Sesil mengusap punggung Aylin beberapa kali lantaran gadis itu tak juga kunjung berhenti menangis. Sejak kedatangan Aylin ke kelas gadis itu langsung terisak dan menenggelamkan wajah di meja."Kamu kenapa Ay? Cerita dong."Aylin tetap tidak bergeming renggekannya justru terdengar lebih kencang. Sesil semakin bingung dengan tingkah sahabatnya itu. Aylin yang jarang sekali menampakkan raut sedih membuat Sesil terheran."Huhuhu, hidup memang kejam banget."Lebay sekali! Batin Sesil merinding dengan kalimat puitis Aylin. Ia baru tahu Aylin bisa bersikap alay. Bahkan bulu kuduknya meremang mendengar Aylin."Kamu kenapa? Siapa tahu aku bisa bantu."Sesil masih setia mengusap punggung Aylin. Berharap itu sedikit mengurangi kesedihan Aylin yang terlihat memilukan mata siapa pun yang melihat.Benar saja Aylin bangkit dari kubur. Bukan, Aylin bangkit dari posisinya memamerkan wajah penuh ingus dan mata merah sembab."Ya Tuhan!" teriak Sesil menutup wajah dengan kedua tangan."Sesil!!" teriak Ay
Dua bulan lewat 16 jam 12 menit Enzo menjauhi Aylin dengan beribu alasan. Namun ada yang berbeda dari dirinya. Ada sesuatu yang hilang, begitulah perasaannya. Ia menjadi hampa dan tidak tenang."Bapak mau kemana?" tanya Jayden lantaran ia melihat Enzo nampak tergesa."Pulang."Hanya kata singkat itu yang keluar dari bibir tebal Enzo. "Tapi pak, kan ada pertemuan dengan investor hari ini?" cegah Jayden agar Enzo tidak pergi begitu saja. Sudah terlalu banyak perusahaan dan investor yang membatalkan kerjasama lantaran Enzo yang langsung pergi begitu saja."Kamu urus saja."Lagi, akhir-akhir ini Enzo memang irit berbicara. Entah apa yang membuat Enzo berubah 180 derajat lain dari biasanya.Tidak begitu lama mobil Enzo sudah mendarat di sekolah yang sering ia kunjungi. Ia jadi merasa bersalah lantaran jarang berkunjung. Ia sudah menghubungi pak Karto agar tidak datang menjemput Aylin. Deg! Deg! Deg!"Hadiah, kenapa aku berdebar."Enzo menyentuh dadanya yang tengah bergemuruh. Ada rasa ti
Ting!Ekor mata Aylin tergoda dengan sebuah notifikasi dari benda pipih milik Enzo. Suaminya sedang mampir kesebuah minimarket. Lantaran Aylin yang merenggek lapar. Padahal itu hanya alibi Aylin saja ia terlalu canggung setelah Enzo secara sadar mengecup bibirnya. Astaga! Aylin mengacak rambutnya asal.'By, temenin belanja ya. Bisa kan?'Alis Aylin bertaut membaca notifikasi yang muncul dilayar ponsel. Viola? Wanita itu lagi, seketika sorot mata Aylin berubah menjadi muram.Cklek!Pintu mobil terbuka, Enzo menyembul dari balik pintu. "Nih katanya laper," ucap Enzo menyondorkan seplastik aneka roti, minuman, dan cemilan."Diajak jalan-jalan tuh!"Enzo mengikuti arah telunjuk Aylin yang mengarah pada ponselnya. Dengan bingung Enzo mengetuk ponsel. Nama Viola menjadi notifikasi pertama yang ia baca. "Kamu salah paham." Apa? Salah paham? Mudah sekali laki-laki itu bersilat lidah. Membuat Aylin ingin memukul wajah tanpa dosa itu dengan keras."Apanya yang salah paham. Jelas-jelas dia ng
"Tidak becus!" bentak laki-laki paruh baya kepada Enzo yang menundukkan kepala.Markus menggelengkan kepala heran dengan tingkah putra keduanya. Keluhan beberapa investor tentang Enzo cukup membuat Markus dongkol. Seabsurd apapun Enzo laki-laki itu sangat bertanggung jawab pada pekerjaannya. Berbeda dengan akhir-akhir ini."Maaf Yah, tapi semua dihandle Jayden dengan baik kok."Markus membuang napas kasar. Walaupun ada yang menghandle tapi tetap saja para investor terkadang ingin bertemu dengan Enzo secara langsung tanpa perwakilan. "Gara-gara tingkahmu banyak investor yang membatalkan kerjasama mendadak."Markus duduk di sofa berusaha mengatur napasnya. Menenangkan diri agar emosinya meredam."Jadi aku harus nurut yang mana? Bunda nyuruh njemput Aylin, Ayah nyuruh lembur."Enzo menekan keningnya yang terasa berdenyut. Ia tidak bisa absen menjemput Aylin atau gadis itu akan meraung dan kesal padanya. Tapi ia juga tidak boleh lepas dari urusan kantor."Pak Karto kan ada."Cukup soluti
"Om jangan pergi."Rengek Aylin dengan manja kala mobil mewah yang ia naiki sudah tiba dihalaman rumah. Gadis itu masih saja memeluk tubuh Enzo dengan mesra. "Sayang aku harus pergi," ucap Enzo mencoba melerai pelukan Aylin.Namun gadis itu menggeleng. Ia justru semakin mengeratkan pelukannya. Entah mengapa Aylin merasa berat melepaskan Enzo. Tentu saja karena laki-laki itu sudah mengobrak-abrik pertahanannya. Ah pipi Aylin kembali memerah mengingat ciuman pertamanya beberapa saat yang lalu. Jantungnya pun ikut berdebar kembali."Nanti kamu gak jajan kalau aku gak kerja."Mendengar hal itu Aylin segera bangkit dari tubuh Enzo. "Gampang tinggal minta bunda," sahut Aylin tanpa dosa.Enzo mencubit kedua pipi Aylin serentak. Mudah sekali gadis remaja itu menjawab. Apa tidak pernah terlintas dipikiran Aylin betapa susahnya mencari uang. Mungkin memang pikiran Aylin belum sampai kesana."Kamu masuk ke rumah, aku harus segera pergi."Lagi Enzo membujuk Aylin namun gadis itu kembali bergelay
"Kak sejak kapan kalian memiliki keponakan?" cecar wanita berambut pirang lantaran di cat beberapa hari yang lalu. Memberikan kesan lebih seksi dengan penampilan barunya.Frans mendongakkan kepala kala wanita yang tak asing bagi dirinya itu mendadak muncul di ruangannya. Ia yang begitu fokus tentu merasa terganggu dengan kehadiran wanita itu."Bener kata Enzo kamu memang seenak jidat," sindir Frans bangkit dari kursi dan duduk di sofa tepat disamping Viola yang sedang menyilangkan kaki anggun.Viola lantas terkekeh mendengar ledekan yang justru seakan sedang memuji dirinya. Benar-benar pemikiran wanita yang aneh lain dari yang lainnya. "Maaf aku masuk tanpa permisi," ujarnya kemudian. Ia memang sedikit lancang lantaran tidak mengucapkan kata permisi sama sekali."Ada perlu apa kamu kesini?" tanya Frans to the point. Ia memang bukan laki-laki yang suka mengulur waktu. Apalagi ia tengah sibuk mendesain bangunan yang sedang ia garap.Tidak adik tidak kakak keduanya sama-sama bersifat ke
Enzo meluruskan punggungnya yang terasa bengkok lantaran terlalu lama berkutat didepan komputer. Setelah memastikan bunyi kretek ia baru menyudahi aksinya.Tiba-tiba sekelebat bayangan hitam mengejutkan Enzo. Walaupun samar ia masih bisa melihat karena pintu ruangannya terbuka sedikit. Jantung Enzo terpacu dengan cepat. Dengan langkah waspada ia berjalan mendekati pintu.Tuk! Tuk! Tuk!Mata Enzo semakin membelalak mendengar langkah yang misterius didepan ruangannya. Bulu kuduk Enzo dengan kompak berdiri. Memunculkan keringat dingin yang mencekam. Susah payah Enzo menelan ludah."Ya Tuhan lindungi hamba dari makhluk jadi-jadian," rapal Enzo menutup pintunya. Ia mengurungkan niat untuk membuka pintu. Namun langkah itu kian mendekati dirinya. Enzo membeku kala langkah itu berhenti tepat di depan pintu. Sementara manik mata Enzo melirik jam dinding yang menggantung di dinding. Pantas saja ia merasa horor rupanya sudah pukul 00.00. "Pak Enzo?" Bahkan makhluk jadi-jadian itu semakin isen
"Devin?"Laki-laki pemilik nama itu pun menoleh ke arah sumber suara. Matanya terperanjat melihat gadis yang kini tepat berada dihadapannya."Misel?""Ya ampun, kok kebetulan banget sih kita ketemu disini," ucap Misel dengan ramah. Seolah tidak pernah terjadi apapun diantara mereka berdua."Kamu apa kabar?" tanya Devin berbasa-basi. Semenjak Misel dikeluarkan dari sekolah ia tidak pernah bertemu dengan Misel. Gadis itu menyunggingkan senyum, "Seperti yang kamu lihat.""Maaf, seandainya aku tidak menolak perasaanmu ...""Hei, aku memang salah. Aku pantes dikeluarin dari sekolah," potong Misel tidak ingin Devin menyalahkan diri sendiri.Ia memang tidak menyalahkan Devin. Tapi ia sangat membenci Aylin melebihi siapa pun. Ia masih tidak terima gadis sok polos itu merebut Devin darinya. "Aku gak nyangka kamu sampai pindah apartemen," ucap Devin kembali merasa welas asih pada Misel. Mendengar hal itu Misel kian merana. Apa Devin berniat memojokkan dirinya lantaran sudah berhasil jadian d