Suara tawa Gita menggema di dalam kamar hotel yang masih ditempatinya bersama sang suami. Tawa itu terus menggema, sementara Alan yang duduk di sofa yang jadi tempatnya tidur terlihat sangat cemberut.
"Bisa berhenti ketawanya?" tanya lelaki itu dengan kesal. "Habisnya pipimu bengkak gitu. Tenaga Bapak luar biasa ya." Gita masih tidak bisa berhenti tertawa. "Akting luar biasaku tidak sia-sia karena bisa melihat wajah lucumu.""Saya heran kenapa Bu G … amu gak jadi aktris saja." Alan melangkah ke arah kamar mandi dengan kesal, meninggalkan istrinya yang masih tertawa. Hari ini pasangan suami istri itu akan pulang ke rumah. Ke rumah orang tua Gita lebih tepatnya dan Alan sudah menduga hal ini. Tapi tetap saja dia merasa tidak nyaman. Padahal Gita sudah punya rumah sendiri, tapi Alex bersikeras pengantin baru ini akan tinggal bersamanya. Mau tidak mau Gita dan Alan harus setuju. Tentu saja mereka jadi harus lebih sering mesra-mesraan ketika di rumah. Saking malasnya terus berakting, Gita sempat memberi ide untuk lembur tiap hari, tapi ide itu langsung tenggelam ketika Alex melarang sang putri untuk lembur bahkan sebelum perempuan itu mengutarakan niatnya. Alex bahkan sudah mempersiapkan beberapa posisi yang bagus untuk Alan di kantor. Sayangnya, Alan menolak tawaran itu dan hanya mengucapkan terima kasih. Dia tidak mau naik jabatan hanya karena koneksi dan Alex menyukai sifat menantunya yang satu itu. "Hei siAlan, kau akan pergi ke apartemenmu kan?""Ya." Alan hanya menjawab istrinya dengan singkat, enggan mengundang perang. "Good. Aku ada urusan jadi kau pergi dan pulang sendiri.""Terserah.""Kurasa sekarang kau jadi lebih kurang ajar ya?" Gita menatap Alan dengan tatapan dingin. "Saya bicara santai dibilang kurang ajar. Bicara sopan dibilang gak bisa akting. Jadi saya harus gimana?""Itu urusanmu untuk mencari tahu. Kalau sudah selesai kita check out sekarang." Gita melenggang keluar dari kamar tanpa mempedulikan Alan lagi. ***Alan tiba di apartemen yang disewanya selama beberapa tahun terakhir sebelum jam makan siang. Alan tidak berniat membawa banyak barang, karena nanti salah satu adiknya akan tinggal di sana. Alan langsung melangkah ke satu-satunya kamar yang ada di sana. Mengambil koper dan mengemasi baju-bajunya. Alan menatap bajunya dengan miris. Sangat berbeda dengan yang digunakannya sekarang. Kemarin Alan memang meminta seseorang membelikannya baju, tapi tidak pernah menyangka dia akan dibelikan kemeja bermerk dengan harga jutaan. Harusnya Alan tidak meminta aspri mertuanya untuk beli pakaian, hanya karena mereka berteman. “Aku gak mungkin belikan menantunya Pak Alex baju murahan kan?” Itu yang dikatakan sang sahabat padanya.Ketika Alan masih sibuk dengan melipat pakaian, dia bisa mendengar bunyi bip pelan dari arah pintu. Jelas saja seseorang baru saja masuk ke apartemennya. "Mas Alan?" suara lembut seorang wanita yang dikenal Alan menyapa teinganya, membuat lelaki itu mengumpat dalam hati. Derap langkah terburu-buru yang didengarnya, membuat Alan bergerak lebih cepat. Dia tidak lagi melipat pakaiannya dengan rapi dan hanya memasukkannya asal ke dalam koper. "Mas Alan?" Isabella kini telah berdiri di depan kamar dengan wajah sendu dan mata sedikit bengkak. Wanita itu menatap Alan yang buru-buru mengepak pakaiannya. Alan lupa kalau Isabella juga bisa masuk ke apartemennya seenak hati. Perempuan itu kadang-kadang malah sampai menginap. Hanya menginap saja, tanpa melakukan hal lain selain tidur. Benar-benar hanya tidur sambil berpelukan. Karena itulah Alan merasa marah. Disaat Isabella selalu menolak jika disentuh Alan, wanita itu malah menjajakan tubuhnya ke banyak orang. Bukan Alan yang tidak bisa menahan diri, tapi pria mana yang mau diperlakukan seperti itu? Terlebih lagi, setelah sang sahabat memberitahu bahwa Isabella itu sebenarnya simpanan om-om kaya. Sebenarnya sudah sejak sebulan lalu sang sahabay memberitahunya, tapi Alan tidak percaya. Setelah dia memergoki mantannya di lift tempo hari, barulah Alan percaya dan dia juga sudah mendapat bukti tambahan lain dari sahabatnya."Mas Alan mau ke mana?" Isabella bertanya dengan raut sedih. "Dua hari ini Mas Alan nginap di mana. Aku datang, tapi tidak ada orang di sini" perempuan itu berjalan mendekati Alan. "Jangan mendekat." Alan menjulurkan tangannya untuk menghentikan sang mantan."Mas. Mas Alan boleh marah sama aku, tapi jangan kayak gini. Jangan tinggalin aku.""Kamu yang duluan ninggalin aku Bell.""Aku gak ada niatan seperti itu Mas. Itu semua hanya kerjaan saja, gak lebih.""Lalu bagaimana dengan yang namanya Erik?" Alan menghentikan kegiatannya dan menatap sang mantan dengan tajam. "Bagaimana Mas Alan .... " Isabella menggantungkan kalimatnya karena merasa terkejut."Let's say, saya punya teman baik yang mau memberi tahu saya kalau kamu itu gak benar. Tukang selingkuh." Untuk fakta yang satu ini, Alan tidak kegeratan untuk memberibtahu."Sumpah Mas, aku... Aku gak bermaksud seperti itu. Tadinya aku mau berhenti Mas.""Tapi tidak kan?" Alan segera menyela, sebelum mantannya berbicara lagi. "Bukan hanya wanita yang gak suka diduakan Bel. Lelaki juga gak suka. Terutama aku." Saking marahnya Alan melupakan sikap formalnya pada sang mantan.Isabella tidak mampu lagi membalas mantan kekasihnya dan Alan bersyukur dengan itu. Bagaimana pun juga Alan tidak suka berdebat dengan mantannya itu. Itu membuatnya kembali mengepak barangnya dengan gerakan lebih cepat. "Mas, please. Kasih aku kesempatan sekali saja. Aku pasti berhenti kerja, aku akan ninggalin Mas Erik. Aku bahkan sudah pergi cari kerjaan tadi Mas.""Sayangnya semua itu sudah terlambat. Kamu gak punya kesempatan lagi."Setelah apa yang terjadi dengan ibunya dulu, Alan sama sekali tidak bisa mentoleransi yang namanya perselingkuhan. Tidak akan pernah, apa pun itu alasannya.Setelah Alan selesai, dia dengan sangat cepat berjalan melewati Isabella. Tak butuh waktu lama untuk perempuan itu untuk mengejar dan mencengkram lengan Alan."Lepas Bel, jangan sampai saya kasar sama kamu.""Gak, Mas. Aku gak akan lepas sampai Mas Alan mau maafin aku.""Ok Fine. Kamu dimaafkan." Alan menjawab cepat, enggan tinggal berlama-lama di sana. Perlahan Isabella melepas pegangannya pada Alan. "Terima kas ...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya, Alan sudah memotong. "Dimaafkan tidak berarti diberi kesempatan. Kamu sudah terlambat." Alan kembali menegaskan dan segera keluar dari unitnya. Isabella terdiam tak berkutik sama sekali. Ketika perempuan itu mendengar bunyi pin yang ditekan dari pintu, senyumnya kembali mengembang. Alan kembali padanya, dia tahu lelaki itu tak mungkin hidup tanpanya, begitu pula sebaliknya. Isabella menunggu penuh harap. Semenit kemudian pintu kembali terbuka dan Alan ada di sana. Sesuai dengan dugaan Isabella, otomatis membuat senyumnya makin mengembang. Tapi baru juga perempuan itu mau melangkah, Alan sudah duluan bersuara. "Tolong bereskan semua barang-barangmu yang ada di sini. Tempat ini akan ditinggali oleh orang lain, jadi tolong jangan datang lagi. Aku juga sudah mengubah sandi pintunya barusan." Alan berhenti sesaat, sebelum melanjutkan, "Dan jangan pernah mencariku lagi."Setelah menyelesaikan kalimatnya, Alan membanting pintu dan segera pergi. Meninggalkan Isabella yang sudah tidak bisa menahan air matanya. ***To be continued***Haduh, Isabella.😭
"Jadi apa yang kau temukan tentang dia?" tanya Gita begitu melihat Eza. "Santai aja kali, Ta. Kau baru sampai dan langsung nanya gituan?"Sudah ada perjanjian tidak tertulis untuk dua orang ini untuk bicara layaknya sahabat ketika hanya berdua saja. Walau Eza itu kasar dan tidak punya filer di mulutnya, tapi Gita suka pada perempuan itu. Setidaknya Eza tidak munafik, tidak seperti orang-orang disekitarnya. Contoh nyatanya si Tony brengsek itu. "Ya, aku minta ketemuan untuk itu kan, Za.""Kiraiin mau curhat soal malam pertamamu. Sakit gak?""Sinting. Gak ada yang namanya malam pertama. Aku cuma males berduaan sama siAlan. Mana datanya?" Gita mengulurkan tangan."Udah kukirim ke email. Dicek dulu dong, Cintah.""Jijik tau." Gita kurang suka dengan Eza yang senang mengimbar kata cinta, honey dan sejenisnya. Dia jadi merasa seperti sedang berhadapan dengan penyuka sesama jenis dan itu membuatnya merinding. Tapi bukan Eza namanya kalau gak cari ribut, dia tetap dan akan selalu menggunak
"Besok udah mau masuk kerja?" Alex bertanya dengan mata melotot pada putrinya. "Yes, Dad. Kan udah cuti tiga hari." Gita menjawab, sembari menerima piring berisi nasi dan lauk dari sang suami. Ya, Alan yang mengambilkan makanan untuk istrinya dan bukan sebaliknya. Ini memang hal yang sudah biasa dan sering dilakukan Alan ketika harus makan bersama di luar bersama klien. Sebagai asisten, biasanya Alan yang akan memesankan makanan untuk Gita, mengambilkan makanan jika menu pada suatu acara disajikan secara prasmanan juga. Jika ada hal tertentu yang tidak disukai sang atasan di menunya, Alan juga yang segera mengambil alih. Dia juga yang pergi membayar tagihan, ketika mereka yang mentraktir.Semua itu selalu dilakukan Alan jika makan diluar bersama Gita, tapi sekarang mereka sedang makan malam di rumah. Status mereka juga suami istri, sewajarnya Gita yang melayani Alan. Bukan sebaliknya dan hal itu tidak luput dari penglihatan Julie. "Gita gak ambilin makanan buat Alan?" Julie bertan
"Hei, siAlan pijitin yang benar dong."Kira-kira sudah dua belas jam mereka terbang menggunakan jet pribadi dan hanya tinggal beberapa jam lagi sampai pesawat mendarat di Roma. Sayangnya, Alan sama sekali tidak menikmati penerbangan itu.Gita yang sedang duduk santai di kursi pesawat, tengah memejamkan mata mendengar musik dari ponselnya. Sementara Alan duduk di lantai pesawat dan memijat kaki sang istri dengan wajah cemberut. Tadi Gita sempat mengancam suaminya itu. Dia hanya mengatakan seluruh keluarga Alan akan hancur jika mereka ketahuan dan tentu saja itu berhasil. Pada kenyataannya memang perempuan itu bisa melakukan apa saja, bahkan dalam keadaan hancur. Terutama dengan keberadaan Eza yang menjadi bayangannya. "Maaf Pak, Bu. Ini menu makan siang untuk hari ini." Seorang cabin crew datang menghampiri dengan ragu-ragu. Dilihat dari sudut pandang mana pun, Alan dan Gita terlihat sebagai pasangan yang romantis dan mereka takut mengganggu.Alan terlihat seperti suami siaga yang s
"Selamat datang di Roma. Saya Donna yang diutus untuk menemani anda berdua selama di sini." Wanita dengan paras campuran Italia-Asia, menyambut Gita dan Alan. Wajah boleh blasteran, tapi bahasa Indonesia-nya lancar. Itu membuat Gita menatap si Donat dari atas sampai bawah dengan tatapan menyelidik. Seingatnya dia tidak menyewa tour guide atau sejenisnya. "Saya gak ingat nyewa tour guide atau semacamnya." Gita bicara to the point. "Saya diminta dari kantor pusat untuk jadi tour guide anda berdua.""Excuse me? Kantor pusat? Boleh tahu siapa yang suruh?" Kali ini Alan yang bertanya dengan penasaran. Kantor pusat yang disebut pastilah, kantor pusat Bramantara Grup. Bisa dipastikan kalau Donna juga merupakan salah satu karyawan cabang Roma. Kebetulan saja, perusahaan keluarga Bramantara kini sudah berekspansi sampai ke luar negeri."Pak Alex." Donna menjawab dengan singkat dan sungkan. Mendengar jawaban Donna, Alan refleks memijat pangkal hidungnya, sementara Gita hampir saja mengump
"Pikirkan cara agar aku bisa bebas besok." Gita langsung memberi perintah begitu pintu kamar tertutup. "Saya juga sedang memikirkannya." Alan menjawab sambil melangkah ke sofa. Menjatuhkan dirinya di atas sofa yang cukup besar. Setidaknya sofa ini sedikit lebih besar dari sofa di kamar Gita. "Saat aku selesai mandi, kau sudah harus mendapat ide."Alan tidak mempedulikan atau menjawab istrinya. Dia hanya berbaring dengan mata tertutup, sementara Gita melenggang ke kamar mandi yang terletak bersebelahan dengan daerah kamar tidur. "SiAlan."Baru juga menutup mata untuk sesaat, Alan tersentak bangun mendengar suara keras Gita. Hal yang membuat lelaki itu mengumpat pelan lantaran dia merasa sangat terkejut dan kesal karena harus bangun lagi."Ada apa?" Alan balas berteriak setelah panggilan kedua. Kamar honemoon suite itu memang cukup besar, tapi Alan dan Gita masih bisa mendengar jika saling teriak. Satu hal yang sangat tidak disukai Alan."Ambilkan perlatan mandiku."Alan tidak meli
Alan yang baru menyesap kopi yang baru dibuatnya dengan mesin kopi, langsung menyemburkannya dan terbatuk-batuk hebat. Ini terjadi ketika dia melihat istrinya keluar dari area kamar tidur. Matanya membulat melihat gaya berpakaian Gita yang modis, tapi seksi. Yeah. Walau Gita tomboy dan hampir tidak pernah pakai rok, dia tahu caranya berpenampilan stylish dan seksi. Seperti sekarang ini. Gita menggunakan lace bralette hitam dengan, dipadukan dengan hot pants jeans dan cardigan dan sepatu kets putih. Jelas sekali terlihat, bralette itu kurang mampu menampung apa yang ada di dalamnya. Terutama karena model v neck benda itu.Alan sampai perlu menelan liur dengan susah payah melihat pemandangan indah di depannya. Tidak percuma Gita menghabiskan tiga puluh menit di kamar mandi, kadang malah lebih. "Ayo kita pergi." Suara ketus Gita menyadarkan Alan dari lamunannya. Lelaki itu berusaha mencerna kata-kata istrinya dan langsung menatap sang istri dengan horor. "Bu Gita bakal pakai itu?""Y
Donna menatap Gita dan Alan bergantian. Sejak dari Trevi Fountain dua orang itu terlihat sedikit berjarak, membuat sang pemandu jadi sedikit bingung. "Tadi mesra banget, sekarang marahan? Ini gimana ya?" Cewek blasteran Italia Indo itu berdecak pelan. Yah, lebih tepatnya Alan yang sedikit menjaga jarak dengan Gita. Acara pelukan yang tidak disengaja itu sedikit banyak membuatnya canggung. Jadinya selama dari air mancur tadi Alan sedikit menjaga jarak. Namun sekarang ini Alan tidak bisa menjaga jarak terlalu jauh. Berbeda dengan Trevi yang hari ini tidak terlalu ramai, Fiori tetap sangat ramai. Tempat itu sudah serupa pasar dengan berbagai macam jualan. Tempat itu sudah lama ada dan masih saja bisa bertahan. Alan berdehem pelan ketika tangannya tidak sengaja bersentuhan dengan tangan Gita. Dia lalu menghela nafas setelahnya, ketika melihat reaksi Gita yang biasa saja. Itu Alan mengumpat dalam hati. Kenapa juga dia harus canggung hanya karena berpelukan?"Itu hanya pelukan saja Ala
Alan segera beranjak dari sofa ketika mendengar erangan pelan dari area kamar tidur. Dia cukup tertegun melihat ekspresi ketakutan Gita bahkan dalam tidurnya. Ini pertama kalinya Alan melihat atasannya seperti ini. Biasanya perempuan itu terlihat sangat kuat. Perempuan di depannya itu terlihat sangat merana dalam tidurnya. Buliran keringat sebesar biji jagung mengiasi dahi dan pelipisnya. Alan mengulurkan tangan, untuk mengurai kernyitan di kening sang istri."Gita?"Alan memanggil nama istrinya ketika perempuan itu mulai menggeliat tidak jelas. Tidak ada suara yang keluar, tapi setitik air mata dengan wajah yang memerah dan napas tak beraturan, membuat Alan mengguncang bahu Gita dengan pelan. "Gita? Bangun. Hei."Tiba-tiba saja Gita membuka matanya dan hal pertama yang ditangkap Alan dari sorot mata itu adalah ketakutan. Hanya sekian detik sebelum kembali normal, tapi dia bisa melihatnya. "Ngapain di sini?" Gita sudah kembali dengan nada ketusnya. "Kamu tadi mimpi buruk. Saya cu
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel