Boy meraih kotak bekalku dengan santai, lalu membuka tutupnya dan berkata dengan nada antusias.
"Wah, kamu masak menu kesukaanku ya, Sayang? Makasih ya."Aku hampir pingsan ketika menyaksikan Boy mengambil sendok dan memakan nasi serta tumis kangkung dan telur mata sapi di kotak bekal itu.
Masa sih, seorang Boy doyan makan makanan rakyat jelata sepertiku? Dengar-dengar, Boy anak seorang CEO salah satu perusahaan ternama di negara ini. Tidak mungkin 'kan, menu makannya sehari-hari berupa tumis kangkung dan telur mata sapi? Tapi, barusan kok dia bilang menu bekalku itu menu kesukaannya?
Terus..., dia juga memanggilku 'Sayang'. Pasti aku yang salah dengar, 'kan?
"Yang bener aja, Boy! Masa kamu bilang kamu pacaran sama cewek kampungan kayak gitu? Liat aja tuh, makanan yang dia bawa aja menu kampung," cetus Cinta seraya memelototiku dan tersenyum sinis.
"Mendingan kamu pergi aja deh. Jangan ganggu orang lagi pacaran kayak gini." Boy menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir seekor ayam.
"Kamu ngusir aku, Boy?" komplain Cinta dengan nada dramatis.
"Apa aja deh sebutannya," kata Boy datar. Cinta langsung mengentakkan kaki dan membalikkan badan dengan geram.
"Oh, ya. Jangan pernah nyebut pacarku kampungan lagi, kalau kamu nggak mau aku sebut cewek receh," ultimatum Boy. Cinta hanya mendengkus kesal menanggapinya tanpa menghentikan langkah.
Aku hendak mengucapkan berbagai pertanyaan pada Boy, namun yang ada hanya suara 'ah-uh' yang keluar dari mulutku.
"Kamu mau ngomong apa sih?" celetuk Boy sembari menertawakan kegagapanku.
"Ma... Maksud kamu apa, bilang aku pacarmu?" Aku bertanya pada Boy tanpa menatap matanya.
"Oh, itu. Kirain kamu mau protes bekalmu aku makan. Ngomong-ngomong, ini enak lho. Makasih ya."
oy menaruh kotak bekal yang sepertinya telah kosong itu di depanku, lantas berdiri.
"Kamu jangan ke mana-mana ya. Aku mau pergi dulu sebentar, nanti ke sini lagi. Kalau kamu nggak keliatan lagi di sini, aku bakal kejar kamu sampai ke rumah sekalipun," ancam Boy sebelum dia meninggalkanku yang melongo.
Sepeninggal Boy, aku terus menunggunya kembali. Walau sudah setengah jam lebih dia pergi, dan lambungku sudah terasa sangat perih, aku tetap tak berani beranjak karena takut dia melaksanakan ancamannya.
"Maaf ya, aku lama. Tadi aku ketemu temen SMP di jalan, jadinya ngobrol dulu. Ini, buat kamu."
Tahu-tahu Boy berdiri di dekatku sambil mengulurkan sebuah tas kertas dengan logo restoran cepat saji terkenal.
"Nggak apa-apa kok. Aku... Hueekkkk!" Mulutku membuka dan menghasilkan suara orang muntah tanpa benar-benar ada muntahan yang keluar.
"Kamu punya penyakit maag ya?" Boy segera menaruh kantong plastik itu ke lantai, kemudian duduk di sampingku.
"Kenapa nggak bilang dari tadi kalau kamu punya penyakit maag? Bekalnya pasti nggak jadi aku makan. Lagian, ngapain sih kamu nurut banget aku suruh nunggu di sini, padahal perut kamu jelas-jelas udah kesakitan kayak gitu?" ucap Boy. Terdengar merasa bersalah, sekaligus menyalahkan kelalaianku.
"Maaf..." kataku spontan.
"Nih, minum ini dulu. Aku juga punya penyakit maag, jadi sering bawa-bawa obat ini." Tangan Boy menyodorkan satu sachet obat maag cair sekali minum kepadaku.
"Mm... Makasih..." Aku menerima obat darinya itu, kemudian cepat-cepat meminumnya.
"Kamu mesti nunggu sekitar 30 menit dulu, baru boleh makan. Tapi, nunggunya sendiri aja ya. Kalau ada aku, bisa-bisa leher kamu bakal sakit gara-gara nunduk melulu," kata Boy seraya melangkah menjauhiku seraya tertawa usil.
Rupanya sejak tadi dia memperhatikan tingkahku yang aneh ya? Duh, jadi tambah malu...!
"Makasih..." kataku dengan muka yang terasa panas. Tetapi sosok Boy sudah terlanjur menghilang dari tempat itu.
** "Hati-hati ya, Pak." Aku berpesan kepada Bapak yang sedang memutar arah sepeda motor bututnya di jalan depan kampus.Bapak hanya menggumam menanggapiku, lalu melaju begitu saja bersama kendaraannya.
"Hai, Ris. Kemaren kamu nggak kesepian 'kan nggak ada aku?" ledek Nava yang ternyata sudah sudah duduk manis di salah satu bangku di dalam kelas.
Tumben sekali jam segitu dia sudah berada di kampus. Biasanya 'kan dia datangnya mepet jam masuk kelas.
"Nggak juga kok. 'Kan ada bacaan." Aku membalas gurauan Nava sambil mengempaskan diri di bangku kosong di sebelahnya.
"Hmm...., mentang-mentang suka baca novel online. Nggak ada temen nggak masalah, tapi kalau aplikasi novel onlinenya dihapusm pasti nangis. Kamu gitu banget deh sama aku." Nava mencibirkan bibirnya ke arahku.
"Bukan gitu, lah. Lagian yang kemaren kondangan ke luar kota sekalian liburan ke pantai siapa sih?" sindirku.
"Iya, itu aku, bawel." Nava terkekeh sembari mencubit pipiku dengan gemas tetapi sebenarnya sama sekali tidak keras.
Aku berpura-pura mengaduh kesakitan karena perbuatannya itu. Kami tertawa, sementara Nava melepaskan pipiku dan mengeluarkan sebuah tas plastik biru dari tote bag miliknya.
"Maaf aku cuma bisa bawain ini buat kamu, Ris." Nava menyerahkan bungkusan itu kepadaku yang menerimanya seraya tersenyum.
"Makasih, Va," kataku.
"Sama-sama." Nava membalas senyumanku dengan ekspresi senang.
Di saat yang sama, segerombol teman memasuki ruang kelas. Entah kenapa, perasaanku tidak enak ketika mereka melirik ke arahku sambil berbisik-bisik namun tetap terdengar olehku.
"Yang itu bukan sih orangnya?" tanya seorang cewek berambut lurus sebahu kepada temannya yang berambut ikal yang juga sebahu.
"Iya. Kemaren aku liat sendiri dia turun dari atap setelah Boy turun dari sana. Cinta juga liat mereka berduaan di sana, udah gitu Boy bilang mereka pacaran."
Aku menundukkan kepala dengan bingung sekaligus sedih mendengar gunjingan mereka. Aku tidak menyangka, kejadian kemarin tersebar ke mana-mana dan menimbulkan masalah.
"Yang barusan itu apa, Ris? Kok mendadak mereka bilang yang aneh-aneh gitu sih soal kamu dan Boy?" selidik Nava.
"Gimana rasanya?" Mendadak sebuah suara menginterupsiku saat hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan Nava.
"A... Apanya?" tanyaku balik pada Prima. Dia adalah cowok populer selain Boy yang seangkatan dan sekelas denganku.
"’Gininya’ sama Boy." Prima menyeringai lebar sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya memperagakan kegiatan mesum. Aku menundukkan kepala lagi karena jijik dan juga syok, sementara banyak yang tertawa melihat tingkah Prima.
"Risa bukan cewek murahan kayak gitu. Jangan ngomong sembarangan!" Nava berusaha membelaku, walau aku yang duduk di sebelahnya dapat melihat badannya yang gemetaran.
"Dari mana kamu tau temen kamu itu bukan cewek murahan? Karena dia keliatan kalem ya? Justru, yang keliatan kalem itu yang sebenernya liar dan nakal, 'kan."
Prima mendengkus keras menanggapi pembelaan Nava. Sementara suara tawa dan celetukan-celetukan yang memerahkan telinga terdengar dari segala arah. Membuatku semakin tertekan.
"Aku bukan cewek seperti itu!" teriakku marah. Kepala yang semula menunduk rendah, kini ku tegakkan untuk menatap mereka satu per satu. Walau gemetar di badanku sudah selevel gempa.
"Ada apa nih, Yang? Pagi-pagi udah ada yang ramai aja."
Suara bernada santai tetapi tajam milik Boy membuat semua kepala menoleh ke arahnya. Tak terkecuali diriku.
"Yang?" tanya Prima dan gerombolannya hampir bersamaan. Mata mereka tampak terperangah seraya menatap syok kepada Boy, lalu kepadaku.
Bahkan, Nava menatapku dengan tatapan dan mimik muka yang sama seperti mereka.
BERSAMBUNG"Nggak usah pada kaget gitulah. Kayak nggak pernah ajamanggil pacarnya 'Sayang'." Boy mendengkus geli sambil menyeruak maju, dan mendudukkandiri di bangku sampingku yang tak ditempati Nava."Kamu pacaran sama cewek ini, Boy? Serius?" tanyaPrima yang mendadak jadi seperti monyet kena lemparan batu."Ya seriuslah," tukas Boy santai. Sementara akutak berani menatap wajahnya sama sekali."Berarti kemaren kamu sama dia bener-bener habis ginidi atap?" Prima memperagakan adegan favoritnya dengan ekspresi mesumnyayang dari tadi dia pakai untuk menghinaku.Boy mendecih sembari tertawa kecil, "Nggak semua orangbarbar kayak kamu.""Oh ya?" dengkus Prima pongah."Kalau nggak mau ngaku nggak apa-apa kok. Bukanurusanku," timpal Boy tenang sambil meyandarkan salah satu lengannya kesandaran bangku di balik punggungku.Kini aku menunduk semakin dalam. Kekuatanku untuk mengatasiperasaan gugup ini sepertinya sudah mencapai batasnya."Tapi, kamu beneran suka sama dia nggak nih?"celetuk cowok
"Kamu sendiri mau nggak jadi pacarku?" tanya Boy.Lidahku serasa diikat tapi tak terlihat. Aku susah sekalimengucapkan keraguanku pada pernyataan Boy.Dia bilang suka padaku?Masa sih?Kalau dia betul-betul suka padaku, pasti dia akan menyadarikeberadaanku sebelumnya.Aku memang gugup sekali jika sedang bersamanya,sampai-sampai sering mengatakan dan melakukan hal yang konyol. Namun, aku jugaorang yang bisa berpikir rasional. Apalagi, aku sangat menyadari siapa diriku.Tidak mungkin cewek culun dan berpenampilan biasa-biasa sajasepertiku bisa membuat seorang Boy suka padaku."Kalau susah, nanti aja jawabnya. Atau nggak usah kamujawab sama sekali juga nggak masalah kok," kata Boy.Selama keseluruhan jadwal mata kuliah kami di hari itu, Boyterus saja duduk di sebelahku. Dia sepertinya tak punya minat untuk sekedarbergeser sedikitpun dari bangkunya. Boro-boro pindah ke bangku lain sebagaiselingan.Setelah kami sibuk mengobrol di sela-sela kelas BuGeraldine, Boy justru terlihat l
"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaanretoris kepadaku yang baru masuk ke rumah."Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawainmakanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoamberisi nasi dan ayam bakar serta lalapan."Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja,"tolak Bapak."Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava dirumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yangakan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak inginmelawan orang tua.Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan.Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakahlauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampurdaun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacangdi stoples yang tersisa. Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hariini. Bebe
"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara BuAsri kembali menegur kami dengan nada ketus."Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafesaja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanaskarena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenangsaja menghadapi kegusaran Bu Asri."Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Akumengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai."Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawabpertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-lakidulu," ujar Bu Asri tegas. Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan denganmateri mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar.Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya."Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang sayasampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya meneran
Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu."Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava."Udah..." jawabku."Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir."Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku."Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki."Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya."Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tidu
"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang. "Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava. "Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli. "Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling. "Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku. "Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua. "Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias. "Makasih,
"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu."Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan. "Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya
Aku duduk di atas jok sepeda motor Bapak dengan sikap pasrah tapi wajah muram. Tak jauh di belakang sana Boy membuntuti kami dengan sepeda motornya yang keren itu. Setelah meledekku dengan gaya arogannya, tadi dia langsung menuruti ajakan Bapak tanpa banyak cakap lagi. Begitu sampai di depan rumah, aku bergegas turun dari sepeda motor dan membuka pintu dengan kunci duplikat yang selalu ku bawa di tas. Aku ingin menunjukkan protesku pada Bapak dalam diam. Karena silent treatment adalah cara paling efektif untuk menyatakan rasa tidak setujuku mengajak Boy ke tempat tinggal kami padahal dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan cowok itu di kampus. Hanya gara-gara dengar dia teman sekampusku, Bapak langsung bertanya mampir ke rumah? Kenapa Bapak tidak sekalian mengajak Cinta dan Prima juga? Biar aku tambah pusing! "Kamu kenapa? Marah sama Bapak ya karena udah ngajakin temen kamu itu ke sini?" celetuk Bapak geli. Tahu-tahu sudah berdiri di belakangku yang sedang berdiri di depan kul
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend