Setelah sukses memuntahkan hampir semua isi perutnya, Bumi pun menatap pantulan Wajahnya sendiri. Di depan cermin dia berpikir keras, kenapa bisa muntah-muntah padahal tidak pernah seperti ini sebelumnya. Mungkinkah karena keseringan lembur dan terlambat makan? Namun, Bumi dengan yakin menampik s
"Sayang, apa kamu sudah tidur?" tanya Rey yang datang dengan nampan berisi semangkuk bubur, obat dari dokter serta air putih. Dia terus mendekati Bumi yang berbaring di ranjang dengan posisi memunggungi. "Sayang ...." Menghela napas berat, Rey lantas duduk di sisi ranjang setelah meletakkan barang
Bumi menepis tangan Rey dan kembali menutupi seluruh tubuh dengan selimut, lantas menangis sejadi-jadinya. Bagi Bumi percuma berbicara karena dia akan tahu hasilnya. Rey dan dia tidak sepemikiran. - - - Hari berikutnya, Rey sengaja bangun lebih awal karena tahu Bumi sedang tidak baik-baik saja.
"Bumi ... aku bisa jelaskan. Aku bisa jelaskan Sayang. Tolong kamu jangan salah paham," ucap Rey. Bibirnya yang sudah pucat mulai bergetar. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan istrinya lakukan jika mengetahui kenyataan yang disembunyikan ini. "Sini, kita bicara," lanjut Rey sembari mengulurka
Setibanya di rumah utama Adiyaksa, Bumi bergegas masuk ke kamar dan melewati Oneng yang keheranan. Bukan tanpa sebab Oneng demikian baginya ini memanglah aneh karena Bumi tidak pernah datang tanpa memberi kabar.Terlebih lagi kedatangan Bumi kali ini agak berbeda. Wajah majikannya itu terlihat bengka
"Apa maksudmu?" tanya Yota. Dia tersinggung dituding seperti itu. "Halah, jangan sok tersinggung. Kamu sengaja kan datang ke sini? Mau apalagi kamu? Apa kamu mau celakai Bumi lagi?" cecar Sakha, lantas mencemooh Yota dengan tarikan sebelah bibir. "Jangan asal tuduh kamu!" balas Yota tak kalah nyol
"Mbak, bisa beri saya obat merah?" pinta Yota ketika baru saja tiba di depan etalase sebuah apotek. Matanya yang sembab melihat isi lemari kaca tersebut demi mencari benda yang diinginkan. Sekarang tidak hanya hati yang sakit, tangannya juga mulai berdenyut hebat dan itu semua karena Sakha. "Dan ju
"Itu, ada Tuan Reyden di depan. Katanya ingin bertemu Nona," sahut Oneng. Bumi berdengkus, lantas merebah malas di ranjang menatap plafon kamar yang berwarna putih tulang. "Untuk apa dia ke sini? Apa dia berpikir aku akan memaafkannya? Apa dia pikir kesalahannya ini mudah untuk aku maafkan?" Bumi
Mata Rio langsung terbelalak hebat. "Jadi ... jadi kamu yang digilainya, dan istrimu adalah orang yang dibuatnya keguguran?" terka Rio. Dia masih belum bisa menetralisir keterkejutan. "Ya begitulah kira-kira. Dan kamu masih saja menyukainya?" Rio terkekeh hambar. "Nasib benar-benar buruk. Aku tahu
Bumi cuma bisa nyengir saja. "Jangan tertawa, Bum! Ini tidak lucu!" dengkus Sakha. - - Enam bulan kemudian. Ballrorm sebuah hotel dihias sedemikian rupa megahnya. Lampu, bunga, serta balon menjadi ornamen pendukung pesta pernikahan dua bersaudara itu. Dua bersaudara? Ya, mereka adalah Aryan d
Rey yang keheranan merebut lembar itu, dan responnya juga sama—membulatkan mata seakan-akan tidak percaya. "Bum, kamu serius?" tanya Rey. Melihat Sakha yang ada di sebelahnya mematung tak bergerak memantik rasa penasarannya menjadi semakin besar. Di dekatinya Bumi, lantas duduk di sisi ranjang. "B
"Mi ...." "Padahal Mimi sudah semedi di spa demi nama ini. Gangga Semesta Jadiyaksa." Bumi dan Rey saling tatap. Mereka tak menyangka nama yang disiapkan begitu indah dan jauh dari nama aktor Hollywood. "Itu artinya apa, Mi?" tanya Bumi. Penasaran dia dan sejujurnya agar tertarik. Nama itu terden
Mata Rey pun kembali terarah ke box bayi yang ada disebelahnya. "Aku bingung. Terlalu banyak nama bagus yang aku pikirkan. Dan satu pun tidak ada yang membuatku yakin. Tolong beri waktu aku untuk memikirkannya," balas Rey. Bumi pun mengiakan dengan anggukan kepala. Sekarang mata Rey kembali ke Bumi
Kebahagiaan yang didapatkan sekarang tidak bisa Bumi jabarkan. Rasanya sangat luar biasa. Setelah melalui masa kontraksi hampir sepuluh jam akhirnya sang bayi lahir dengan selamat dan sehat dengan berat 3,5 kilogram dengan proses persalinan normal. Kebahagiaannya semakin berlipat ketika mengetahui a
"Dan yang membuat aku penasaran, kenapa kamu selalu diam? Kamu seolah tidak mengenalku. Jika kamu mengatakannya mungkin kita sudah lama berteman." "Maaf, aku tidak berpikir sampai di situ. Aku hanya menolong, itu saja," balas Aryan lagi. Senyum Milea semakin mengembang. Lamat dia menatap Aryan yan
Tiga puluh menit. Satu jam. Hingga dua jam berlalu sia-sia. Semua jenis olahraga dia coba. Dari squad jump, push-up, angkat barbel sudah dicoba, hanya saja hasilnya nihil. Aryan kalah dan lelah. Lelaki bingung harus bagaimana. Tubuhnya sudah lemah tapi hasrat untuk mencumbu Milea justru semakin k
"Kamu masih muda? Apa kamu single? Kalau iya, apa kamu mau menjadikan aku istri?" "Maaf, Nona. Saya memang masih single, tapi ...." "Tidak perlu dilanjutkan. Aku hanya butuh itu sebagai awal. Jadi Tuan Jas yang tampan, persiapkan diri untuk menerimaku sebagai istri." Aryan yang baru saja selesai