Sejak Bira diberi izin untuk kembali lagi ke Jakarta, Pras benar-benar terlihat semakin sibuk. Selain melakukan tanggung jawabnya sebagai Presdir Casteel High, Pras juga harus menekan Abhi, agar bisa diberi wewenang yang pantas untuk memegang perusahaan di Singapura. Untuk itu, tidak jarang Pras pulang hingga jam makan malam sudah sangat terlewat.
Pada kenyataannya, memindahkan Abhi ke Singapura ternyata tidak berjalan mulus sesuai rencana. Hal itu mengakibatkan, kepulangan Bira ke Jakarta menjadi semakin larut dari jadwal.
Sementara itu, Sinar mau tidak mau harus membiasakan diri, diantara kesibukan Pras yang benar-benar tidak bisa diganggu gugat. Bahkan, Pras melewatkan dua kali pemeriksaan kehamilan Sinar, karena ada urusan pekerjaan yang benar-benar tidak bisa ditinggalkan.
Beruntung, masih ada Prabu dan July yang bisa menemani sekaligus menjaga Qaishar, ketika Sinar tengah memeriksakan diri ke dokter kandungan. Karena Aida dan Raja pun, belakangan ini juga
Jelang tengah malam, Qaishar merengek seperti biasa. Balita tersebut bangun, untuk meminta jatah ASInya. Yang sudah tidak terlalu memberatkan adalah, Qaishar hanya bangun paling banyak dua kali dalam satu malam untuk meminta jatahnya. Setelah selesai, Sinar pun bisa langsung kembali melelapkan tubuhnya. Tanpa harus bolak balik bangun seperti dahulu kala. Saat Sinar sudah membuka mata, terlihat Pras sudah tertidur tanpa melepas kemeja putihnya terlebih dahulu. Pria itu juga terlihat, masih memakai celana bahan yang biasa digunakannya untuk bekerja. Pras pasti terlalu lelah, sampai-sampai tidak sempat mengganti pakaiannya sama sekali. Kalau sudah seperti ini, Sinar benar-benar tidak tega dan harus bisa mengerti dengan kesibukan sang suami. Tidak ingin membangunkan suaminya, Sinar langsung mengASIhi Qaishar sembari menepuk-nepuk bokong balita, yang tidak pernah berada di satu tempat jika tengah tertidur. Setelah selesai dan Qaishar akhirnya kembali terlelap, Sin
Gelisah, itulah yang dirasakan Sinar ketika hari sudah menjelang malam. Terlebih, ketika tubuhnya telah berbaring, dan sudah berbalut selimut di atas tempat tidur bersama Qaishar. Padahal, setengah jam yang lalu, Sinar dan Pras sudah berkomunikasi melalui video call. Namun, rasa waswas itu tetap saja bersemayam di hatinya. Masih merasa tidak tenang dan tidak bisa memejamkan mata, Sinar kembali mengambil ponsel lalu menghubungi Pras. Sebuah sambungan video call, dengan pasti Sinar tujukan untuk sang suami di seberang sana. Sinar cukup menunggu lama, hingga Pras mengangkat panggilan darinya. Terdengar kekehan dari sekelompok pria di seberang sana. Pras juga terlihat sedang tidak berada di kamarnya, padahal malam sudah semakin larut. "Di mana?" todong Sinar kembali merasa curiga. Satu tangannya sibuk menepuk-nepuk bokong Qaishar agar putranya itu tetap terlelap. "Apartemen," jawab Pras dengan santai sembari memperbaiki tatanan rambutnya, dengan mel
Lusi mengetuk pintu kamar Sinar dengan terburu. Membuat Sinar tersentak dari tidurnya dan langsung beranjak untuk membukakan pintu."Bu, mas Qai jatuh!"Seketika itu juga, degup jantung Sinar seolah berhenti. Perut yang membola itu pun sempat terasa menegang, tapi tidak dipedulikan oleh Sinar. Pikirannya hanya satu, yakni putranya, Qaishar.“Jatuh di mana?” tanya Sinar kemudian melangkah secepat yang ia bisa untuk mengikuti Lusi yang terlihat panik.“Maaf, Bu.” Lusi berkata dengan kalimat yang bergetar. Bisa-bisa, setelah ini Lusi akan dipecat dan kehilangan pekerjaannya. “Tadi ngejar bola waktu main di depan. Naik tangga teras, terus jatuh, dagunya robek.”“Robek?” Sinar semakin panik. Separuh berlari ketika melewati kolam renang yang menghubungankan dua rumah yang terpisah, depan dan belakang.Tepat di depan ruang kerja Raja, Lusi melihat Ato masuk, dengan seragam kerja yang penuh dengan berc
Sudah hampir setengah jam Pras berada di rumah. Pria itu bahkan sudah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya. Namun, istrinya itu tidak kunjung tiba. Qaishar pun tampak sedikit rewel dan tidak ingin meminum ASIP seperti biasanya. Bahkan, Qaishar tidak mau meminum obat yang sudah diresepkan dokter ketika mereka di rumah sakit. Balita itu selalu saja melepehnya dan langsung mengamuk ketika dipaksa. Pras menduga, hal itu karena luka jahitan yang kini membekas di dagunya, karenanya Qaishar jadi bertingkah demikian. Akhirnya, demi mendiamkan sang putra tercinta, Pras membawa Qaishar ke garasi dan membiarkan balita itu bermain sepuasnya di dalam mobil yang diinginkannya. Sementara, Qaishar bermain dengan berbagai tuas yang tersebar di kemudi, Pras mencoba menghubungi Sinar, dan juga Mario secara bergantian. Namun, yang aneh adalah, kedua orang tersebut kompak tidak mengangkat panggilan darinya. Baru saja Pras meletakkan ponselnya pada door pocket, dan h
Pras menatap sendu pada sosok yang sudah dua hari terbaring lemah, di ranjang rumah sakit. Setelah berjuang diantara hidup dan mati, karena mengalami pendarahan postpartum primer pasca melahirkan, Sinar akhirnya mampu bertahan. Namun, wajah pucat itu, masih betah menutup mata, meskipun dokter mengatakan masa kritisnya telah terlewati. Dengan penuh rasa sesal yang begitu dalam, Pras selalu setia berada di samping Sinar setiap detiknya. Ini kedua kalinya, Pras melakukan hal yang sama, hingga membuat sang istri kembali melahirkan tidak sesuai dengan hari perkiraan lahir. Pras kembali menjadi penyebab Sinar terbaring, dengan kondisi yang lebih menyayat hati. “Makan dulu,” ucap seorang wanita yang menyentuh bahu Pras dan sedikit memberi remasan di sana. “Hm.” Hanya gumaman yang diberikan oleh Pras, tanpa berniat pindah sedikit pun dari tempat duduk yang berada di samping ranjang pasien. Kepala Pras mendongak untuk menatap sudut langit-langit, sembari membu
Sinar tidak dapat menahan tumpahan air mata, ketika mendengar penjelasan dokter mengenai keadaaan bayinya. Terisak karena pilu, sekaligus menahan rasa nyeri setelah operasi. “Boleh saya gendong?” pinta Sinar separuh memohon kepada sang dokter. Ibu mana yang tidak tersayat pilu, ketika melihat bayi mungilnya berada di dalam inkubator dengan alat bantu pernapasan yang terpasang di tubuhnya. Putri kecilnya itu lahir prematur, dengan kondisi berat badan lahir rendah. Ditambah, waktu kelahiran yang kurang dari 37 minggu, membuat paru-paru sang bayi belum berkembang secara sempurna. Untuk itulah, sang bayi benar-benar harus mendapatkan perawatan intesif di ruang NICU. Sang dokter yang menangani bayi mungil mereka pun mengangguk. Meminta suster untuk mengambil bayi tersebut dan menyerahkannya ke gendongan Sinar. “Hei, it’s oke,” Pras berjongkok di samping Sinar untuk menenangkan dan memberi kekuatan. “She’s strong and she’ll be fine.” Sinar mencebik
Hari itu, akhirnya putri tercinta Sinar sudah diperbolehkan pulang. Setelah sepuluh hari bergelut dengan semua perawatan, bayi mungil itu kini sudah bisa bernapas mandiri dan kondisinya sudah benar-benar stabil. Setelah ini, yang menjadi pekerjaan rumah bagi Sinar adalah, menaikkan berat badan sang anak, agar bisa terus berada pada standar grafik pertumbuhan yang sehat. Kondisi Sinar pun sudah pulih pasca operasi, meskipun masih dalam mode syarat dan ketentuan berlaku. Yakni, Sinar tidak boleh terlalu lelah dan melakukan hal yang terlalu berat. Asupan gizinya juga sudah tentu harus dijaga dengan baik. Untuk mengurus putri keduanya ini, Pras sudah melonggarkan aturan ketat yang dulu pernah dibuatnya. Karena tidak mungkin, kalau istrinya yang masih dalam tahap pemulihan itu, harus mengurus dua anak sekaligus. Oleh sebab itu, Pras menugaskan Lusi sepenuhnya, untuk menjaga Qaishar. Sedangkan untuk putrinya, Pras masih mencari baby sitter yang
Pras bersedekap tegak. Kedua kakinya terbuka sejajar dengan bahu. Menatap putri yang terlihat lebih mungil, jika dibandingkan dengan Qaishar dahulu kala. Jelas saja semua jauh berbeda, putranya dilahirkan ketika usianya sudah cukup bulan dan normal. Sedangkan putrinya, terlahir ketika usianya belum cukup bulan dan prematur. Namun, bukan di situ letak masalahnya. Namu, lidahnya terkadang merasa kelu, ketika harus memanggil nama putrinya. “Kenapa dilihatin aja?” tanya Sinar setelah keluar dari kamar mandi dan sudah terlihat sangat segar. Meskipun kondisi hatinya masih merasa kesal karena masalah nama putrinya. “Pindahin ke box bayi.” “Nar …” “Hm!” “Aku manggil Binar, bukan Sinar.” Suara berat itu berujar datar, tanpa menolehkan kepalanya pada sang istri sama sekali. Tatapannya tetap tertuju pada sang putri yang masih terlelap puas seusai mandi sore. Sinar yang masih kesal itu, langsung mendatangi Pras. Berhenti di depan sang suami dan me