"Bu, jangan dilempar."
Terlambat. Ipad yang baru saja dibeli Alan tiga hari yang lalu sudah melayang di udara, melewati Alan dan hampir saja mengenai wajah Tony. Bahkan membuat Tony jatuh terduduk di lantai karena kaget. Tentu saja ipad yang dilempar tidak selamat. "Honey, kok aku dilempar ipad? Aku salah apa?" seru Tony gugup. Tony tidak tahu apa salahnya sampai calon istrinya yang sudah mengenakan gaun pengantin itu terlihat sangat marah. Amat sangat marah. "Kau masih berani bertanya?" teriakan Gita membahana di dalam kamar hotel tempatnya tadi di make up. Alan yang menemani bosnya sedari tadi hanya bisa menghela napas. Siapa sih yang tidak mengamuk ketika mendapati orang yang akan dinikahinya ternyata hanya mengincar harta. Ya, Gita Bramantara baru saja mengetahui fakta itu sekitar setengah jam yang lalu. Waktu pergi ke Amerika untuk menjenguk adiknya, Gita sudah merasa ada yang salah dengan tunangannya. Gita yang ahli dalam bidang teknologi, dibantu dengan kekuasaan orang tua melakukan penyelidikan sendiri. Tiga puluh menit yang lalu, Alan yang merupakan asisten pribadi Gita akhirnya memberikan laporan. Ditemukan rekaman CCTV dan rekaman suara yang menyatakan Tony hanya mengincar harta Bramantara. Selain itu Tony juga ternyata punya kekasih lain. Parahnya lagi Tony dan kekasihnya terekam kamera sedang bermesraan diatas ranjang, di rumah yang dibeli Gita. Gita mengulurkan tangan pada Alan, seperti sedang meminta sesuatu. Tiga tahun bekerja dengan gadis bar-bar itu, membuat Alan mengerti keinginan bosnya. Alan selalu punya banyak tempat penyimpanan data terkait pekerjaan yang diberikan bosnya itu. "Tolong Bu, yang ini jangan dilempar lagi." Alan menyerahkan ponsel yang digunakannya untuk bekerja, setelah membuka satu file video. Gita dengan kasar mengambil ponsel itu dan memperlihatkan video panas calon suaminya itu. Tony membulatkan matanya tidak percaya. "Hon, dari mana kau temukan video murah seperti itu? Prianya terlihat seperti diriku, tapi itu bukan aku." Dalam kecemasan, Tony masih bisa menjaga suaranya agar tetap tenang. Gita kembali memberikan ponsel pada Alan. Setelah menerima pinsel itu, Alan membuka file yang lain dan memberikannya lagi pada Gita. "Tenang saja sayang, aku hanya cinta padamu. Gadis itu hanya ladang uaNg bagiku. Aku akan menghabiskan hartanya dan meninggalkannya. Siapa juga yang mau dengan perempuan bar-bar seperti dia." Suara itu terdengar dari ponsel yang dipegang Gita dan itu jelas adalah suara Tony. Rekaman suara itu belum berhenti, sekarang malah terdengar suara penuh gairah dari dua orang. Tony sekarang mulai terlihat panik. Dia tidak menyangka kalau niat jahatnya akan terungkap secepat ini dan tepat di hari pernikahannya. Tony makin menciut di bawah tatapan dingin Gita. "Honey, aku yakin itu hanya salah paham." Tony masih berusaha mengelak. "Kau membawa perempuan lain ke rumahku dan bercinta di sana. Apa yang seperti itu yang kau sebut salah paham?" Suara Gita kini sedikit bergetar menahan emosinya. Gita sudah memakai gaun pengantinnya dan berdandan cantik. Gita bahkan sengaja memanjangkan rambut untuk hari ini. Acara juga akan mulai kurang dari sejam lagi, tapi Gita malah mendapatkan fakta bahwa dia hanya dimanfaatkan oleh orang yang dipacarinya selama setahun ini. "Honey itu kan rumah kita bersama. Dan ya, aku rasa itu salah paham saja, perempuan itu yang menggodaku." "Masa bodoh dengan alasan murahanmu itu. Dan itu rumah itu adalah rumahku Tony. Aku yang membelinya dengan uangku dan rumah itu atas namaku, lalu kau berani membawa wanita masuk ke sana?" "Oke honey aku ngaku khilaf. Aku minta maaf untuk semua itu. Ini hari pernikahan kita Hon, harusnya kita tidak bertengkar seperti ini." "Persetan dengan pernikahan. Aku tidak mau menikah dengan pengkhianat dannlintah darat sepertimu. Usir dia dari hotel ini." Kata-kata Gita yang terakhir itu ditujukan untuk Alan. "Tapi Bu ...." Kata-kata Alan terhenti begitu mendapat tatapan tajam dari bosnya. Tanpa perlu diperintah dua kali, Alan segera berjalan ke pintu kamar dan meminta pengawal yang siaga di sana membawa Tony keluar. "Tunggu dulu Hon. Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Kau cinta padaku kan? Kita akan menikah, kau tidak boleh mengusirku seperti ini." "Oh, aku sangat bisa melakukan itu Tony." "Apa yang nanti dikatakan orang tua kita? Kau tidak mungkin membuat keluargamu malukan?" Tony percaya diri dengan kata-katanya sekarang, dia yakin Gita tidak ingin mengecewakan orang tuanya. "Aku akan mengecewakan mereka jika aku menikah denganmu dan bercerai besok." Gita berbicara dengan tenang dan tegas, membuat Tony makin panik. "Seret dia keluar dan usir semua tamu pria brengsek ini." Gita memberi perintah pada Alan. Dua orang pengawal berbadan kekar langsung menyeret Tony keluar dari kamar, tanpa peduli teriakan seta makian yang dilontarkan lelaki itu. "Hon, jangan buang aku." Tanpa tahu malu Tony masih berteriak dengan panggilan sayang. "Apa yang kau lakukan di sini? Segera usir tamu pria itu dari ballroom," sergah Gita sambil melirik Alan dengan tatapan dingin. "Ibu yakin mau membatalkan acaranya?" Alan bertanya dengan nada ragu-ragu. Kalau sampai pernikahan ini batal, bisa dijamin semua saham Bramantara Grup akan terjun bebas. Yah, kalau sampai perceraian yang terjadi tetap akan sama sih, tapi kalau Gita bisa bertahan perusahaan masih bisa diselamatkan. Gita tentu tahu akan hal itu. "Apa kau tuli? Aku menyuruhmu mengusir tamu lelaki sialan itu." "Hah? Hanya tamu dari Pak Tony? " tanya Alan heran. "Kalau kau masih bertanya sekali lagi, aku akan memotong gajimu." Gita memberi tatapan mengancam yang membuat Alan bergidik. "Akan saya laksanakan perintahnya Bu," seru Alan sambil membetulkan letak kacamatanya dan segera keluar untuk mengatur ballroom. Tak lama setelah Alan pergi, kedua orang tua Gita datang. "Apa yang terjadi Sayang? Alan bilang kau mengusir Tony, tadi Tony juga sempat telepon Mom." Julie mendekati putri sambungnya itu. Julie menangkup pipi putri sulungnya dengan hati-hati, takut make up Gita rusak. "Kalian bertengkar?" lanjutnya dalam nada tanya. Gita tidak memberikan jawaban. Gita mengulurkan ponsel Alan yang masih dipegangnya pada sang ayah. Dengan ragu-ragu Alex mengambil ponsel itu dan melihatnya sedikt bingung, sebelum memutar tombol play yang ada di layar. Begitu suara Tony terdengar, Julie mengalihkan perhatiannya pada ponsel itu. Setiap detik yang berlalu membuat Alex menggenggam ponsel makin kuat. "Brengsek," maki Alex begitu rekaman suaranya selesai. "Masih ada rekaman video yang lain," gumam Gita dengan nada tenang. Sekarang Julie yang mengambil alih ponsel itu dan mencari video yang dimaksud. Begitu menemukannya, Julie langsung berteriak marah. "Apa-apaan ini? Tony selingkuh?" "Aku akan membunuhnya." Alex sudah akan beranjak pergi, tapi Gita menahannya. "Tidak perlu menyia-nyiakan tenagamu untuk orang seperti itu Dad. Dia bahkan tidak pantas bicara dengan kita." "Yang dikatakan Gita benar Lex. Mungkin ini yang terbaik. Lebih baik batal menikah, daripada nanti cerai." Julie memeluk Gita dengan penuh kasih sayang. "Kita batalkan saja ya," bisik Julie pelan. "Gak Mom, pernikahan ini akan tetap berlangsung." ***To be continued***Alan berjalan menyusuri lorong, dirinya menyempatkan untuk melaporkan kejadian tadi pada asisten pribadi dari ayah bosanya. Alan hanya memberikan penjelasan sangat singkat dan segera menuju ke ballroom. Alan mencari pihak WO dan menjelaskan situasi secara singkat dan meminta mereka tetap standby. Setelahnya barulah Alan menghampiri keluarga mempelai pria yang sudah duduk manis di meja keluarga. "Maaf Pak Yoga dan Bu Tari, saya mohon anda beserta keluarga bisa meninggalkan tempat ini sesegera mungkin." Dua orang yang barusan disebut namanya, menatap Alan dengan sorot tajam nan bingung. Tajam karena merasa diusir dan bingung karena tak tahu alasan mereka diusir. "Maksudnya apa ya? Acaranya akan dimulai kurang dari sejam lagi, kenapa kami harus pergi?" tanya ibu mempelai pria, masih dengan sopan. Alan tidak ingin menghabiskan waktunya untuk menjelaskan panjang lebar. Dikeluarkannya ponsel pribadinya dan mengakses video tak senonoh Tony dari fitur cloud yang dikembangkan Gita.
"Mas Alan?""Hai, Bel. Gak nyangka ya bisa ketemu kamu di sini.""Kau kenal lelaki ini Bel?" Isabella tidak menjawab teman kencannya, dia sudah gemetaran, matanya mulai terasa panas dan tenggorokannya tercekat. Dia ketahuan dan tertangkap basah. Bagaimana bisa? Padahal Isabella sudah sangat berhati-hati agar dia tidak ketahuan. Dia sudah menggeluti profesinya ini bahkan sebelum bertemu Alan, bahkan orang tuanya saja tidak tahu karena dia selalu hati-hati. Tapi lihatlah kini, kekasih hatinya itu memergokinya. “Mas, aku bisa jelasin semuanya,” ucap perempuan itu terlihat kalut."Apa dia pacarmu?" tanya teman kencan Isabella.Isabella tidak menjawab, apalagi Alan. Pria itu diam dan menatap Isabella dengan tatapan dingin. Ingin tahu apa yang akan dikatakan wanitanya. Ah, ralat. Mantan wanitanya. Teman kencan Isabella terlihat tidak senang dengan suasana ini. Malas menghadapi suasana ini, pria yang kini dikenali Alan sebagai salah satu pengusaha terkenal berumur empat puluh tahunan itu
"Gak Mom, pernikahan ini akan tetap berlangsung." Kata-kata Gita terdengar tegas dan mantap. "Maksudnya? Kau mau tetap menikah dengan Tony?" Julie menanyakan pilihan anaknya yang terdengar sangat tidak masuk akal. "Tentu saja tidak lah Mom. Aku akan mencari orang lain.""What? Cari orang lain? Gak salah?" tanya Alex sang ayah dengan heran."Yes, Dad. Aku gak mau gara-gara manusia tidak tahu malu itu, keluarga gita jadi bahan gosip.""Lebih baik jadi bahan gosip Gita. Dad gak mau kamu menikah dengan sembarangan orang dan tidak kamu cintai. Lagipula di mana kamu mau cari pria yang mau tiba-tiba dinikahkan denganmu?"Tepat setelah Alex selesai mengatakan kalimat itu, Gita melihat Alan berjalan ke arah mereka. Dahi Gita berkerut, melihat Alan yang tidak sebersemangat tadi. Tatapan mata lelaki itu juga terlihat sedikit sendu. "Sepertinya aku bisa memanfaatkannya deh," batin Gita dengan senyum terukir di wajahnya. "Tentu saja ada Dad. Dia pria baik, pintar dan tampangnya juga lumayan."
Alan berdiri dengan gugup di depan altar. Setelah diskusi singkat keluarga besar Bramantara, pernikahan tetap dilanjutkan dengan Alan sebagai pengantin pria. Semua perlengkapan Alan disiapkan dengan terburu-buru. Pihak WO harus pergi mengambil jas baru yang cocok untuk Alan, begitu pula dengan celana dan sepatu. Semua pakaian Tony tidak ada yang cocok untuk Alan yang sedikit lebih ramping, tapi juga lebih tinggi. Satu hal yang harus disyukuri Alan, lebih dari setengah tamu sudah pergi. Mereka memutuskan pulang karena melihat beberapa tamu 'diusir' pulang. Semua yang pulang menerka-nerka kalau pernikahan ini dibatalkan sepihak, atau ada pengantin yang melarikan diri. Hanya tersisa keluarga, sahabat dekat dan beberapa petinggi perusahaan. Alan menjadi makin tegang ketika Gita memasuki ballroom digandeng oleh Alex. Gita terlihat amat cantik dengan gaun mermaid yang berekor cukup panjang, yang melekat sempurna di tubuh ramping dan proporsional itu. Kesan seksi juga tercipta dengan mode
Baru juga keluar dari kamar mandi, Alan sudah dikejutkan dengan penampilan Gita dengan rambut lebih pendek duduk menghadap ke arah kamar mandi. Perasaan Alan, sampai beberapa menit lalu rambut atasannya itu masih panjang, hampir menyentuh pinggang. Sekarang rambut hitam legam itu sudah menggantung sedikit di atas bahu. "Apa yang kau lihat? Duduk." Gita memberi perintah dengan santainya dan Alan menurut dengan refleks. "Banyak yang harus kita bicarakan soal situasi kita saat ini. Jadi mari kita buat perjanjian.""Bukankah sudah terlambat untuk membuat prenup?""Aku gak pernah bilang mau bikin prenup, tapi perjanjian. Kontrak," Gita berseru kesal. "Maaf Bu," Alan refleks menjawab. Kebiasaan dua orang ini di kantor membuat Alan refleks menjawab."Aku mau ada batasan diantara kita."Alan langsung mengangguk setuju. Mereka memang harus menerapkan beberapa batasan. Terutama karena posisi Alan sekarang masih asisten pribadi Gita. "Mana ipad dan laptopmu?" tanya Gita dengan kening berkerut.
Alan menghela napas. Dirinya merasa tegang, karena harus mengunjungi orang tuanya. Bukan untuk meminta restu, tapi untuk memberitahu soal pernikahannya yang sudah terjadi."Bisa berhenti menghela napas? Jangan bawa sial." Gita menggerutu kesal dengan Alan yang sudah berulang kali menghela napas. Membuat sang suami hanya bisa minta maaf, karena merasa mengganggu. Hari ini, seperti biasanya Alan menyopiri Gita. Bedanya, sekarang dia menggunakan mobil pribadi dan bukan mobil mewah yang biasa digunakan sang atasan. Semua ini atas permintaan mama mertuanya. Gita yang tidak pernah bisa membantah Julie mau tidak mau harus menurut. Honda brio silver Alan berbelok masuk ke perumahan sedehana di daerah Bogor. Maybach milik Alex menyusul dibelakangnya. Untungnya Gill memilih menumpang di mobil ayahnya dan membiarkan Bentley kesayangannya di rumah, jika tidak iring-iringan kendaraan mereka akan terlihat timpang. "Ini rumah orang tuamu?" Gita bertanya begitu keluar dari mobil, sambil mengedarka
“Dasar anak kurang ajar. Berani-beraninya kamu bikin malu keluarga dengan caravseperti ini.”Alan sangat terkejut dengan tamparan keras di pipinya yang sekarang sudah memerah. Jangankan Alan, Gita yang bar-bar saja terkejut. "Maaf sekali pada Bapak dan Ibu. Saya tidak berhasil mendidik anak saya dengan benar." Tiba-tiba saja Anton menunduk minta maaf. Membuat semua orang makin terkejut. "Maksudnya apa ya Pak?" tanya Alex dengan bingung. "Saya benar-benar minta maaf atas kelakuan anak saya yang tidak termaafkan. Saya sudah cukup senang anda menerimanya di keluarga anda, tapi biar saya berikan pelajaran dulu pada dia.""Sebentar Pak." Gita segera menahan Anton yang sudah mencengkram tangan putranya."Sebentar Nak ya, biar saya kasih pelajaran dulu sama anak saya yang satu ini." Anton masih bersikeras menuduh anaknya. "Pak kami menikah bukan karena kecelakaan atau sejenisnya." Gita cepat-cepat mengutarakan isi pikirannya. "Iya, Nak saya tahu kalian menikah kar ...." Anton membiarkan
Suara tawa Gita menggema di dalam kamar hotel yang masih ditempatinya bersama sang suami. Tawa itu terus menggema, sementara Alan yang duduk di sofa yang jadi tempatnya tidur terlihat sangat cemberut. "Bisa berhenti ketawanya?" tanya lelaki itu dengan kesal. "Habisnya pipimu bengkak gitu. Tenaga Bapak luar biasa ya." Gita masih tidak bisa berhenti tertawa. "Akting luar biasaku tidak sia-sia karena bisa melihat wajah lucumu.""Saya heran kenapa Bu G … amu gak jadi aktris saja." Alan melangkah ke arah kamar mandi dengan kesal, meninggalkan istrinya yang masih tertawa. Hari ini pasangan suami istri itu akan pulang ke rumah. Ke rumah orang tua Gita lebih tepatnya dan Alan sudah menduga hal ini. Tapi tetap saja dia merasa tidak nyaman. Padahal Gita sudah punya rumah sendiri, tapi Alex bersikeras pengantin baru ini akan tinggal bersamanya. Mau tidak mau Gita dan Alan harus setuju. Tentu saja mereka jadi harus lebih sering mesra-mesraan ketika di rumah. Saking malasnya terus berakting, Gi
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel