Akhirnya, acara resepsi pernikahan Bima dan Tiara selesai digelar ketika matahari sudah meredup. Wajah-wajah lelah terbingkai nyata dari paras kedua keluarga.
“Pak, saya berencana langsung memboyong Tiara, untuk tinggal di rumah saya malam ini juga.”
Bima memulai percakapan saat mereka tengah berkumpul di ruang keluarga melepas lelah setelah acara resepsi dengan berbagai insiden yang sengaja diciptakan Tiara.
“Eh, enggak bisa begitu dong. Aku kan belum kemas-kemas.” Tiara protes sambil memonyong-monyongkan mulutnya yang justru membuat Bima semakin gemas dengan istrinya yang kecil mungil itu.
“Semua pakaianmu sudah ibu bereskan, juga boneka beruang kesayanganmu,” ucap Bu Tardi yang tiba-tiba muncul sambil menyeret koper berisi pakaian Tiara.
Tiara menatap sedih ibunya. Mengapa dia merasa seolah-olah ibunya ingin dia cepat-cepat pergi dari rumah, terasa sekali bahwa kehadirannya benar-benar tak diharapkan.
Tanpa sadar, setetes bening berhasil keluar dari sudut matanya yang segera dihapus karena tak ingin terlihat cengeng.
Tiara menerima boneka beruang yang disodorkan ibunya. Dia teringat kenangan saat memperoleh boneka itu dulu.
Boneka hadiah ulang tahunnya yang ke empat, saat semua kasih sayang ayah dan ibunya masih menjadi miliknya seorang, karena setelah itu, dia bahkan lupa kapan terakhir kali ibunya mengecup kening dan mendongeng untuknya sebelum tidur.
Suara kentut disertai bau yang benar-benar mengotori udara membuat semua mata tertuju pada satu fokus, Tiara!
Suara tawa membahana memenuhi ruangan. Papa Bima terbahak-bahak melihat kelakuan menantunya.
Di sudut lain, orang tua Tiara menggeram marah menahan malu di hadapan besannya.
Mamanya Bima mendekati Tiara, merangkul pundak gadis itu.
“Enggak apa-apa, Sayang. Mama dulu juga waktu nervous tak sengaja kentut terus-menerus.” Tawa papa Bima semakin menggelegar mendengar kata-kata istrinya.
Lalu, mengalirlah cerita bagaimana dulu mama Bima tak sengaja mengeluarkan gas beracun saat duduk di pelaminan dan banyak tamu yang ingin menyalami mereka. “Sama seperti tadi saat Tiara juga mengeluarkan gas beracun saat banyak orang ingin berfoto,” ucap papa Bima, masih dengan tawanya yang membuat bahunya berguncang.
Keluarga Tiara yang sebelumnya khawatir besannya akan tersinggung akhirnya ikut tertawa, membuat Tiara justru salah tingkah. Ternyata usahanya untuk membuat keluarga Bima illfeel ditanggapi santai oleh orang tua Bima.
Benar-benar keluarga yang unik.
Bima menatap istrinya dengan perasaan ... entah.
Dia berharap, tak akan butuh waktu lama untuk menaklukkan gadis keras kepala itu.
Tiara memang gadis yang unik dan langka.
Di saat gadis-gadis yang dikenalnya berusaha menarik perhatian Bima, Tiara justru melakukan hal sebaliknya. Dia berusaha membuat Bima illfeel, tetapi bukan Bima namanya jika ia terpengaruh gaya pecicilan gadis yang usianya delapan tahun lebih muda darinya itu.
Tak ingin kemalaman sampai rumah, Bima akhirnya berpamitan setelah acara cipika cipiki dan pelukan yang membuat air mata Tiara semakin menganak sungai di pipi mulusnya.
Dengan berat hati, Tiara masuk ke dalam mobil sport yang dikendarai Bima, sedang kedua mertuanya menaiki mobil yang lain bersama seorang sopir.
Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman rumah Pak Tardi diiringi lambaian tangan kedua orang tua Tiara dan senyum Dara.
Tiara menggigit bibir bawahnya, menyembunyikan isak yang sedari tadi ingin meledak keluar. Terbiasa tersisihkan dan diabaikan, membuatnya pantang membuang-buang air mata dan memilih tegar.
“Kalau mau nangis, boleh kok, enggak usah malu.” Suara bariton Bima membuat Tiara tersadar dari lamunan yang menyeretnya dalam kenangan menyesakkan.
Tiara sedang malas berdebat. Dia memilih membuang pandangan dan menatap bintang-bintang dari kaca mobil yang sengaja dibiarkan terbuka.
“Halo, hai … kembali bersama saya, Magdalena di radio kesayangan Anda, 102,5 FM. The credible station in town.”
Suara penyiar radio memecah hening di antara mereka.
“Yang mau cerita-cerita atau sekadar berkirim lagu buat seseorang yang disayang, bisa menghubungi line telepon 08123456789 ini, ya.”
Kemudian terdengar suara telepon tersambung yang segera diangkat.
“Halo, siapa, di mana?” Suara Magdalena menyapa si penelepon.
“Halo, saya Bima, lagi ondewey,” jawab Bima.
Tiara spontan menoleh saat menyadari penelepon ke saluran radio lokal itu adalah Bima yang sedang memegang kemudi di sebelahnya.
“Oh, ondewey ke mana nih Mas Bima, mau cerita-cerita atau kirim lagu nih?” tanya Magdalena lagi.
“Mau kirim lagu buat seseorang yang baru beberapa jam jadi istri saya,” jawab Bima mantap.
“Hei, god bless you both. Pengantin baru nih. Semoga langgeng dan segera dapat momongan ya, Mas Bima,” ucap Magdalena terdengar tulus.
Tiara mendelik tak percaya. Tak menyangka seorang Bima mampu melakukan hal konyol dan memalukan itu.
Puluhan telepon kemudian berebutan masuk ke line telepon itu untuk mengucapkan selamat diiringi berbagai macam doa tulus untuk kebahagiaan mereka berdua.
“Oke, Guys. Sekarang kita dengerin bareng-bareng dulu lagu pilihan Mas Bima untuk istrinya, Tiara. Sebuah lagu dari miliknya Virzha dengan judul Aku Lelakimu, akan menemani kalian semua.”
Tanpa sadar, perasaan Tiara menghangat. Apalagi sejak lagu yang di-request Bima mulai mengalun. Dia terharu dan kesal di waktu bersamaan.
Tiara menahan napas, menyimak lagu yang sedang mengalun pelan. Volume yang cukup keras tak mampu menyamarkan gemuruh yang mulai bertalu di relung hati terdalam, membuatnya merasa tak nyaman.
Mungkin pelukku tak sehangat senja
Ucapku tak menghapus air mata
Tetapi ‘ku di sini, sebagai lelakimu.
Akulah yang tetap memelukmu erat
Saat kau berpikir, mungkinkah berpaling
Akulah yang nanti menenangkan badai
Agar tetap tegar, kau berjalan nanti.
Mobil memasuki pekarangan yang sangat luas dengan rumah mewah berdiri kokoh. Terlihat sekali kalau rumah itu dibangun dengan desain khusus yang konsepnya pun sudah dipikirkan oleh empunya rumah.
Mobil berhenti.
“Kita sudah sampai, turun yuk,” ucap Bima sambil mengusap lembut pipi Tiara.
Tiara yang tak sadar memejamkan mata sepanjang jalan tadi, mulai mengumpulkan kesadaran. Mencoba memindai setiap sudut yang akan menjadi rumahnya mulai malam ini.
Bima segera turun dari mobil, membukakan pintu untuk Tiara lalu membuka kap belakang, mengeluarkan koper kecil milik Tiara dan menentengnya masuk.
“Ayo, masuk! Atau kamu mau diam di sana saja semalaman,” ucap Bima saat melihat Tiara mematung.
Tiara segera berlari-lari kecil demi menyejajarkan langkah Bima.
Bima membuka sebuah kamar yang langsung membuat Tiara terpesona.
Untuk ukuran laki-laki, kamar Bima termasuk sangat apik. Nuansa hitam putih lebih mendominasi. Warna favorit Tiara.
Hanya ada sedikit sentuhan oranye di salah satu sudut yang menimbulkan kesan hidup.
Selebihnya, warna-warna alam mendominasi.
Kamar ini menghadap ke halaman belakang, tepat ke taman dan kolam ikan koi dengan air mancur buatan yang menimbulkan gemercik menghadirkan rasa tenang.
Tak terasa, sudah sekitar tiga puluhan menit Tiara berdiri di teras kamar menikmati damai yang disodorkan gemercik air dan bintang-bintang dari kursi malas yang terdapat di situ.
Hawa dingin yang mulai menggelitik tulang, membuatnya beranjak masuk ke kamar.
Matanya berserobok dengan mata elang milik Bima, yang sedang sibuk mengatur bantal untuk mereka berdua.
“Eh, mau ngapain?” Cicitan melengking khas suara Tiara membuat aktivitas Bima yang akan merebahkan diri di kasur urung dilakukan.
“Mau tidurlah.” Bima menjawab dengan polosnya.
“Enggak! Kamu tidur di luar!”
Bima mendelik tak percaya. Astaga, Tiara! Ternyata gadis ini masih saja ingin menguji kesabarannya di tengah malam begini.
“Kita kan sudah menikah, kenapa aku enggak boleh tidur sekamar denganmu?”
“Aku memang enggak bisa tidur dengan orang asing!” jawab Tiara cuek. “Atau kalau kamu mau tetap tidur di kamar ini, biar aku yang pindah kamar!” Tiara mengancam.
Lelah di sekujur tubuh membuat Bima memilih mengalah.
Dibawanya bantal dan selimut keluar kamar dan tidur di kamar sebelah.
“Yaaay …” Tiara berjingkrak senang, merasa menang.
“Aku akan membuatmu menyesal sudah menikahiku, Bima!” ucap Tiara sambil tertawa jahat, merasa puas berhasil mengerjai Bima.
Aroma harum mentega menguar, menyapa hidung Tiara ketika wanita itu menuruni tangga. Padahal saat ini baru pukul enam pagi, tetapi Bima sudah sibuk menata piring di meja makan. Sesekali lelaki besar itu berbalik ke dapur mini di belakangnya untuk mengaduk entah apa di atas kompor.Rambut Bima itu seperti rambut perempuan, meski bergelombang tetapi terawat dan berkilau. Begitu suami Tiara itu berbalik dengan kunciran tingginya dan celemek plastik bergambar Teddy Bear di badannya, tak ayal membuat Tiara tersenyum geli. Bima terlihat menggemaskan.“Assalamualaikum. Guten morgen. Sarapan?” tawar Bima sambil menunjuk sepiring roti bakar dengan selai stroberi yang mengepul panas plus segelas jus jeruk di depan Tiara.“Waalaikum salam. Kelihatannya enak.”“Tentu dong!” Bima tersenyum saat Tiara dengan lahap mengunyah roti dan menyeruput jus jeruk. Tiara tertawa sambil mengacungkan jempol, membuat Bim
Ternyata menjadi lakon untuk drama yang diciptakan sendiri tak semudah bayangan. Bahkan untuk belanja saja Tiara pusing, ia sibuk memperhatikan bandrol harga. Bukannya tak sanggup membayar, tetapi sayang jika harus membeli baju yang mahal.Bosan setiap hari pulang hanya membawa lelah, hari ini bertekad untuk membeli sesuatu. Konter jaket menjadi pilihan. Matanya tertuju pada jaket parasut berwarna hijau tosca yang memang terlihat sangat manis. Ia bersemangat menuju jaket itu, kali ini tanpa peduli banderol harga, ia membelinya.Dalam perjalanan pulang, beberapa kali Mang Ujang, sopir yang mengantar, mencuri pandang pada Tiara melalui kaca spion. Dari pantulan gambarnya, Tiara tampak melamun. Ingin sekadar basa-basi, tetapi bingung harus bagaimana membuka percakapan.Jalanan siang ini cukup ramai, Mang Ujang memutuskan membiarkan saja Tiara melamun, ia takut dianggap ikut campur. Saat sedang konsentrasi di tengah kemacetan, tiba-tiba ia dikagetk
Tiara mengamati sekelilingnya. Ini sudah di kamar. Berarti Bima menggendong dan membaringkannya di tempat tidur tanpa sedikit pun Tiara terbangun.Pukul 04.55 wib. Bima pasti sudah ke musala. Tiara bangkit dari tidurnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Pagi ini dia ingin sekali menyiapkan sarapan yang enak. Khusus untuk Bima. Ehem!Sarapan spageti istimewa dengan segelas jus jeruk segar sudah terhidang di atas meja. Lengkap dengan potongan garlic bread yang menebarkan aroma gurih nan lezat. Tiara tersenyum puas. Ia melepaskan celemek dan segera membereskan meja yang dipakai kerja Bima tadi malam. Mengelompokkan kertas dengan kertas tanpa mengubah susunannya, buku dengan buku, lalu menutup laptop.Hampir pukul enam saat Tiara mendengar pintu pagar di dorong dari luar. Bima pulang. Tiara bergegas naik ke lantai atas, buru-buru masuk ke balik selimutnya.Pura-pura tidur.Tiara senyum-senyum sendiri. Menanti dengan berdebar, apakah dia berh
"Aku dan Tiara sibuk, Pa. Kapan-kapan saja," sergah Bima yang membuat Tiara menghela napas lega. Setidaknya dia dan Bima satu suara kali ini. "Emang kalian berdua sibuk apa sih?" tanya papa Bima santai. Lelaki senja berperawakan mirip Bima minus rambut gondrong plus uban di beberapa bagian rambut itu menyalakan cerutu. Sementara Mama mertua Tiara sedang sibuk di dapur membuatkan minuman. Wanita berwajah hangat itu menolak bantuan Tiara dan menyuruh menantunya tetap duduk di samping Bima. "Papa kan tahu, kita mulai masuk masa panen. Ditambah investor dari Jepang mau datang buat lihat-lihat lahan dan hasil panen jengkol super beberapa bulan lalu. Belum lagi rapat .... " Kata-kata Bima terputus saat papanya mengangkat tangan. "Semua sudah papa limpahkan ke Pak Sastro. Serahkan aja sama kami, Anak Muda." Bima masih ingin mendebat ketika Pak Dwijaya menatap menantunya. "Lalu kamu, Tiara, sibuk apa?" Tiara tergagap, sesaat bingung. "Aku ada kelas me
Bulan madu bagi pasangan suami istri memang manis rasanya. Bagi Bima, berdekatan sepanjang hari, menikmati ekspresi lepas Tiara membuat hatinya hangat. Tiara sendiri sepertinya menikmati kebersamaan mereka, dia banyak tertawa dan malu-malu kalau digandeng dan difoto mesra berdua Bima. "Besok kita jalan-jalan ke pantai, ya. Pengen diving trus snorkeling nih, siapa tahu ketemu ikan duyung yang bisa kuajak pulang dan kujadikan istri kedua," seloroh Bima saat Tiara mencebikkan bibirnya. "Konon ikan duyung cantik dan seksi." "Dugong? Seksi?" Tiara memutar bola mata. "Asal jangan kamu bawa pulang trus kamu sembelih." "Apa aku sekejam itu?" "Kamu kan raksasa yang sadis. Jengkol aja bisa kamu gepret dijadikan kerupuk. Apalagi ikan duyung seksi dan lemah lembut begitu." "Apa kamu bilang? Raksasa? Coba bilang lagi ... coba kalau berani ... hey, Liliput!" Senja yang jatuh jadi saksi saat Tiara cekikikan dan lari meninggalkan Bima. Laki-laki itu m
Masih dengan mengatur degub jantung yang tak beraturan, Bima mengangkat tubuh kecil Tiara. Rasa bersalah karena lupa mengawasi Tiara hingga kejadian ini menimpa, khawatir kehilangan, cemas dengan keadaannya kian berlomba-lomba menelusup dalam dada.Dibaringkannya tubuh basah itu segera kemudian melakukan pertolongan pertama sebisanya, berkali-kali dipanggilnya sang pemilik nama. Namun, terlalu lama tenggelam sepertinya telah merenggut seluruh kesadaran Tiara.Bima menunduk dengan niat memberi napas buatan, hingga wajah mereka tak lagi berjarak, mata yang tadi terpejam kembali terbuka.Tiara yang kaget dengan penampakan wajah Bima tepat di hadapannya segera mendorong sekuat tenaga. "Dasar Rahwana mesum!"Bima tersentak dengan respon Tiara, khawatir yang tadi sempat meraksasa berubah kesal."Harusnya aku yang marah! Kenapa kamu pergi sendirian? Kalau gak bisa berenang ngapain harus main ke tengah air sih! Kenapa enggak manggil aku dulu buat nemenin!"
Di malam terakhir bulan madu mereka berdua. Tiara menyandarkan kepala di bahu kokoh Bima. Entah mengapa kini di sisi Bima Sena ditemuinya nyaman yang membuatnya enggan kehilangan.Dalam dekap tubuh lelaki berdada bidang itu, detak jantung Bima menjadi candu yang selalu menenangkan resahnya. Belaian demi belaian tangan dari Bima berubah menjadi hal yang selalu dinantikannya."Kenapa kamu harus baik kepadaku? Bukankah selama ini aku menyebalkan? Aku selalu berusaha mencipta jarak di antara kita, tapi kau, tak pernah menyerah untuk memutuskannya," ungkap Tiara."Karena kamulah Sinta yang dicari Rahwana. Pertemuan kita seperti roda, tak peduli kita yang berbeda. Kamu di atas, dan aku dibawah. Namun pada putarannya ada temu yang menyatukan kita. Pada dua pilihan selanjutnya yang disajikan untuk kita, bersama atau saling meninggalkan. Aku tetap ingin menjadi satu dalam kebersamaan." Bima menyunggingkan senyum yang lagi-lagi membuat Tiara tersipu untuk ke sekian kaliny
Hamil adalah hal terakhir yang diinginkan Tiara dari pernikahannya dengan Bima. Meski perlahan hatinya mulai luluh pada semua ketulusan lelaki itu, kehamilan adalah hal yang paling tidak dikehendakinya dalam hidup, selain pernikahan yang telanjur dijalani Tiara saat ini. Tiara merasa seperti tengah dipaksa harus memilih antara membenci kehamilan ini atau malah mencintai janin tak berdosa itu. Dia tak ingin terikat lebih lama dengan Bima, atau mungkin, dia juga tak ingin Bima membagi perhatian yang selama ini sangat disukainya. Namun, bagaimanapun bayi di kandungannya tak meminta untuk diciptakan atas kemauan sendiri, Tiara sendiri-lah yang membiarkan semua itu terjadi hingga menghadirkannya. Naluri keibuannya yang mulai muncul tanpa sadar terus mendorong Tiara untuk tetap bertahan. "Sayang, Honey Bunny Stroberi! Sarapan!" seru Bima riang saat masuk kamar dan membawa senampan sarapan berisi dua tangkup roti lapis dan susu hangat. Nampan itu belum menyentuh ran
Bagi Bima, hal tersulit memahami Tiara karena wanita itu begitu tertutup. Tiara hampir tak pernah menceritakan dirinya sendiri dengan sukarela. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Bima pun seringnya hanya dijawab sambil lalu. Sejujurnya, Bima hampir tak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Tiara setiap kali mereka bertengkar, pun saat insiden malam itu.Tiara seperti bawang yang harus dikupas Bima selapis demi selapis untuk mengenal wanita itu. Tak masalah bagi Bima. Hanya saja dia ikut merasa lemah dan tak berdaya saat Tiara menenggelamkan diri dalam lautan luka dan sama sekali enggan menerima uluran tangannya.Sudah seminggu sejak insiden malang itu, seminggu pula tawa dan keceriaan Arjuna tak terdengar di rumah sejak Bima membawa bocah polos itu menginap ke rumah kakek neneknya, papa mama Bima. Lelaki itu sengaja melakukannya agar Tiara bisa menenangkan diri dan fokus kepada Anisa.Tiara juga semakin pendiam. Tidurnya menjauh dan enggan disentuh Bima. Namun be
“Astagfirullah… Den Juna!” "Non Tiara! Nyonya!" Sambil berteriak memanggil Tiara dan Bu Tardi, Bik Yam bergegas mengangkat bantal yang menutup wajah Anissa. Di sampingnya, Arjuna terlihat kesal melihat adiknya ternyata masih bisa menangis. Bocah empat tahun itu beringsut ke pojokan, melihat Bunda dan neneknya yang masuk. Dia memang belum memahami apa yang terjadi, tetapi instingnya sepertinya memberi isyarat bahwa dia harus waspada. "Ada apa, Bik?" Tiara bertanya sambil mengambil Annisa dari dekapan Bik Yam. Melihat napas Annisa tersengal, Tiara mendadak panik. “Ya Allah, Nissa… kamu kenapa, Nak?” "Bik, Nissa kenapa?" Suara Tiara mulai meninggi. "Anu, Neng. Tadi wajah Anissa ketutup bantal!" Dengan sedikit takut dia memberanikan diri menceritakan kondisi Anissa saat tadi ia temukan. Mata Tiara langsung nyalang. Sepertinya dia dapat menduga bahwa itu perbuatan Arjuna. "Juna! Kamu apakan adikmu, hah!" Samb
"Arjuna! Hentikan suara mobil-mobilan kamu itu. Apa kamu nggak lihat kalau adikmu sedang istirahat?""Tidur sendiri sana di kamarmu. Bunda harus tidurin Anissa sekarang.""Handuk baru itu bukan punya kamu, Arjuna! Itu punya adikmu! Kembalikan!"Rasanya Bima sekarang tak asing lagi dengan suara Tiara dalam nada tinggi, marah-marah dan mengomel sepanjang hari. Kehadiran Anissa merampas kewarasan bundanya. Tiara sering uring-uringan. Terutama kepada Arjuna.Bima memutuskan mengambil cuti panjang agar bisa menemani Tiara di rumah dan menjaga Arjuna. Laki-laki kecil berusia empat tahun itu pasti sudah menyadari kalau perhatian bunda kini tidak lagi utuh untuk dirinya. Ada adik Anissa tempat bunda melimpahkan semua sayang. Dan Arjuna mulai merasa kehilangan.Suasana rumah mulai terasa tidak senyaman dulu. Anissa dengan kondisi fisik kecil dan lemah, membuat Tiara over protektif dalam menjaga Anissa sehingga Arjuna merasa terabaikan.Hanya saat Bim
Dua garis.Tiara menyodorkan test pack pada Bima dengan lesu."Aku nggak mau punya anak lagi, Bim.""Tapi kita nggak akan membuangnya, Tiara. Ini hadiah cinta kita. Jangan ditolak ya, Sayang."Tiara menghela napas dalam. Tak berdaya.Hari berganti minggu, pada kehamilan kali ini Bima harus benar-benar menyimpan banyak stok kesabaran untuk menghadapi Tiara.“Bimaaa! Mandi sana! Kamu bau jengkol. Aku gak su- ....” Belum kalimat itu selesai, Tiara sudah menunduk dan memuntahkan kembali segelas susu ibu hamil yang sebelumnya susah payah diteguk untuk mengisi perut.“Tapi aku hari ini enggak nginjak kebun apalagi pegang pohon sama buah jengkolnya, Sayang!” Bima menciumi tangan, pakaian hingga rambutnya sendiri.“Keluaaar!” pekik Tiara keras meski tubuhnya sebenarnya tak berdaya. “Kamu pilih aja, mau ngurus jengkol atau ngurusin aku!”Pasrah, Bima melangkah keluar kamar sebelum T
Bulan madu yang kedua, demi membiarkan Tiara beristirahat dan menghibur diri Bima sengaja menitipkan Arjuna pada kedua orang tuanya. Bima bertekad akan menyembuhkan luka yang telah diberikannya pada Tiara. Tiara tampak lebih segar sejak sampai. Meski beberapa kali sempat mengkhawatirkan Baby Juna, tapi Bima selalu berhasil meyakinkannya untuk cukup bersenang-senang selama liburan mereka. Berbeda dengan honeymoon sebelumnya, kali ini Tiara lebih antusias untuk menikmati kebersamaan dengan raksasa yang berhasil melelehkan gunung es di hatinya. Berbagai rencana telah disusun jauh-jauh hari dengan perasaan bahagia. Di hari pertama, Bima akan mengajak Tiara untuk melihat pianemo sesuai keinginan Tiara. Dengan berbekal ransel, pria itu mengikuti langkah istrinya yang bersemangat saat menaiki anak tangga. Keringat membasahi wajah wanita yang terlihat mungil jika bersanding dengan sang suami. “Biiim, cape!” keluh Tiara saat mereka sudah melewati lebi
"Aku tak boleh bermain ke luar agar kulitku tak berubah kusam. Sedang Tiara, bebas berlarian di luar bersama teman-temannya. Saat aku tak tahan gerah karena rambut yang senantiasa tergerai, ayah ibu melarangku untuk memotongnya. Mereka bilang wanita cantik itu yang rambutnya panjang." Tangan yang tadi terkepal, perlahan tergerak menarik rambutnya yang tergerai. Dililitkannya rambut itu kemudian menarik keras, membuat helai demi helainya berjatuhan ke lantai. Dara benci Tiara yang bahkan tetap terlihat cantik meski dengan rambut pendek!Tiara menatap tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, saat ayah dan ibu selalu memuji kecantikan Dara, kulitnya yang senantiasa putih bersih dan rambut yang tergerai panjang. Kenyataannya ...."Saat Tiara boleh membeli apa yang dia sukai, aku diatur sedemikian rupa. Ayah ibu bilang wanita cantik itu yang anggun penampilannya. Ibu juga bilang berpenampilanlah yang menarik, jangan sampai ketinggalan zaman. Nyatanya, seperti rok bu
Keesokannya, Dara langsung menemui atasannya itu untuk menagih tanggung jawab."Mana cincinnya, Mas?" tagih Dara."Cincin apa, Dara?" Bima sengaja memasang raut datar."Katanya aku disuruh menagih tanggung jawab di sini, sekarang."Kali ini Bima terkekeh, bahunya hingga terguncang mendengar adik iparnya seperti anak kecil menagih permen."Dara, Dara. Mau kamu apa? Kamu mau aku tanggung jawab seperti apa? Menikahi kamu? Bagaimana mungkin aku menikahi gadis yang ditiduri orang lain?""Maksud, Mas? Jangan mencoba lari dari tanggung jawab!""Dengar ini," Bima memutar rekaman suara yang sudah ia sambungkan ke speaker aktif. Terdengar jelas pengakuan Doni, mantan pacar Dara tentang hubungan mereka.Dara mematung mendengar suara Doni dari pengeras suara. Bima menyadari perubahan wajah Dara yang menegang. Entah malu atau mungkin ekspresi lainnya?"Dara, kamu tidak seharusnya merendahkan dirimu seperti ini. Tentang malam itu, aku
Malam merangkak kian larut. Suara jangkrik sebagai satu-satunya pemecah hening. Bik Yam mempersilahkan mereka istirahat, sedang Baby Juna tetap tidur bersamanya.Rasa lelah membuat Bima tak menolak saat Bik Yam, menawarkannya menginap."Aku tidur bareng Bik Yam dan Juna, aja," ucap Tiara."Tapi, Non … kasihan Den Bim….""Gak apa-apa, Bik. Mungkin Tiara masih butuh waktu sendiri," ucap Bima memotong kalimat Bik Yam yang belum tuntas.Tiara sedikit lega. Setidaknya Bima tak memaksakan kehendak yang membuatnya justru semakin terluka.Tak menunggu lama, Tiara segera beranjak. Meninggalkan Bima dan Bik Yam yang masih saling tatap."Ya sudah, Den Bima istirahat dulu. Semoga besok Non Tiara sudah sedikit lebih tenang jadi bisa berpikir jernih," ucap Bik Yam yang hanya di balas anggukan oleh Bima.Bima memijat kepalanya yang mendadak pening.Dia merasa hampir frustrasi menghadapi ketidakpercayaan Tiara padanya.
"Bunda, mau maafin Ayah?" Bima bertanya penuh harap.Tiara bergeming, tapi sikapnya sudah tak sekeras tadi. Ada rasa ingin memaafkan, tapi rasa sakitnya membuatnya sulit melupakan.Lelaki itu merapatkan jaket. Suhu dingin di luar rumah membuatnya cemas. Apa yang akan terjadi pada anak istrinya jika berkeliaran dalam cuaca seekstrim ini?Saat ini sudah malam ketiga Bima menyusuri jalan-jalan kota hingga ke pelosok gang, tetapi tak juga menemukan tanda-tanda Tiara ataupun Juna.Bayangan Tiara dan Juna hidup menggelandang atau bertemu orang jahat membuat Bima bergidik ngeri lalu menggeleng kuat-kuat. Dia harus menemukan anak istrinya malam ini juga.Bima hendak memutar langkah ketika melihat seorang lelaki yang sibuk pamer dan menggoda wanita-wanita di pinggir jalan, tetapi tiba-tiba dia berhenti lalu berbalik.Lelaki itu, lelaki dengan jaket kulit dan tindik di kuping itu sangat tak asing bagi mata Bima.Menahan gusar, Bima menarik paks