"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang.
"Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava."Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli."Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling."Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku."Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua."Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias."Makasih," balasku."Aku juga mau dong jadi pebisnis yang sukses kayak kamu," timpal Nava."Ya udah, nanti pas lulus kita bisa mulai buka usaha yang nggak butuh modal besar dulu. Jujur, aku udah mulai nabung sejak semester satu buat uang modal usahaku nanti, Va," ungkapku."Boleh juga tuh buat aku tiru," komentar Nava seraya menghentikan laju skuter karena kami sudah sampai di halaman depan gedung Alphamart."Nanti kamu mau nggak nongkrong sebentar dulu di alun-alun?" cetus Nava sambil melepas helm-nya."Nggak ah. Rame banget," jawabku."Ya udah, nanti kita langsung pulang aja. Aku juga udah pengin ngajak kamu nonton film di rumah," kata Nava. Dia menggamit lenganku mengajakku bersama-sama meniti tangga teras gedung minimarket itu. Kami sangat kaget ketika hampir saja bertabrakan dengan Cinta dan Prima yang baru keluar melalui pintu kaca."Maaf," kataku dan Nava berbarengan."Minta maaf buat apa? Karena udah ngerayu Boy pakai makanan kampung, gitu ya?" celetuk Cinta sarkas. Spontan wajahku jadi memanas mendengar ucapannya yang sangat menyakitkan hati itu. Walaupun kepalaku menunduk, tetapi tidak dengan harga diriku. Bapak dan almarhum Ibu selalu mengajarkan untuk selalu jujur dan adil pada siapapun, dimulai kepada diri sendiri.Aku tidak punya salah apapun terhadap Cinta.Kenapa aku mesti takut kepadanya?Toh, dia sudah bersikap kelewat batas kepadaku."Aku... nggak pernah ngerayu dia sama sekali. Dia yang deketin aku," tegasku."Risa bukan cewek genit!" dukung Nava. Dia mengencangkan cekalannya di lenganku."Kalau bukan cewek genit, ngapain mau aja diajak berduaan di atap kampus, hmm?" kata Cinta tajam. Dia berjalan melewatiku seraya menabrakkan pundaknya ke pundakku dengan sengaja.Prima yang membuntut di belakang Cinta tertawa sengak, kemudian menjajari langkah cewek itu."Kasian kamu, Yang. Pundak kamu jadi sakit, 'kan," ujar Prima pada Cinta. Aku sempat melihatnya merangkul pundak Cinta dengan mesra."Dasar, cowok dan cewek ular. Mereka pacaran, 'kan?Pantesan Boy marah banget ke mereka. Orang Cinta nyelingkuhin dia gitu," geram Nava sembari menatap Cinta dan Prima dengan mata berapi-api. Pandangan matanya itu mengikuti mobil yang dinaiki Cinta dan Prima melaju meninggalkan tempat itu. Sedangkan aku berusaha menetralisir perasaanku yang masih kacau."Aku nggak ngerti, Va. Kenapa aku harus terlibat sama mereka sampai sejauh ini. Mendadak dihina-hina padahal nggak ngelakuin salah apapun sama mereka," kataku."Ya ampun, Ris. Kamu parah banget gemeternya. Ayo, kita duduk dulu di sini," ucap Nava. Dia membimbingku ke salah satu bangku yang ada di teras minimarket tersebut."Kayaknya kamu mesti lapor sama Boy deh, Ris. Kata kamu dia bilang kamu harus lapor ke dia kalau ada yang macem-macem sama kamu, 'kan?" lontar Nava ketika kami sudah duduk."Nggak deh. Aku nggak mau jadi tukang ngadu. Takutnya nanti malah jadi makin parah, Va," sahutku."Tapi mereka...""Mereka udah kelewatan, Va. Tapi, tetep aja masalah mereka semua sebenernya nggak ada hubungannya sama aku. Aku juga nggak mau terlibat terus-terusan sama Boy. Apalagi... habis ada kejadian tadi siang," sangkalku."'Kan yang tadi siang cuma kecelakaan, Ris. Kamu sama Boy sama-sama nggak nyangka 'kan bakal ada kejadian kayak gitu," tandas Nava."Iya sih," timpalku pelan. Namun, aku masih belum bisa menerima usul Nava untuk menceritakan perlakuan Cinta tadi kepada Boy."Sebaiknya kamu pikir-pikir lagi deh, Ris. Terserah kamu aja kamu mau ngelaporin penghinaan Cinta yang barusan itu ke Boy atau nggak. Aku dukung yang manapun keputusan kamu kok," cetus Nava penuh pengertian."Ya," tanggapku lirih.***Saat sosok Boy muncul di ambang pintu kelas, aku langsung menundukkan pandangan mata menyembunyikan rasa malu yang masih ada di hati."Dia duduk di tempat lain, Ris," bisik Nava."Baguslah, aku jadi bisa bebas. Nggak dikerjain dia terus," kataku diplomatis."Sekarang dia lagi ngeliatin kamu tuh. Duh, kok aku yang lumer ya liatnya ?" Nava menyikut lenganku pelan sambil mengernyitkan mukanya dengan ekspresi lucu."Nggak mungkin, Va. Udah ah, Pak Wayan dateng tuh," tangkisku sembari mengedikkan dagu ke arah dosen mata kuliah Komunikasi Bisnis yang tengah melangkahkan kaki memasuki ruangan itu."Va, dia ngeliatin kamu lagi. Coba kamu nengok sekali aja kalau kamu masih nggak percaya," beritahu Nava di sela-sela waktu kami menyimak penjelasan materi yang disampaikan Pak Wayan di depan kelas."Aku nggak mungkin nengok, Va. Pasti bakal kepergok. Harus berapa kali lagi sih aku malu sama dia?" kataku emosional."Iya sih," sahut Nava pelan.Hari ini jadwal kuliahku hanya sampai pukul setengah satu siang. Bapak tadi mengirimiku pesan singkat, mengabariku bahwa Pak Sanusi memberi izin dirinya untuk pulang di jam yang sama dengan waktu pulangku karena sedang tidak enak badan. Aku berjanji akan pulang bersamanya. Untuk itu, aku minta tolong pada Nava untuk mengantarkanku ke bengkel begitu kelas terakhir selesai."Bapak kamu udah cek ke dokter belum, Ris?" tanya Nava ketika mulai menjalankan skuternya."Belum. Biasa, keras kepala. Katanya dia udah cek tensi pakai alat ukur yang ada di kantornya Pak Sanusi terus hasilnya normal," jawabku. Rasa kesal mencuat saat mengenang perdebatan berujung kemenangan di pihak Bapak via WazzApp tadi membuatku membuang napas berat."Kata siapa cuma bapak kamu yang keras kepala? Anaknya juga, kali," celetuk Nava usil."Ya 'kan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, Va," kilahku.Nava tertawa, "Emangnya kamu buah apa, Ris?""Buah karya dong," timpalku sambil tertawa juga.Nava menghentikan skuter matic-nya persis di depan bengkel. Kami berdua masih tertawa-tawa, bahkan di saat aku turun dari kendaraan itu. Namun, beberapa detik kemudian, air muka Nava berubah jadi serius sembari memberi kode lewat lirikan matanya ke bagian dalam tempat kerja Bapak itu."Ris. Ada Boy. Dia lagi duduk di arah jam 11. Motornya lagi diservis sama bapak kamu," kata Nava dengan rahang terkatup rapat.Tawaku menghilang. Mendadak saja tengkukku merinding, menyadari ada sepasang mata elang yang mengamatiku dari dalam bengkel tanpa aku perlu memutar tubuh untuk melihat sosoknya secara langsung.BERSAMBUNG"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu."Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan. "Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya
Aku duduk di atas jok sepeda motor Bapak dengan sikap pasrah tapi wajah muram. Tak jauh di belakang sana Boy membuntuti kami dengan sepeda motornya yang keren itu. Setelah meledekku dengan gaya arogannya, tadi dia langsung menuruti ajakan Bapak tanpa banyak cakap lagi. Begitu sampai di depan rumah, aku bergegas turun dari sepeda motor dan membuka pintu dengan kunci duplikat yang selalu ku bawa di tas. Aku ingin menunjukkan protesku pada Bapak dalam diam. Karena silent treatment adalah cara paling efektif untuk menyatakan rasa tidak setujuku mengajak Boy ke tempat tinggal kami padahal dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan cowok itu di kampus. Hanya gara-gara dengar dia teman sekampusku, Bapak langsung bertanya mampir ke rumah? Kenapa Bapak tidak sekalian mengajak Cinta dan Prima juga? Biar aku tambah pusing! "Kamu kenapa? Marah sama Bapak ya karena udah ngajakin temen kamu itu ke sini?" celetuk Bapak geli. Tahu-tahu sudah berdiri di belakangku yang sedang berdiri di depan kul
"Ini apa namanya? Rasanya enak," komentar Boy sambil menelan makanan di mulutnya.Aku yang mati gaya sejak tadi karena duduk di sebelahnya hanya meliriknya sekilas, lalu menunduk menekuri isi piring di hadapanku lagi."Itu... Oseng oncom leunca," timpalku. Ku geser sedikit badanku biar agak menjauh dari Boy yang duduknya lebih makan banyak tempat di gang sempit yang memisahkan kursi kami. Situasinya mirip dengan situasi di kelas saat kami duduk bersebelahan. Mengintimidasiku tanpa perlu benar-benar melakukan satupun tindakan intimidasi. "Hmm. Aku suka," tukas Boy. Apa kata Cinta ya, kalau dia tau Boy sekarang lagi makan bareng aku di sini sambil bilang suka oseng oncom leunca?, batinku. Tiba-tiba terpikir Cinta yang menyebut makananku 'menu kampung'.Ngomong-ngomong soal Cinta, sebetulnya aku ingin menanyakan beberapa hal terkait dirinya pada Boy. Tapi aku khawatir pertanyaan-pertanyaanku itu bakal menyinggung perasaannya. Apalagi, Cinta sudah mengkhianatinya, 'kan. Aku tidak tega me
"Aku... Bener-bener nggak tau soal itu," kataku. Sebenarnya Boy punya masalah apa sih dengan papanya? Kok dia sampai emosi begitu setiap kali menyinggung orang tuanya itu? "Nah, sekarang kamu jadi tau, 'kan," cetus Boy ringan. "Ta... Tapi... Kenapa kamu ngasih tau soal itu sama aku?" tanyaku heran."'Kan kamu pacarku," tukas Boy. Wajahku memanas lagi. Itu cuma gimmick, Ris! Ngapain kamu malu-malu segala sih?, batinku. "Aku... cuma pacar bohongan, 'kan? Nggak usah terlalu menghayati. Aku... jadi tambah terbebani," kataku."Dari mana kamu tau kalau aku terlalu menghayati? Padahal muka kamu yang selalu merah tiap kali kita ketemu. Sekarang juga gitu, 'kan," ucap Boy. Telak, hingga membuatku merasa lebih malu lagi dari yang pernah aku rasakan kepadanya selama ini. "Mm... Itu..." timpalku keki. Sementara Boy berkata lagi dengan suara pelan. "Tapi aku suka kok liatnya." Demi apapun juga, rasanya aku ingin merosot ke lantai mendengar ucapan Boy itu. Seluruh tubuhku jadi lemas karenan
"Emangnya kenapa kalau Boy makan oseng oncom? Kayak kalian nggak pernah makan aja! Jangan bilang emak kalian nggak pernah masak itu, ya! Sesama anak kampung aja belagu!" semprot Nava. Suara tawa Prima dan ketiga cewek itu berhenti, walaupun masih ada sisa-sisa sedikit. Namun, perkataan Nava sepertinya telak mengenai harga diri mereka. "Enak aja! Minimal mamaku masaknya steak dong, nggak kayak emaknya kamu!" balas cewek berambut pirang berapi-api. Matanya yang memakai kontak lensa abu-abu membuatnya tampak mengerikan ketika memelototi Nava. Sedangkan Prima hanya melipir duduk di bangku yang tak begitu jauh dari mereka. Dia sepertinya menyadari bahwa pertempuran itu khusus untuk Nava dan tiga cewek beringas itu. Hanya seringai pongah saja yang masih terulas di mulutnya."Alah! Gaya lu steak! Nggak mungkin 'kan tiap hari kamu makan steak?" cecar Nava. Sementara teman-teman sekelas kami yang lain sudah banyak yang datang dan rata-rata mereka mempertanyakan apa yang terjadi di antara kami
"Dia marah ya?" tanyaku pada Nava sambil menatap punggung Boy yang menjauh. “Kayaknya sih enggak, Ris. Tapi kalau doi marah, ya wajarlah. 'Kan ada yang nolak tawarannya pulang sama-sama. Udah dibilangin dia orangnya posesif. Sama kang ojek aja cemburu," kata Nava sambil nyengir kuda. "Jangan bikin berita hoax deh, Va. Orang cemburu buatan kok," kilahku dengan rahang yang dirapatkan. "Kalau ternyata beneran, gimana?" sambar Nava meledekku dengan suara tak kalah lirih dariku. “Taulah,” dengkusku lelah. "Tadi dia kayak enek banget denger ada yang nyebut namanya Cinta, 'kan? Posisi Cinta udah kegeser dong artinya," kata Nava sambil berdiri dan menyandang tasnya. "Terus?" timpalku keki. Ku ikuti Nava berdiri, sementara dari posisi kami berdiri, kami bisa melihat sosok Boy lewat jendela kaca. Dia sedang berdiri bersandar pada pilar dan melihat lurus-lurus ke arahku. Buru-buru ku alihkan pandangan mata ini ke Nava. "Menu
"Nasi goreng kampung?" kutip Boy penuh selidik. Agaknya dia bisa merasakan ada yang berbeda dari nada ucapanku barusan."Y... Ya. Nasi goreng cuma pakai bumbu seadanya, maksudku," terangku sekaligus untuk meralat cara bicaraku. Tak ada gunanya berlama-lama melankolis. Sedih boleh. Tapi putus asa? Jangan! "Emang itu sebutannya atau gimana?""Ya...", sahutku sebelum berlalu ke dapur."Biar aku bantu." Boy muncul di ambang pintu ruangan itu ketika aku sedang mengeluarkan bawang merah dan bawang putih yang sudah dikupas, serta beberapa cabai rawit dari kulkas. "Ng... Nggak usah. Aku... Bisa sendiri kok," tolakku halus. Lagipula, membayangkan kami berdua memasak bersama di dapur yang sempit ini... Belum apa-apa sudah membuatku gugup. "Kamu cuma mau aku liatin?" canda Boy.Itu lebih-lebih lagi!"Ka... Kamu tunggu aja di depan. Nggak apa-apa kok, " jawabku. Terang-terangan mengusir mahkluk tampan pengusik ketenangan hatiku itu. "Nggak mau. Aku mau di
"Ibumu nanyain kabar Bapak dan kamu. Terus, dia juga bilang, belum waktunya Bapak ikut dia." Bapak tertawa kecil di ujung ceritanya. Seorang suster menghampiri kami. "Mbak keluarganya pasien ini, ya?" tanya suster itu kepadaku. "Iya, Sus," jawabku. "Silakan Mbak ke loket administrasi dan loket farmasi ya, Mbak. Kata dokter yang memeriksa tadi, pasien ini nggak perlu rawat inap, cuma perlu rawat jalan saja setiap bulan karena kadar gulanya rendah," kata suster."Baik, Sus. Terima kasih," timpalku. Suster di depanku hanya mengangguk singkat sambil tersenyum tipis, kemudian berlalu. Aku menoleh pada Bapak, "Ya udah, aku pergi dulu ya, Pak.""Hmm," gumam Bapak."Tenang aja, aku yang nemenin Om," kata Boy. Untuk pertama kalinya dia bersuara sejak kami kemari. Aku mengulas senyum pada Boy sebelum beranjak keluar dari ruangan itu, "Ya... Makasih ya, Boy."***Duduk di bangku besi yang sama dan mengant
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend