"Opa sudah enakkan ya?" Aku mendengar suara perempuan itu. Kenapa dia yang jadi lebih khawatir daripada Aku sih? kataku dalam hati, Aku terus berjalan mendekati ruangan Opa.
"Sudah, berkat kamu Opa jadi tenang." suara opa kini lebih jelas dan stabil, sepertinya keadaannya sudah lebih baik, beban hatiku agak terangkat. Aku sudah di depan pintu saat aku mendengar suara opaku lagi.
"Maafkan Ethan, dia memang selalu begitu, tapi aslinya dia baik, jadi gimana? kamu mau kan?" Aku mendengar opaku memohon. Cih, kenapa dia sampai memohon seperti itu, seakan-akan aku bujangan lapuk, pikirku kesal, dan yang lebih menyebalkannya, perempuan ini sok jual mahal sekali, sampai menikah denganku saja perlu berpikir lama? pikirku kesal.
Aku segera masuk dan wanita itu melirik sebentar ke arahku, opaku juga menatapku dengan kesal karena mengganggu bujukkannya kepada Anna.
"Opa sudah masuk jadwal dioperasi, jangan lupa nanti harus puasa. Kamarnya nyaman kan? Aku harus pulang, nanti jam 10 ada meeting dengan New York," jelasku sambil melihat jam, sekarang sudah hampir jam 9 malam.
"Ethan..." panggil opa Jacob dengan suara serak. Aku harus tanya sama dokter tentang suaranya juga, sudah lama opa suaranya serak pikirku dalam hati.
"Kita ngobrol dulu sebentar," ujarnya menatapku dengan penuh harap. Wanita itu ikut memandangku dengan matanya yang bulat, rambutnya yang panjang tergerai indah di sebelah kiri di atas pundaknya, memperlihatkan lehernya yang putih jenjang. Aku menghela nafas agar kembali konsentrasi. Wanita itu masih menatapku seakan-akan aku aneh. Kenapa dia melihatku seperti itu? pikirku kesal.
"Aku harus melihat berkasnya dulu opa, nanti ga keburu lihat berkas, meeting jadi percuma," seruku beralasan karena aku sebenarnya sudah tahu apa harus dibicarakan dalam meeting itu, hanya saja aku tidak suka berlama-lama berbicara ini itu, membicarakan hal-hal sepele seperti pernikahan ini, bukan untuk diriku, aku lebih baik menyendiri dan berbicara seperlunya.
"Meeting itu bisa ditunda, ayolah kita dah lama ga ngo,-" dia terbatuk lagi sebelum menyelesaikan kata-katanya.
Wanita itu langsung sibuk mencari gelas, dan mengisi air dari air mineral botolan, tapi dia tidak kuat membukanya, cih… Aku mendekatinya, merebut botol air mineral dari tangannya, membukanya lalu menuangnya ke gelas opa.
"Terima kasih cucu-cucuku." kata opa Jacob setelah puas minum. Ia memandangi kami berdua dengan tatapan yang puas. Satu tangannya ada di tangan Anna dan yang satunya ada di tanganku. Wajah opaku terlihat lelah namun dia masih memaksakan dirinya untuk berbicara.
"Udah, opa istirahat ya?" Aku menatapnya sungguh-sungguh, tapi opa tidak menggubrisku, dia hanya tersenyum lalu melanjutkan perkataannya.
"Opa sungguh berharap kalian akan bahagia, sebahagia yang direncanakan oleh kakek-kakekmu," ucap opa Jacob sambil menatap kami berdua, kata-katanya terasa janggal.
"Opa ngomong apa sih, kaya mau ada apa aja," protes wanita itu ternyata merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan.
"Ethan, kamu antar Anna pulang ya? sudah malam nggak mungkin dia pulang sendirian," pinta opa Jacob kepadaku. Aku menghela napas panjang ingin protes,b opa pasti lupa, aku masih ada meeting. Tapi entah kenapa pandangan mata kakek tua itu malam ini sungguh membuatku iba.
"Kenapa aku harus pulang, nanti Opa gimana?" tanya wanita itu kaget. Aku dan Opa saling pandang karena terkejut.
"Maksudku... Opa ga apa-apa ditinggal di kamar sebesar ini sendirian?" tanyanya bingung.
"Ya emang kenapa, Opa dah gede kok, dah tua malah, dah bisa bobo sendiri, emang kenapa?" jawabku gemas, tidak mengerti jalan pikiran wanita ini.
"Opa nggak apa-apa, kan ada Daniel," jawab Opa agak geli dengan kekhawatiran berlebihan Anna. Aku memandang wanita di sebelahku dengan takjub, wanita ini benar-benar aneh, memang kelewat bodoh atau benar-benar pandai akting. Namun sepertinya Opa Jacob sudah terkena mantranya, kakek tua itu sekarang menatap wanita itu dengan tatapan memuja.
"Oh ada Daniel," ulangnya lagi.
"Kalau begitu baiklah aku pulang ya Opa!" serunya tiba-tiba meraih opa Jacob dalam pelukannya.
Opa Jacob terkejut atas pelukannya, apalagi aku. Aku terperangah atas pemandangan di hadapanku. Kami tidak pernah pelukan bahkan bersalaman saja jarang.
Menurutku kadang Opa Jacob saja suka berlebihan manjanya, tapi wanita ini seenaknya saja main peluk. Ah dia ini bukannya bodoh, tapi benar-benar jago akting. Aku harus berhati-hati dengannya. Dia sepertinya wanita ular yang berbisa, pikirku mewanti-wanti dalam hati.
"Baik, hati-hati sayang," ucap Opa Jacob setelah pulih dari keterkejutannya. Wanita itu melambaikan tangannya dan berjalan keluar begitu saja dari kamar rawat opa. Lho bukannya dia minta diantar pulang tadi kok dia main nyelonong begitu saja? tanyaku bingung dalam hati, aku segera mengejarnya keluar.
"Eh...eh!" teriakku memanggilnya di lorong rumah sakit. Tapi dia tidak berhenti, seakan tidak mendengarku.
"Hei, hei! aku tau kamu mendengarku!" teriakku kesal.
Dia berhenti berjalan dengan sepatu haknya yang murahan itu, dan menoleh. Tatapan matanya seakan mau memakanku. Lho kenapa dia marah, kan dia yang seenaknya pergi begitu saja. Dia datang menghampiriku dengan tatapan mengintimidasi.
"Kenapa... kenapa kamu yang malah melihatku seperti itu?" tanyaku bingung, entah kenapa aku terintimidasi olehnya.
"Eh eh... hei hei, jangan seenaknya anda memanggil saya ya!" bentaknya. Aku tertegun menatap wajahnya yang mungil tapi sedang marah itu.
"Ah.." Hanya itu yang aku bisa ucapkan.
"Dari tadi saya sudah cukup sabar dengan kelakuan anda ya, saya punya nama, anda tau kan nama saya, tadi kita sudah dikenalkan kan?" ucapnya memarahiku.
Aku Ethan Samuel sedang dimarahi, ada apa ini, kenapa dunia seakan-akan terbalik? Tapi herannya lidahku kelu, aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Aku hanya terbius dengan manik matanya yang bewarna coklat muda.
"Nama saya Anna, Anna Federica," ucapnya lagi mengingatkanku seakan aku seorang idiot. Aku segera menguasai diriku lagi.
"Anna, mari kita pulang," ujarku menarik tangannya. Sampai sekarang pun aku bingung kenapa aku bisa seenaknya menggandeng tangannya.
Dia mengikutiku beberapa langkah sebelum akhirnya dia menyadari apa yang aku lakukan lalu melepaskan tangannya dari genggamanku.
"Eh ... mengapa anda seenaknya menyentuh saya?" teriaknya lagi, membuat suster-suster yang ada di boothnya ikut memperhatikan kami.
"Kamu mau pulang kan, aku antar," jawabku cepat.
"Nggak perlu, saya bisa pulang sendiri." balasnya, langsung berjalan sendiri menuju lift melewati booth suster yang pastinya sedang menggosipkan kami.
"Hai!" panggilku mengulang kesalahanku lagi. Dia segera masuk ke dalam lift.
"Anna, tunggu!" teriakku segera ikut masuk ke dalam lift.
"Tuh nggak susah kan panggil nama orang pakai namanya!" serunya ketus. Aku menggertakkan gigiku, aku separuh menyesal ikut masuk ke dalam lift.
"Aku tak butuh diantar, aku bisa pulang sendiri!" serunya tanpa melihatku.
Aku gemas sekali dengan wanita keras kepala ini. Baru kali ini aku bertemu dengan seseorang yang sama keras kepalanya dengan diriku, pikirku dalam hati.
"Opa menyuruhku untuk mengantarmu pulang," ucapku mencari alasan lalu memandangnya bola mata kecoklatannya itu, karena semakin aku dilarang semakin aku mau melakukannya.
"Nggak butuh!" jawabnya masih keras kepala.
"Hari ini sudah malam, kamu nggai mungkin pulang sendiri," ujarku tak mau kalah, entah kenapa emosiku selalu tersulut ketika berbicara dengan wanita ini. Pintu lift terbuka dan wanita itu berjalan secepat sepatu hak murahannya membawanya.
"Anna!" panggilku tapi dia malah berjalan semakin cepat, pegawai valet melihat kedatanganku dan langsung menyiapkan mobilku, aku berlari mengejarnya, bola mata coklat mudanya terbelalak ketika aku kembali meraih tangannya dan menariknya masuk ke dalam mobil.
Dia bisa turun dari mobil saat aku memutar menuju kursi pengemudi, tapi dia tidak turun, cih! Dia mungkin kaget setelah melihat mobil mewahku, semua perempuan sama, jika melihat mobil mewah pasti langsung mau ikut, pikirku saat menyetir keluar dari rumah sakit.
Sebentar lagi pintu lift terbuka, aku harus langsung melesat menjauhi pria ini, tadi dia kesannya tak sudi bicara denganku, tapi sekarang dia malah mengikutiku. Aku merasakan pandangan pria itu di belakangnya. Aish, kenapa dia mengikutiku sih! jeritku dalam hati. Pintu terbuka 3...2...1 go!Aku segera berlari secepat mungkin, sepatu baru ini menyusahkan saja, kalau aku lepaskan, kira-kira lantai rumah sakit bersih nggak ya? aku menimbang-nimbang, tetapi sepertinya waktu aku membuka sepatu, aku bisa ditangkapnya."Anna!" panggilnya dari belakang, aku segera mempercepat langkahku, kakiku sempat terpeleset, seketika dia bisa mengejarku.Ethan meraih le
Pembicaraanku dengan New York berjalan lancar, kantor pusat setuju dengan keputusan yang aku ambil, iklan yang berjalan yang menyesatkan publik itu akan ditarik dan akan kami buat baru lagi, walau akan keluar biaya baru, tapi pihak pusat akhirnya tidak keberatan. Aku sangat suka bekerja dengan perusahaan ini yg memiliki integritas ini.Setelah selesai bicara aku merasa lapar, wanita ini pasti juga lapar sudah hampir jam 11 malam dan kami belum makan malam. Aku memandang ke arahnya untuk menanyakan apakah ia lapar, tapi pemandangan yang aku lihat lebih menakjubkan.Gaunnya ternyata robek jahitannya dari dada sampai ke pinggang, walaupun aku tak ada bermaksud melihat tetapi naluri kelaki-lakianku langsung muncul dan menatap tubuhnya yang te
Aku terbangun dengan puas, sudah lama aku tidak tidur senyaman ini. Matahari masuk dengan indahnya di antara sela-sela tirai putih. Nyamannya, berada di pelukannya tenyata begitu nyaman.Pelukan? Tirai putih? Aku dimana? jeritku dalam hati. Aku segera melirik ke samping, Kenapa bisa ada dia di sampingku? Lengannya yang berat ada di pinggangku. Oh Tuhan apa yang terjadi?Aku segera keluar dari selimut secepat tapi selembut mungkin, agar dia tidak terbangun. Suara napasnya yang teratur menyatakan kalau dia masih tertidur lelap, aku aman. Syukurlah aku masih berpakaian lengkap, dengan jasnya juga. Aku masih membutuhkan ini, aku segera beranjak meninggalkan kamarnya.
Wanita itu tertidur seperti kerbau, dia bahkan tidak terbangun ketika aku meletakkannya di tempat tidurku. Ternyata walau dia terlihat mungil dan langsing, membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggendongnya itu sulit sekali."Cih, tidurnya pulas sekali!" gumamku kesal, setelah menaruhnya di tempat tidurku. Badanku terasa pegal, ternyata dia berat sekali! Wajahnya terlihat tenang dengan rambutnya yang terurai di belakang kepalanya. Terdapat beberapa helai rambut yang masuk ke dalam mulutnya.Aku menatapnya sebentar lalu duduk di sampingnya, tanganku bergerak sendiri untuk menarik rambut itu, dia bergerak sedikit ketika merasa rambutnya tertarik, dan tersenyum, entah bermimpi apa. Jika dia diam seperti ini, dia terlihat seperti bidadari,
"Nanti kalau Opa bangun bagaimana?" tanyaku kesal dengan sikap tidak pedulinya. Dia malah menaikkan salah satu sudut bibirnya."Ada Daniel." Matanya yang hitam menatap ke sekretaris opa Jacob yang langsung mengangguk. Dia kembali tersenyum sinis lalu segera pergi."Tapi Daniel tidak bisa menggantikanmu, cucunya kan kamu!" teriakku kesal, nanti kalau ada apa-apa dengan opa jangan sampai kamu menyesal, pikirku dalam hati, aku tahu penyesalan itu rasanya seperti apa, aku sudah merasakannya, pikirku dalam hati. Aku tahu dia mendengarku, suaraku bergaung di lorong rumah sakit, tapi dia terus melangkahkan kakinya yang panjang menjauhiku."Mari kita ke rua
Ruang duka, aku kembali ke Ruang duka. Dalam sekejap berita duka Opa menyebar kemana-mana, aku terkejut dengan kesigapan Daniel mengatur segalanya.Tapi memang berbeda, Ruang duka Opa Jacob sangat mewah, kakek disemayamkan di ruang besar, dengan tirai berenda-renda, karangan bunga, lampu kristal dan lilin dimana-mana. Orang-orang datang melayat juga membawa bunga, sampai penuh dipajang di jalan masuk ruang duka Opa.Suasana riuh, walaupun ini harusnya dalam suasana berduka, tapi orang yang datang tidak ada yang benar-benar berduka, mereka semua saling sibuk menegur bahkan tidak ada yang merasa aneh saat mereka bercanda dan tertawa.Hanya sesosok itu yang terlihat terpukul, wajahnya mengeras seperti patung. Dia mengenakan kaus polo hitam dengan celana panjang hitam, Daniel tiba-tiba membawakan baju itu tadi.Aku memperhatikannya dari tadi, semua orang datang kepadanya mengucapkan turut berdukacita, dia hanya mengangguk menyalami lalu kembali membeku menatap Op
Ruang duka, aku kembali ke Ruang duka. Dalam sekejap berita duka opa menyebar kemana-mana, aku terkejut dengan kesigapan Daniel mengatur segalanya.Tapi memang berbeda dengan pemakaman papaku dulu, ruang duka opa Jacob sangat mewah, kakek disemayamkan di ruang besar, dengan tirai berenda-renda, karangan bunga, lampu kristal dan lilin dimana-mana. Orang-orang datang melayat juga membawa bunga, sampai penuh dipajang di jalan masuk ke ruang duka Opa.Suasana riuh, walaupun ini seharusnya dalam suasana berduka, tapi orang yang datang tidak ada yang benar-benar berduka, mereka semua saling sibuk menegur bahkan tidak ada yang merasa aneh saat mereka bercanda dan tertawa.
Aku tak pernah menyangka hari ini akan datang begitu cepat, hari dimana opa Jacob meninggalkanku sendiri. Hanya dia keluargaku yang ada, dan kini dia juga meninggalkanku. Sekilas ada rasa marah kepadanya yang terbujur kaku di hadapanku, teganya opa meninggalkanku! Tapi kini aku menatapnya dan berharap dia bangun dan berkata dia hanya bercanda seperti biasanya.Aku menatap ke sekelilingku, penuh dengan orang asing, yang bahkan tidak merasa perlu untuk berpura-pura sedih, mereka makan dan minum sambil mengobrol, saling bercanda.Mataku tertuju kepada seorang wanita kurus mengenakan kaos polo hitam dan jeans yang terlihat sangat terpukul. Dia pasti lelah, segala usahanya terbuang sia-sia, opa tetap saja pergi.
"Oh Anna," desah Ethan terengah-engah merasakan sentuhan Anna yang semakin mendesak. Dia semakin bersemangat untuk meninggalkan jejak di cerukan leher Anna, tapi wanita itu segera menghindar."Jangan, ah kita kan mau ke dokter, nanti malu ah," seru Anna sambil terkikik geli merasakan bibir suaminya di lehernya yang jenjang."Ish, biar saja, biar mereka semua tahu kamu ada yang punya," ujar Ethan masih mau menikmati kulit putih sempurna milih istrinya itu, tapi Anna menggeliat dengan sedemikian rupa sehingga Ethan tetap tak bisa menyesap leher sempurna itu.Dia lalu memegang kedua tangan istrinya sambil tersenyum miring. Wanita itu menatapnya dengan mata coklat mudanya yang cantik. Matanya membulat karena terkejut."Kareba bergerak terus aku akan ikat kamu!" Ethan bergaya tegas, tapi tatapan mata Anna yang memelas membuatnya tidak tega, dia mendengus lalu menyerah."Aku menc
Saat Daniel menanyakan hal itu, Anna keluar dari kamar dan mengambil alih Jacob. Anna hanya mendengar sekilas ucapan Daniel, tapi dia mengerti apa yang sedang dibicarakan."Aku ikut, saat kamu ke dokter aku ikut!" ujarnya cepat lalu meletakkan Jacob kembali ke kursinya. Batita itu kembali merenggut dan merengek, dia maunya di gendong, dia tak suka berada di kursi. Dia mulai meraung, tapi ketiga orang dewasa di sekitarnya tak ada yang peduli padanya."Oh... haruskah hari ini?" tanya Ethan sambil meletakkan daging asap mengepul di tengah meja."Ethan, kita tak tahu sampai kapan kamu akan sadar, nanti kalau kamu tiba-tiba menghilang bagaimana?" tanya Daniel dengan penuh kekhawatiran. Anna, membuat makanan untuk Jacob, lagi-lagi instan karena dia belum belanja. Ethan mencari pengalihan perhatian."Makan apa dia? Mengapa instan begitu? Seharusnya kamu masak makanan sehat untuknya jangan yang instan, Dani,
“Aku akan selalu bersamamu sayang.” Mereka menyatu dengan sempurna, Anna mengangguk setitik air mata terjatuh di pipinya.“Kamu sangat sempurna untukku, Anna. Aku mencintaimu.” Mereka saling terengah-engah memuaskan diri dan emosi mereka yang kini saling berpadu. Napas mereka memburu dengan detak jantung yang saling bertalu-talu. “Oh, betapa aku mencintainya, jangan lupakan aku, Ethan!” pinta Anna dalam hati. Dia memekik bersamaan dengan Ethan yang melenguh panjang. Pria itu menatapnya lalu mengecup air matanya.“Terima kasih sayang, karena kembali kepadaku.” Anna bergelung di dada suaminya. “Terima kasih karena telah mengingatku.” desah Anna dalam hati.Ethan berdiri untuk mengambil kaosnya dan mengenakannya kembali merebahkan dirinya di samping Anna. Pria itu menarik pinggang Ana yang ramping. Istrinya masuk kedalam pelukannya, namun walaupun Anna
Dia berdiri diatas bangku berusaha mengikat tali di bagian atas langit-langit ruangan. Namun palang yang dulunya ada untuk mamanya mengikat kini bisa tidak ada. Tadi ada, namun kini hilang, lalu saat dia sadari, tali yang dia pegang pun tak ada? Kemana itu semua? Dia berteriak dengan frustasi sampai pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Wanita tadi masuk dengan air mata bercucuran di pipinya."Sayang, jangang sayang maafkan aku, oh Tuhan, maafkan aku, sayang turunlah!" pekik Anna dengan sangat takut. Wajah Ethan begitu gelap. Dia berdiri diatas bangku dengan canggung, wajahnya bingung seperti mencari sesuatu yang tiba-tiba menghilang."Ethan Samuel, turun kamu dari situ!" teriak Anna berusaha dengan tegas seakan dia sedang memarahi Jacob yang membuang-buang makanannya. Pria itu menoleh dengan bingung."Aku bilang turun, kamu harus turun!" Walau air mata Anna mengalir deras, dia merasa, Ethan harus dikagetkan, dengan ca
"Sayang…," desah Ethan sambil menciumi kelopak telinga Anna sehingga Anna tekikik geli. Tubuhnya mulai bergoyang tak terkendali, merespon tiap sentuhan Ethan. Jemari Anna mulai meraih kancing kemeja kerja Ethan. Dan dengan terampil kancing demi kancing dilepaskannya. Ethan tersenyum miring saat merasakan kemejanya sudah terlepas semua, dan jemari Anna mulai merasakan dadanya."Hmm, geli Anna," Ethan mendesah saat Anna terus menyusuri kulit perutnya yang berkotak-kotak.Anna tersenyum nakal, sambil terus merasakan hangatnya tubuh Ethan. pria itu dengan cepat melepas kemejanya sehingga kedua tangan Anna bebas menyentuhnya. Mata wanita itu berbinar-binar melihat tubuh Ethan yang kurus namun berotot itu."Kamu harus makan lebih banyak ya? Tubuhmu kurus sekali," Anna menyu
"Sayang, maafkan aku, kamu sudah pulang dan aku malah membuatmu takut, kembalilah padaku, aku sangat merindukanmu," desah Ethan di telinga Anna, pelukannya terasa nyata. Anna tak lagi berusaha melepaskan diri. Dia menoleh untuk menatap Ethan, dan menilai.Mata pria itu kembali hangat sebagaimana Anna mengingatnya. Dia tersenyum sedih, memandang Anna penuh harap. Anna menatap Jacob yang sudah kembali merasa aman di pelukan mamanya, batita itu sudah sibuk bermain dengan kancing baju mamanya. Tapi tiba-tiba dia menyentuh hidung papanya"Pa….pa," cengirnya memperlihatkan gusi yang kemerahan."Iya sayang, aku papamu." Ethan menangis menatap bayinya, bukan dia sudah besar sudah bukan bayi lagi. Betapa dia sudah kehilangan waktu, apa yang terjadi? Anna terk
"Aku Anna, Anna Federica, istrimu, ibu dari Jacob anakmu. Aku berhak ke lantai tiga, atau kemanapun aku mau karena aku… ini… istri...mu!" pekiknya marah sambil memukul Ethan yang terlihat linglung. Anna marah dan kecewa, baru saja dia berpikir, Ethan sembuh dan mereka bisa kembali seperti sedia kala. Namun dalam sekejap semua harapannya pecah berkeping-keping.Dia terus memukuli Ethan sampai kedua tangannya dipegang Ethan dengan kuat sehingga dia tidak bisa memukulnya."Apa, kamu kamu apa?" teriak anna marah berusaha melepaskan diri yang percuma."Aku mau ini." Pria itu lalu menunduk mengecupnya lagi. Dia terus mendorongnya ke dinding, sambil terus menciumnya dengan panas. Anna menerima ciuman itu dengan bingung, namun gairahnya muncul dan kem
Ethan tak dapat berpikir, untuk sementara dia hanya mengagumi kecantikan alami wanita di hadapannya. Dia bergerak otomatis mendekati wanita itu saat dia sedang sibuk mengeringkan rambutnya. matanya membesar saat menyadari Ethan sudah ada dihadapannya."Mau apa kamu?" tanya Anna mundur. Tapi Ethan semakin mendekat, dan dia sudah menempel di dinding kaca boks mandi."Mengapa kamu sangat mengganggu?" Dia mengangkat tangannya dan mengelus pipi Anna dengan lembut, wanita itu terperangah, merasakan sentuhan Ethan setelah beberapa lama, rasanya luar biasa. Mereka saling pandang yang terasa sangat intens dan ketika insting membawa Ethan untuk menunduk dan merasakan bibir wanita itu dia mundur. Kaget dengan apa yang ada di kepalanya."Astaga, apa yang baru saja dia pikirkan?" batin Ethan, bagaimana dia bisa mau mencium wanita lain selain Anna. Wanita itu menatapnya lalu segera meninggalkannya yang bingung di dalam kam
Daniel menatap Ethan yang kini makan dengan lahapnya di meja makan. Walaupun pikirannya belum sembuh setidaknya hari ini sudah ada makanan yang masuk."Dani, chef-nya pintar yang kali ini, boleh dipertahankan. Nanti siang aku mau masakan dia lagi," ucap Ethan mengambil lagi nasi goreng dari bakul. Daniel mengangguk dengan senyuman di bibir karena mengetahui kalau itu adalah masakan Anna. Semoga dengan keberadaan Anna, Ethan bisa pulih."Dani, kamu bisa jadwalkan dokter buat Anna? Dia sepertinya kesakitan sekali kemarin, punggungnya pegal, dia kan sudah masuk bulan ke-7?" Dan harapan Daniel kembali pupus. Entah kenapa, ingatan Ethan selalu berhenti di Anna hamil 7 bulan. Setiap hari perintahnya selalu sama. Namun Daniel hanya mengangguk dan meninggalkannya masih asyik makan.