Mataku tidak percaya akan apa yang terjadi di hadapannya, pada awalnya aku berpikir kakek tua itu bercanda saat dia menyatakan penolakannya, tapi ternyata dia serius, dia terjatuh miring memegangi dada nya, dan napasnya tersengal-senggal. Hatiku mencelos, dia mengangkat tangannya berusaha berbicara sesuatu tapi sepertinya lidahnya kelu, sehingga aku tidak bisa mengerti apa yang dia bicarakan.
Pria berjas hitam tadi langsung membopongnya dan aku mengikutinya dari belakang, Oh Tuhan jangan biarkan ada apa-apa dengan Opa ini, aku merasa bertanggungjawab, jantungku berdebar-debar saat masuk ke mobil menemani kakek tua itu di belakang saat pria berjas itu menyetir dengan cepat menuju rumah sakit.
Begitu sampai rumah sakit, Opa Jacob segera di periksa, sampai ditempel berbagai alat di badannya, sungguh menakutkan, aku tak tega melihatnya, tanpa sadar air mataku ikut terjatuh karena takut. Dokter mengatakan kalau dari hasil pengecekan awal sepertinya kondisi jantung Opa tidak bagus, dan takutnya ada penyumbatan, hatiku kembali mencelos, semua ini karena aku yang asal bicara tadi. Aku memandang kakek tua itu dengan sedih. Jika memang mau dilakukan tindakan harus ada tanda tangan dari keluarga, Opa mengangguk lemah.
"Tolong... telepon cu..cu opa..." serunya susah payah, dia mengambil handphone dari saku celananya.
Aku menerima teleponnya dengan perasaan campur aduk, menelepon cucunya berarti aku menelepon calon suamiku? Tapi kakek tua itu menatapku memohon dengan mata yang sayu.
"Nomor ...satu ya!" serunya menatapku.
Aku segera menekan no 1 dan terdengar suaranya yang tidak sopan itu.
"Apa lagi kakek tua?" tanyanya tidak sopan, aku mengerutkan keningku, jadi seperti ini kelakuan calon suamiku.
"Kamu cucunya kan? segera kemari kami membutuhkan tanda tanganmu!" Aku menjawab dengan kesal.
Pria ini sepertinya yang dari tadi ditelepon oleh pria berjas hitam tadi, tapi selalu gagal. Ternyata cucunya sendiri tidak perduli kalau kakeknya sedang sakit, aku mendengus kesal.
"Kamu siapa?" betaknya kasar, Eh pria ini benar-benar membuatku emosi. Kakek memegang tanganku, aku menghela napas panjang.
"Kakekmu ada di UGD RS Jantung Harapan Kami, segera datang!" jawabku sedingin mungkin. Opa Jacob tersenyum lemah saat aku mematikan telepon.
"Terima Kasih ya Anna," ujarnya lirih, aku tersenyum sedih melihatnya, tadi dia benar-benar tampak sehat, dalam sekejap tiba-tiba dia terbaring tak berdaya disini, perasaanku tak karuan dibuatnya. Entah kenapa aku tiba-tiba merasa dekat dengan kakek ini.
Tak lama kemudian, datang seorang pria berjas lain, apakah ini salah satu karyawan Opa? aku melirik sebentar, tapi gayanya berbeda, angkuh dan sombong. Dia datang dan berbicara dengan Pria berjas tadi. Aku tak ambil pusing, aku hanya akan menunggu sampai kakek ini baikan, aku merasa bersalah kepadanya.
"Hmm." Pria itu mendekati kaki tempar tidur Opa Jacob. Memangnya aku apa dipanggil seperti itu, pikirku dalam hati.
"Ehem!" dia kembali mengeraskan suaranya, pria ini benar-benar tidak sopan, aku segera menatap kearahnya dengan kesal.
"Ya, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sebal. Pria itu bukannya menjawabnya malah tersenyum sinis.
"Saya yang bisa bantu Anda bukan kebalikannya!" jawabnya mendekatiku.
"Siapa kamu!" ujarnya lagi lebih mendekatiku, aku segera mundur menjauhinya.
"Ethan... kamu sudah datang?" tanya Opa Jacob, memegang tangan Pria itu. Dia berusaha untuk duduk tapi tidak bisa.
"Sudahlah Opa nggak usah bangkit dulu, Opa kenapa sih?" tanya Pria itu dengan kening berkerut.
Opa...Opa... jangan-jangan ini yang bernama Ethan yang Opa Jacob ceritakan tadi? tanyaku dalam hati. Aku ingin menjauhi mereka berdua, tapi aku terperangkap diantara tubuh Ethan tembok dan tempat tidur Opa.
"Ethan, ini calon istrimu Anna, cantik kan?" seru Opa Jacob tersenyum lemah.
Aku dan Ethan saling menatap, dia menatapku dengan sinis, aku menatapnya dengan jijik. Sudah sombong, angkuh tidak sopan lagi! pikirku dalam hati.
"Oh ini yang Opa bangga-banggakan? biasa aja tuh, ga cantik-cantik amat!" ujarnya seakan-akan aku tidak ada disini. Aku mendengus kesal, menanggapinya hanya membuang-buang waktuku. Sepertinya keputusanku tepat tadi, berada dengannya selama lima menit saja aku sudah mau meledak apalagi kalau aku menikah dengannya?
"Permisi, kakek kita Echo dulu ya," seru suster tersenyum, mulai membuka kunci tempat tidur Opa Jacob. Aku segera berdiri dan mengikuti kemana Opa Jacob dibawa.
"Buat apa anda ikut!" serunya mengejarku dari belakang, aku menatapnya dengan kesal.
"Aku mau lihat apakah Opa akan baik-baik saja, aku ga percaya sama kamu!" jawabku sebal melupakan sopan santun. Pria itu mengigit bibir bawahnya dengan kesal akan jawabanku, tapi aku tak peduli, aku langsung berlari mengikuti Opa.
Opa Jacob tersenyum lemah saat aku masuk keruangan periksa, dokter memberikan seperti gel dan meletakkannya di dada Opa, aku berdiri di kaki Opa untuk mendengar penjelasan Dokter. Tak lama Ethan masuk dan berdiri tak jauh dariku.
"Wah Opa, cucunya khawatir sekali nih sepertinya?" tanya dokter ramah, dia mulai melihat ke layar.
"Oke, kita bisa lihat disini ...-" dokter mulai menjelaskan, dan aku tidak mengerti sama sekali yang dia coba jelaskan, sekeras mungkin aku mencoba mengerti. Tapi Ethan mendengarkan dengan serius dengan kening berkerut.
"Jadi sebaiknya kita melakukan operasi, pertama kita balon lalu kita akan ring," kata dokter menatapku dan Ethan bergantian.
Aku hanya mengerti bagian operasi, tapi mengapa ada balon dan ring, yang berarti cincin? maksudnya apa? aku menatap Ethan ingin bertanya, tapi itu saja memberikan dia amunisi untuk kembali merendahkan aku.
"Baik kita jadwalkan saja dok secepat mungkin lebih baik," jawab Ethan langsung.
"Baik, tapi karena Opa harus puasa, bagaimana kita cari jadwal yang pas ya, juga dengan dokter jantung yang ada?" ucap dokter lagi.
"Jadi sekarang Opa gimana?" tanyaku khawatir kepada dokter, Ethan menatapku dengan bingung.
"Opa akan baik-baik saja, tapi bobo di rumah sakit dulu ya," jawab dokter tersenyum menenangkanku yang masih panik. Ethan masih menatapku seakan-akan aku mahkluk aneh.
"Yuk kita masuk ruangan yuk, Opa?" ajak suster dengan ramah mendorong kembali tempat tidur Opa Jacob.
"Kamu kenapa sih?" tanya Ethan tiba-tiba meraih tanganku ketika aku kembali mau mengikuti Opa.
"Apanya yang kenapa?" tanyaku sebal mencoba melepaskan tanganku.
"Kenapa kamu sok peduli!" jawabnya, bola matanya yang hitam menatapku dengan marah.
"Aku emang peduli, bukannya sok peduli! memangnya kamu yang sok sibuk terus sampai tak peduli kakeknya masuk rumah sakit!" Aku dengan kesal melepaskan pegangan tangannya di lenganku, dan segera berlari mengikuti Opa Jacob. Entah kenapa semakin dia melarang ku melihat Opa Jacob, semakin aku ingin melawan nya.
"Anna cucuku." ucap Opa Jacob saat dia sudah enak rebahan di kasurnya yang baru.
Ruangan opa besar, ada lemari baju sampai rak besar pun ada, yang menurutku agak berlebihan. Kakek tua itu akan tidur sendirian disini sehingga membuat hatiku terenyuh.
"Kamar Opa besar sekali," ucapku mengagumi kamar opa, sepertinya luas kamar opa sama besarnya dengan rumahku.
"Ethan selalu begitu, pilih yang paling mahal, yang paling mewah, padahal tidak perlu." jawab Opa Jacob. Sepertinya reaksi obatnya berjalan baik, sehingga Opa terlihat lebih baik.
"Opa sudah enakkan ya?" ujarku lebih tenang karena pipi Opa sudah kembali merah.
"Sudah, berkat kamu Opa jadi tenang," jawabnya tersenyum lagi.
"Maafkan Ethan, dia memang selalu begitu, tapi aslinya dia baik, jadi gimana? kamu mau kan?" pintanya lagi dengan penuh harap.
"Opa sudah enakkan ya?" Aku mendengar suara perempuan itu. Kenapa dia yang jadi lebih khawatir daripada Aku sih? kataku dalam hati, Aku terus berjalan mendekati ruangan Opa."Sudah, berkat kamu Opa jadi tenang." suara opa kini lebih jelas dan stabil, sepertinya keadaannya sudah lebih baik, beban hatiku agak terangkat. Aku sudah di depan pintu saat aku mendengar suara opaku lagi."Maafkan Ethan, dia memang selalu begitu, tapi aslinya dia baik, jadi gimana? kamu mau kan?" Aku mendengar opaku memohon. Cih, kenapa dia sampai memohon seperti itu, seakan-akan aku bujangan lapuk, pikirku kesal, dan yang lebih menyebalkannya, perempuan ini sok jual mahal sekali, sampai menikah denganku saja perlu berpikir lama? pikirku kesal.
Sebentar lagi pintu lift terbuka, aku harus langsung melesat menjauhi pria ini, tadi dia kesannya tak sudi bicara denganku, tapi sekarang dia malah mengikutiku. Aku merasakan pandangan pria itu di belakangnya. Aish, kenapa dia mengikutiku sih! jeritku dalam hati. Pintu terbuka 3...2...1 go!Aku segera berlari secepat mungkin, sepatu baru ini menyusahkan saja, kalau aku lepaskan, kira-kira lantai rumah sakit bersih nggak ya? aku menimbang-nimbang, tetapi sepertinya waktu aku membuka sepatu, aku bisa ditangkapnya."Anna!" panggilnya dari belakang, aku segera mempercepat langkahku, kakiku sempat terpeleset, seketika dia bisa mengejarku.Ethan meraih le
Pembicaraanku dengan New York berjalan lancar, kantor pusat setuju dengan keputusan yang aku ambil, iklan yang berjalan yang menyesatkan publik itu akan ditarik dan akan kami buat baru lagi, walau akan keluar biaya baru, tapi pihak pusat akhirnya tidak keberatan. Aku sangat suka bekerja dengan perusahaan ini yg memiliki integritas ini.Setelah selesai bicara aku merasa lapar, wanita ini pasti juga lapar sudah hampir jam 11 malam dan kami belum makan malam. Aku memandang ke arahnya untuk menanyakan apakah ia lapar, tapi pemandangan yang aku lihat lebih menakjubkan.Gaunnya ternyata robek jahitannya dari dada sampai ke pinggang, walaupun aku tak ada bermaksud melihat tetapi naluri kelaki-lakianku langsung muncul dan menatap tubuhnya yang te
Aku terbangun dengan puas, sudah lama aku tidak tidur senyaman ini. Matahari masuk dengan indahnya di antara sela-sela tirai putih. Nyamannya, berada di pelukannya tenyata begitu nyaman.Pelukan? Tirai putih? Aku dimana? jeritku dalam hati. Aku segera melirik ke samping, Kenapa bisa ada dia di sampingku? Lengannya yang berat ada di pinggangku. Oh Tuhan apa yang terjadi?Aku segera keluar dari selimut secepat tapi selembut mungkin, agar dia tidak terbangun. Suara napasnya yang teratur menyatakan kalau dia masih tertidur lelap, aku aman. Syukurlah aku masih berpakaian lengkap, dengan jasnya juga. Aku masih membutuhkan ini, aku segera beranjak meninggalkan kamarnya.
Wanita itu tertidur seperti kerbau, dia bahkan tidak terbangun ketika aku meletakkannya di tempat tidurku. Ternyata walau dia terlihat mungil dan langsing, membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggendongnya itu sulit sekali."Cih, tidurnya pulas sekali!" gumamku kesal, setelah menaruhnya di tempat tidurku. Badanku terasa pegal, ternyata dia berat sekali! Wajahnya terlihat tenang dengan rambutnya yang terurai di belakang kepalanya. Terdapat beberapa helai rambut yang masuk ke dalam mulutnya.Aku menatapnya sebentar lalu duduk di sampingnya, tanganku bergerak sendiri untuk menarik rambut itu, dia bergerak sedikit ketika merasa rambutnya tertarik, dan tersenyum, entah bermimpi apa. Jika dia diam seperti ini, dia terlihat seperti bidadari,
"Nanti kalau Opa bangun bagaimana?" tanyaku kesal dengan sikap tidak pedulinya. Dia malah menaikkan salah satu sudut bibirnya."Ada Daniel." Matanya yang hitam menatap ke sekretaris opa Jacob yang langsung mengangguk. Dia kembali tersenyum sinis lalu segera pergi."Tapi Daniel tidak bisa menggantikanmu, cucunya kan kamu!" teriakku kesal, nanti kalau ada apa-apa dengan opa jangan sampai kamu menyesal, pikirku dalam hati, aku tahu penyesalan itu rasanya seperti apa, aku sudah merasakannya, pikirku dalam hati. Aku tahu dia mendengarku, suaraku bergaung di lorong rumah sakit, tapi dia terus melangkahkan kakinya yang panjang menjauhiku."Mari kita ke rua
Ruang duka, aku kembali ke Ruang duka. Dalam sekejap berita duka Opa menyebar kemana-mana, aku terkejut dengan kesigapan Daniel mengatur segalanya.Tapi memang berbeda, Ruang duka Opa Jacob sangat mewah, kakek disemayamkan di ruang besar, dengan tirai berenda-renda, karangan bunga, lampu kristal dan lilin dimana-mana. Orang-orang datang melayat juga membawa bunga, sampai penuh dipajang di jalan masuk ruang duka Opa.Suasana riuh, walaupun ini harusnya dalam suasana berduka, tapi orang yang datang tidak ada yang benar-benar berduka, mereka semua saling sibuk menegur bahkan tidak ada yang merasa aneh saat mereka bercanda dan tertawa.Hanya sesosok itu yang terlihat terpukul, wajahnya mengeras seperti patung. Dia mengenakan kaus polo hitam dengan celana panjang hitam, Daniel tiba-tiba membawakan baju itu tadi.Aku memperhatikannya dari tadi, semua orang datang kepadanya mengucapkan turut berdukacita, dia hanya mengangguk menyalami lalu kembali membeku menatap Op
Ruang duka, aku kembali ke Ruang duka. Dalam sekejap berita duka opa menyebar kemana-mana, aku terkejut dengan kesigapan Daniel mengatur segalanya.Tapi memang berbeda dengan pemakaman papaku dulu, ruang duka opa Jacob sangat mewah, kakek disemayamkan di ruang besar, dengan tirai berenda-renda, karangan bunga, lampu kristal dan lilin dimana-mana. Orang-orang datang melayat juga membawa bunga, sampai penuh dipajang di jalan masuk ke ruang duka Opa.Suasana riuh, walaupun ini seharusnya dalam suasana berduka, tapi orang yang datang tidak ada yang benar-benar berduka, mereka semua saling sibuk menegur bahkan tidak ada yang merasa aneh saat mereka bercanda dan tertawa.
"Oh Anna," desah Ethan terengah-engah merasakan sentuhan Anna yang semakin mendesak. Dia semakin bersemangat untuk meninggalkan jejak di cerukan leher Anna, tapi wanita itu segera menghindar."Jangan, ah kita kan mau ke dokter, nanti malu ah," seru Anna sambil terkikik geli merasakan bibir suaminya di lehernya yang jenjang."Ish, biar saja, biar mereka semua tahu kamu ada yang punya," ujar Ethan masih mau menikmati kulit putih sempurna milih istrinya itu, tapi Anna menggeliat dengan sedemikian rupa sehingga Ethan tetap tak bisa menyesap leher sempurna itu.Dia lalu memegang kedua tangan istrinya sambil tersenyum miring. Wanita itu menatapnya dengan mata coklat mudanya yang cantik. Matanya membulat karena terkejut."Kareba bergerak terus aku akan ikat kamu!" Ethan bergaya tegas, tapi tatapan mata Anna yang memelas membuatnya tidak tega, dia mendengus lalu menyerah."Aku menc
Saat Daniel menanyakan hal itu, Anna keluar dari kamar dan mengambil alih Jacob. Anna hanya mendengar sekilas ucapan Daniel, tapi dia mengerti apa yang sedang dibicarakan."Aku ikut, saat kamu ke dokter aku ikut!" ujarnya cepat lalu meletakkan Jacob kembali ke kursinya. Batita itu kembali merenggut dan merengek, dia maunya di gendong, dia tak suka berada di kursi. Dia mulai meraung, tapi ketiga orang dewasa di sekitarnya tak ada yang peduli padanya."Oh... haruskah hari ini?" tanya Ethan sambil meletakkan daging asap mengepul di tengah meja."Ethan, kita tak tahu sampai kapan kamu akan sadar, nanti kalau kamu tiba-tiba menghilang bagaimana?" tanya Daniel dengan penuh kekhawatiran. Anna, membuat makanan untuk Jacob, lagi-lagi instan karena dia belum belanja. Ethan mencari pengalihan perhatian."Makan apa dia? Mengapa instan begitu? Seharusnya kamu masak makanan sehat untuknya jangan yang instan, Dani,
“Aku akan selalu bersamamu sayang.” Mereka menyatu dengan sempurna, Anna mengangguk setitik air mata terjatuh di pipinya.“Kamu sangat sempurna untukku, Anna. Aku mencintaimu.” Mereka saling terengah-engah memuaskan diri dan emosi mereka yang kini saling berpadu. Napas mereka memburu dengan detak jantung yang saling bertalu-talu. “Oh, betapa aku mencintainya, jangan lupakan aku, Ethan!” pinta Anna dalam hati. Dia memekik bersamaan dengan Ethan yang melenguh panjang. Pria itu menatapnya lalu mengecup air matanya.“Terima kasih sayang, karena kembali kepadaku.” Anna bergelung di dada suaminya. “Terima kasih karena telah mengingatku.” desah Anna dalam hati.Ethan berdiri untuk mengambil kaosnya dan mengenakannya kembali merebahkan dirinya di samping Anna. Pria itu menarik pinggang Ana yang ramping. Istrinya masuk kedalam pelukannya, namun walaupun Anna
Dia berdiri diatas bangku berusaha mengikat tali di bagian atas langit-langit ruangan. Namun palang yang dulunya ada untuk mamanya mengikat kini bisa tidak ada. Tadi ada, namun kini hilang, lalu saat dia sadari, tali yang dia pegang pun tak ada? Kemana itu semua? Dia berteriak dengan frustasi sampai pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Wanita tadi masuk dengan air mata bercucuran di pipinya."Sayang, jangang sayang maafkan aku, oh Tuhan, maafkan aku, sayang turunlah!" pekik Anna dengan sangat takut. Wajah Ethan begitu gelap. Dia berdiri diatas bangku dengan canggung, wajahnya bingung seperti mencari sesuatu yang tiba-tiba menghilang."Ethan Samuel, turun kamu dari situ!" teriak Anna berusaha dengan tegas seakan dia sedang memarahi Jacob yang membuang-buang makanannya. Pria itu menoleh dengan bingung."Aku bilang turun, kamu harus turun!" Walau air mata Anna mengalir deras, dia merasa, Ethan harus dikagetkan, dengan ca
"Sayang…," desah Ethan sambil menciumi kelopak telinga Anna sehingga Anna tekikik geli. Tubuhnya mulai bergoyang tak terkendali, merespon tiap sentuhan Ethan. Jemari Anna mulai meraih kancing kemeja kerja Ethan. Dan dengan terampil kancing demi kancing dilepaskannya. Ethan tersenyum miring saat merasakan kemejanya sudah terlepas semua, dan jemari Anna mulai merasakan dadanya."Hmm, geli Anna," Ethan mendesah saat Anna terus menyusuri kulit perutnya yang berkotak-kotak.Anna tersenyum nakal, sambil terus merasakan hangatnya tubuh Ethan. pria itu dengan cepat melepas kemejanya sehingga kedua tangan Anna bebas menyentuhnya. Mata wanita itu berbinar-binar melihat tubuh Ethan yang kurus namun berotot itu."Kamu harus makan lebih banyak ya? Tubuhmu kurus sekali," Anna menyu
"Sayang, maafkan aku, kamu sudah pulang dan aku malah membuatmu takut, kembalilah padaku, aku sangat merindukanmu," desah Ethan di telinga Anna, pelukannya terasa nyata. Anna tak lagi berusaha melepaskan diri. Dia menoleh untuk menatap Ethan, dan menilai.Mata pria itu kembali hangat sebagaimana Anna mengingatnya. Dia tersenyum sedih, memandang Anna penuh harap. Anna menatap Jacob yang sudah kembali merasa aman di pelukan mamanya, batita itu sudah sibuk bermain dengan kancing baju mamanya. Tapi tiba-tiba dia menyentuh hidung papanya"Pa….pa," cengirnya memperlihatkan gusi yang kemerahan."Iya sayang, aku papamu." Ethan menangis menatap bayinya, bukan dia sudah besar sudah bukan bayi lagi. Betapa dia sudah kehilangan waktu, apa yang terjadi? Anna terk
"Aku Anna, Anna Federica, istrimu, ibu dari Jacob anakmu. Aku berhak ke lantai tiga, atau kemanapun aku mau karena aku… ini… istri...mu!" pekiknya marah sambil memukul Ethan yang terlihat linglung. Anna marah dan kecewa, baru saja dia berpikir, Ethan sembuh dan mereka bisa kembali seperti sedia kala. Namun dalam sekejap semua harapannya pecah berkeping-keping.Dia terus memukuli Ethan sampai kedua tangannya dipegang Ethan dengan kuat sehingga dia tidak bisa memukulnya."Apa, kamu kamu apa?" teriak anna marah berusaha melepaskan diri yang percuma."Aku mau ini." Pria itu lalu menunduk mengecupnya lagi. Dia terus mendorongnya ke dinding, sambil terus menciumnya dengan panas. Anna menerima ciuman itu dengan bingung, namun gairahnya muncul dan kem
Ethan tak dapat berpikir, untuk sementara dia hanya mengagumi kecantikan alami wanita di hadapannya. Dia bergerak otomatis mendekati wanita itu saat dia sedang sibuk mengeringkan rambutnya. matanya membesar saat menyadari Ethan sudah ada dihadapannya."Mau apa kamu?" tanya Anna mundur. Tapi Ethan semakin mendekat, dan dia sudah menempel di dinding kaca boks mandi."Mengapa kamu sangat mengganggu?" Dia mengangkat tangannya dan mengelus pipi Anna dengan lembut, wanita itu terperangah, merasakan sentuhan Ethan setelah beberapa lama, rasanya luar biasa. Mereka saling pandang yang terasa sangat intens dan ketika insting membawa Ethan untuk menunduk dan merasakan bibir wanita itu dia mundur. Kaget dengan apa yang ada di kepalanya."Astaga, apa yang baru saja dia pikirkan?" batin Ethan, bagaimana dia bisa mau mencium wanita lain selain Anna. Wanita itu menatapnya lalu segera meninggalkannya yang bingung di dalam kam
Daniel menatap Ethan yang kini makan dengan lahapnya di meja makan. Walaupun pikirannya belum sembuh setidaknya hari ini sudah ada makanan yang masuk."Dani, chef-nya pintar yang kali ini, boleh dipertahankan. Nanti siang aku mau masakan dia lagi," ucap Ethan mengambil lagi nasi goreng dari bakul. Daniel mengangguk dengan senyuman di bibir karena mengetahui kalau itu adalah masakan Anna. Semoga dengan keberadaan Anna, Ethan bisa pulih."Dani, kamu bisa jadwalkan dokter buat Anna? Dia sepertinya kesakitan sekali kemarin, punggungnya pegal, dia kan sudah masuk bulan ke-7?" Dan harapan Daniel kembali pupus. Entah kenapa, ingatan Ethan selalu berhenti di Anna hamil 7 bulan. Setiap hari perintahnya selalu sama. Namun Daniel hanya mengangguk dan meninggalkannya masih asyik makan.