"Pagi, Bu. Maaf saya terlambat.”
Sekitar 15 menit usai kelas dimulai, seorang cowok berjaket varsity berwarna biru-putih mengetuk pintu. Semua orang menoleh ke arah cowok itu, yang berjalan memasuki ruangan dengan gaya santai bercampur tengil.
Cowok bernama Boy itu malah tersenyum manis menghadapi dosen wanita yang dikenal galak—Bu Asri, yang kini tengah menatapnya dengan ekspresi muka marah.
“Tadi ban belakang motor saya bocor di tengah jalan, jadi saya ke bengkel dulu," kata Boy pada dosen dengan sopan namun penuh keberanian.
Senyum manisnya masih terulas di bibir, yang entah kenapa terlihat seksi di mata para cewek di kampus ini. Aku tidak paham mengapa bibir Boy dibilang seksi. Apakah yang mereka maksud seksi itu, karena bibir Boy sering menyunggingkan senyuman yang membuat mereka deg-degan setiap kali melihatnya?
Kalau memang itu definisi seksi, aku setuju. Karena aku pernah begitu deg-degan melihat senyum manis Boy dari jarak dekat. Walau cuma beberapa detik, momen tersebut selalu aku ingat.
Namun, aku yakin hal itu berbeda bagi cowok itu. Kejadian itu pasti sangat sepele baginya. Boro-boro dia mengingatku. Agaknya, senyumnya saat itu saja hanyalah sebuah kebiasaan yang dia lakukan tanpa banyak pertimbangan.
Ya, pasti begitu. Siapalah aku. Aku hanya seseorang yang antara ada dan tiada di mata orang-orang gaul macam Boy.
"Kamu tahu 'kan, aturan yang saya buat untuk semua mahasiswa yang datang terlambat di kelas saya?" kata Bu Asri dengan nada tajam.
"Tahu, Bu. Tapi, kalau tadi ban motor saya tidak bocor, pasti saya tidak akan datang terlambat ke sini. Saya minta keadilan, Bu. Saya benar-benar ingin mengikuti mata kuliah yang diajar Ibu dari dasar hati saya yang paling dalam," dalih Boy dengan nada tengil.
Semua mahasiswa di ruangan itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar ucapan Boy. Tak terkecuali sahabatku, Nava. Dia penggemar beratnya Boy.
"Apa yang kalian tertawakan?" Bu Asri menegur mereka yang tertawa itu dengan suara keras. Tak ada yang berani tertawa lagi. Boy sendiri masih setia berdiri tenang di tempatnya. "Ya sudah, kamu boleh duduk, karena ban bocor itu termasuk musibah. Tapi, lain kali kalau kamu terlambat lagi, kamu tidak boleh masuk ke kelas saya, dan saya tulis alpa di buku absensi, apapun alasannya," tandas Bu Asri galak.
"Baik, Bu. Terima kasih." Boy tersenyum manis, lalu melangkah tegap menuju deretan bangku terdepan.
"Dia pemberani banget ya, Ris." Satu-satunya temanku di kampus, Nava tiba-tiba berbisik ke telingaku. Dia memandang punggung Boy dengan tatapan memuja.
"Iya, iya. Tapi inget, dia udah punya pacar," timpalku.
Nava mendengkus kesal, "Sebel deh. Yang namanya Cinta itu kok segitunya banget ya hokinya? Di film, Cinta dapet Rangga. Di sini, Cinta dapet Boy. Apa aku ganti nama jadi Cinta aja, kali ya? Biar gampang dapetin cowok yang aku sukai."
"Masa sih?" ucapku geli mendengar omelan Nava. **Satu minggu setelah Boy datang terlambat di kelas Bu Asri....
Kali ini aku sendiri, sebab Nava absen karena ada keperluan keluarga. Sebagai seorang introver, aku bukan tipikal orang yang suka nongkrong di kantin, atau tipe orang yang suka bergabung dengan gerombolan cewek-cewek yang sekelas denganku.Topik pembicaraan kami jika aku memaksakan diri bergabung pun pasti tak akan cocok. Tepatnya, aku tidak bisa dan tidak tertarik dengan topik-topik itu. Untuk itu, usai kelas dibubarkan dosen, aku lebih memilih menyendiri saja di sebuah tempat sambil memainkan game di ponsel, atau sekedar membaca novel online.
Kupilih spot yang menurutku paling nyaman untukku duduk menikmati bekal yang ku bawa dari rumah. Kali ini atap gedung jadi pilihanku. Kebetulan, jam mata kuliah berikutnya masih ada jeda 180 menit lagi, aku pun berencana melanjutkan membaca novel online berjudul 'Mendadak Menikah Dengan Idola Kampus' yang sudah kubaca sejak kemarin.
Sambil membaca, aku mengeluarkan sebuah kotak bekal berisi nasi dengan lauk telur mata sapi dan tumis kangkung dari tas, plus botol air minum berwarna merah. Aku berdoa sejenak, mengucapkan syukur kepada Tuhan yang sudah memberiku banyak berkah untukku dan Bapak selama ini.
"Lagi ngapain?"
Begitu membuka mata, aku dikejutkan oleh seseorang yang sudah berjongkok di depanku yang duduk lesehan beralaskan kantong kertas bekas bungkus semen yang tergeletak di lantai atap tersebut.
"B... Boy?" Aku menyebut namanya dengan sangat gugup. Lidahku terasa kelu. Mataku pun tak sanggup menatapnya dari jarak sedekat itu. Mata Boy begitu tajam sekaligus menyiratkan rasa ingin tahu yang usil. Wajahnya yang manis. Bibirnya yang....
"Kamu tau namaku?" tanya Boy dengan nada heran.
‘Ya tau lah. 'Kan kamu anak gaul dan populer di kampus ini. Mungkin seluruh umat manusia di alam semesta ini tau nama kamu. Justru kamu yang nggak tau namaku,’ batinku.
"Kalau ditanya, jawab dong. Kok malah nunduk terus?" sentil Boy. Aku malah jadi tambah bersikukuh untuk tetap menundukkan kepala. Benar-benar deh, aku tidak kuat bertatapan dengannya dalam jarak setipis ini.
"Mm... Maaf," kataku gelisah.
"Emangnya kamu salah apa?" Boy terkekeh sembari mendudukkan diri di tempat dia berjongkok barusan. Aku melihatnya dari ekor mata.
"Pakai ini. Jangan duduk di situ tanpa alas. Kotor."
Aku berniat bangkit untuk menyorongkan kantong kertas bekas bungkus semen yang kupakai pada Boy, tetapi dia malah terkekeh lagi.
"Kenapa ketawa?" Kuberanikan diri memprotesnya.
"Nggak usah. Buat kamu aja. Aku udah biasa sama yang kotor-kotor kok."
Entah kenapa, nada bicara Boy terdengar lembut di telingaku. Tanpa sadar, aku mendongak dan mata kami bersirobok. "Oh..." gumamku linglung seraya buru-buru menundukkan kepala lagi.
Boy tertawa lepas. Pasti karena baginya aku sangat lucu dan culun. "Nama kamu siapa sih? Sekelas sama aku, 'kan?" tanya Boy.
‘Tuh 'kan, kamu yang nggak kenal aku,’ timpalku di dalam hati.
"Boy. Ngapain kamu di sini? Pantesan aku cari-cari kamu di kantin tadi nggak ada." Tiba-tiba ada sebuah suara yang ku kenali sebagai suara Cinta menyela pembicaraan kami.
"Aku lagi pacaran, Ta. Kamu nggak liat? Nih, pacarku udah repot-repot bawain bekal buatku. Kamu aja deh yang makan di sana," kata Boy cuek.
"Pacar?"
Aku dan Cinta mengatakannya bersamaan. Rasa maluku musnah, berubah jadi rasa syok. Kini aku memandang Boy dengan mata terbeliak lebar.
Siapa yang dibilang pacar oleh Boy? Aku, 'kan? Maksudnya apa? 'Kan Cinta yang pacarnya. Lagipula... Sejak kapan kami pacaran??? BERSAMBUNGBoy meraih kotak bekalku dengan santai, lalu membuka tutupnya dan berkata dengan nada antusias. "Wah, kamu masak menu kesukaanku ya, Sayang? Makasih ya."Aku hampir pingsan ketika menyaksikan Boy mengambil sendok dan memakan nasi serta tumis kangkung dan telur mata sapi di kotak bekal itu.Masa sih, seorang Boy doyan makan makanan rakyat jelata sepertiku? Dengar-dengar, Boy anak seorang CEO salah satu perusahaan ternama di negara ini. Tidak mungkin 'kan, menu makannya sehari-hari berupa tumis kangkung dan telur mata sapi? Tapi, barusan kok dia bilang menu bekalku itu menu kesukaannya? Terus..., dia juga memanggilku 'Sayang'. Pasti aku yang salah dengar, 'kan?"Yang bener aja, Boy! Masa kamu bilang kamu pacaran sama cewek kampungan kayak gitu? Liat aja tuh, makanan yang dia bawa aja menu kampung," cetus Cinta seraya memelototiku dan tersenyum sinis."Mendingan kamu pergi aja deh. Jangan ganggu orang lagi pacaran kayak gini." Boy menggerak-gerakkan tangannya seperti mengusir seekor aya
"Nggak usah pada kaget gitulah. Kayak nggak pernah ajamanggil pacarnya 'Sayang'." Boy mendengkus geli sambil menyeruak maju, dan mendudukkandiri di bangku sampingku yang tak ditempati Nava."Kamu pacaran sama cewek ini, Boy? Serius?" tanyaPrima yang mendadak jadi seperti monyet kena lemparan batu."Ya seriuslah," tukas Boy santai. Sementara akutak berani menatap wajahnya sama sekali."Berarti kemaren kamu sama dia bener-bener habis ginidi atap?" Prima memperagakan adegan favoritnya dengan ekspresi mesumnyayang dari tadi dia pakai untuk menghinaku.Boy mendecih sembari tertawa kecil, "Nggak semua orangbarbar kayak kamu.""Oh ya?" dengkus Prima pongah."Kalau nggak mau ngaku nggak apa-apa kok. Bukanurusanku," timpal Boy tenang sambil meyandarkan salah satu lengannya kesandaran bangku di balik punggungku.Kini aku menunduk semakin dalam. Kekuatanku untuk mengatasiperasaan gugup ini sepertinya sudah mencapai batasnya."Tapi, kamu beneran suka sama dia nggak nih?"celetuk cowok
"Kamu sendiri mau nggak jadi pacarku?" tanya Boy.Lidahku serasa diikat tapi tak terlihat. Aku susah sekalimengucapkan keraguanku pada pernyataan Boy.Dia bilang suka padaku?Masa sih?Kalau dia betul-betul suka padaku, pasti dia akan menyadarikeberadaanku sebelumnya.Aku memang gugup sekali jika sedang bersamanya,sampai-sampai sering mengatakan dan melakukan hal yang konyol. Namun, aku jugaorang yang bisa berpikir rasional. Apalagi, aku sangat menyadari siapa diriku.Tidak mungkin cewek culun dan berpenampilan biasa-biasa sajasepertiku bisa membuat seorang Boy suka padaku."Kalau susah, nanti aja jawabnya. Atau nggak usah kamujawab sama sekali juga nggak masalah kok," kata Boy.Selama keseluruhan jadwal mata kuliah kami di hari itu, Boyterus saja duduk di sebelahku. Dia sepertinya tak punya minat untuk sekedarbergeser sedikitpun dari bangkunya. Boro-boro pindah ke bangku lain sebagaiselingan.Setelah kami sibuk mengobrol di sela-sela kelas BuGeraldine, Boy justru terlihat l
"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaanretoris kepadaku yang baru masuk ke rumah."Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawainmakanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoamberisi nasi dan ayam bakar serta lalapan."Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja,"tolak Bapak."Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava dirumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yangakan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak inginmelawan orang tua.Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan.Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakahlauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampurdaun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacangdi stoples yang tersisa. Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hariini. Bebe
"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara BuAsri kembali menegur kami dengan nada ketus."Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafesaja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanaskarena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenangsaja menghadapi kegusaran Bu Asri."Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Akumengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai."Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawabpertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-lakidulu," ujar Bu Asri tegas. Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan denganmateri mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar.Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya."Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang sayasampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya meneran
Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu."Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava."Udah..." jawabku."Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir."Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku."Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki."Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya."Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tidu
"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang. "Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava. "Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli. "Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling. "Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku. "Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua. "Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias. "Makasih,
"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu."Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan. "Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend