"Hari ini kamu juga keliatan manis," kata Boy. Aku yang baru naik ke dalam mobil hanya tersipu-sipu. Mimpi apa semalam? Baru mau berangkat kencan saja sudah dapat rayuan gombal dari Boy. Setelah menutup pintu di samping badanku, Boy segera berjalan memutari bagian depan mobil, kemudian duduk di balik setir. "Udah siap?" tanya cowok itu padaku. "Ya..." sahutku. Mobil melaju, sementara aku berusaha fokus melihat ke jalanan di depan. "Kamu keliatan tegang banget. Santai aja. Kita 'kan mau jalan-jalan, bukannya mau dieksekusi," goda Boy. "Hmm," gumamku sambil tersenyum tipis. "Kamu tadi ngintip dulu ya aku pakai baju apa? Kok bisa kita sama-sama pakai kaos putih?" celetuk Boy meledekku lagi. "Ng... Nggak kok," jawabku disertai dengkusan lirih. Tak terima dibilang mengintip. Itu sih si Nava yang melakukannya tadi. Di juga yang sudah main rahasia-rahasiaan segala, sehingga terjadilah kekompakan antara aku dan Boy yang tidak disengaja ini.
"A... Aku bukan mau nangis. Aku cuma inget Ibu..." kataku malu. Apa Boy pikir aku secengeng itu? "Bukan, ya?" tanggap Boy. Dia melepaskan pelukannya dan memandangku dengan tatapan menilai. "Hmm," gumamku mengiyakan. "Tapi muka kamu merah. Mata kamu juga merah," komentarnya. "I... ini... Bukan apa-apa kok. Aku emang sedih, tapi nggak apa-apa," dalihku. Tak ingin terlihat lemah, walau perlakuan hangat Boy terhadapku barusan membuatku ingin terus bersandar kepadanya. "Beneran?" interogasi Boy. "Ya..." "Kalau gitu, ayo kita lanjutin lagi jalannya. Nanti keburu ketinggalan sunset-nya," ujar Boy. Dia meraih tanganku lagi dan mengajakku berjalan ke suatu spot di tepi pantai itu, tak jauh dari pepohonan. "Kalau dari sini lebih nyaman liatnya, juga sudut pandangnya lebih bagus," jelas Boy. Aku mengangguk saja. Entah dia melihatnya atau tidak. Ku edarkan pandangan ke sekeliling kami. Pantai dengan ombak yang berde
"Aku... Iya. Tapi... Ini idenya Nava. Aku..." sahutku terbata-bata. Gugup dan malu bercampur jadi satu. Tadi siang Nava memaksa memoleskan lipstik ke bibirku sebelum aku mengganti pakaian. Setelahnya, Boy keburu datang, kemudian aku dan Nava fokus pada pakaian yang aku kenal sehingga aku pun lupa tidak menghapus lipstik di bibirku itu. Dan sekarang... Boy yang menyadarinya mungkin menganggapku genit. "Nggak usah dijelasin. Aku suka kok," cetus Boy santai. Tapi aku mendengar ada nada geli yang tersirat juga dalam suaranya. Aku menyesap kopi dari cangkir sambil berusaha menenangkan debaran jantungku yang meningkatkan kecepatannya secara dramatis. Begitu makanan dan minuman di atas meja tandas, Boy mengajakku melanjutkan perjalanan kami. Dengan perut kenyang dan badan hangat setelah minum secangkir kopi panas, juga suasana malam yang damai dan tenang, membuatku mengantuk setengah mati. "Tidur aja," kata Boy saat melihatku menguap beberapa kali. “Ng… Nggak apa-apa, aku masih kuat k
"Kamu kenapa? Kok duduknya keliatan nggak nyaman gitu?" kata Boy. Kami sedang berada di dalam mobil menuju ke rumahku. Ya, memang sih. Posisi dudukku agak terlalu mepet ke pintu. Karena aku masih terngiang-ngiang ucapannya saat di rumah makan tadi. Yang di pantai saja masih belum hilang efeknya. Masa mau ditambah satu lagi? "Kamu takut apa?" celetuk Boy geli. 'Masa kamu nggak tau sikapku jadi aneh begini gara-gara siapa?' batinku keki. "Kamu takut aku bakal beneran ngelakuin yang aku bilang tadi, ya?" cetus Boy ketika aku tak menyahut. Ternyata dia cuma pura-pura lupa barusan. Duh, malu! Ketahuan! "Liat kamu mojok gitu, aku jadi pengin ngebatalin," tukas Boy dengan nada usil. Diam-diam aku mengembuskan napas lega. Syukurlah, Boy hanya bercanda! Tiba-tiba ada bunyi nada dering dari ponsel yang Boy letakkan di atas dasbor. Cowok itu mengambil headset bluetooth di dekat ponsel, dan memasangnya di telinga. "Ya, Kak. Iya, nanti aku sebentar lagi ke sana." ujar Boy pada penel
"Sini, kamu." Ale mendahuluiku dan Prima masuk ke area atap.Aku menatapnya nanar, "Mm... Mau apa?""Udah, ikut aja," kata Ale sambil menggandeng tanganku. Seketika aku yang terkejut jadi tertarik ke arahnya, lalu menabrak badannya. Untung Ale segera sigap menangkap pinggangku sehingga aku bisa berpegangan padanya dan tak terjatuh. Namun, suara jepretan kamera ponsel dari arah pintu membuatku menyadari bahwa ada sesuatu yang tak beres di sini."Udah, Bro. Kayaknya ini aja cukup buat ngasih pelajaran ke b*jingan itu. Biar dia tau, gimana rasanya kecolongan," kata Prima. Dia memandangi layar ponsel di tangannya dengan ekspresi wajah puas, sementara Ale buru-buru melepaskan diriku."Hapus... foto itu!" seruku parau. Badanku bukan cuma gemetaran sekarang, tapi juga terasa sangat lemah."Nggak usah rewel. Toh, cowok kamu itu nggak dateng ke sini 'kan sekarang? Kalau kamu mau pergi, pergi aja. Nggak ada yang mau nahan-nahan kamu di sini kok. Kamu cuma perlu jadi pacarnya Boy yang baik. Ceg
"Udah semuanya, Pak? Nggak ada yang ketinggalan, 'kan?" tanya Nava pada Bapak. Mereka sudah terlebih dahulu naik ke mobil yang dibawa Boy untuk mengantarkannya ke stasiun. "Udah, Va," jawab Bapak dari sebelah bangku sopir. "Obat-obatannya udah ada di tas kecil Bapak, ya. Tadi aku taruh di situ," kataku sembari masuk ke bagian belakang mobil, duduk di sebelah Nava. "Hmm," sahut Bapak. "Pak, nanti selama Bapak di Jogja, Nava bakal sering-sering nginep di sini kok buat nemenin Risa. Bapak tenang aja, ya," cetus Nava. "Hmm. Kalau ada apa-apa, telpon Bapak aja. Atau kalau darurat minta tolong sama Boy. Ya 'kan, Boy?" Bapak menoleh pada Boy yang sedang sibuk dengan ponselnya. "Ya, Om. Siap," jawab Boy. Lalu dia melihat ke semua orang. "Kita berangkat sekarang?" tanya Boy. "Ya. Ayo," kata Bapak. Mesin mobil dinyalakan. Di sepanjang perjalanan Nava dan Bapak saling melempar canda. Sedangkan aku dan Boy cuma ikut menimpali beberapa kali saja. Bahkan, sudah beberapa kali aku melihat se
Aku, Boy, dan Nava memutuskan untuk makan di warung tenda nasi goreng yang kami lewati sebelum pulang ke rumahku. Boy yang membayar semua pesanan kami, lalu kami melanjutkan perjalanan lagi. "Waduh! Kok bisa pas banget nih!" seru Nava saat suara petir terdengar bersamaan dengan turunnya hujan deras sehingga kami masuk ke dalam rumah. Aku dan Nava pergi ke kamar untuk mengganti pakaian. Sementara Boy duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya. “Kalau hujannya nggak berhenti-berhenti gimana, Ris? Apa Boy suruh nginep sini aja?” tanya Nava di saat kami saling memunggungi satu sama lain sambil menukar baju yang menempel di badan dengan baju santai. "Jangan dong. Inget kata Bapak," sahutku. Nava meringis, "Eh, iya, nih." “Aku nggak mau kita disangka yang enggak-enggak sama para tetangga,” tambahku. "Iya, iya. Ya udah, sekarang belum jam 9 ini. Temenin cowok kamu, sana. Aku mau tidur dulu, ya. Sengaja," kekeh Nava sambil berlagak mendorong badanku supaya segera keluar dari kam
“Pagi,” sapaku ceria saat Boy menghempaskan diri di bangku kosong sebelahku. Setelah kejadian malam, aku merasa lebih kuat menghadapi pesonanya dari jarak dekat. “Hmm,” sahut Boy datar. Ada apa? Kenapa Boy tampak aneh? Padahal sikapnya semalam begitu dahsyat menghangatkan hati. "Katanya... Pak Indro nggak masuk hari ini. Kita cuma dikasih soal open book, nanti mesti dikumpulin," beritahuku. “Mana soalnya?” tanya Boy masih dengan acuh tak acuh. "Itu, di depan." Aku menunjuk papan putih yang berisi tulisan siswa yang dipilih sebagai semacam ketua kelas itu. Ada 3 pertanyaan yang tertera di papan itu. Terlihat sepele dan ada di diktat, tapi sebetulnya begitu mau menjawabnya terasa rumit luar biasa. "Kamu sudah menjawab berapa soal?" tanya Boy. "Be... Belum sama sekali," jawabku tersipu. “Dari tadi ngapain aja?” Sentil Boy. Sudah kembali jadi dia yang tengil dan ceplas-ceplos. "Soalnya 'kan baru selesai ditulis," dalihku keki. Wah, tak menyahut. Dia langsung sibuk membaca semua s