"Udah pulang?" Bapak melontarkan pertanyaan retoris kepadaku yang baru masuk ke rumah.
"Iya. Bapak udah makan atau belum? Aku bawain makanan," kataku sambil mengangkat tas plastik yang isinya kotak styrofoam berisi nasi dan ayam bakar serta lalapan.
"Bapak udah makan kok barusan. Itu buat kamu aja," tolak Bapak.
"Aku juga baru makan, Pak. 'Kan tadi makan sama Nava di rumah makannya langsung." Aku memasang muka cemberut.
Bapak menatapku geli, "Buat nanti 'kan bisa."
Aku menyerah, tak mendebat bapak lagi. Biasanya aku yang akan kalah. Selain ada saja jawabannya—dan tepat, pula—aku juga tak ingin melawan orang tua.
Aku menaruh bungkusan plastik itu ke atas meja makan. Sekalian ku buka tudung saji yang ada di meja itu, untuk mengecek apakah lauknya sudah bapak habiskan. Tadi subuh aku memasak oseng tempe yang dicampur daun kemangi, sayur asam, dan rempeyek kacang. Sekarang tinggal rempeyek kacang di stoples yang tersisa.
Aku bersyukur Bapak mau memakan menu yang ku sajikan hari ini. Beberapa hari ini nafsu makannya agak berkurang sehingga aku jadi mengkhawatirkan kesehatannya.
"Bulan depan Bapak mesti ke Jogja, Ris. Pakdemu mau ngadain hajatan, nikahannya Poppy. Bapak mau ke sana dulu, soalnya mau bantu-bantu persiapannya, sekalian pakdemu mau minta tolong hal lain. Kamu di sini sendiri dulu nggak apa-apa ya, Ris? 'Kan kamu sebentar lagi ujian semesteran. Kamu nyusulnya sehabis ujian aja," kata Bapak yang muncul di belakangku.
"Ya, Pak.”
Keesokkan harinya, aku berangkat ke kampus dengan sebuah tekad bulat untuk segera menyampaikan keberatanku soal peranku menjadi pacar pura-pura pada Boy. Aku ingin segera mengakhirinya, walau hubungan itu sebenarnya tak pernah nyata adanya.
Aku hanya ingin menjadi aku yang biasanya. Bangun subuh setiap hari, memasak, dan pulang setelah jadwal kuliah selesai. Begitulah kehidupanku yang seharusnya. Paling tidak, sesuai dengan rutinitas yang ku jalani sehari-hari saja bersama bapak dan orang-orang terdekatku.
"Aku duduknya misah aja deh, Ris. Takut kebakaran. Soalnya duduk di deket kalian panas banget sih," gurau Nava saat dia datang. Dia nyengir kuda memperlihatkan deretan giginya yang putih, lengkap dengan gingsulnya.
"Panas apanya. Fake gitu kok," timpalku.
"Jangan keras-keras dong bilang 'fake'-nya. Gawat nanti kalau ada yang denger, Ris." Nava mengingatkanku.
Aku terdiam. Walau sebenarnya aku berpikir masa bodoh jika ada yang mendengar ucapanku barusan, tetap saja aku belum benar-benar bicara empat mata dengan Boy. Masih jadi tanggunganku untuk tetap menjaga rahasia di antara kami.
"Oh ya, Ris. Kamu udah bilang ke bapakmu 'kan kamu mau nginep di rumahku nanti malem?" tanya Nava mengalihkan topik pembicaraan.
"Iya, udah. Bapak ngebolehin kok," jawabku.
"Bagus! Berarti nanti habis selesai kuliah kamu langsung ikut aku ke rumah ya," cetus Nava antusias.
"Doi dateng tuh!" Nava menyikut lenganku dan bergegas pindah bangku ke area tengah.
"Jangan duduk di sini. Di belakang aja," cetus Boy sambil berjalan melewatiku.
Aku berdiri dan mengikutinya ke bangku yang dia pilih, di deretan paling belakang ruang kelas itu.
"Nanti..." Aku mencoba mengatakan niatku pada Boy untuk mengajaknya bicara berdua saja. Aku tak mau menunda-nunda mengungkapkan unek-unekku kepadanya. Lebih cepat lebih baik.
"Apa?" tanya Boy. Entah kenapa, ekspresi wajahnya yang penuh atensi ketika menunggu ucapanku berikutnya, membuatku kikuk setengah mati.
Aku sengaja menguatkan diri untuk menatap Boy sebisa mungkin. Selama mungkin. Karena kalau aku goyah sedikit saja, itu sama dengan aku sedang menghancurkan image-ku sendiri di matanya.
‘Fokus, Ris!’ batinku menggebrak diri sendiri agar tak terlalu lama mengagumi ketampanan Boy. Aku tak ingin mabuk kepayang dan memutuskan untuk mundur sebelum maju nantinya.
Tapi... Tatapan mata Boy yang tajam dan dalam. Hidungnya. Bibirnya yang...
Apa salahnya aku mengagumi sesama ciptaan Tuhan? Toh, Boy memang benar-benar ganteng dan seksi. Dan itu fakta mutlak. Tak terbantahkan.
Aku saja yang tidak tahu diri. Baru juga diberi peran jadi pacar pura-puranya sudah ke-GR-an.
"Nanti... Ada yang mau aku omongin sama kamu," kataku. Akhirnya menang dari kegoyahan mental barusan.
"Aku juga ada yang mau aku omongin sama kamu nanti," sahut Boy.
Aku cukup terkejut menghadapi reaksinya itu. Tak menyangka, ternyata Boy punya unek-unek yang ingin dia utarakan juga kepadaku.
"Ma... Mau ngomong apa?" timpalku.
"Nanti pasti kamu tau. Kalau aku kasih tau sekarang jadi nggak asik," kilah Boy.
"Maaf..." kataku. Lagi-lagi aku merasa konyol. Tadi Boy sudah bilang mau bicara nanti, 'kan?
"Nggak masalah," kata Boy.
"Pacarannya kurang hot nih," celetuk Prima yang datang bersama kedua teman akrabnya. Mereka memilih bangku di deretan yang sama denganku dan Boy, tetapi di sisi yang berseberangan jauh dengan kami.
"Kalau mau yang lebih hot ya tinggal pakai balsem aja," balas Boy santai.
Prima cs tertawa.
"Kalem, Bro. Nggak usah pakai nyolot. Soal hot, aku udah punya yang lebih hot dibanding balsem. Oke?" ujar Prima dengan nada meremehkan.
Aku mengernyitkan dahi mendengar pembicaraan aneh Prima dan Boy tersebut.
Balsem? Ada yang lebih hot dari balsem?
Maksudnya apa sih?’ batinku.
"Minyak angin maksudmu?" sambar Boy sembari tertawa.
"Suka-suka lu aja mau nyebut dia apa. Yang jelas dia lebih hot dan mantap digenggam," kata Prima.
Apa yang kudengar ini topik mesum? Tak heran jika dugaanku benar. Karena yang mengatakannya Prima, si Mesum.
"Pret!" cetus Boy sinis.
Ada apa sih dengan Boy dan Prima?
Sepertinya sebelum Boy mengaku-aku berpacaran denganku, hubungan mereka baik-baik saja.
Aku sedang memikirkan penyebab Boy dengan Prima jadi tak akur, ketika Bu Asri berjalan memasuki ruangan dengan anggun.
Aku memperhatikan penjelasan Bu Asri mengenai materi mata kuliah Manajemen Akuntansi sewaktu Boy menyandarkan lengannya di sandaran bangkuku seperti kemarin. Wajahku langsung memanas, walau aku sudah berusaha mengabaikan aroma parfum, suhu tubuh, dan embusan napas cowok itu.
"Nanti kita ngobrolnya di atap aja," kata Boy. Lagipula, dia berbicara di dekat telingaku sehingga aku bisa tetap jelas mendengar suaranya yang volumenya sengaja dia kurangi itu.
"Ja... Jangan di sana," tolakku.
Aku tak mau berduaan dengan Boy di atap lagi. Takut dituduh berbuat mesum lagi dengannya.
"Kenapa nggak mau di sana? Tempatnya nyaman, 'kan. Di sana aja," debat Boy.
"Tempat lain aja..." kataku.
"Di mana?" tanya Boy. Nada bicaranya lembut seperti waktu kami berada di atap.
"Mm..." gumamku gugup.
Duh, aku tak punya rekomendasi tempat lain yang nyaman di gedung ini selain atapnya. Dalam hal ini, aku sebetulnya satu server dengan Boy.
"Atau kita pergi keluar naik motorku aja?" tawar Boy.
"Jangan!" seruku panik dengan mode suara berbisik.
"Kalau ke mana-mana nggak mau, gimana kalau batal aja ngomongnya?" goda Boy.
Aku hendak komplain lagi, namun batal saat suara Bu Asri mendadak terdengar menggelegar.
"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"
BERSAMBUNG"Kalian mau ngobrol sampai kapan?"Semua pasang mata memperhatikan aku dan Boy. Sementara BuAsri kembali menegur kami dengan nada ketus."Kalau kalian mau mengobrol jangan di sini, di kafesaja. Kasihan teman-teman kalian yang serius ingin belajar di kelas ini."Aku menunduk sambil menyembunyikan wajahku yang memanaskarena merasa malu luar biasa. Lain halnya dengan Boy yang tampak tenang-tenangsaja menghadapi kegusaran Bu Asri."Maaf, Bu," kataku dan Boy hampir bersamaan. Akumengatakannya dengan terbata-bata, Boy dengan sopan tetapi santai."Ya sudah, saya maafkan. Tapi kalian harus menjawabpertanyaan yang saya sebutkan ini. Yang saya tanya pertama yang laki-lakidulu," ujar Bu Asri tegas. Dosen itu langsung menyebutkan satu soal berkaitan denganmateri mata kuliah yang diajarnya, kemudian Boy menjawabnya dengan lancar.Bahkan Bu Asri sampai keceplosan memujinya."Bagus! Itu artinya kamu paham materi yang sayasampaikan meskipun kamu ngobrol dengan teman kamu selama saya meneran
Aku berjalan cepat menuju tempat parkir, lalu segera mendekati Nava yang tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia di area itu."Gimana, Ris? Kamu udah ngomong 'kan sama Boy?" tanya Nava."Udah..." jawabku."Lho, kok muka kamu pucat gitu, Ris? Ada apa?" Nava mengamatiku dengan raut muka khawatir."Nanti aja ceritanya, Va. Sekarang kita pergi dulu yuk ke rumah kamu," kataku."Ya. Sebentar ya, aku ambil dulu motorku," ujar Nava. Dia beranjak untuk membawa skuter matic-nya ke dekat bangku yang barusan kami duduki."Ayo, Ris," ajak Nava. Aku memaksa badanku yang masih saja gemetaran pasca kejadian di lantai 3 tadi untuk berdiri dan naik ke skuter sahabatku itu.Begitu kami tiba di rumah Nava, sahabatku itu langsung memasukkan sepeda motornya ke garasi. Dia mengajakku masuk ke sana dan mengunci pintunya dari bagian dalam ruangan, kemudian mendahuluiku berjalan melewati sebuah pintu penghubung ke ruang tengah setelah mencopot sepatunya."Kamu sakit ya, Ris? Mendingan kamu tidu
"Selain cakep dan baik hati, dia juga bener-bener tulus suka sama aku," cetusku sembari melihat ke arah langit malam itu yang dipenuhi bintang. "Amin... Aku doain kamu ketemu sama cowok kayak gitu ya, Ris," ucap Nava. "Kamu juga. Aku doain ketemu cowok cakep dan baik hati...""Dan kaya tapi nggak norak apalagi sombong," sambar Nava secepat kilat memotong kata-kataku."Ya... Amin," kataku dari dasar hati yang terdalam. Walaupun gaya ceplas-ceplos Nava dalam menyampaikan keinginannya itu membuatku meringis geli. "Kamu nggak pengin punya cowok kaya juga, Ris?" ceplos Nava tanpa tedeng aling-aling. "Ya pengin. Tapi bukan jadi tujuan utama," tukasku. "Pasti karena kamu yang kaya. Ya, 'kan?" timpal Nava masih tanpa saringan. Entah dia sedang meledekku atau sedang mendoakan aku jadi orang kaya. Aku memilih untuk berpikir bahwa Nava melakukan opsi yang kedua. "Amin... Aku pengin jadi pebisnis yang sukses, Va," sahutku."Wow, keren juga cita-cita kamu, Ris!" ujar Nava antusias. "Makasih,
"Kok bisa ya mendadak kita ketemu sama dia di sini? Jangan-jangan... Dia juga mau ngaku-ngaku jadi calon menantu bapak kamu juga kali ya, Ris? Anj*y!" cetus Nava sambil menutup mulutnya yang menganga. Sementara aku sibuk mengendalikan diri, terutama mengendalikan detak jantungku yang kecepatannya seperti sedang berlari dikejar hantu."Bukan gitu juga kali Va, konsepnya. Bisa aja 'kan tadi motornya rusak pas baru keluar dari kampus. Bengkel yang paling deket dari sana 'kan cuma bengkel ini," kataku menampik spekulasi Nava yang ngaco itu. Kadang-kadang dia memang orangnya sangat visioner sampai-sampai rawan kebablasan. "Bisa jadi sih," sahut Nava sambil tersenyum kecut."Ngomong-ngomong Hp-mu bunyi tuh," kataku.Nava segera mengais isi tote bag-nya lalu mengeluarkan ponsel yang tengah berdering dari sana. Namun, tepat ketika Nava hendak menerima panggilan telepon itu, bunyi deringnya berhenti."Mama udah missed call 6 kali. Kayaknya ada urusan darurat nih. Maaf ya
Aku duduk di atas jok sepeda motor Bapak dengan sikap pasrah tapi wajah muram. Tak jauh di belakang sana Boy membuntuti kami dengan sepeda motornya yang keren itu. Setelah meledekku dengan gaya arogannya, tadi dia langsung menuruti ajakan Bapak tanpa banyak cakap lagi. Begitu sampai di depan rumah, aku bergegas turun dari sepeda motor dan membuka pintu dengan kunci duplikat yang selalu ku bawa di tas. Aku ingin menunjukkan protesku pada Bapak dalam diam. Karena silent treatment adalah cara paling efektif untuk menyatakan rasa tidak setujuku mengajak Boy ke tempat tinggal kami padahal dia tidak tahu seperti apa hubunganku dengan cowok itu di kampus. Hanya gara-gara dengar dia teman sekampusku, Bapak langsung bertanya mampir ke rumah? Kenapa Bapak tidak sekalian mengajak Cinta dan Prima juga? Biar aku tambah pusing! "Kamu kenapa? Marah sama Bapak ya karena udah ngajakin temen kamu itu ke sini?" celetuk Bapak geli. Tahu-tahu sudah berdiri di belakangku yang sedang berdiri di depan kul
"Ini apa namanya? Rasanya enak," komentar Boy sambil menelan makanan di mulutnya.Aku yang mati gaya sejak tadi karena duduk di sebelahnya hanya meliriknya sekilas, lalu menunduk menekuri isi piring di hadapanku lagi."Itu... Oseng oncom leunca," timpalku. Ku geser sedikit badanku biar agak menjauh dari Boy yang duduknya lebih makan banyak tempat di gang sempit yang memisahkan kursi kami. Situasinya mirip dengan situasi di kelas saat kami duduk bersebelahan. Mengintimidasiku tanpa perlu benar-benar melakukan satupun tindakan intimidasi. "Hmm. Aku suka," tukas Boy. Apa kata Cinta ya, kalau dia tau Boy sekarang lagi makan bareng aku di sini sambil bilang suka oseng oncom leunca?, batinku. Tiba-tiba terpikir Cinta yang menyebut makananku 'menu kampung'.Ngomong-ngomong soal Cinta, sebetulnya aku ingin menanyakan beberapa hal terkait dirinya pada Boy. Tapi aku khawatir pertanyaan-pertanyaanku itu bakal menyinggung perasaannya. Apalagi, Cinta sudah mengkhianatinya, 'kan. Aku tidak tega me
"Aku... Bener-bener nggak tau soal itu," kataku. Sebenarnya Boy punya masalah apa sih dengan papanya? Kok dia sampai emosi begitu setiap kali menyinggung orang tuanya itu? "Nah, sekarang kamu jadi tau, 'kan," cetus Boy ringan. "Ta... Tapi... Kenapa kamu ngasih tau soal itu sama aku?" tanyaku heran."'Kan kamu pacarku," tukas Boy. Wajahku memanas lagi. Itu cuma gimmick, Ris! Ngapain kamu malu-malu segala sih?, batinku. "Aku... cuma pacar bohongan, 'kan? Nggak usah terlalu menghayati. Aku... jadi tambah terbebani," kataku."Dari mana kamu tau kalau aku terlalu menghayati? Padahal muka kamu yang selalu merah tiap kali kita ketemu. Sekarang juga gitu, 'kan," ucap Boy. Telak, hingga membuatku merasa lebih malu lagi dari yang pernah aku rasakan kepadanya selama ini. "Mm... Itu..." timpalku keki. Sementara Boy berkata lagi dengan suara pelan. "Tapi aku suka kok liatnya." Demi apapun juga, rasanya aku ingin merosot ke lantai mendengar ucapan Boy itu. Seluruh tubuhku jadi lemas karenan
"Emangnya kenapa kalau Boy makan oseng oncom? Kayak kalian nggak pernah makan aja! Jangan bilang emak kalian nggak pernah masak itu, ya! Sesama anak kampung aja belagu!" semprot Nava. Suara tawa Prima dan ketiga cewek itu berhenti, walaupun masih ada sisa-sisa sedikit. Namun, perkataan Nava sepertinya telak mengenai harga diri mereka. "Enak aja! Minimal mamaku masaknya steak dong, nggak kayak emaknya kamu!" balas cewek berambut pirang berapi-api. Matanya yang memakai kontak lensa abu-abu membuatnya tampak mengerikan ketika memelototi Nava. Sedangkan Prima hanya melipir duduk di bangku yang tak begitu jauh dari mereka. Dia sepertinya menyadari bahwa pertempuran itu khusus untuk Nava dan tiga cewek beringas itu. Hanya seringai pongah saja yang masih terulas di mulutnya."Alah! Gaya lu steak! Nggak mungkin 'kan tiap hari kamu makan steak?" cecar Nava. Sementara teman-teman sekelas kami yang lain sudah banyak yang datang dan rata-rata mereka mempertanyakan apa yang terjadi di antara kami
"Kamu nggak salah apa-apa, Ris. Kemaren, bahkan sejak kita belum ketemu," sambar Boy. Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata Boy itu. "Ya... Kamu yang duluan deketin aku. Kamu yang ngajakin aku pura-pura pacaran. Kamu yang..." gumamku tanpa sadar. "Ya. Aku juga yang bikin semuanya jadi kacau. Makanya, aku mohon, kasih aku kesempatan buat ngeberesin semuanya, oke?" timpal Boy. Aku tersenyum kecut saat air mataku keluar begitu saja. Entah kenapa, ucapan Boy itu menghangatkan hatiku. "Aku boleh ke situ nggak?" tanya Boy tiba-tiba. Aku memikirkannya masak-masak sebelum menjawab. "Ya..." "Oke. Thanks, Ris. Tunggu aku," tandas Boy. *** "Udah makan belum?" Begitu aku membuka pintu, itu kalimat pertama yang Boy lontarkan kepadaku. "Belum," sahutku sembari memberinya akses masuk ke bagian dalam rumah. "Kenapa belum? Kamu bener-bener nggak suka kuenya, ya? Mau makan apa? Sebelum maag kamu kambuh," berondong Boy. Dia menghempaskan diri di sofa ruang tamu. Aku sendiri meng
"Membantu diri sendiri gimana, Tante?" lontarku bingung. "Membantu diri kamu sendiri buat sembuh dari trauma kamu, Ris. Nggak ada orang yang bakal bisa bantu seseorang bener-bener sembuh dari traumanya, bahkan kalau orang itu ahlinya sekalipun, kalau orang yang bersangkutan nggak mau berusaha untuk sembuh dengan kesadarannya sendiri," jelas Tante Bella. Aku terpana mendengar jawaban dari wanita di hadapanku itu. "Oh... Gitu ya, Tan," tanggapku takjub. Ada perasaan ingin memberi hadiah kecil kepada diri sendiri setelah pulang ke rumah nanti. "Iya, Ris. Tante seneng, kamu termasuk orang yang dengan sadar mau berusaha untuk terbebas dari rasa sakit kamu itu," ujar Tante Bella. Senyuman hangatnya masih tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna nude. ***Begitu aku keluar dari ruang praktek Dokter Bella, Mama dan Boy yang menungguiku di koridor langsung bangkit dari bangku besi yang mereka duduki. Wajah mere
"Ya, Ma," timpalku. "Kalau ada yang julid kayak Dea dan Tina, tinggal kamu ikutin cara Mama yang tadi. Cukup kita senggol sedikit aja titik sensitif di dalam hidup mereka sambil senyum biar mereka tau batasan, nggak perlu marah-marah. Sekarang kamu liat sendiri 'kan hasilnya?" ujar Mama santai. Dia melirik ke arah Tante Dea dan Tante Tina yang masih terlihat keki karena menahan diri agar emosi mereka tidak meledak. "Y... Ya, Ma." Aku menjawab dengan gugup. 'Ternyata Mama nyeremin juga orangnya. Sekarang aku jadi tau kenapa Boy pinter mengintimidasi,' pikirku sembari bergidik ngeri. Apakah memang begini kehidupan orang kaya yang sesungguhnya? Penuh kepalsuan. "Eh, Jeng Bella udah dateng!" seru seseorang, tepat di saat daun pintu terbuka dan sesosok wanita cantik melangkah memasuki ruangan tersebut dengan penuh percaya diri serta anggun. Gaya berpakaiannya yang fashionable dan make up-nya yang oke membuatnya
"Wah! Ini calon mantu kamu, Jeng?" sambut seorang wanita yang setipe dengan Mama. Masih cantik dan glowing, walaupun sudah tak muda lagi. "Iya. Ini calon mantuku. Manis, 'kan?" sahut Mama. Dia dan wanita itu cipika-cipiki, sementara aku yang membuntut di belakangnya hanya diam menyaksikan mereka dengan kikuk."Ayo, kasih salam ke Tante Merry, Ris." Mama menyingkir ke samping agar aku bisa maju untuk menyalami wanita yang dia sebut 'Tante Merry' itu dan menyebutkan namaku. Aku tak bisa melawan ketika Tante Merry menarik tanganku yang berada di genggamannya, kemudian mencium kedua belah pipiku, sama seperti yang dilakukannya pada Mama tadi."Nah, kalau yang imut-imut ini, berarti dia..." kata Tante Merry menggantung. Dia memandangi Xander sambil tersenyum ramah. "Ya, dia cucuku. Anaknya Boy. Ganteng, 'kan?" jawab Mama tenang. Bahkan, dia terkesan bangga memperkenalkan Xander. Padahal di sekitar kami terdengar kasak-kusuk yang tidak menyenangkan.
"Siapa yang CEO?" tanya Papa yang baru muncul. 'Udah! Cukup!' seru batinku tersinggung. Kepalaku tertunduk dalam. Rasa malu plus kecewa menyeruak di dalam dada. "Risa, Pa. Dia 'kan punya usaha, warung nasi katanya, " sahut Mama. "Dan sukses," timpal Boy. Sementara Papa menanggapi dengan suara 'oh' yang singkat."Mama bangga sama kamu, Ris. Kamu hebat," kata Mama. Dia meraih tanganku dan menangkupnya dengan lembut. Entah kenapa, perasaan tersinggung yang semula ada menjadi mencair dengan sendirinya mendapat perlakuan yang sedemikian hangat dari Mama. Perkataannya yang terdengar tulus mampu menembus dan meluluhkan hatiku. "Makasih, Ma," ucapku lirih. "Sama-sama, Sayang. Justru Mama sama Papa sangat berterima kasih karena kamu mau bertahan dan mempertahankan Xander. Bahkan, waktu Mama liat Xander untuk pertama kalinya tadi, Mama cukup tau bahwa kamu udah merawatnya dengan tulus dan sebaik-baiknya. Pasti sang
Calon mama mertua mengajakku dan Xander ke ruang keluarga, sementara Boy dan papanya masih berbicara empat mata di dalam ruang kerja yang entah ada di mana. Saking luasnya rumah itu, dan memang ini kali pertamaku berkunjung kemari, aku belum tahu denah semua ruangannya. "Kamu mau teh chamomile, Ris?" tawar Mama. Aku terpaku sejenak, memanaskan dulu pikiranku yang entah kenapa jadi lamban mencerna segala sesuatunya sejak menginjakkan kaki di rumah ini beberapa saat yang lalu. "Mau, ya? Enak kok," bujuk Mama. Matanya berbinar jenaka, seolah-olah menggodaku untuk menuruti saja apa maunya. "Ya, Ma." Akhirnya, aku yang 'sudah terbangun' langsung memutuskan untuk menerima tawaran calon mama mertuaku itu. "Kalau Xander? Kamu mau minum apa, Nak? Mau susu cokelat? Atau jus jeruk?" tanya Mama pada Xander. Xander mendongak menatap omanya dengan ekspresi wajah datar. "Mau susu," katanya.
"Kalian udah saling kenal sejak SMP 'kan?" celetuk Mama (bolehlah mulai sekarang aku sebut saja mamanya Boy 'Mama' biar tidak susah, dan itu juga sesuai keinginannya). Wanita itu mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan dan anggun. "Iya.. Tapi..." jawabku ragu-ragu. Karena kenyataannya, dulu waktu SMP aku dan Boy tidak benar-benar saling mengenal satu sama lain, selain teman satu kelas. Aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Boy anak gaul dan populer, sedangkan aku murid cupu yang... Yah, begitulah. Untuk apa aku terus-menerus mengungkit perbedaan yang hanya akan menyiksa perasaanku? Nanti malah kepercayaan diriku yang bakal jadi taruhannya. Kalau Boy tahu, dia pasti tak akan tinggal diam. Bisa-bisa aku 'ditatar' supaya tak rendah diri lagi. "Tapi?" Mama memandangku dengan raut muka penasaran. "Aku jarang di kelas, Ma. Setiap kali istirahat, pasti Riga ngajakin main ke atap melulu, jadi aku hampir nggak pernah punya waktu gaul sama temen-temen sekelas
Pa... pa?" tanya Xander. Anak itu tampak heran sekaligus bingung menatap Boy. "Iya, papa. Om pengin jadi papanya kamu. Boleh nggak?" kata Boy ringan. "Mm..." Xander tampak berpikir keras. Wajahnya mendadak dia dongakkan, sementara matanya menatap ke atas dengan ekspresi super serius. Ku lihat Boy yang meringis geli sembari memandangi Xander yang tampak menggemaskan. "Boleh." Akhirnya Xander memberikan jawabannya setelah hampir berpuluh-puluh detik lamanya Boy menunggunya dengan sabar. Dia rela membungkukkan badannya begitu lama di bagian luar mobil sambil sesekali melirikku dengan gaya menggoda. 'Apa-apaan sih ini? Kenapa mendadak jadi minta Xander manggil papa sih? Bikin kaget aja. Padahal belum tentu papa sama mamanya setuju kami menikah nanti', batinku gugup. Aku sengaja mengalihkan pandangan mata ke arah lain saking tak sanggupnya membalas tatapan Boy yang berbinar-binar. "Oke. Makasih ya, Dek. Mulai sekarang Om jadi pa
Seringai lebar Boy membuatku menundukkan kepala. Entah kenapa aku begitu gugup dan malu untuk sekedar membalas tatapannya. Hingga kami sampai di rumah dan dia sudah selesai menurunkan Xander di tempat tidur pun aku masih jengah menatap matanya. "Mau ke mana?" tegur Boy saat aku hendak beranjak dari ambang pintu kamar. "Ke dapur. Kamu mau es teh nggak?" sahutku sambil meneruskan langkah. Walaupun merasa cukup tidak nyaman karena sosok jangkung Boy malah mengekoriku sampai ke dapur. "Boleh," kata Boy singkat. Dia mendudukkan dirinya di kursi kayu di dapur itu, yang tampak seperti singgasananya sekarang. "Udah lama nggak duduk di sini," celetuk Boy. Entah sedang bicara kepada dirinya sendiri atau kepadaku. Aku memilih fokus mengambilkan es teh untuknya saja sembari berusaha menenangkan detak jantungku yang mendadak jadi tak beraturan. Boy mengucapkan terima kasih saat menerima gelas yang aku ulurkan kepadanya. Matanya hanya menatapku sebentar, lalu beralih memandang ke luar jend