Setelah puas menangis, Laura kembali tenang. Vania berusaha membujuknya dengan memberikan berbagai nasehat.
"Aku ke toilet dulu, Van!" ucapnya.
"Ok jangan lama ya! Aku tidak suka menunggu lama," ucap Vania dengan kekehan.
Laura tersenyum dan pergi ke toilet sebentar untuk memperbaiki make up di wajahnya yang sudah luntur.
Sesampainya di toilet Laura kembali menangis menumpahkan kesedihannya.
Pikirannya kembali mengingat apa yang sering diucapkan Frans atau Clara yang selalu mengejeknya dengan sebutan gadis sok polos.
'Sekarang aku tau salahku dimana, tapi itu bukanlah salahku kalau menolak!' batinnya berontak.
Frans yang selalu mengatakan mencintainya, nyatanya dia lebih mementingkan kepuasan di atas ranjang dibanding perasaan tulus Laura.
'Apa semua pria seperti itu!'
Setelah puas menangis barulah dia memoles kembali wajahnya dengan bedak tipis dan lipstik tipis. Laura sudah memiliki wajah cantik alami jadi berdandan natural saja sudah membuatnya cantik.
Laura pun kembali menemui sahabatnya.
Di tempat duduk Vania...
Vania berdiri dari duduknya untuk menyusul sahabatnya itu karena Laura sudah lama di toilet, hal itu membuatnya khawatir.
Karena terlalu buru-buru Vania tidak sengaja tersenggol seseorang yang sedang berlari ke arahnya.
Bruughhh!!!
"Aduuhhh!" ringis Vania karena terduduk di lantai.
Ternyata yang menabraknya adalah seorang pria tampan dengan kaca mata hitam.
"Maaf! Aku sedang buru-buru!" ucapnya santai.
"Hei! Kalau jalan pakai mata dong!" sungutnya kesal.
Pria itu yang tadinya akan pergi kembali berbalik mendengar ucapan Vania.
"Ini juga salahmu! Jalan tidak lihat ke depan!" balasnya sinis.
"A-apa? Dasar kau!" Vania pun bangkit dari lantai dengan susah payah.
Belum sempat dia melayangkan protes, pria itu sudah berlari menjauh dari sana.
"Hei! Pria sialan! Awas ya kalau ketemu!" umpatnya kesal.
Laura yang baru tiba dari toilet segera mempercepat langkahnya menghampiri Vania.
"Ada apa, Van?"
"Tadi aku ditabrak! Eh malah dia yang nyolot! Mentang-mentang ganteng!" Vania mencebikkan bibirnya.
Laura tersenyum karena Vania memang gadis yang cerewet dan cepat marah bila tidak suka dengan seseorang.
"Sudah, biarkan saja. Yang penting tidak ada yang luka kan?" Laura memindai tubuh sahabatnya dari atas sampai bawah.
"Tidak, tapi harga diriku yang terluka!" ucapnya ketus.
"Haha. Sudahlah, ayo kita pulang!" Laura menarik tubuh Vania untuk mengikutinya keluar dari mall.
***
Setelah Vania mengantarnya pulang. Suasana di rumah tampak sepi, ternyata Papa dan Mama tirinya sedang ada di taman belakang.
Laura tidak ingin mengganggu, lagipula tidak ada hal yang harus dibicarakan pada mereka.
Dengan langkah gontai gadis itu masuk ke dalam kamarnya.
Baru saja Laura meletakkan tasnya di atas ranjang, pintu kamarnya diketuk seseorang.
Saat pintu terbuka ternyata Clara yang berdiri di sana dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Ada apa?" tanya Laura tidak ingin basa basi.
"Hei, aku hanya ingin mengobrol dengan adikku!" ucapnya tersenyum sinis.
Clara langsung masuk ke kamar Laura, membuat gadis itu tidak merasa nyaman.
"Kami akan menikah 2 minggu lagi!" ucapnya tiba-tiba.
"A-apa?" Laura sedikit terkejut dan bingung.
"Laura, tidak perlu shock begitu. Lihat ini! Cantik kan?"
Clara memamerkan cincin di jari manisnya, cincin bermata satu yang berkilat saat kena cahaya.
Senyum penuh kemenangan terbit di bibirnya.
"Untuk apa kau menunjukkan padaku? Aku tidak perduli!" ujar Laura memalingkan wajah ke samping.
"Kenapa? Apa kau sedih? Dengar, wanita sepertimu itu tidak pantas menikah!"
"Apa maksudmu? Seharusnya kalian berdua itu malu karena berselingkuh di belakangku! Kau sama saja dengan wanita jalang! Hanya sebagai pemuas pria!" ucap Laura lantang dengan suara bergetar menahan emosi.
"Apa? Berani sekali kau bicara begitu padaku!" Clara melotot tajam.
"Kenapa? Memang itu kan pekerjaanmu selama ini? Kalian berdua sama-sama tidak tahu diri!" sambung Laura lagi.
Clara yang geram melangkah maju untuk menamparnya tapi Laura terlebih dahulu melakukannya.
Plaakkkkk!!!
Clara sampai menoleh ke kanan dan memegangi pipinya.
Lalu dia terduduk di lantai.
Laura terkesiap tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Clara saat ini.
"Apa yang kau lakukan? Cepat berdiri!" Laura mengguncang tubuh Clara tapi dia menolak.
Clara pun menangis terisak sambil memegangi pipinya.
"Ada apa ini?" suara Deni mengejutkan Laura.
"Papa, aku-"
"Clara, kenapa sayang? Apa yang kau lakukan pada kakakmu?" teriak Siska histeris.
"Laura, dia masih tidak terima aku akan menikah dengan Frans, Ma! Hikss!" isaknya sambil memeluk Siska.
"Laura! Papa kecewa denganmu! Sikapnu sungguh kekanakan!" bentak Deni dengan wajah penuh amarah.
Ini pertama kalinya Deni membentaknya apalagi bukan karena kesalahannya. Papanya benar-benar sudah tidak perduli lagi padanya.
"Pa, bukan begitu! Ini hanya salah paham!" Laura tetap berusaha untuk menjelaskan.
"Ayo, sayang kita pergi dari sini!" Siska membawa Clara keluar dari kamar Laura.
Saat bangkit berdiri, Clara menatap Laura dengan senyum licik di bibirnya. Tentu saja hanya Laura yang bisa melihatnya.
'Ya Tuhan! Dia sengaja melakukannya!' batin Laura menjerit.
"Papa tidak mau lagi melihat ini Laura!" Deni kembali menyadarkan Laura.
"Pa, kenapa selalu membelanya? Aku ini anak kandung Papa! Kenapa tidak mendengarkan dulu penjelasanku? Mereka itu berselingkuh di belakangku, Pa!" ucap Laura tidak tahan lagi.
"Papa tidak mau dengar apapun lagi! Kau hanya membuat Papa malu! Pergi saja dari sini!" Deni langsung keluar kamarnya setelah mengatakan itu.
Tangis Laura pecah karena sudah tidak mampu lagi menahannya. Papanya bahkan tidak mempercayainya sekarang.
Laura selalu mengalah pada Clara selama ini, sekarang dia juga harus merelakan pria yang dicintainya.
Papanya sudah tidak lagi perduli padanya.
"Seharusnya dari dulu aku pergi dari sini," gumamnya terisak.
Laura pun mengambil koper yang ada di atas lemari. Bergegas dia memasukkan semua dokumen penting dan beberapa pakaian yang dia punya.
Tak lupa dia membawa kotak yang berisi semua barang dan kenangan peninggalan Mamanya. Itu adalah hartanya yang berharga.
Setelah semua selesai, tanpa bicara dan berniat pamit, Laura segera keluar dari rumah yang penuh kenangan dan penderitaan seumur hidupnya.
Saat di depan pintu gerbang, Laura berbalik menatap kamar orang tuanya yang berada di lantai atas. Laura pun kembali melanjutkan langkahnya.
Dinginnya angin malam tak menyurutkan langkah Laura.
Setelah lelah berjalan menuju jalan keluar, Laura menyetop taksi yang lewat.
Supir taksi itu membantu memasukkan koper ke dalam bagasi mobil.
"Mau kemana, Mbak?" tanya supir itu ramah.
"Kita ke Apartment Harmoni, Pak!" ucapnya pelan.
Laura memutuskan untuk menyewa apartment saja dari pada harus merepotkan sahabatnya. Vania sering mengajaknya untuk tinggal dengannya tapi Laura menolaknya.
Setelah sampai di depan apartment yang tidak terlalu mewah tapi cukup standart karena Laura harus berhemat mulai sekarang.
Beruntung karena gajinya di kantor baru lumayan untuk membiayai hidupnya.
Laura membuka pintu apartmentnya.
Menatap sekeliling ruangan yang minimalis dengan perabotan seadanya. Tapi sudah ada sofa kecil dan tv.
"Kau harus kuat Laura! Mama pasti selalu menjagamu!" ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Setelah meletakkan barang-barangnya di kamar.
Laura mengelus potonya bersama Mamanya dengan gerakan pelan. Airmatanya kembali menetes.
"Ma, aku harus bagaiamana sekarang?" Laura kembali menangis terisak.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Ada pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
["Besok belikan aku Hot Cappuccino!"]
"Siapa ini? Tiba-tiba menyuruhku seenaknya?" gerutu Laura kesal.
["Maaf, ini siapa?"] balas Laura.
["Mario Albert, Presdir Winner Group!."]
Laura membekap mulutnya karena kaget.
"Aduh, mati aku! Kenapa aku lupa tentangnya!"
["Baik, Pak!"]
Laura menghembuskan napas kasar. Hampir saja dia kehilangan pekerjaan.
"Kenapa harus pakai nama lengkap segala? Dasar pria sombong!" Laura mencebikkan bibirnya kesal.
Sedihnya langsung hilang setelah menerima pesan itu. Apalagi Laura tidak perlu bersusah payah untuk pergi ke kantor karena apartment ini dekat dengan tempatnya bekerja.
Laura memutuskan untuk beristirahat agar besok bisa bangun pagi.
Sementara itu...
Mario melihat layar ponselnya dengan wajah memerah.
"Kenapa aku malah mengetik semuanya! Sial!" umpatnya mendesah kasar.
Lalu dia terkekeh sambil menutup wajahnya dengan bantal.
Laura Wijaya menatap gedung apartment di depannya dengan senyum merekah.Dia sedang mengggenggam sebuah papaer bag berisi jam tangan mahal yang dibeli dari hasil tabungannya selama 3 bulan bekerja.Senyum wanita 27 tahun itu mengembang sempurna karena yakin kalau kekasihnya yaitu Frans Suhendra, pria yang sudah menjadi tunangannya dan menjalin hubungan selama 2 tahun dengannya akan terkejut juga bahagia mendapat kejutan di hari ulang tahunnya yang ke 29 tahun.Dengan jantung berdegup kencang Laura melangkah keluar dari lift menuju kamar tunangannya.Mereka sebentar lagi akan menikah, meskipun Frans belum resmi melamarnya dan datang menemui orang tuanya untuk membicarakan pernikahan mereka, tapi Laura akan tetap sabar menunggu sampai hari itu tiba karena Frans masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai Manager di salah satu bank swasta yang ada di Jakarta, dia memaklumi itu.Lagipula mereka saling mencintai. Be
Laura mengerjapkan matanya beberapa kali dengan pelan.Rasa pusing masih menderanya karena mabuk semalam.Laura melihat sekeliling kamar yang berbeda dari kamarnya. Saat tersadar Laura terkejut sambil menarik selimut ke atas tubuhnya.Ternyata dia masih berpakaian lengkap tanpa kekurangan apapun."Aku masih amankan?" gadis itu bernapas lega dirinya masih tersegel karena belum pernah melakukan hal itu."Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku bisa berada di kamar ini?" Laura bergumam sendiri masih bingung.Laura memutuskan untuk segera pergi dari kamar ini.Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, mengejutkan Laura.Sosok pria tampan berotot dengan sorot mata tajam dan dingin, membuat Laura menciut. Pria itu adalah Mario."Kau sudah bangun?" tanya Mario datar sambil menggosok rambutnya yang basah.Laura hanya mengangguk
"Kamu!" ucap mereka bersamaan.Mario sampai bangkit berdiri dari kursinya karena terkejut melihat Laura.Sementara Laura mundur satu langkah karena kaget.Mereka berdua terdiam sesaat, setelah Mario menyadari kedatangan Laura dia kembali duduk."Silahkan duduk!" ucap Mario menormalkan suaranya.'Ya Tuhan, kenapa harus pria ini yang menjadi bosku? Aku sangat malu!' batinnya menjerit frustasi.Laura duduk dengan meremas kedua tangannya dan kepala tertunduk tidak berani menatap bos yang ada di depannya. Tentu saja karena Laura mengingat bayangan saat mereka berdua berpagut mesra. Bahkan manisnya bibir pria itu seolah masih terasa sampai sekarang.Mario pun yang tadinya ingin memberikan tugas uji coba pada sekretaris barunya, mengurungkan niatnya."Siapa namamu?" Mario bertanya dengan nada datar kembali professional seperti biasanya.
"Mama, kenapa Papa tidak pernah mendengarkan aku!" ucapnya sendu. Papanya bahkan lebih menyayangi anak tirinya dibanding dirinya yang notabene adalah anak kandungnya. Darah dagingnya sendiri!. Papa Deni Wijaya berubah semenjak menikah lagi dengan Mama Siska, yang membawa anak perempuan lebih tua 2 tahun di atasnya yaitu Clara. Semula mereka baik-baik saja tapi Mama dan saudara tirinya hanya bersikap manis padanya saat di depan Papanya. Itu sebabnya Papanya tidak percaya kalau Laura mengadu. Laura membenamkan wajahnya di bantal. Belum kering luka karena dikhianati oleh orang yang dicintai sekarang mereka malah berbahagia di atas penderitaannya. Laura yakin kalau Clara sudah merencanakan ini semua. Pantas saja setiap kali melihat Frans datang ke rumah ini, dia selalu mendekati Frans bahkan secara terang-terangan di depannya. Clara yang menyukai pria kaya bisa saj