Akhirnya, Sinar merasakan kembali ke rumah, dan bisa tidur di ranjangnya sendiri. Namun, dirinya harus benar-benar patuh terhadap semua peraturan yang ditetapkan oleh dokter dan juga sang suami yang datar nan posesif itu.
Sinar masih harus bed rest total minimal satu minggu ke depan. Setelah itu, Sinar harus kembali memeriksakan diri untuk mengetahui perkembangan kesehatannya beserta janin yang saat inu dikandungnya.
"Sekarang sudah di rumah, kan? sudah bisa ketemu Qai, jadi jangan bawel lagi." Pras merebahkan tubuh lelahnya di samping Sinar. Setelah membawa Sinar pulang ke rumah, hari ini Pras hanya ingin beristirahat, setelah melalui hari yang juga membosankan di rumah sakit.
Sementara itu, Qaishar masih berada di rumah July. Rencananya, Pras akan menjemput putranya itu sore hari nanti.
“Tapi, Qai masih di rumah bunda, harusnya kita jemput sekalian tadi.”
“Jangan, biar kamu bisa istirahat siang ini,” sanggah Pras. “Nanti sore biar aku jemput
MAL besok gak update dulu yakk, saia ada acara dengan ibu negara ... harap dimaklumi ... thankiizz muucchh ....
"Kamu sakit, Mas?" Sinar baru saja membuka pintu kamar mandi, ketika Pras merangsek masuk dan langsung membungkuk di wastafel. Pria itu terlihat memuntahkan seluruh isi yang ada di dalam perutnya, meskipun pagi ini belum terisi makanan sama sekali. Selama hidup bersama Pras, Sinar jarang sekali melihat pria itu jatuh sakit. Terlebih-lebih sampai muntah seperti kali ini. Biasanya, Pras hanya kelelahan dan sakit kepala jika sudah menghadapi Rapat Umum Pemegang Saham atau ada hasil audit perusahaan yang kacau. Belakangan ini, Pras memang kerap mengeluh mual, tapi baru kali ini Sinar melihat suaminya itu muntah seperti sekarang. Sinar segera membantu untuk mengusap leher bagian belakang Pras, sekaligus memberi pijatan lembut untuk memberi rasa nyaman. "Siapa yang sakit?" Pras bertanya balik, lalu mencuci wajahnya yang tampak sedikit kuyu. "Aku cuma mual, terus muntah." Decakan kesal itu langsung keluar dari bibir Sinar. "Masuk angin kali, itu namanya saki
Sinar terjaga, dan merasa geli ketika merasakan bibir Pras mengecup lehernya berkali-kali. Terkekeh kecil karena sang suami terus saja menjalankan bibirnya tanpa henti. “Mas ihh! Geli,” kata Sinar di sela kekehannya. Mendorong tubuh Pras lalu menyalakan lampu tidur yang berada di atas nakas. “Jam berapa, sih, ini?” tanya Sinar kemudian, sembari mencari remote penerangan di kamar mereka. “Setengah dua belas,” jawab Pras sudah menumpu kepalanya dengan satu tangan. “Tumben kamu bangun?” Sinar melirik pada baby monitor di sebelah lampu tidur. “Qai bangun?” Pras menggeleng dengan satu tangan menyentuh bibir tipis milik sang istri. “Ih! Kamu lagi pengen, ya, malem-malem bangunin aku?” dengkus Sinar juga memiringkan tubuhnya menatap Pras. “Iya, aku pengen nasi goreng.” Senyum yang tadinya mengembang di wajah Sinar, spontan meredup. Pras membangunkannya hampir tengah malam, hanya untuk mengatakan kalau pria itu ingin makan nasi goreng.
Sinar tidak dapat menyembunyikan senyumnya, ketika dokter Novi mengatakan jenis kelamin bayi yang tengah dikandungnya saat ini.Pras pun ikut menghela lega, karena keinginan sang istri untuk memiliki anak perempuan akhirnya terkabul juga. Setelah ini, akhirnya Pras bisa bernapas bebas. Meski harus lebih bersabar, ketika perhatian Sinar sementara waktu akan terkuras pada anak mereka."Sudah lega sekarang, kan?" Pras menggeleng, ketika melihat Sinar terus saja memandangi hasil USG, meskipun keduanya sudah memasuki mobil.Sinar mengangguk-angguk dengan senyum lebarnya. "Kamarnya entar gimana? Jadi satu dulu sama Qai?"Saat menyambut anak kedua, Pras memang terlihat tidakseantusias seperti kehamilan Sinar yang pertama. Semua terlihat biasa-biasa saja. Pras juga tidak pernah meributkan masalah mengenai kamar, baju, atau apapun mengenai anak keduanya."Dipikirin nanti, kan sementara masih tidur di box, satu kamar sama kita."Sinar langsung m
Setelah memindahkan Qaishar di kamar sebelah, Pras kembali ke kamar. Bergelung satu selimut dengan sang istri, dan memeluknya dari belakang. Tangan Pras singgah untuk mengusap perut yang membola itu, dengan gerakan naik turun. “Mas, kalau Bira balik sini, kamu gak ke Singapur, kan? Gak bakal bolak balik ke sana lagi, kan?”” Sejujurnya, Sinar merasa khawatir jika Pras tiba-tiba harus berangkat ke Negeri Singa, jika Bira kembali ke Jakarta. Ada perasaan was-was, jika Pras akan bertemu dengan Gina dan sebagai seorang istri, Sinar pastinya akan berpikiran yang bukan-bukan. Kalau saja Sinar tidak hamil, sudah pasti ia akan ikut jika sang suami berangkat ke Singapura. Namun, karena kondisi seperti sekarang, Sinar harus lebih mementingkan bayi yang dikandungnya saat ini. Meskipun masih terbilang aman, jika terbang di usia kehamilan yang masih semester kedua, tapi Sinar tidak ingin mengambil resiko jika terjadi sesuatu. Sinar sudah pernah merasakan sakitnya k
Sejak Bira diberi izin untuk kembali lagi ke Jakarta, Pras benar-benar terlihat semakin sibuk. Selain melakukan tanggung jawabnya sebagai Presdir Casteel High, Pras juga harus menekan Abhi, agar bisa diberi wewenang yang pantas untuk memegang perusahaan di Singapura. Untuk itu, tidak jarang Pras pulang hingga jam makan malam sudah sangat terlewat.Pada kenyataannya, memindahkan Abhi ke Singapura ternyata tidak berjalan mulus sesuai rencana. Hal itu mengakibatkan, kepulangan Bira ke Jakarta menjadi semakin larut dari jadwal.Sementara itu, Sinar mau tidak mau harus membiasakan diri, diantara kesibukan Pras yang benar-benar tidak bisa diganggu gugat. Bahkan, Pras melewatkan dua kali pemeriksaan kehamilan Sinar, karena ada urusan pekerjaan yang benar-benar tidak bisa ditinggalkan.Beruntung, masih ada Prabu dan July yang bisa menemani sekaligus menjaga Qaishar, ketika Sinar tengah memeriksakan diri ke dokter kandungan. Karena Aida dan Raja pun, belakangan ini juga
Jelang tengah malam, Qaishar merengek seperti biasa. Balita tersebut bangun, untuk meminta jatah ASInya. Yang sudah tidak terlalu memberatkan adalah, Qaishar hanya bangun paling banyak dua kali dalam satu malam untuk meminta jatahnya. Setelah selesai, Sinar pun bisa langsung kembali melelapkan tubuhnya. Tanpa harus bolak balik bangun seperti dahulu kala. Saat Sinar sudah membuka mata, terlihat Pras sudah tertidur tanpa melepas kemeja putihnya terlebih dahulu. Pria itu juga terlihat, masih memakai celana bahan yang biasa digunakannya untuk bekerja. Pras pasti terlalu lelah, sampai-sampai tidak sempat mengganti pakaiannya sama sekali. Kalau sudah seperti ini, Sinar benar-benar tidak tega dan harus bisa mengerti dengan kesibukan sang suami. Tidak ingin membangunkan suaminya, Sinar langsung mengASIhi Qaishar sembari menepuk-nepuk bokong balita, yang tidak pernah berada di satu tempat jika tengah tertidur. Setelah selesai dan Qaishar akhirnya kembali terlelap, Sin
Gelisah, itulah yang dirasakan Sinar ketika hari sudah menjelang malam. Terlebih, ketika tubuhnya telah berbaring, dan sudah berbalut selimut di atas tempat tidur bersama Qaishar. Padahal, setengah jam yang lalu, Sinar dan Pras sudah berkomunikasi melalui video call. Namun, rasa waswas itu tetap saja bersemayam di hatinya. Masih merasa tidak tenang dan tidak bisa memejamkan mata, Sinar kembali mengambil ponsel lalu menghubungi Pras. Sebuah sambungan video call, dengan pasti Sinar tujukan untuk sang suami di seberang sana. Sinar cukup menunggu lama, hingga Pras mengangkat panggilan darinya. Terdengar kekehan dari sekelompok pria di seberang sana. Pras juga terlihat sedang tidak berada di kamarnya, padahal malam sudah semakin larut. "Di mana?" todong Sinar kembali merasa curiga. Satu tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong Qaishar agar putranya itu tetap terlelap. "Apartemen," jawab Pras dengan santai sembari memperbaiki tatanan rambutnya, dengan mel
Lusi mengetuk pintu kamar Sinar dengan terburu. Membuat Sinar tersentak dari tidurnya dan langsung beranjak untuk membukakan pintu."Bu, mas Qai jatuh!"Seketika itu juga, degup jantung Sinar seolah berhenti. Perut yang membola itu pun sempat terasa menegang, tapi tidak dipedulikan oleh Sinar. Pikirannya hanya satu, yakni putranya, Qaishar.“Jatuh di mana?” tanya Sinar kemudian melangkah secepat yang ia bisa untuk mengikuti Lusi yang terlihat panik.“Maaf, Bu.” Lusi berkata dengan kalimat yang bergetar. Bisa-bisa, setelah ini Lusi akan dipecat dan kehilangan pekerjaannya. “Tadi ngejar bola waktu main di depan. Naik tangga teras, terus jatuh, dagunya robek.”“Robek?” Sinar semakin panik. Separuh berlari ketika melewati kolam renang yang menghubungankan dua rumah yang terpisah, depan dan belakang.Tepat di depan ruang kerja Raja, Lusi melihat Ato masuk, dengan seragam kerja yang penuh dengan berc