begitu pengap dengan bau minuman yang bermacam-macam, belum lagi asap rokok yang menyengat hidung.
Laura memilih duduk di meja depan bartender.
"Beri aku Vodka!" Laura sedikit berteriak karena suara musik yang keras.
Dia tidak tahu jenis minuman apa yang ada di sini, yang dia tau hanya itu.
Dengan ragu Laura memegang gelas kecil di depannya, tapi tekadnya sudah bulat untuk menumpahkan sakit hatinya dengan mabuk di sini. Dengan cepat Laura meneguknya sampai tersisa setengah lalu meminumnya sampai habis membuat matanya mengerjap.
"Satu lagi!" pintanya pada pria di balik bar tools yang didudukinya.
Entah gelas keberapa yang pasti gadis itu sudah hampir mabuk saat ini. Bahkan mulai meracau mengungkapkan kesedihannya.
"Kalian jahat ...," lirihnya di sela kesadarannya yang mulai menghilang.
Tangan kananya menopang wajahnya di atas meja. Beberapa orang menggodanya tapi bartender yang kasihan padanya mengusir mereka semua.
Laura merasa ingin muntah, dengan langkah gontai dia berjalan untuk mencari toilet.
Sampai pada pintu yang ada di depannya dia membuka dengan paksa tanpa melihat kalau itu adalah kamar VIP.
Seorang pria tampan berumur 30 tahun yang duduk menghadap jendela, menoleh saat pintu kamarnya terbuka.
Mario Albert, yang sedang menghindar dari kekacauan, memilih istirahat di kamar ini karena sudah terlanjur minum alkohol lumayan banyak, pria itu terkejut melihat seorang wanita yang berjalan masuk ke kamarnya, meskipun dia tidak bisa melihatnya dengan jelas.
"Apa kau datang ingin menemaniku?" tanyanya dengan tersenyum manis.
Laura yang sudah mabuk membuat pandangannya kabur. Dia pasrah saat tangan kekar seorang pria dengan wangi maskulin memeluk erat tubuhnya.
"Hmmm. Aku ...," gumamnya pelan.
Belum sempat Laura mengatakan maksudnya lengan lembut pria itu mengecup pipinya dan beralih melumat bibirnya dengan sama lembutnya.
Laura yang terbuai mengikuti permainan pria itu, sampai akhirnya tubuh keduanya terhempas ke atas ranjang.
Laura yang mabuk mengira pria itu adalah Frans yang sedang berada di atasnya.
"Ah, Beb!" bisiknya mesra.
Laura mengerjapkan matanya beberapa kali dengan pelan.Rasa pusing masih menderanya karena mabuk semalam.Laura melihat sekeliling kamar yang berbeda dari kamarnya. Saat tersadar Laura terkejut sambil menarik selimut ke atas tubuhnya.Ternyata dia masih berpakaian lengkap tanpa kekurangan apapun."Aku masih amankan?" gadis itu bernapas lega dirinya masih tersegel karena belum pernah melakukan hal itu."Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku bisa berada di kamar ini?" Laura bergumam sendiri masih bingung.Laura memutuskan untuk segera pergi dari kamar ini.Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, mengejutkan Laura.Sosok pria tampan berotot dengan sorot mata tajam dan dingin, membuat Laura menciut. Pria itu adalah Mario."Kau sudah bangun?" tanya Mario datar sambil menggosok rambutnya yang basah.Laura hanya mengangguk
"Kamu!" ucap mereka bersamaan.Mario sampai bangkit berdiri dari kursinya karena terkejut melihat Laura.Sementara Laura mundur satu langkah karena kaget.Mereka berdua terdiam sesaat, setelah Mario menyadari kedatangan Laura dia kembali duduk."Silahkan duduk!" ucap Mario menormalkan suaranya.'Ya Tuhan, kenapa harus pria ini yang menjadi bosku? Aku sangat malu!' batinnya menjerit frustasi.Laura duduk dengan meremas kedua tangannya dan kepala tertunduk tidak berani menatap bos yang ada di depannya. Tentu saja karena Laura mengingat bayangan saat mereka berdua berpagut mesra. Bahkan manisnya bibir pria itu seolah masih terasa sampai sekarang.Mario pun yang tadinya ingin memberikan tugas uji coba pada sekretaris barunya, mengurungkan niatnya."Siapa namamu?" Mario bertanya dengan nada datar kembali professional seperti biasanya.
"Mama, kenapa Papa tidak pernah mendengarkan aku!" ucapnya sendu. Papanya bahkan lebih menyayangi anak tirinya dibanding dirinya yang notabene adalah anak kandungnya. Darah dagingnya sendiri!. Papa Deni Wijaya berubah semenjak menikah lagi dengan Mama Siska, yang membawa anak perempuan lebih tua 2 tahun di atasnya yaitu Clara. Semula mereka baik-baik saja tapi Mama dan saudara tirinya hanya bersikap manis padanya saat di depan Papanya. Itu sebabnya Papanya tidak percaya kalau Laura mengadu. Laura membenamkan wajahnya di bantal. Belum kering luka karena dikhianati oleh orang yang dicintai sekarang mereka malah berbahagia di atas penderitaannya. Laura yakin kalau Clara sudah merencanakan ini semua. Pantas saja setiap kali melihat Frans datang ke rumah ini, dia selalu mendekati Frans bahkan secara terang-terangan di depannya. Clara yang menyukai pria kaya bisa saj
Setelah puas menangis, Laura kembali tenang. Vania berusaha membujuknya dengan memberikan berbagai nasehat. "Aku ke toilet dulu, Van!" ucapnya. "Ok jangan lama ya! Aku tidak suka menunggu lama," ucap Vania dengan kekehan. Laura tersenyum dan pergi ke toilet sebentar untuk memperbaiki make up di wajahnya yang sudah luntur. Sesampainya di toilet Laura kembali menangis menumpahkan kesedihannya. Pikirannya kembali mengingat apa yang sering diucapkan Frans atau Clara yang selalu mengejeknya dengan sebutan gadis sok polos. 'Sekarang aku tau salahku dimana, tapi itu bukanlah salahku kalau menolak!' batinnya berontak. Frans yang selalu mengatakan mencintainya, nyatanya dia lebih mementingkan kepuasan di atas ranjang dibanding perasaan tulus Laura. 'Apa semua pria seperti itu!' Setelah puas menang