"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu.
"Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan."Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya Ris, aku jadi nggak bisa nemenin kamu nunggu bapakmu... Mm, maksudku nunggu sampai Boy pergi," ujar Nava dengan nada menyesal."Nggak apa-apa, Va. Hati-hati ya," kataku sembari melambaikan tangan pada Nava yang sudah melaju dengan skuter matic-nya.Nava membunyikan klakson kendaraannya satu kali sebelum benar-benar menghilang dari jangkauan pandangan mataku.Sepeninggal Nava aku menghela napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan kasar, menyusun mental yang mulai mengkhianati niatku untuk menghadapi cowok bermata elang di dalam bengkel itu.Saat ku balikkan badan, aku langsung bersirobok mata dengan Boy. Namun, ku paksakan saja kedua kaki yang tiba-tiba terasa begitu lemah untuk tetap berjalan mendekati Bapak. Walaupun dengan kepala tertunduk pasrah di bawah pengamatan ketat yang dilakukan cowok itu.Apa nggak bisa dia liat ke arah lain sebentar aja?, batinku tersiksa.Atau Boy memang sedang mengerjai aku?Bisa saja 'kan, sekarang ini dia sedang bersenang-senang di dalam hatinya menertawakan sikapku yang mirip binatang yang terperangkap ini? Diam kena, bergerak juga tidak bebas. Yang ada aku jadi salah tingkah sendiri. Dan pastinya dia jadi terhibur melihatku dalam kondisi begini."Masih lama ya, Pak?" tanyaku.Bapak menengok sekilas ke arahku, "Sebentar lagi. Tapi habis ini Bapak mau ke toilet dulu sebelum pulang. Kamu duduk dulu aja."Aku tersenyum kecut mendengar kata-kata Bapak. Aku di suruh duduk itu artinya duduk di bangku yang sama dengan yang diduduki oleh Boy. Karena bengkel Pak Sanusi cuma bengkel kecil, hanya ada satu bangku panjang itu saja yang tersedia di tempat itu."Masa mau nunggu di sini?" tegur Bapak tatkala aku bergeming.Akhirnya ku gerakkan lagi kedua kakiku dengan mengabaikan gemetar yang kini mulai menguasai badanku. Otakku tidak terlalu ingat dengan jelas rincian peristiwa kecelakaan kecil di lantai 3 kampus kemarin. Tapi rupanya badanku masih mengingat rasa syok dan malu yang ku tanggung setelahnya."Lagi bisa pulang bareng bapakmu ya, Ris?" sapa Mas Toni, rekan kerja Bapak. Dia tampak tekun memperbaiki sebuah sepeda motor bebek di pojok dalam ruang bengkel itu."Iya, Mas," sahutku sopan seraya mendudukkan diri di ujung bangku yang kosong tanpa menoleh sedikitpun pada Boy."Bapak kamu katanya masuk angin, jadinya izin pulang cepet. Tadi minta aku kerokin punggungnya, warnanya merah-hitam. Kayak darah kotor," kata Mas Toni geli."Hush! Sembarangan kamu Ton, ngasih tau anakku pakai bawa-bawa darah kotor segala kayak gitu," timpal Bapak pura-pura kesal. Gaya berkelakar mereka berdua selama ini memang begitu, dan tak pernah ada yang pernah tersinggung dengan kalimat gurauan yang saling mereka lemparkan satu sama lain."Bapakmu tuh ya, Ris. Saking sayangnya sama kamu, dipikirnya kamu nggak tau istilah darah kotor, kali ya. Emangnya Risa masih bayi, Pak Ramlan?" ujar Mas Toni sambil tertawa."Selamanya Risa itu bayiku, Ton. Nggak bakal aku biarin kalau ada yang berani nyakitin dia. Nanti kalau anakmu yang masih baru belajar duduk itu udah jadi gadis, pasti kamu paham maksudku," cetus Bapak.Seketika aku jadi ingin tertawa mendengar ucapan Bapak itu, meskipun aku tidak suka dibilang 'bayi' olehnya barusan. Bukankah seharusnya kata-kata Bapak menohok hati Boy? Dia sudah seenaknya menjadikanku alat untuk menghukum Cinta yang sudah main api di belakangnya, dan menyeretku ke dalam permasalahan mereka sejauh ini. Bahkan aku tidak benar-benar yakin dia mampu menyembuhkan luka di hatiku setelah mendapat hinaan dari Cinta dan Prima, juga teman-teman."Wah, kata-kata mutiaranya keren banget, Pak! Serius," timpal Mas Toni. Dia tertawa lagi."Aku mintanya dua rius, Ton. Kamu jangan pelit-pelit kalau ngasih sesuatu sama orang yang lebih tua," celetuk Bapak sembari menoleh ke arah Boy."Udah selesai ini, Mas."Hatiku seperti terinjak menyadari kenyataan, bahwa aku dan Boy memang mempunyai kehidupan yang sangat berlawanan. Bapakku saja hanya seorang montir yang menggantikan ban sepeda motornya barusan.Siapakah aku bagi Boy selain cewek culun dan cupu yang kebetulan sedang duduk di atap bersamanya ketika Cinta yang sudah membuatnya marah datang? Mungkin kalau yang di dekatnya bukan aku, Boy juga tidak akan pernah terpikir untuk mengenalku."Ya, Pak. Makasih," sahut Boy. Bapak tak menanggapinya, hanya beranjak ke dalam ruangan kecil dengan ban-ban bergelantungan dan beberapa etalase tempat memajang onderdil tertentu dan botol-botol oli yang dijual di bengkel itu juga. Salah seorang anak Pak Sanusi yang duduk di balik meja kasir melayani Boy membayar biaya servis. Sementara Mas Toni mengikuti jejak Bapak masuk ke bagian terdalam toko.Aku sengaja melengos begitu Boy hendak berbalik ketika sudah selesai membayar.Cuekin aja dia, Ris. Toh, dia udah mau pulang., pikirku."Kamu masih marah sama aku?" tegur Boy. Sontak aku terkejut, bukan cuma karena dia tiba-tiba mengajakku bicara. Tapi nada bicaranya yang penuh perhatian itu yang lebih mengagetkanku."Marah kenapa?" tanyaku. Dua kata itu melompat begitu saja dari dalam mulutku."Gara-gara yang kemaren?" cetus Boy ringan. Efeknya terhadap diriku saja yang berat. Napasku langsung sesak mendengarnya."Kamu kenal Risa?" Mendadak Bapak sudah ada di dekat kami."Ya, Pak. Saya temen sekampusnya Risa," jawab Boy sopan."Kalau kamu temennya Risa, ayo mampir dulu ke rumah. Tanggung 'kan kalau cuma ngobrol di sini," kata Bapak.Aku memandang Bapak dengan tatapan tak percaya.Ngapain Bapak malah ngajak Boy ke rumah sih?, kataku panik di dalam hati."Emangnya boleh, Om?" timpal Boy.'Om'?, batinku syok.Tadi Boy memanggil Bapak dengan sebutan 'Pak', tapi sekarang begitu Bapak menawarinya mampir ke rumah dia langsung memanggil Bapak 'Om'.Jangan-jangan yang Nava bilang tadi benar?Bahwa Boy sengaja mendekati Bapak untuk mengaku-aku Bapak sebagai calon mertua di depan Cinta???Wah! Keterlaluan sekali ya kelakuan para idola kalau sedang ada konflik di antara mereka!"Jangan, Pak..." ceplosku tanpa sadar."Kenapa nggak boleh, Ris? Bukannya dia temen kamu?" ujar Bapak heran. Sifat keras kepalanya muncul di permukaan. Percuma mendebatnya."Siapa nama kamu?" tanya Bapak pada Boy."Boy, Om," jawab Boy."Ikuti aku," tegas Bapak. Dia mendahului kami berjalan ke sepeda motornya."Bapak kamu yang ngajakin aku lho ya. Bukan aku yang minta," kata Boy padaku dengan nada menang.BERSAMBUNGAku duduk di atas jok sepeda motor Bapak dengan sikap pasrah tapi wajah muram. Tak jauh di belakang sana Boy membuntuti kami dengan sepeda motornya yang keren itu. Setelah meledekku dengan gaya arogannya, tadi dia langsung menuruti ajakan Bapak tanpa banyak cakap lagi. Begitu sampai di depan rumah, aku bergegas turun dari sepeda motor dan membuka pintu dengan kunci duplikat yang selalu ku bawa di tas. Aku ingin menunjukkan protesku pada Bapak dalam diam. Karena silent treatment adalah cara paling efektif untuk menyatakan rasa tidak setujuku mengajak Boy ke tempat tinggal kami padahal dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan cowok itu di kampus. Hanya gara-gara dengar dia teman sekampusku, Bapak langsung bertanya mampir ke rumah? Kenapa Bapak tidak sekalian mengajak Cinta dan Prima juga? Biar aku tambah pusing! "Kamu kenapa? Marah sama Bapak ya karena udah ngajakin temen kamu itu ke sini?" celetuk Bapak geli. Tahu-tahu sudah berdiri di belakangku yang sedang berdiri di depan kul
"Ini apa namanya? Rasanya enak," komentar Boy sambil menelan makanan di mulutnya.Aku yang mati gaya sejak tadi karena duduk di sebelahnya hanya meliriknya sekilas, lalu menunduk menekuri isi piring di hadapanku lagi."Itu... Oseng oncom leunca," timpalku. Ku geser sedikit badanku biar agak menjauh dari Boy yang duduknya lebih makan banyak tempat di gang sempit yang memisahkan kursi kami. Situasinya mirip dengan situasi di kelas saat kami duduk bersebelahan. Mengintimidasiku tanpa perlu benar-benar melakukan satupun tindakan intimidasi. "Hmm. Aku suka," tukas Boy. Apa kata Cinta ya, kalau dia tau Boy sekarang lagi makan bareng aku di sini sambil bilang suka oseng oncom leunca?, batinku. Tiba-tiba terpikir Cinta yang menyebut makananku 'menu kampung'.Ngomong-ngomong soal Cinta, sebetulnya aku ingin menanyakan beberapa hal terkait dirinya pada Boy. Tapi aku khawatir pertanyaan-pertanyaanku itu bakal menyinggung perasaannya. Apalagi, Cinta sudah mengkhianatinya, 'kan. Aku tidak tega me
"Aku... Bener-bener nggak tau soal itu," kataku. Sebenarnya Boy punya masalah apa sih dengan papanya? Kok dia sampai emosi begitu setiap kali menyinggung orang tuanya itu? "Nah, sekarang kamu jadi tau, 'kan," cetus Boy ringan. "Ta... Tapi... Kenapa kamu ngasih tau soal itu sama aku?" tanyaku heran."'Kan kamu pacarku," tukas Boy. Wajahku memanas lagi. Itu cuma gimmick, Ris! Ngapain kamu malu-malu segala sih?, batinku. "Aku... cuma pacar bohongan, 'kan? Nggak usah terlalu menghayati. Aku... jadi tambah terbebani," kataku."Dari mana kamu tau kalau aku terlalu menghayati? Padahal muka kamu yang selalu merah tiap kali kita ketemu. Sekarang juga gitu, 'kan," ucap Boy. Telak, hingga membuatku merasa lebih malu lagi dari yang pernah aku rasakan kepadanya selama ini. "Mm... Itu..." timpalku keki. Sementara Boy berkata lagi dengan suara pelan. "Tapi aku suka kok liatnya." Demi apapun juga, rasanya aku ingin merosot ke lantai mendengar ucapan Boy itu. Seluruh tubuhku jadi lemas karenan
"Emangnya kenapa kalau Boy makan oseng oncom? Kayak kalian nggak pernah makan aja! Jangan bilang emak kalian nggak pernah masak itu, ya! Sesama anak kampung aja belagu!" semprot Nava. Suara tawa Prima dan ketiga cewek itu berhenti, walaupun masih ada sisa-sisa sedikit. Namun, perkataan Nava sepertinya telak mengenai harga diri mereka. "Enak aja! Minimal mamaku masaknya steak dong, nggak kayak emaknya kamu!" balas cewek berambut pirang berapi-api. Matanya yang memakai kontak lensa abu-abu membuatnya tampak mengerikan ketika memelototi Nava. Sedangkan Prima hanya melipir duduk di bangku yang tak begitu jauh dari mereka. Dia sepertinya menyadari bahwa pertempuran itu khusus untuk Nava dan tiga cewek beringas itu. Hanya seringai pongah saja yang masih terulas di mulutnya."Alah! Gaya lu steak! Nggak mungkin 'kan tiap hari kamu makan steak?" cecar Nava. Sementara teman-teman sekelas kami yang lain sudah banyak yang datang dan rata-rata mereka mempertanyakan apa yang terjadi di antara kami
"Dia marah ya?" tanyaku pada Nava sambil menatap punggung Boy yang menjauh. “Kayaknya sih enggak, Ris. Tapi kalau doi marah, ya wajarlah. 'Kan ada yang nolak tawarannya pulang sama-sama. Udah dibilangin dia orangnya posesif. Sama kang ojek aja cemburu," kata Nava sambil nyengir kuda. "Jangan bikin berita hoax deh, Va. Orang cemburu buatan kok," kilahku dengan rahang yang dirapatkan. "Kalau ternyata beneran, gimana?" sambar Nava meledekku dengan suara tak kalah lirih dariku. “Taulah,” dengkusku lelah. "Tadi dia kayak enek banget denger ada yang nyebut namanya Cinta, 'kan? Posisi Cinta udah kegeser dong artinya," kata Nava sambil berdiri dan menyandang tasnya. "Terus?" timpalku keki. Ku ikuti Nava berdiri, sementara dari posisi kami berdiri, kami bisa melihat sosok Boy lewat jendela kaca. Dia sedang berdiri bersandar pada pilar dan melihat lurus-lurus ke arahku. Buru-buru ku alihkan pandangan mata ini ke Nava. "Menu
"Nasi goreng kampung?" kutip Boy penuh selidik. Agaknya dia bisa merasakan ada yang berbeda dari nada ucapanku barusan."Y... Ya. Nasi goreng cuma pakai bumbu seadanya, maksudku," terangku sekaligus untuk meralat cara bicaraku. Tak ada gunanya berlama-lama melankolis. Sedih boleh. Tapi putus asa? Jangan! "Emang itu sebutannya atau gimana?""Ya...", sahutku sebelum berlalu ke dapur."Biar aku bantu." Boy muncul di ambang pintu ruangan itu ketika aku sedang mengeluarkan bawang merah dan bawang putih yang sudah dikupas, serta beberapa cabai rawit dari kulkas. "Ng... Nggak usah. Aku... Bisa sendiri kok," tolakku halus. Lagipula, membayangkan kami berdua memasak bersama di dapur yang sempit ini... Belum apa-apa sudah membuatku gugup. "Kamu cuma mau aku liatin?" canda Boy.Itu lebih-lebih lagi!"Ka... Kamu tunggu aja di depan. Nggak apa-apa kok, " jawabku. Terang-terangan mengusir mahkluk tampan pengusik ketenangan hatiku itu. "Nggak mau. Aku mau di
"Ibumu nanyain kabar Bapak dan kamu. Terus, dia juga bilang, belum waktunya Bapak ikut dia." Bapak tertawa kecil di ujung ceritanya. Seorang suster menghampiri kami. "Mbak keluarganya pasien ini, ya?" tanya suster itu kepadaku. "Iya, Sus," jawabku. "Silakan Mbak ke loket administrasi dan loket farmasi ya, Mbak. Kata dokter yang memeriksa tadi, pasien ini nggak perlu rawat inap, cuma perlu rawat jalan saja setiap bulan karena kadar gulanya rendah," kata suster."Baik, Sus. Terima kasih," timpalku. Suster di depanku hanya mengangguk singkat sambil tersenyum tipis, kemudian berlalu. Aku menoleh pada Bapak, "Ya udah, aku pergi dulu ya, Pak.""Hmm," gumam Bapak."Tenang aja, aku yang nemenin Om," kata Boy. Untuk pertama kalinya dia bersuara sejak kami kemari. Aku mengulas senyum pada Boy sebelum beranjak keluar dari ruangan itu, "Ya... Makasih ya, Boy."***Duduk di bangku besi yang sama dan mengant
Ku saja biarkan Boy mendekapku erat, sehingga wajahku yang basah menempel di dadanya, meninggalkan jejak-jejak basah air mata di kausnya yang tak tertutup jaket. Ku biarkan pula tangan Boy mengusap-usap rambut hingga punggungku sementara aku tersengguk-sengguk semakin keras, justru di saat dia sedang berusaha menenangkanku begini. Seolah-olah kehadiran dan tindakannya itu pemicu tangisku, dan aku melampiaskan semua pada dirinya. Aku juga bingung kenapa aku malah begitu. Bukankah seharusnya aku langsung menarik kepalaku dan menjauhkan diri darinya? Kenapa malah semakin menyurukkan kepala dan tak menghentikan gerakan tangannya? Lalu... Kenapa nyaman begini rasanya? "Om nyuruh aku nyari kamu, Ris. Katanya, dia udah kangen rumah dan pengin cepet-cepet bisa makan masakan kamu lagi," ucap Boy sambil tetap mengurungku di dalam pelukannya. Karena dia memanggil Bapak, aku jadi panik. Bagaimana kalau Bapak tahu aku malah berpelukan dengan Boy di kala kondisi Bapak butuh perhatian ekstra s
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend