Hari terus berjalan. Waktu terus berputar dan kesibukkan membuat Aelyn tidak menyukai hari ini.
Layar komputer di hadapannya menampil beberapa sheet, tangan dan mata terus melihat sambil mengetik. Sungguh walau Aelyn menyukai pekerjaan, tapi lain berbeda jika semua yang harus diselesaikan hari ini.
Rasa kepala Aelyn terasa begitu penat, bahkan bisa berasap mungkin. Hari ini Aleyn harus memikirkan konsep yang sudah Revan berikan padanya, padahal sebisa mungkin Aelyn memeriksa konsep itu. Namun Nona Ellena selaku sebagai director creative dirinya dan Revan, tidak juga menerima konsep atau setidaknya menentukan mana yang akan ditentukan, padahal deadline untuk konsep itu yang minggu ini sedang Aelyn jalankan dengan Revan, harus segera diselesaikan.
Deadline akan jatuh tiga hari lagi. Jika sampai semua konsep ditolak oleh Nona Ellena, itu berarti Aelyn dan Revan harus memutar otak membuat konsep lain, waktu yang tidak banyak. Itu berarti Aelyn harus mengambil lembur lagi selama hampir seminggu ini, belum lagi dirinya harus mencari klien?
Bersandar di kursinya, Aelyn memijat pelipis hidungnya, dia melewatkan makan siang dan sehari-hari belum banyak mengkonsumsi kopi daripada makanan sehat, melirik jam yang sudah seharusnya dia pulang.
Revan yang baru saja merapikan mejanya, berjalan mendekati Aelyn yang belum juga menunjukkan akan pulang.
“Kamu tidak pulang?” tanya Revan.
Aelyn mengangkat kepalanya, menatap Revan yang menjulang tinggi di sampingnya, pria itu sudah memakai mantel dan membawa tas kantornya. Revan seperti akan pulang, itu berarti Aelyn harus mengerjakan semuanya sendiri?
Wajah kusam, kantung mata bertambah, lalu penampilan begitu berantakan dan jangan lupa betapa lemas tubuhnya saat ini. Bagaimana tidak, dirinya tidak akan bisa tidur dengan baik jika semua ini masih menggantung di kepalanya, menghantui setiap dirinya menutup mata.
“Aku sangat ingin pulang tapi—,” Aelyn berhenti sejenak, meluruskan tubuhnya lagi.
“Konsep. Bagaimana semua ini bisa membuatku pulang?”
“Aelyn. Santai saja, deadline masih tiga hari lagi. Jangan terlalu dipikirkan.” ucap Revan. Jika melihat Aelyn seperti bagaimana dia bisa kembali?
Revan menarik kursi di samping Aelyn, lalu duduk di hadapan gadis itu, mengelus punggung yang begitu kurus baginya. Lalu mengelus kepala dan dengan sengaja mengacak rambutnya. Tersenyum mencoba menghilangkan kesepian kantor ini.
“Aelyn, aku yakin semua ini akan berjalan dengan baik, kita sudah berusaha dan aku yakin Nona Ellena akan menyukai salah satu konsep itu.”
“Aku tahu, tapi begitu membenci diriku yang sangat khawatir dengan semua ini, kau tahu sendiri bukan? Jika aku tidak akan tenang jika semua ini belum selesai.” jawab Aelyn.
Revan mengangguk mengerti, dia menarik tangan lain dan menatap gadis itu lagi. Pria itu sangat tahu, Aelyn tidak akan bisa tenang sebelum semua hal yang dia kerjaannya terselesaikan, Aelyn gadis pekerja keras yang paling terkenal di Crop Vic Stevano. Bahkan seperti sebuah obsession yang begitu berlebihan dan terkadang membuat Revan takut.
“Aku akan memesan makanan untukmu, maaf Aelyn. Aku tidak bisa menemani-mu lebih kali ini, Ayah dan Ibu hari ini kerumahku, mereka baru saja kembali dari London.”
Aelyn mengangguk, masih dengan posisi menatap lurus ke arah komputer.
“Hm—Baiklah.”
Revan tersenyum, kadang gadis itu yang kelihatannya begitu dewasa, bisa bertindak manja dan aneh, Aelyn tiba-tiba menatap ke arah Revan disampingnya.
“Pulang, aku tidak apa-apa. Orang tuamu pasti sedang menunggu-mu, Van.” Usir Aelyn dengan bahasa halusnya.
Aelyn begitu mengenal keluarga Revan, bagaimana tidak pria itu selalu mengajaknya lalu keluarganya sedang ada acara entah itu makan malam, pesta ulang tahun, sampai pernikahan sepupunya.
“makanan akan sampai 10 menit lagi. Baiklah, aku akan pergi, jangan lupa untuk menghabiskan semuanya.” Ucap Revan, dia melepaskan tangan Aelyn, dan mulai bersiap meninggalkan ruangan itu.
“Tentu saja.” Ucap Aelyn, dia menunjukkan senyuman saat Revan sudah siap akan pergi, melambaikan tangannya untuk salam perpisahan.
Revan yang melihat tingkah gemas Aelyn, sedikit menunduk dan mencubit pipi gadis itu, mengelus kepalanya sebagai tambahan.
“Sudah! Pergi sana.” Ucap Aelyn, dia mengelus pipinya yang mungkin bisa semakin lebar jika Revan terus melakukan itu. Dan Aelyn sangat tidak menyukai diperlakukan seperti anak kecil begitu.
Revan mengerti, dia mulai berbalik arah dan melangkah meninggalkan ruangan ini. “Jangan pulang terlalu larut.” teriak Johan, sebelum menutup pintu.
Tanpa Aelyn dan Revan sadari, interaksi intern menjadi tontonan untuk Ethan kedua kalinya, ada raut penasaran tercetak jelas di jawab Ethan, ada sebuah perasaan antara kedua sahabat itu yang membuat Ethan meringai dalam senyumnya, Ethan yakin itu bukan perasaan antara sahabat melainkan perasaan cinta, melihat betapa dekatnya mereka.
Dan tidak ada kecanggungan sama sekali dalam segala bentuk sentuhan mereka, cukup lama Ethan memandangi Aelyn yang kini sedang memainkan pulpen di sekitar bibirnya, sampai Aelyn menjatuhkan tempat pulpen dan menimbulkan suara yang cukup bising, barulah Ethan tersadar.
Apa yang dia lakukan disini?
Lagipula untuk apa dirinya memandang Aelyn?
Tanpa berpikir panjang, Ethan kembali melanjutkan langkahnya, segera meninggalkan gedung itu.
Setelah merasa tubuhnya sudah tiga jam lebih mengetik sesuatu atau mengamati layar komputer dihadapannya, Aelyn mulai merenggangkan tubuhnya, rasanya mulai lelah dan mengantuk, kopi sudah tidak lagi berguna. Sekarang tubuhnya butuh istirahat lebih, dan Aelyn menyerah, dia melepaskan semua pekerjaannya hari ini. Dan memutuskan mengakhiri lemburnya, tangan mulai merapikan mulai barang miliknya yang berserakan di meja kantornya, tidak juga lupa untuk memesan taksi online, mengingat waktu bukan lagi jam dimana
orang sibuk berlalu-lalang.
Dan setelah mendapatkan notifikasi dari sang supir, secepat mungkin kakinya melangkah meninggalkan gedung Crop Vic Stevano.
Pikirannya berubah setelah dia melihat Mall terbesar di pusat kota Chicago, dia menghentikan sang supir untuk berhenti pintu utama Mall tersebut.
"terimakasih." ucap Aelyn, pada sang supir taksi. Di membungkukkan badannya saat taksi meninggalkan tempat, kaki mulai melangkah masuk ke dalam Mall, perasaan lelah mulai berkurang setelah melihat Mall itu yang masih ramai, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Aelyn melihat-lihat seluruh arah, semua orang seperti pada pertuju pada bioskop di lantai 3. Dirinya yang merasa sudah sangat lama tidak kesana, memutuskan untuk menonton salah satu film yang sedang ditayangkan hari ini.
Rasanya mungkin sedikit aneh karena ini pertama kalinya dia pergi ke bioskop sendirian.
Saat sedang mengantri membeli tiket, tidak sengaja tatapan Aelyn jatuh pada seorang pria yang tampak tidak asing baginya, bukankah itu pria yang menjadi perbincangan Kiera selama seminggu. Siapa lagi jika bukan Ethan Stevano. Sang Ceo baru yang terkenal begitu perfeksionis.
bahkan karena pria itu, berkali-kali ide ditolaknya, padahal Aelyn dan Johan sudah bekerja keras memikirkan ide itu, karena pria itu ikut campur tangan, membuat Aelyn tidak bisa tidur tenang dan Jika bukan karena, maka mungkin mereka tidak akan sekacau ini dalam menentukan konsep, Sang Ceo ingin konsep baru dan anti-mainstream, itulah yang membuat Aelyn hampir pecah. Memikirkan ide konsep yang baru.
Lama memperhatikan Ethan yang malam itu ternyata tidak sendirian, pria itu yang masih mengenakan seragam kantornya itu terlihat menggandeng seorang wanita dari para model, tentu saja. Memangnya seorang Ethan mau bermain-main dengan wanita bisa saja seperti Aelyn. Yang lebih nyaman mengenakan kaos dan jeans daripada dress fit body. Yang membuat penampilan para wanita lebih feminim dan elegan.
Aelyn bukan wanita sejenis itu,.
‘Dan, apa yang kamu pikirkan Aelyn? Untuk apa kamu memikirkan selera wanita pria itu? Tidak ada hubungannya denganmu!'
Aelyn menggelengkan kepalanya, menghilangkan pikiran anehnya, dan memilih fokus untuk menentukan film apa yang akan dirinya pilih, setelah memesan tiket, dirinya memutuskan membeli beberapa makan seperti popcorn dan minuman. Dan mengabaikan segala yang terjadi hari ini, dia kesini untuk meninggalkan stress-nya bukan untuk memperhatikan orang lain.
Keesokan harinya.Aelyn pikir hari ini dia bisa sedikit tenang, tapi seperti itu hanya halusinasi saja. Crop Vic Stevano.Rasanya hari ini seluruh wanita di perusahaan ini terus menyebarkan berita panas tentang sang Ceo, siapa lagi jika bukan Ethan Stevano, bahkan telinga Aelyn begitu panas mendengar saat berpapasan dengan beberapa orang, padahal ini masih terlalu pagi untuk memulai sebuah gosip tidak penting, Aelyn ingin sekali memarahi Kiera dan wanita lainnya, yang terus membahas pria itu, padahal Aelyn masih pusing dengan konsep yang belum menemukan titik terang,menambah buruk suasana hatinya saja.Berita itu terus di bicarakan saat Aelyn ingin makan siang di kantor, suasana sangat ramai sampai dirinya tidak tenang untuk memakan satu sendok nasi, membuat
Sampai di ruangannya. Aelyn dengan wajah cerianya berjalan mendekati Revan yang masih sibuk dengan layar monitor dihadapannya, tanpa berpikir panjang Aelyn memberikan minuman kaleng itu padanya, dengan senyuman bahagia yang terus mengisi wajahnya, tidak ragu untuk memperlihatkan indahnya lesung pipinya. “I Got It, Van!” Ucapnya dengan senang, dirinya tidak sabar untuk menjelaskan ide brilian yang muncul begitu saja, rasanya Aelyn yakin jika ide kali ini akan langsung disetujui oleh Ellena dan pria menyebalkan itu, Ethan Stevano. “Why Aelyn?” Revan memutuskan untuk menatap ke arahnya, dia mengabaikan pekerjaannya sejak untuk mengetahui hal apa yang membuat gadis itu tersenyum bahagia, momen yang sang langka ketika Aelyn begitu, karena seceria apapun gadis itu tidak pernah dia menunjukkan lesun
Aelyn meletakan barangnya di bawah mejanya, dia mengeluarkan ponselnya untuk melihat penampilan make-up walau tidak begitu tebal, setidaknya wajahnya tidak terlihat seperti bangun tidur, dia memoleskan sedikit lipcream pada bibirnya dan memutuskan untuk menguncir rambutnya. “Kopi untukmu,” ucap Revan, meletakan secangkir kopi panas, mengabaikan beberapa orang menatap ke arahnya. “Dan aku sudah menyelesaikannya, kita hanya perlu memberikan pada Nona Ellena.” Aelyn menoleh ke arah Revan, pria itu memang sangat bisa diandalkan, alasan kenapa Aelyn begitu senang bertemu dengannya karena bukan seperti karyawan lain yang hanya ingin tahu tanpa ingin membantu, pada seperti Aelyn yang terlalu banyak merepotkan pria itu. “Terimakasih Van, kamu memang yang terbaik, tak terhitung aku akan terus mengucapkan te
Aelyn melangkahkan kakinya di sepinya lorong lantai 15, apalagi tujuannya kesini?Setelah kembali ke kantor dan baru saja ingin duduk di kursi, Aelyn di panggil untuk langsung menghadap keruangan Tuan Stevano, entah kenapa rasa gugup terus mengikuti langkahnya, untuk pertama kalinya dia melangkah ke sana dan ada hal apa penting apa yang ingin pria itu sampaikan?Aelyn kurang nyaman jika harus berada didalam ruangan dengan orang yang masih asing dengannya, dia memang sulit beradaptasi tapi dia bukan seorang yang pengecut dan langsung menolaknya, yang di hadapannya adalah atasan, pemegang tunggal Stevano Vic Crop.Jauh sebelum Aelyn lahir, perusahaan ini sudah mudah beroperasi, menghela nafas sejenak Aelyn menguatkan kakinya untuk berdiri dengan ‘Room Ceo.’ kalimat yang membuat degup jant
“Akhh!”Aelyn tersentak dengan tubuh yang menabrak dinding begitu keras, ketika wajahnya terangkat untuk melihat situasi apa yang sedang terjadi, tiba-tiba pria yang mendorongnya dan membuat dirinya berada didalam kekukuhannya, itu langsung mencium bibirnya tanpa mengucapkan satu kalimat-pun.Bola mata Aelyn berbuka lebar, dia bahkan harus melepaskan ciuman pertamanya pada pria yang kurang ajar itu, dia panik dengan keadaan seperti itu, tenaganya begitu lemah jika memaksa mendorong jadi dengan kesal Aelyn menendang titik kelemahan pria dihadapannya.Ciuman itu terputus, kesempatan itu Aelyn gunakan untuk melarikan diri tapi kecepatan pria itu tidak bisa diremehkan, pria berpakaian serba hitam itu kembali menarik Aelyn dan menghantamkan tubuhnya di dinding, kembali menyatukan benda kenyal itu.
Keesokan pagi hari.Ethan membuka kedua matanya saat suara nada dering terus mengganggu telinganya, tangannya menggapai ponselnya yang tergeletak di meja, satu panggilan masuk dari asisten yang ada di rumahnya.Bukannya menjawab pria itu sengaja mematikan ponselnya, dia sudah bisa menebak apa yang akan asistennya katakan dan sangat malas untuk Ethan menjawabnya, tatapannya tertuju pada gadis yang tertidur dengan memeluk bantal.“jadi semalam itu benar dirinya?” tanya Ethan, suara yang dia keluar cukup kecil, bahkan seperti mengudara tanpa angin, kalimat yang tidak mungkin bisa Aelyn dengar.Ethan tersenyum tipis, luka di perutnya sudah tidak sesakit tadi malam dan bahkan dia melakukan rasa sakit sang miliknya ditendang oleh gadis itu
Aelyn menatap cermin di depannya dengan harapan jika pakaian yang dia kenakan pantas untuk menghadiri sebuah acara, jika bukan karena permintaan Revan sungguh dirinya tidak akan bersedia memakai gaun, apalagi heels yang lebih tinggi, gaun yang sedikit mengekspos punggungnya dan kaki jenjangnya. Dering nada ponselnya mengalihkan pandangan Aelyn, dia mengambilnya. “Kamu sudah ada dibawah? Baiklah aku akan segera turun.” ucap Aelyn, mengambil tas selempang berwarna hitam, dia segera meninggalkan apartemennya. Di Dalam lift-pun dirinya masih sibuk untuk menatap dirinya, dia sengaja mengurai rambut panjangnya untuk menutupi gaun yang memang sedikit mengekspos tubuh bagaimana atas, jika Aelyn tidak memikirkan malu yang akan Revan katakan mungkin dirinya sudah memilih memakai pakaian kantornya.
Aelyn mengangkat kepalanya, mata hitamnya bertemu dengan irisan coklat milik Ethan, pria itu mengulurkan tangannya, tapi Aelyn tidak menanggapinya, dia sedang sibuk menahan rasa sakit dari kakinya, setiap bertemu dengannya pasti ada sesuatu hal terjadi entah itu dirinya atau situasi menyebalkan. Ethan menghela nafas, tanpa berpikir panjang untuk langsung menggendong gadis itu, membuat Aelyn berteguh dan menatap ke arahnya dengan tatapan terkejutnya, dia berpegangan erat pada bahu Ethan. “Apa sulitnya untuk menerima uluran tangan dariku?” tanya Ethan, walau menyampaikan seperti seakan dia marah tapi sebenarnya itulah nada bicara. “Turunkan aku!” protes Aelyn, dia sedikit menggerakan tubuhnya, kenapa dirinya baru merespon sekarang saat Ethan membawanya keluar dari gedung itu, keluar dari sana.