Alan berdiri dengan gugup di depan altar. Setelah diskusi singkat keluarga besar Bramantara, pernikahan tetap dilanjutkan dengan Alan sebagai pengantin pria.
Semua perlengkapan Alan disiapkan dengan terburu-buru. Pihak WO harus pergi mengambil jas baru yang cocok untuk Alan, begitu pula dengan celana dan sepatu. Semua pakaian Tony tidak ada yang cocok untuk Alan yang sedikit lebih ramping, tapi juga lebih tinggi. Satu hal yang harus disyukuri Alan, lebih dari setengah tamu sudah pergi. Mereka memutuskan pulang karena melihat beberapa tamu 'diusir' pulang. Semua yang pulang menerka-nerka kalau pernikahan ini dibatalkan sepihak, atau ada pengantin yang melarikan diri. Hanya tersisa keluarga, sahabat dekat dan beberapa petinggi perusahaan. Alan menjadi makin tegang ketika Gita memasuki ballroom digandeng oleh Alex. Gita terlihat amat cantik dengan gaun mermaid yang berekor cukup panjang, yang melekat sempurna di tubuh ramping dan proporsional itu. Kesan seksi juga tercipta dengan model gaun yang memperlihatkan punggung putih Gita. Alias backless. Alan terpana melihat atasannya yang bagai bidadari jatuh dari langit. Dia luput memperhatikan betapa cantiknya perempuan itu tadi karena kesibukannya mengurus Tony. Lagi pula, Gita yang bar-bar sedikit banyak mengalihkan perhatian Alan. Ketegangan yang meliputi Alan makin meningkat tatkala ia diminta untuk mencium istrinya. Begitu mendengar perintah itu Alan mengumpat di dalam hati. Pelototan Gita mau tak mau membuat Alan harus menjalankan perintah itu, tapi dia memilih jalan paling aman. Alih-alih menyasar bibir, sang mempelai pria memilih mengecup kening perempuan yang sudah resmi menjadi istrinya dengan singkat. Itupun bibir Alan hanya menyapu pelan kening Gita, hampir tak menyentuh kulit. "Apakah kita masih harus berada di sini? Bukannya kita sudah menyalami semua tamu?" Alan mulai mengeluh lelah. "Diamlah sebentar siAlan. Jangan malu-maluin.""And who is this?" Seorang wanita seksi dengan rambut dicat pirang datang menghampiri. Wanita ini melihat Alan dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Lakimu kok ganti sih Ta? Mendingan yang ini sih menurutku. Yang kemarin itu lebih hot sih sebenarnya. He is totally hot but a disaster." Perempuan yang langsung sok akrab ini bahkan tidak takut dengan Gita yang terlihat sudah siap makan orang. Bukannya mundur wanita itu malah mengambil ponsel dan langsung memotret pasangan pengantin itu. "Don't you dare." Belum juga apa-apa Gita sudah memberikan peringatan entah untuk apa."Ck, peka amat sih jadi orang. Gak akan ku share kok." Perempuan ini akhirnya mengulurkan tangan memberi selamat. "Happy wedding. Semoga pilihan kali ini, terpaksa atau gak adalah pilihan terbaik buatmu.""Thanks Za." Gita menyambut uluran tangan perempuan itu berikut pelukan dan cium pipi kiri dan kanan. Alan hanya menatap aneh pada wanita yang sedari tadi menyita perhatian Gita. "Kenalin Maria Faeyza Atthallah, sahabatnya Gita. The one and only. Biasanya Gita manggil aku Eza." Kini giliran Alan yang menerima uluran tangan itu, minus pelukan dan cium pipi. "Alan dan makasih sudah datang," Alan menjawab dengan profesionalismenya. "He is good," bisik Eza pada Gita. "Jangan pulang dulu, aku mau minta tolong sebentar ya." Eza tidak menjawab dan hanya mengedipkan sebelah mata pada Gita. "Kak, Eza mau sampai kapan sih disitu?" Suara yang Gita kenal sebagai milik sepupunya terdengar. "Eh, bocil sejak kapan keluarga ikut kasih salam sih?" Eza melayangkan protes. "Bukan aku kali Kak, tapi temanku. Kebetulan dia mewakili keluarganya yang gak bisa datang." Si sepupu menunjuk pria bule disebelahnya."Ow, he is hot. What's your name? Wanna sleep with me?" Pertanyaan vulgar Eza membuat si bule menaikkan sebelah alisnya dan membuat orang lain kaget. "Em, I'am Daniel and no I don't think to sleep with you." Lelaki itu menjawab dengan yakin membuat sang sepupu tertawa. Gita segera mengusir sahabatnya itu dan menyambut sahabat sepupunya. Si sepupu yang bernama Eli ini, menjelaskan temannya itu menggantikan orang tuanya datang ke acara ini. Daniel tinggal karena ada dua orang sahabat yang menahannya. Setelah akhirnya resepsi selesai, Gita dan Alan akhirnya bisa istirahat. Bagi Alan dia tidak hanya lelah fisik, tapi juga pikiran. Sementara sang istri terlihat lebih santai. Alan mau tidak mau harus menempati kamar honeymoon suite bersama dengan Gita. Awalnya dia enggan sekamar dengan atasan sekaligus istrinya, tapi tatapan dingin Gita dan Alex membuatnya mengalah. "Astaga, aku tidak memberitahu ayah dan ibuku." Tiba-tiba saja, Alan yang sedang menunggu giliran mandi berdiri dari sofa yang didudukinya. Alan menggaruk kepalanya yang memang sedikit gatal dengan bingung. Bingung memikirkan apa yang harus dikatakan pada orang tuanya. "Ngapain kau bolak-balik seperti setrikaan rusak?" Gita langsung menegur Alan yang mondar-mandir tidak jelas. "Saya belum ngomong soal ini ke orang tua saya." Lelaki itu mendekati Gita yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk. "Itu kan sudah dibicarakan tadi, kita akan te tempat orang tuamu besok pagi.""Benarkah?" Alan masih linglung. Sejak tadi bertemu Isabella, sampai detik ini Alan memang terlihat sedikit linglung. Gita yang selalu peka dengan sekitarnya, jadi bisa memanfaatkan hal itu dengan sangat baik."Dari pada kau bengong di situ mending pergi mandi sana, aku mau mengurusi hal lain."Bertepatan dengan kata-kata Gita, ponselnya berdering singkat sebanyak dua kali. Ditinggalkannya Alan yang masih bingung dan pergi melihat ponselnya. Setelah itu, Gita langsung pergi ke depan pintu untuk menyambut Eza. "Biasanya pengantin baru having sex di jam segini, tapi malah aku diundang jadi tamu. Waras kan Ta?" Eza langsung menyambut dengan pertanyaan."Bisa gak sih mulutmu di taruh filter? Masuk.""Lakimu mana?" Eza melenggang masuk dengan koper make up kecilnya. "Lagi mandi. Why? Mau kau gigit?""Euwh, big no deh Ta. Gini-gini aku masih setia kawan. But are you serious about your hair? Udah susah dipanjangin abis resepsi mau dipotong?""Just do it."Eza tidak bicara lagi dan segera mengeluarkan peralatannya. Dia membentangkan cape di tubuh Gita dan memulai pekerjaannya dengan sisir dan gunting."So, what happen with that Tony guy.""Cheating. Lagian tujuan dia buat nikah itu cuma demi duit." Gita menjawab dengan santai."So? Apa artinya ada kerjaan untukku?" tanya Eza dengan senyum mengembang. Tangan lentik berkuteks merah itu menari indah di atas kepala Gita. "Yeah, but not now. Tunggu beberapa minggu lagi deh, takutnya dia bakal curigain aku." Gita tersenyum tipis mendengar sahabatnya."Mau diapain? Mau dibikin bangkrut atau itunya mau dipatahin? Mau dijadiin dendeng juga bisa sih Ta.""Atur aja deh Za semaumu, tapi ingat jangan sampai jadi kriminal. Aku gak mau tolongin kalo sampai masuk kantor polisi.""Tenang saja Sayang, kayak gak tahu Maria Faeyza Atthallah aja." Eza malah membanggakan diri."Ya, aku tahu kau memang psycho. Gak cocok tahu dengan namamu yang penuh kebaikan itu." Eza tertawa mendengar ejekan Gita yang sudah sering di dengarnya. "By the way. Ini rambutnya mau dipotong sampai mana sih Ta?***To be continued***Baru juga keluar dari kamar mandi, Alan sudah dikejutkan dengan penampilan Gita dengan rambut lebih pendek duduk menghadap ke arah kamar mandi. Perasaan Alan, sampai beberapa menit lalu rambut atasannya itu masih panjang, hampir menyentuh pinggang. Sekarang rambut hitam legam itu sudah menggantung sedikit di atas bahu. "Apa yang kau lihat? Duduk." Gita memberi perintah dengan santainya dan Alan menurut dengan refleks. "Banyak yang harus kita bicarakan soal situasi kita saat ini. Jadi mari kita buat perjanjian.""Bukankah sudah terlambat untuk membuat prenup?""Aku gak pernah bilang mau bikin prenup, tapi perjanjian. Kontrak," Gita berseru kesal. "Maaf Bu," Alan refleks menjawab. Kebiasaan dua orang ini di kantor membuat Alan refleks menjawab."Aku mau ada batasan diantara kita."Alan langsung mengangguk setuju. Mereka memang harus menerapkan beberapa batasan. Terutama karena posisi Alan sekarang masih asisten pribadi Gita. "Mana ipad dan laptopmu?" tanya Gita dengan kening berkerut.
Alan menghela napas. Dirinya merasa tegang, karena harus mengunjungi orang tuanya. Bukan untuk meminta restu, tapi untuk memberitahu soal pernikahannya yang sudah terjadi."Bisa berhenti menghela napas? Jangan bawa sial." Gita menggerutu kesal dengan Alan yang sudah berulang kali menghela napas. Membuat sang suami hanya bisa minta maaf, karena merasa mengganggu. Hari ini, seperti biasanya Alan menyopiri Gita. Bedanya, sekarang dia menggunakan mobil pribadi dan bukan mobil mewah yang biasa digunakan sang atasan. Semua ini atas permintaan mama mertuanya. Gita yang tidak pernah bisa membantah Julie mau tidak mau harus menurut. Honda brio silver Alan berbelok masuk ke perumahan sedehana di daerah Bogor. Maybach milik Alex menyusul dibelakangnya. Untungnya Gill memilih menumpang di mobil ayahnya dan membiarkan Bentley kesayangannya di rumah, jika tidak iring-iringan kendaraan mereka akan terlihat timpang. "Ini rumah orang tuamu?" Gita bertanya begitu keluar dari mobil, sambil mengedarka
“Dasar anak kurang ajar. Berani-beraninya kamu bikin malu keluarga dengan caravseperti ini.”Alan sangat terkejut dengan tamparan keras di pipinya yang sekarang sudah memerah. Jangankan Alan, Gita yang bar-bar saja terkejut. "Maaf sekali pada Bapak dan Ibu. Saya tidak berhasil mendidik anak saya dengan benar." Tiba-tiba saja Anton menunduk minta maaf. Membuat semua orang makin terkejut. "Maksudnya apa ya Pak?" tanya Alex dengan bingung. "Saya benar-benar minta maaf atas kelakuan anak saya yang tidak termaafkan. Saya sudah cukup senang anda menerimanya di keluarga anda, tapi biar saya berikan pelajaran dulu pada dia.""Sebentar Pak." Gita segera menahan Anton yang sudah mencengkram tangan putranya."Sebentar Nak ya, biar saya kasih pelajaran dulu sama anak saya yang satu ini." Anton masih bersikeras menuduh anaknya. "Pak kami menikah bukan karena kecelakaan atau sejenisnya." Gita cepat-cepat mengutarakan isi pikirannya. "Iya, Nak saya tahu kalian menikah kar ...." Anton membiarkan
Suara tawa Gita menggema di dalam kamar hotel yang masih ditempatinya bersama sang suami. Tawa itu terus menggema, sementara Alan yang duduk di sofa yang jadi tempatnya tidur terlihat sangat cemberut. "Bisa berhenti ketawanya?" tanya lelaki itu dengan kesal. "Habisnya pipimu bengkak gitu. Tenaga Bapak luar biasa ya." Gita masih tidak bisa berhenti tertawa. "Akting luar biasaku tidak sia-sia karena bisa melihat wajah lucumu.""Saya heran kenapa Bu G … amu gak jadi aktris saja." Alan melangkah ke arah kamar mandi dengan kesal, meninggalkan istrinya yang masih tertawa. Hari ini pasangan suami istri itu akan pulang ke rumah. Ke rumah orang tua Gita lebih tepatnya dan Alan sudah menduga hal ini. Tapi tetap saja dia merasa tidak nyaman. Padahal Gita sudah punya rumah sendiri, tapi Alex bersikeras pengantin baru ini akan tinggal bersamanya. Mau tidak mau Gita dan Alan harus setuju. Tentu saja mereka jadi harus lebih sering mesra-mesraan ketika di rumah. Saking malasnya terus berakting, Gi
"Jadi apa yang kau temukan tentang dia?" tanya Gita begitu melihat Eza. "Santai aja kali, Ta. Kau baru sampai dan langsung nanya gituan?"Sudah ada perjanjian tidak tertulis untuk dua orang ini untuk bicara layaknya sahabat ketika hanya berdua saja. Walau Eza itu kasar dan tidak punya filer di mulutnya, tapi Gita suka pada perempuan itu. Setidaknya Eza tidak munafik, tidak seperti orang-orang disekitarnya. Contoh nyatanya si Tony brengsek itu. "Ya, aku minta ketemuan untuk itu kan, Za.""Kiraiin mau curhat soal malam pertamamu. Sakit gak?""Sinting. Gak ada yang namanya malam pertama. Aku cuma males berduaan sama siAlan. Mana datanya?" Gita mengulurkan tangan."Udah kukirim ke email. Dicek dulu dong, Cintah.""Jijik tau." Gita kurang suka dengan Eza yang senang mengimbar kata cinta, honey dan sejenisnya. Dia jadi merasa seperti sedang berhadapan dengan penyuka sesama jenis dan itu membuatnya merinding. Tapi bukan Eza namanya kalau gak cari ribut, dia tetap dan akan selalu menggunak
"Besok udah mau masuk kerja?" Alex bertanya dengan mata melotot pada putrinya. "Yes, Dad. Kan udah cuti tiga hari." Gita menjawab, sembari menerima piring berisi nasi dan lauk dari sang suami. Ya, Alan yang mengambilkan makanan untuk istrinya dan bukan sebaliknya. Ini memang hal yang sudah biasa dan sering dilakukan Alan ketika harus makan bersama di luar bersama klien. Sebagai asisten, biasanya Alan yang akan memesankan makanan untuk Gita, mengambilkan makanan jika menu pada suatu acara disajikan secara prasmanan juga. Jika ada hal tertentu yang tidak disukai sang atasan di menunya, Alan juga yang segera mengambil alih. Dia juga yang pergi membayar tagihan, ketika mereka yang mentraktir.Semua itu selalu dilakukan Alan jika makan diluar bersama Gita, tapi sekarang mereka sedang makan malam di rumah. Status mereka juga suami istri, sewajarnya Gita yang melayani Alan. Bukan sebaliknya dan hal itu tidak luput dari penglihatan Julie. "Gita gak ambilin makanan buat Alan?" Julie bertan
"Hei, siAlan pijitin yang benar dong."Kira-kira sudah dua belas jam mereka terbang menggunakan jet pribadi dan hanya tinggal beberapa jam lagi sampai pesawat mendarat di Roma. Sayangnya, Alan sama sekali tidak menikmati penerbangan itu.Gita yang sedang duduk santai di kursi pesawat, tengah memejamkan mata mendengar musik dari ponselnya. Sementara Alan duduk di lantai pesawat dan memijat kaki sang istri dengan wajah cemberut. Tadi Gita sempat mengancam suaminya itu. Dia hanya mengatakan seluruh keluarga Alan akan hancur jika mereka ketahuan dan tentu saja itu berhasil. Pada kenyataannya memang perempuan itu bisa melakukan apa saja, bahkan dalam keadaan hancur. Terutama dengan keberadaan Eza yang menjadi bayangannya. "Maaf Pak, Bu. Ini menu makan siang untuk hari ini." Seorang cabin crew datang menghampiri dengan ragu-ragu. Dilihat dari sudut pandang mana pun, Alan dan Gita terlihat sebagai pasangan yang romantis dan mereka takut mengganggu.Alan terlihat seperti suami siaga yang s
"Selamat datang di Roma. Saya Donna yang diutus untuk menemani anda berdua selama di sini." Wanita dengan paras campuran Italia-Asia, menyambut Gita dan Alan. Wajah boleh blasteran, tapi bahasa Indonesia-nya lancar. Itu membuat Gita menatap si Donat dari atas sampai bawah dengan tatapan menyelidik. Seingatnya dia tidak menyewa tour guide atau sejenisnya. "Saya gak ingat nyewa tour guide atau semacamnya." Gita bicara to the point. "Saya diminta dari kantor pusat untuk jadi tour guide anda berdua.""Excuse me? Kantor pusat? Boleh tahu siapa yang suruh?" Kali ini Alan yang bertanya dengan penasaran. Kantor pusat yang disebut pastilah, kantor pusat Bramantara Grup. Bisa dipastikan kalau Donna juga merupakan salah satu karyawan cabang Roma. Kebetulan saja, perusahaan keluarga Bramantara kini sudah berekspansi sampai ke luar negeri."Pak Alex." Donna menjawab dengan singkat dan sungkan. Mendengar jawaban Donna, Alan refleks memijat pangkal hidungnya, sementara Gita hampir saja mengump
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel