"Kamu sendiri mau nggak jadi pacarku?" tanya Boy.
Lidahku serasa diikat tapi tak terlihat. Aku susah sekali mengucapkan keraguanku pada pernyataan Boy.
Dia bilang suka padaku?Masa sih?
Kalau dia betul-betul suka padaku, pasti dia akan menyadari keberadaanku sebelumnya.
Aku memang gugup sekali jika sedang bersamanya, sampai-sampai sering mengatakan dan melakukan hal yang konyol. Namun, aku juga orang yang bisa berpikir rasional. Apalagi, aku sangat menyadari siapa diriku.
Tidak mungkin cewek culun dan berpenampilan biasa-biasa saja sepertiku bisa membuat seorang Boy suka padaku.
"Kalau susah, nanti aja jawabnya. Atau nggak usah kamu jawab sama sekali juga nggak masalah kok," kata Boy.
Selama keseluruhan jadwal mata kuliah kami di hari itu, Boy terus saja duduk di sebelahku. Dia sepertinya tak punya minat untuk sekedar bergeser sedikitpun dari bangkunya. Boro-boro pindah ke bangku lain sebagai selingan.
Setelah kami sibuk mengobrol di sela-sela kelas Bu Geraldine, Boy justru terlihat lebih banyak diam serta serius mengikuti kelas-kelas berikutnya. Aku jadi bersyukur karenanya. Paling tidak, aku tak perlu terlalu tegang dan tak perlu sering menundukkan kepala selama yang aku bayangkan.
"Aku pulang dulu ya, Sayang. Inget, kalau ada yang iseng gangguin kamu, langsung lapor aja sama aku," cetus Boy begitu dosen yang mengajar mata kuliah terakhir hari itu meninggalkan kelas.
Aku mengangguk dengan gugup. Sementara Boy berdiri dan berjalan santai keluar dari ruangan itu.
"Ternyata, sehari aja nggak berangkat ke kampus, aku ketinggalan banyak gosip ya," sindir Nava. Bibirnya yang memakai lipstik berwarna pink mencibir, lalu menyunggingkan seringai lebar kepadaku. "Dari tadi pacaran melulu. Enaknya punya pacar idola yang cakep dan seksi. Aku iri..." kata Nava lagi.
Tampangnya yang mengernyit jenaka membuatku tertawa. Aku lega, ternyata dia tidak marah kepadaku. Mungkin tadi dia cuma tegang ada Boy di dekat kami, apalagi cowok itu terus-menerus mengajakku bicara.
"Ada yang mau aku ceritain ke kamu, Va. Tapi, jangan di sini ya," kataku kemudian.
"Oke. Kalau gitu, kita cari tempat yang nyaman di luar, yuk." Nava beranjak sembari meregangkan otot-otot badannya.
"Sebentar ya, aku mau minta izin sama Bapak dulu." Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengetik sebuah pesan singkat untuk ku kirimkan ke nomor ponsel Bapak. Setelah itu, kami berdua berjalan beriringan menuju ke tempat parkir.
"Eh, Ris! Liat tuh, pacar kamu lagi ngobrol sama Prima!" Tiba-tiba Nava memegangi lenganku sambil mengedikkan dagu ke suatu arah.
Aku mengerutkan dahi menyaksikan Prima yang sedang mengatakan sesuatu kepada Boy. Kok mereka terlihat akrab ya?
Sungguh, aku benar-benar bingung melihat mereka berdua. Yang satu mesum dan tadi pagi melecehkanku, yang satunya lagi... Entahlah. Untuk apa juga aku memikirkan tingkah laku Boy. Sudah jelas 'kan, dia mengakuiku sebagai pacarnya hanya untuk iseng belaka. Mana ada kisah cinta antara si Mr. Populer dengan si Cewek Biasa-Biasa Saja sepertiku di dunia nyata. Itu cuma ada di novel-novel, komik, sinetron, opera sabun.
"Prima perginya gitu amat ya? Kayaknya sih dia marah sama Boy. Anj*y. Kamu dibelain lagi kali ya, sama mas Boy? Beruntung banget kamu, Ris." Nava bersiul menggodaku.
"Masa sih?" Aku menyangsikan kata-kata Nava. Tapi, entah kenapa, hatiku tetap saja berdebar, seolah-olah prediksi Nava benar.
"Wajah kamu jadi merah tuh. Ciee...!" Nava menepuk pelan pundakku. Aku merasa malu, sampai-sampai salah tingkah.
"Apaan sih? Udah ah, ayo, jalan!" Aku melanjutkan langkah mendahului Nava yang tetap saja meledekku. Untung Boy sudah melaju pergi dari tempat itu. Kalau belum, bisa-bisa dia mendengar suara Nava yang berisik.
"Duh, senengnya bisa godain kamu." Nava tertawa usil.
"Iya, iya. Tapi liat-liat jalan dong, Va. Tuh, ada motor di depan kamu. Nanti kamu nabrak," tegurku. Kebetulan sekali ada topik pengalih. Nava jadi fokus berkelit dari sepeda motor yang hendak dia tabrak dan berhenti meledekku.
**
"Masa sih? Boy cuma pura-pura aja ngaku pacaran sama kamu?"Mata Nava sampai terbeliak setelah mendengar keseluruhan ceritaku tentang semua yang terjadi di antara aku dan Boy kemarin.
"Iya. Mungkin dia lagi ada masalah sama Cinta." Aku menunduk, teringat sekilas kata-kata Cinta yang kasar dan merendahkanku kemarin.
"Cinta ternyata orangnya kasar banget ya. Duh, kamu kasihan banget sih? Mendadak diaku-aku pacar sama Boy, tapi terus dihina Cinta dan Prima. Aku nggak bisa tinggal diem kamu diperlakukan semena-mena sama mereka semua."
Nava mengepalkan tangannya membentuk tinju, dan memukulkannya ke telapak tangannya yang lain dengan keras.
"Ya, begitulah, Va. Tiba-tiba aja aku jadi ada di antara orang-orang yang populer di kampus, terus dapetnya masalah. Mimpi apa ya aku semalem?" Kutepuk-tepuk kedua pipiku sambil berkata dengan nada sarkas.
"Mungkin mimpi dikejar anjing kamu, Ris. Makanya kamu melakukan lompatan besar," timpal Nava.
"Iya, kali ya?" sahutku.
"Yuk ah, makan. Siapa tau habis makan kita bisa lebih fresh." Nava mengambil sesuap nasi dengan lauk ayam bakar menggunakan kelima jarinya yang sudah dibasuh di wastafel yang ada di dekat meja kami.
"Oh ya, Ris. Besok kamu bisa nginep di rumahku nggak? Mama sama Papa mau ke tempat Eyang, terus mas Denis 'kan emang udah tinggal di luar kota," ujar Nava.
Aku tersenyum, "Boleh. Tapi aku mesti minta izin dulu ya ke Bapak."
"Siap." Nava menatapku senang sembari menyeruput es jeruknya.
"Va. Kok aku mendadak takut ke kampus ya? Aku paranoid, kalau-kalau ketemu Cinta dan Prima pas lagi sendiri." Aku membuka lagi topik yang tadi sudah kami tutup.
"Tenang aja Ris, ada aku. Aku usahain nggak bakal bolos-bolos lagi. Lagian, ada Boy juga." Ucapan Nava sedikit menenangkanku. Tapi, di bagian dia mengatakan soal Boy, hatiku malah menjadi semakin resah.
"Aku nggak mau bergantung sama Boy, yang jelas-jelas nggak jelas kepentingannya sama aku. Dia justru bikin Cinta jadi marah ke aku. Aku pengin jadi aku yang nggak terlihat kayak sebelumnya... Nggak usah terlibat dalam hal apapun sama mereka," ucapku.
"Tapi, tadi pagi Boy keliatan tulus ngebelain kamu kok. Dia keliatan nggak suka banget sama perlakuan Prima ke kita," tumpal Nava.
"Ya. Mungkin dia tulus. Tapi, tetep aja, dia orang yang udah menyeret-nyeret aku seenaknya ke dalam hubungannya sama Cinta. Dia nggak mau peduli sama persetujuan dan perasaanku." Aku menunduk memandangi isi piringku.
"Kamu marah sama Boy?" tanya Nava dengan nada kaget. Dia pasti tak menyangka, aku malah menyimpan amarah, bukannya senang diakui sebagai pacar oleh Boy yang populer dan ganteng itu.
"Bukan marah gimana sih, Va. Aku terbebani," kataku.
"Terus kamu mau gimana, Ris?" tanya Nava lagi.
"Kalau bisa, aku mau ngomong sama Boy besok," tekadku.
"Nggak perlu aku temenin, Ris?" tawar Nava khawatir.
"Kayaknya harus aku sendiri, Va. Maaf ya. Bukannya aku nggak suka dibantu kamu. Tapi kayaknya bakal lebih etis kalau aku ngomong sendiri aja, Va," tandasku.
"Ya, Ris. Nggak apa-apa kok. Aku tau kok maksud kamu," kata Nava sembari tersenyum manis kepadaku.
BERSAMBUNG"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaanretoris kepadaku yang baru masuk ke rumah."Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawainmakanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoamberisi nasi dan ayam bakar serta lalapan."Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja,"tolak Bapak."Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava dirumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yangakan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak inginmelawan orang tua.Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan.Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakahlauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampurdaun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacangdi stoples yang tersisa. Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hariini. Bebe
"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara BuAsri kembali menegur kami dengan nada ketus."Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafesaja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanaskarena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenangsaja menghadapi kegusaran Bu Asri."Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Akumengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai."Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawabpertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-lakidulu," ujar Bu Asri tegas. Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan denganmateri mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar.Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya."Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang sayasampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya meneran
Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu."Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava."Udah..." jawabku."Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir."Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku."Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki."Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya."Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tidu
"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang. "Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava. "Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli. "Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling. "Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku. "Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua. "Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias. "Makasih,
"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu."Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan. "Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya
Aku duduk di atas jok sepeda motor Bapak dengan sikap pasrah tapi wajah muram. Tak jauh di belakang sana Boy membuntuti kami dengan sepeda motornya yang keren itu. Setelah meledekku dengan gaya arogannya, tadi dia langsung menuruti ajakan Bapak tanpa banyak cakap lagi. Begitu sampai di depan rumah, aku bergegas turun dari sepeda motor dan membuka pintu dengan kunci duplikat yang selalu ku bawa di tas. Aku ingin menunjukkan protesku pada Bapak dalam diam. Karena silent treatment adalah cara paling efektif untuk menyatakan rasa tidak setujuku mengajak Boy ke tempat tinggal kami padahal dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan cowok itu di kampus. Hanya gara-gara dengar dia teman sekampusku, Bapak langsung bertanya mampir ke rumah? Kenapa Bapak tidak sekalian mengajak Cinta dan Prima juga? Biar aku tambah pusing! "Kamu kenapa? Marah sama Bapak ya karena udah ngajakin temen kamu itu ke sini?" celetuk Bapak geli. Tahu-tahu sudah berdiri di belakangku yang sedang berdiri di depan kul
"Ini apa namanya? Rasanya enak," komentar Boy sambil menelan makanan di mulutnya.Aku yang mati gaya sejak tadi karena duduk di sebelahnya hanya meliriknya sekilas, lalu menunduk menekuri isi piring di hadapanku lagi."Itu... Oseng oncom leunca," timpalku. Ku geser sedikit badanku biar agak menjauh dari Boy yang duduknya lebih makan banyak tempat di gang sempit yang memisahkan kursi kami. Situasinya mirip dengan situasi di kelas saat kami duduk bersebelahan. Mengintimidasiku tanpa perlu benar-benar melakukan satupun tindakan intimidasi. "Hmm. Aku suka," tukas Boy. Apa kata Cinta ya, kalau dia tau Boy sekarang lagi makan bareng aku di sini sambil bilang suka oseng oncom leunca?, batinku. Tiba-tiba terpikir Cinta yang menyebut makananku 'menu kampung'.Ngomong-ngomong soal Cinta, sebetulnya aku ingin menanyakan beberapa hal terkait dirinya pada Boy. Tapi aku khawatir pertanyaan-pertanyaanku itu bakal menyinggung perasaannya. Apalagi, Cinta sudah mengkhianatinya, 'kan. Aku tidak tega me
"Aku... Bener-bener nggak tau soal itu," kataku. Sebenarnya Boy punya masalah apa sih dengan papanya? Kok dia sampai emosi begitu setiap kali menyinggung orang tuanya itu? "Nah, sekarang kamu jadi tau, 'kan," cetus Boy ringan. "Ta... Tapi... Kenapa kamu ngasih tau soal itu sama aku?" tanyaku heran."'Kan kamu pacarku," tukas Boy. Wajahku memanas lagi. Itu cuma gimmick, Ris! Ngapain kamu malu-malu segala sih?, batinku. "Aku... cuma pacar bohongan, 'kan? Nggak usah terlalu menghayati. Aku... jadi tambah terbebani," kataku."Dari mana kamu tau kalau aku terlalu menghayati? Padahal muka kamu yang selalu merah tiap kali kita ketemu. Sekarang juga gitu, 'kan," ucap Boy. Telak, hingga membuatku merasa lebih malu lagi dari yang pernah aku rasakan kepadanya selama ini. "Mm... Itu..." timpalku keki. Sementara Boy berkata lagi dengan suara pelan. "Tapi aku suka kok liatnya." Demi apapun juga, rasanya aku ingin merosot ke lantai mendengar ucapan Boy itu. Seluruh tubuhku jadi lemas karenan
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend