Home / Romansa / My 'Bad' Boyfriend / BAB 3 - Bagaimana Bisa?

Share

BAB 3 - Bagaimana Bisa?

Author: Kanita Faraya
last update Last Updated: 2023-12-09 10:30:49

"Nggak usah pada kaget gitulah. Kayak nggak pernah aja manggil pacarnya 'Sayang'."

Boy mendengkus geli sambil menyeruak maju, dan mendudukkan diri di bangku sampingku yang tak ditempati Nava.

"Kamu pacaran sama cewek ini, Boy? Serius?" tanya Prima yang mendadak jadi seperti monyet kena lemparan batu.

"Ya seriuslah," tukas Boy santai. Sementara aku tak berani menatap wajahnya sama sekali.

"Berarti kemaren kamu sama dia bener-bener habis gini di atap?" Prima memperagakan adegan favoritnya dengan ekspresi mesumnya yang dari tadi dia pakai untuk menghinaku.

Boy mendecih sembari tertawa kecil, "Nggak semua orang barbar kayak kamu."

"Oh ya?" dengkus Prima pongah.

"Kalau nggak mau ngaku nggak apa-apa kok. Bukan urusanku," timpal Boy tenang sambil meyandarkan salah satu lengannya ke sandaran bangku di balik punggungku.

Kini aku menunduk semakin dalam. Kekuatanku untuk mengatasi perasaan gugup ini sepertinya sudah mencapai batasnya.

"Tapi, kamu beneran suka sama dia nggak nih?" celetuk cowok yang berdiri di belakang Prima. Nada bicaranya menusuk.

"Kok kamu kepo, Le?" balas Boy ringan, namun tak kalah tajamnya dibandingkan ucapan cowok tadi.

"'Kan kamu tinggal bilang iya atau nggak," sambar satu suara cowok lain.

"Kalau nggak suka mana mungkin jadian 'kan?" cetus Boy.

"Masalahnya, waktu itu di atap..."

"Bu Geraldine dateng, woey!" seru seseorang.

Sontak semua orang yang mengitari kami bubar. Menyisakan aku yang gugup maksimal setelah menjadi pusat perhatian, apalagi karena satu gosip buruk yang jelas-jelas penuh fitnah.

Tapi..., soal Boy yang konsisten mengakuiku sebagai pacarnya.... Aku tak bisa memahami apa tujuan Boy.

Kalau yang kemarin di depan Cinta, aku pikir dia hanya sedang bertengkar dengan Cinta dan mengerjai cewek itu sebagai bentuk kemarahannya. Semacam merajuk manja begitu.

Tapi, kalau Boy sampai mengaku-aku kami berpacaran di depan banyak orang seperti tadi itu, rasanya jadi semakin tak beres. Aku tak bisa mencegah diriku untuk tidak curiga padanya.

Yah..., walau aku deg-degan juga mendapatkan perlakuan istimewa dari cowok itu. Duh! Kok aku jadi terbawa perasaan begini?

Aku menggeleng-gelengkan kepala agar logikaku jalan untuk dapat menetralisir perasaan melambung tinggi gara-gara mulai menikmati jadi objek akting Boy.

"Ngapain geleng-geleng kayak gitu?" tegur Boy. Untuk sesaat rupanya aku lupa jika dia duduk di sebelahku.

"Ng... Nggak," bantahku malu. Pasrah karena Boy menertawakan keculunanku.

Aku menoleh pada Nava. Dia bergeming, tampak fokus mendengarkan Bu Geraldine yang tengah menerangkan materi mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia di depan kelas. Hatiku mencelos, karena dia mengacuhkanku pasca kejadian tadi.

"Aku mau tidur dulu. Nanti bangunin aku kalau dosennya mau ganti ya," kata Boy.

"Y... Ya," jawabku.

Sepi.

Aku memberanikan melayangkan pandangan ke arah Boy. Betapa terkejutnya aku sewaktu mata kami bersirobok.

"Aku nggak bisa tidur," ucap Boy sembari nyengir lebar.

Wajahku memanas seperti terbakar saking malunya. Lagipula, ini sudah ke sekian kalinya aku ditertawakan oleh Boy karena bertingkah konyol di depannya.

"Apa kamu nggak capek nunduk terus kayak gitu?" ceplos Boy.

Aku diam saja. Tidak tahu apakah harus menjawab pertanyaan Boy itu dengan jujur atau bohong.

"Kamu 'kan pacarku. Mulai sekarang kamu mesti terbiasa deket-deket sama aku terus," tambah Boy.

Terus?

Jadi, dia ingin aku berada di dekatnya terus-menerus? Bagaimana bisa?

"K... Kok gitu?" tanyaku.

"Ya iyalah. Masa kamu mau deket-deket sama cowok lain sih? Nanti aku cemburu lho," kata Boy sembari mendekatkan mulutnya ke dekat telingaku. Aku yang merasakan embusan napasnya bergidik karena ada rasa geli yang menjalar di area sekitar indera pendengaranku itu.

"Oh ya. Nama kamu siapa? Nggak lucu 'kan kalau aku nggak tau nama pacarku sendiri?" lontar Boy. Lengannya masih tetap bersandar di kepala bangkuku.

"Ri... Risa," sahutku.

"Oke. Ririsa," kata Boy.

Kok Ririsa? "Risa," ralatku. Agak kesal dengan keusilan makhluk tampan di sampingku itu.

"Oh..., Risa. Kirain Ririsa," celetuk Boy.

"Ya," timpalku lemas. Tak berdaya jika harus berlama-lama mengobrol dengan posisi mesra dan suara setengah berbisik-bisik begini.

"Kamu pernah satu sekolah sama aku, 'kan? Pas SMP atau SMA?" tanya Boy.

"Pas SMP," jawabku cepat.

"Pernah satu kelas juga?" tanya Boy lagi.

"Ya... Dari kelas satu sampai kelas tiga," ungkapku pelan.

"Pantesan muka kamu familiar," komentar Boy.

Kalau mukaku familiar, kenapa Boy tidak mengatakannya padaku saat aku mengambilkan pulpennya yang terjatuh waktu itu ya? Itu bukti, bahwa aku memang benar-benar 'tidak terlihat' di matanya.

‘Iyalah, aku sadar diri kok,’ batinku.

"Kamu punya pacar nggak?" Boy mengajukan pertanyaan lagi kepadaku.

"Ng... Nggak," sahutku.

"Kok nggak punya?" sanggah Boy. Membuatku bingung. "Harusnya kamu jawab punya," ralatnya.

"Ta... Tapi, aku beneran nggak punya," kataku.

"Masa sih?" cecar Boy.

Apakah dia mau mengerjaiku? "Ya," jawabku lirih. Merasa terintimidasi oleh bad boy di bangku sebelah.

Boy mengembuskan napas dengan keras, "Gini ya, Risa. Lain kali, kalau kamu ditanya udah punya cowok atau belum, kamu harus jawab udah, ya. Kalau kamu jawab belum, terus aku ini kamu anggap siapamu?"

"Hahh?" Spontan aku terperangah mendengar ucapan Boy yang sangat absurd itu. Untung saja aku masih bisa mengontrol volume suaraku.

"Maaf..." lirihku sambil memandang ke sekeliling kami dengan muka tersipu-sipu karena merasa suaraku barusan mungkin sudah mengganggu teman-teman.

"Minta maaf gara-gara nggak nganggap aku pacar kamu atau minta maaf ke yang lain? Kalau ke mereka, barusan nggak ada yang denger suara kamu kok. Tenang aja, nggak perlu minta maaf," kata Boy geli.

Aku menggigit bibir melawan rasa malu yang tak tertahankan. "Tadi kita sampai mana?" ujar Boy.

"Pacar..." jawabku tertekan. Hampir saja aku melesak ke dalam bangku, jika saja benda itu bukan terbuat dari kayu keras.

"Jadi... Kamu punya pacar nggak?"

"Y... Ya."

"Apa? Aku nggak denger," kejar Boy.

"Ya," ucapku lebih tegas dan jelas. Dan terpaksa.

"Siapa pacar kamu?"

"Ka... Kamu."

"Kamu?" ulang Boy dengan nada yang ditekan.

"Ya..."

"Bukan itu. Maksudku, kamu sebutin aja namaku," sela Boy sembari tertawa kecil.

"Oh! Maaf..." cetusku. Merasa diri paling bodoh sedunia.

"Nggak apa-apa. Asal kalau mereka yang tanya, kamu bisa tepat jawabnya," kata Boy tenang. Namun, lagi-lagi dia bicaranya di dekat telingaku.

"Tapi... Kenapa aku harus bilang ke mereka kalau kita pacaran?" tanyaku.

Boy terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab.

"Kalau aku bilang aku suka kamu, gimana?"

Jantungku serasa hampir jatuh menggelinding di lantai kelas saking syoknya mendengar kata-kata Boy itu.

Apa Aku tidak salah dengar?

Boy... bilang suka padaku???

“….”

"Kamu sendiri suka nggak sama aku?" tanya Boy balik.

BERSAMBUNG

Related chapters

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 4 - Menceritakan Kebenaran Pada Nava

    "Kamu sendiri mau nggak jadi pacarku?" tanya Boy.Lidahku serasa diikat tapi tak terlihat. Aku susah sekalimengucapkan keraguanku pada pernyataan Boy.Dia bilang suka padaku?Masa sih?Kalau dia betul-betul suka padaku, pasti dia akan menyadarikeberadaanku sebelumnya.Aku memang gugup sekali jika sedang bersamanya,sampai-sampai sering mengatakan dan melakukan hal yang konyol. Namun, aku jugaorang yang bisa berpikir rasional. Apalagi, aku sangat menyadari siapa diriku.Tidak mungkin cewek culun dan berpenampilan biasa-biasa sajasepertiku bisa membuat seorang Boy suka padaku."Kalau susah, nanti aja jawabnya. Atau nggak usah kamujawab sama sekali juga nggak masalah kok," kata Boy.Selama keseluruhan jadwal mata kuliah kami di hari itu, Boyterus saja duduk di sebelahku. Dia sepertinya tak punya minat untuk sekedarbergeser sedikitpun dari bangkunya. Boro-boro pindah ke bangku lain sebagaiselingan.Setelah kami sibuk mengobrol di sela-sela kelas BuGeraldine, Boy justru terlihat l

    Last Updated : 2023-12-10
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 5 - Goyah

    "Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaanretoris kepadaku yang baru masuk ke rumah."Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawainmakanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoamberisi nasi dan ayam bakar serta lalapan."Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja,"tolak Bapak."Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava dirumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yangakan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak inginmelawan orang tua.Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan.Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakahlauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampurdaun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacangdi stoples yang tersisa. Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hariini. Bebe

    Last Updated : 2023-12-11
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 6 - Kecelakaan Kecil Berefek Besar

    "Kalian mau ngobrol sampai kapan?"Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara BuAsri kembali menegur kami dengan nada ketus."Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafesaja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanaskarena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenangsaja menghadapi kegusaran Bu Asri."Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Akumengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai."Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawabpertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-lakidulu," ujar Bu Asri tegas. Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan denganmateri mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar.Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya."Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang sayasampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya meneran

    Last Updated : 2023-12-12
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 7 - Langit Malam Penuh Bintang

    Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu."Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava."Udah..." jawabku."Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir."Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku."Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki."Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya."Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tidu

    Last Updated : 2023-12-13
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 8 - Harus Berapa Kali Lagi?

    "Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang. "Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava. "Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli. "Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling. "Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku. "Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua. "Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias. "Makasih,

    Last Updated : 2024-01-04
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 9 - Aku Versus Bapak

    "Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu."Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan. "Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya

    Last Updated : 2024-01-05
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 10 - Kontras

    Aku duduk di atas jok sepeda motor Bapak dengan sikap pasrah tapi wajah muram. Tak jauh di belakang sana Boy membuntuti kami dengan sepeda motornya yang keren itu. Setelah meledekku dengan gaya arogannya, tadi dia langsung menuruti ajakan Bapak tanpa banyak cakap lagi. Begitu sampai di depan rumah, aku bergegas turun dari sepeda motor dan membuka pintu dengan kunci duplikat yang selalu ku bawa di tas. Aku ingin menunjukkan protesku pada Bapak dalam diam. Karena silent treatment adalah cara paling efektif untuk menyatakan rasa tidak setujuku mengajak Boy ke tempat tinggal kami padahal dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan cowok itu di kampus. Hanya gara-gara dengar dia teman sekampusku, Bapak langsung bertanya mampir ke rumah? Kenapa Bapak tidak sekalian mengajak Cinta dan Prima juga? Biar aku tambah pusing! "Kamu kenapa? Marah sama Bapak ya karena udah ngajakin temen kamu itu ke sini?" celetuk Bapak geli. Tahu-tahu sudah berdiri di belakangku yang sedang berdiri di depan kul

    Last Updated : 2024-01-06
  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 11 - Oseng Pemersatu Hati

    "Ini apa namanya? Rasanya enak," komentar Boy sambil menelan makanan di mulutnya.Aku yang mati gaya sejak tadi karena duduk di sebelahnya hanya meliriknya sekilas, lalu menunduk menekuri isi piring di hadapanku lagi."Itu... Oseng oncom leunca," timpalku. Ku geser sedikit badanku biar agak menjauh dari Boy yang duduknya lebih makan banyak tempat di gang sempit yang memisahkan kursi kami. Situasinya mirip dengan situasi di kelas saat kami duduk bersebelahan. Mengintimidasiku tanpa perlu benar-benar melakukan satupun tindakan intimidasi. "Hmm. Aku suka," tukas Boy. Apa kata Cinta ya, kalau dia tau Boy sekarang lagi makan bareng aku di sini sambil bilang suka oseng oncom leunca?, batinku. Tiba-tiba terpikir Cinta yang menyebut makananku 'menu kampung'.Ngomong-ngomong soal Cinta, sebetulnya aku ingin menanyakan beberapa hal terkait dirinya pada Boy. Tapi aku khawatir pertanyaan-pertanyaanku itu bakal menyinggung perasaannya. Apalagi, Cinta sudah mengkhianatinya, 'kan. Aku tidak tega me

    Last Updated : 2024-01-07

Latest chapter

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 110 - Nostalgia Nasi Goreng Kampung

    "Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 109 - Hadiah Kecil Untuk Diri Sendiri

    "Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 108 - Tante Bella

    "Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 107 - Arisan

    "Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 106 - Apakah Ini Cinta? Atau ...

    "Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 105 - CEO

    Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 104 - Makan Malam Bersama Calon Mertua

    "Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 103 - Papa

    Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa

  • My 'Bad' Boyfriend   BAB 102 - Runtuh Tetapi Belum Luruh

    Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend

DMCA.com Protection Status