"Kamu!" ucap mereka bersamaan.
Mario sampai bangkit berdiri dari kursinya karena terkejut melihat Laura.
Sementara Laura mundur satu langkah karena kaget.
Mereka berdua terdiam sesaat, setelah Mario menyadari kedatangan Laura dia kembali duduk.
"Silahkan duduk!" ucap Mario menormalkan suaranya.
'Ya Tuhan, kenapa harus pria ini yang menjadi bosku? Aku sangat malu!' batinnya menjerit frustasi.
Laura duduk dengan meremas kedua tangannya dan kepala tertunduk tidak berani menatap bos yang ada di depannya. Tentu saja karena Laura mengingat bayangan saat mereka berdua berpagut mesra. Bahkan manisnya bibir pria itu seolah masih terasa sampai sekarang.
Mario pun yang tadinya ingin memberikan tugas uji coba pada sekretaris barunya, mengurungkan niatnya.
"Siapa namamu?" Mario bertanya dengan nada datar kembali professional seperti biasanya.
"Laura Wijaya, Pak. Anda bisa memanggil saya Laura."
'Untuk tau namamu saja aku harus mengutus Niko! Tapi kau malah datang sendiri padaku!' batinnya terkekeh geli.
Tadi pagi Mario menyuruh Niko mencari tau tentang wanita yang masuk ke kamarnya sembarangan, tapi wanita itu malah calon sekretaris barunya.
Sepertinya gadis di depannya ini memang bukan wanita malam seperti dugaannya? Atau dia memang menutupi profesinya itu. Mario jadi bimbang.
"Baiklah. Hari ini kau sudah bisa bekerja. Niko yang akan membantumu sementara waktu, selagi kau mempelajari tugasmu. Paham?"
"Saya paham, Pak," ucap Laura mengangguk sopan.
"Ruanganmu ada di depan. Kau bisa mengerjakan laporan ini di sana. Aku akan menilaimu dari tugas ini. Kalau kau lulus, besok kau harus sudah siap menerima tanggung jawabmu yang lain," ucap Mario lagi.
"Baik, Pak. Saya permisi dulu,"
"Silahkan. Lakukan yang terbaik sesuai laporan yang aku terima dari kantor cabang!"
Laura mengangguk mengerti. Lalu dia bangkit dari duduknya dan ingin mengambil map yang ada di atas meja tapi Mario juga ingin menyerahkan map itu membuat tangan mereka bersentuhan dan saling menggenggam.
Pandangan mata mereka kembali beradu mengantarkan getaran di hati keduanya.
"Ma-maaf, Pak!" ucap Laura terbata.
Mario pun melepas tangannya dari map dan terlihat salah tingkah.
Tidak pernah ada wanita yang membuatnya merasa canggung seperti ini.
"Pak, boleh aku minta satu hal?" tanya Laura hati-hati.
"Soal apa?" Mario jadi penasaran.
"Soal kejadian di Club. Aku minta maaf, karena aku tidak terbiasa mabuk dan tidak bisa mengendalikan diri. Maaf kalau sudah mengganggu waktu Anda. Aku mohon bisakah Bapak melupakan kejadian itu?" Laura menatap Mario dengan berani kali ini.
Mario diam mendengar ucapan Laura. Ekspresi wajah datarnya tidak bisa dibaca sama sekali.
"Baiklah. Aku paham!" ujarnya datar.
"Terima kasih!"
Laura pun berbalik dan membuka pintu, belum sempat Laura keluar, Mario sudah kembali memanggilnya.
"Laura!"
"I-iya, Pak?" jawabnya gugup.
"Tidak, lupakan saja. Pergilah!" ucap Mario akhirnya.
Mario tidak tahu kenapa dirinya merasa ingin Laura lebih lama lagi di ruangan ini bersamanya.
"Apa aku sudah tertarik dengannya?" Mario mengusap wajahnya dengan terkekeh pelan.
Sekarang dia kembali lagi fokus pada laptop di depannya.
Laura melangkah ke dalam ruangan yang posisinya pas di depan pintu masuk ruangan Mario.
"Astaga! Berlama-lama dengannya membuatku kehabisan napas!" ucap Laura sambil menghirup udara sebanyak banyaknya.
Laura akui Mario sangat tampan hari ini. Kharisma yang dimilikinya sebagai seorang Bos sangat melekat padanya.
"Menurutku dia tidak terlalu buruk," ucapnya lagi.
Laura mendengar dari banyak pihak jika presdir mereka orang yang dingin dan cuek tapi entah kenapa Laura tidak merasakan itu saat bersamanya kecuali tatapan matanya yang menusuk.
Niko menghampiri Laura untuk memberi tahu tugasnya kali ini.
"Mohon bantuannya, Pak!"
"Panggil saja aku, Niko. Kita masih seumuran," ucapnya tersenyum.
"Baiklah!" Laura tersenyum senang setidak nya hari pertama bekerja di sini tidak seburuk yang dia bayangkan.
***
Sore ini sesuai jam kerja Laura sudah bisa pulang, tapi karena dia masih baru jadi harus menunggu Bosnya pulang terlebih dahulu.
"Laura?"
Suara berat pria itu mengagetkannya.
"I-iya, Pak!" jawabnya terbata.
"Berapa nomor ponselmu?" Mario sudah bersiap pulang dengan membawa tas laptopnya, sebelah tangannya lagi memegang ponselnya.
"Untuk apa ya, Pak?" Laura yang ragu memberanikan diri untuk bertanya.
"Untuk memudahkan dalam hal pekerjaan. Apa lagi?" ucapnya datar dengan tatapan dingin.
"Ba-baik, Pak!" Laura jadi ciut melihat mata itu.
Laura menyebutkan nomor ponselnya satu persatu. Setelah selesai Mario langsung pergi tanpa mengucapkan apapun padanya.
Niko menghampiri Laura untuk mengingatkan jam kerjanya.
"Besok dan seterusnya harus datang lebih awal bahkan sebelum Bos datang. Kau paham?" ucapnya.
"Baik, Mas!" Laura menunduk sopan.
Niko mengangguk dan pergi mengikuti Bosnya yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.
Setelah dalam lift. Niko tidak sabar untuk bertanya.
"Sejak kapan kau menyimpan nomor sekretarismu?" ledeknya.
"Diam, Nik!" ucap Mario sinis.
Niko hanya tersenyum. Itu hal biasa baginya tapi kali ini dia melihat Mario tidak seperti biasanya saat melihat Laura.
Sebagai pengawal pribadi dan merangkap asistennya selama 5 tahun ini. Niko tahu betul sikap Mario terhadap wanita.
Dingin dan cuek.
Tapi kali ini adalah pengeculian.
"Apa kita langsung pulang, Bos?"
"Tentu saja. Aku lelah karena kurang tidur!" jawab Mario malas.
***
Laura memasuki rumahnya seperti maling, berjalan dengan pelan dan mengendap.
Dia sengaja pulang lambat agar tidak perlu berpapasan dengan Papanya atau Clara.
Tapi telinganya mendengar suara keluarganya sedang tertawa bersama.
Laura yang penasaran segera melangkah ke taman belakang.
Papa dan Mama tirinya, juga Frans dan Clara sedang mengobrol bersama.
"Ada apa ini?" ucapnya membuat semua orang menoleh.
Clara yang melihat Laura datang, semakin memeluk lengan Frans dengan posesif.
Laura tidak percaya Clara berani melakukan hal itu di depan Papanya.
"Laura, kenapa kau tidak bilang kalau sudah tahu bahwa Frans dan Clara akan menikah," ucap Mamanya.
"Apa?" tentu saja Laura terkejut mendengarnya.
Laura menatap Frans dan Clara bergantian. Seharusnya dia memaki mereka di depan Papanya karena sudah berselingkuh di belakangnya tapi apa sekarang.
'Apa yang sudah terjadi? Kenapa hanya aku orang bodoh di sini?'
"Laura, Frans bilang sudah memutuskan pertunangan kalian dan ingin melanjutkan hubungan dengan Clara. Benar begitu?" Papanya ikut bertanya.
What the hell!
Laura menggelengkan kepalanya tidak percaya.
'Sejak kapan?'
"Papa, tapi kami belum pernah membi-"
"Laura sudah setuju, Pa. Dia juga tau hanya saja belum menerima kenyataan. Iya kan sayang?" kali ini Clara memotong ucapan Laura.
Belum sempat Laura protes dan menjelaskan semuanya tapi Clara seperti sudah merencanakan ini sejak lama.
Oh, baiklah! Laura akan membiarkan mereka kali ini!.
"Sayang, pergilah sebentar. Kami sedang ingin bicara bersama satu keluarga," Clara berkata dengan suara manja dengan Frans.
"Baiklah!" Frans pun beranjak dari duduknya.
Dia bahkan menatap Laura sekilas yang melotot padanya.
"Laura, kenapa kau tidak bisa menjaga hubunganmu dengan pria sebaik Frans? Lihat dia malah memilih Clara untuk menikah dengannya!" ucap Papanya memulai pembicaraan.
"Apa? Apa maksud Papa bicara seperti itu?" Laura masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada keluarganya.
"Bukankah Frans melihatmu berselingkuh, maka dari itu dia memutuskan hubungan kalian, hanya saja kau masih belum mau menerima kalau hubungan kalian berakhir," kali ini Mama tirinya ikut menimpali.
Laura meneteskan air matanya. Sungguh setelah menerima kenyataan pahit sekarang dia yang berbalik dituduh berselingkuh.
"Benar, Ma. Makanya Frans meminta aku untuk menikah dengannya. Kami saling mencintai dan hanya aku yang bisa membuat Frans bahagia," Clara berucap semanis mungkin dan berakting sedih.
"Kak!" Laura berteriak tidak terima.
"Lihat kan, Ma? Laura marah padaku karena telah merebut Frans. Seharusnya aku tidak menerimanya," ucapnya dengan mata berkaca kaca.
"Laura, kenapa kau membentak kakakmu? Kau seharusnya malu pada Frans dan berterima kasih pada Clara!" bentak Papanya.
"Papa bukan begitu, Pa!" Laura masih tidak terima.
"Sudah. Papa sudah putuskan kalau mereka akan menikah. Kau yang harus perbaiki sikapmu itu!" ucap Papanya bangkit dari kursi disusul Mama tirinya.
"Papa dengarkan dulu penjelasanku!"
Clara tersenyum licik penuh kemenangan.
"Sudah lah Laura! Terima saja nasibmu karena tidak akan ada yang percaya padamu!" ucapnya sambil menyenggol bahu Laura kasar dan tertawa senang.
Laura pun berlari masuk ke kamarnya. Menumpahkan semua kekecewaannya sendirian.
Laura memeluk poto dirinya saat kecil bersama Mama kandungnya yang sudah meninggal.
"Mama!" lirihnya pilu.
"Mama, kenapa Papa tidak pernah mendengarkan aku!" ucapnya sendu. Papanya bahkan lebih menyayangi anak tirinya dibanding dirinya yang notabene adalah anak kandungnya. Darah dagingnya sendiri!. Papa Deni Wijaya berubah semenjak menikah lagi dengan Mama Siska, yang membawa anak perempuan lebih tua 2 tahun di atasnya yaitu Clara. Semula mereka baik-baik saja tapi Mama dan saudara tirinya hanya bersikap manis padanya saat di depan Papanya. Itu sebabnya Papanya tidak percaya kalau Laura mengadu. Laura membenamkan wajahnya di bantal. Belum kering luka karena dikhianati oleh orang yang dicintai sekarang mereka malah berbahagia di atas penderitaannya. Laura yakin kalau Clara sudah merencanakan ini semua. Pantas saja setiap kali melihat Frans datang ke rumah ini, dia selalu mendekati Frans bahkan secara terang-terangan di depannya. Clara yang menyukai pria kaya bisa saj
Setelah puas menangis, Laura kembali tenang. Vania berusaha membujuknya dengan memberikan berbagai nasehat. "Aku ke toilet dulu, Van!" ucapnya. "Ok jangan lama ya! Aku tidak suka menunggu lama," ucap Vania dengan kekehan. Laura tersenyum dan pergi ke toilet sebentar untuk memperbaiki make up di wajahnya yang sudah luntur. Sesampainya di toilet Laura kembali menangis menumpahkan kesedihannya. Pikirannya kembali mengingat apa yang sering diucapkan Frans atau Clara yang selalu mengejeknya dengan sebutan gadis sok polos. 'Sekarang aku tau salahku dimana, tapi itu bukanlah salahku kalau menolak!' batinnya berontak. Frans yang selalu mengatakan mencintainya, nyatanya dia lebih mementingkan kepuasan di atas ranjang dibanding perasaan tulus Laura. 'Apa semua pria seperti itu!' Setelah puas menang
Laura Wijaya menatap gedung apartment di depannya dengan senyum merekah.Dia sedang mengggenggam sebuah papaer bag berisi jam tangan mahal yang dibeli dari hasil tabungannya selama 3 bulan bekerja.Senyum wanita 27 tahun itu mengembang sempurna karena yakin kalau kekasihnya yaitu Frans Suhendra, pria yang sudah menjadi tunangannya dan menjalin hubungan selama 2 tahun dengannya akan terkejut juga bahagia mendapat kejutan di hari ulang tahunnya yang ke 29 tahun.Dengan jantung berdegup kencang Laura melangkah keluar dari lift menuju kamar tunangannya.Mereka sebentar lagi akan menikah, meskipun Frans belum resmi melamarnya dan datang menemui orang tuanya untuk membicarakan pernikahan mereka, tapi Laura akan tetap sabar menunggu sampai hari itu tiba karena Frans masih sibuk dengan pekerjaannya sebagai Manager di salah satu bank swasta yang ada di Jakarta, dia memaklumi itu.Lagipula mereka saling mencintai. Be
Laura mengerjapkan matanya beberapa kali dengan pelan.Rasa pusing masih menderanya karena mabuk semalam.Laura melihat sekeliling kamar yang berbeda dari kamarnya. Saat tersadar Laura terkejut sambil menarik selimut ke atas tubuhnya.Ternyata dia masih berpakaian lengkap tanpa kekurangan apapun."Aku masih amankan?" gadis itu bernapas lega dirinya masih tersegel karena belum pernah melakukan hal itu."Apa yang terjadi semalam? Kenapa aku bisa berada di kamar ini?" Laura bergumam sendiri masih bingung.Laura memutuskan untuk segera pergi dari kamar ini.Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, mengejutkan Laura.Sosok pria tampan berotot dengan sorot mata tajam dan dingin, membuat Laura menciut. Pria itu adalah Mario."Kau sudah bangun?" tanya Mario datar sambil menggosok rambutnya yang basah.Laura hanya mengangguk