Aroma harum mentega menguar, menyapa hidung Tiara ketika wanita itu menuruni tangga. Padahal saat ini baru pukul enam pagi, tetapi Bima sudah sibuk menata piring di meja makan. Sesekali lelaki besar itu berbalik ke dapur mini di belakangnya untuk mengaduk entah apa di atas kompor.
Rambut Bima itu seperti rambut perempuan, meski bergelombang tetapi terawat dan berkilau. Begitu suami Tiara itu berbalik dengan kunciran tingginya dan celemek plastik bergambar Teddy Bear di badannya, tak ayal membuat Tiara tersenyum geli. Bima terlihat menggemaskan.
“Assalamualaikum. Guten morgen. Sarapan?” tawar Bima sambil menunjuk sepiring roti bakar dengan selai stroberi yang mengepul panas plus segelas jus jeruk di depan Tiara.
“Waalaikum salam. Kelihatannya enak.”
“Tentu dong!” Bima tersenyum saat Tiara dengan lahap mengunyah roti dan menyeruput jus jeruk. Tiara tertawa sambil mengacungkan jempol, membuat Bima ikut tertawa. Lelaki itu senang, Tiara kembali ceria setelah semalaman dia mendengar wanita itu menangis di kamar. Ibu Bima pernah bilang, hari pertama menikah dan jauh dari rumah itu berat bagi seorang istri, karena mereka harus meninggalkan hidup nyaman yang telah dijalani puluhan tahun sebelumnya. Jadi, Bima harus memperlakukan Tiara dengan baik.
“Oh iya, aku berangkat kerja setengah jam lagi,” ujar Bima sambil melepas celemek lalu berdiri. “Bisa cuci gelas dan piring bekas sarapanmu nanti, kan?”
“Eh, tu-tunggu, apa-apaan? Masa aku juga yang harus cuci piring? Rumah gedong ini enggak ada pembantu apa?” sergah Tiara saat Bima hendak beranjak.
“Ada pembantu datang lima hari sekali untuk beberes dan ambil pakaian kotor. Sisanya, kita harus mandiri dan urus diri sendiri.”
“Enggak mau!” Tiara berseru sambil berdiri dan menekan kedua tangan di atas meja. “Jadi maksudmu aku yang kudu beberes, cuci piring, bahkan memasak? Emang aku pembantumu?”
Bima berbalik lalu menatap tajam ke arah Tiara, sempat membuat wanita itu bergidik ngeri. Namun, Tiara harus meneguhkan hati. Dia yang harus menabuh genderang perang setiap hari agar memenangkan peperangan.
“Lalu, siapa lagi? Bukannya itu tugas seorang istri?”
Bima menjengit ketika Tiara tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut. Meski bertubuh mungil begitu, tawa Tiara yang cempreng dan dibuat-buat sanggup membuat burung-burung yang sedang santai di pohon akasia samping rumah kabur lantaran merasa terancam.
“Tugas istri, hah? Umurmu berapa, Juragan? Ngajinya udah sampai mana? Masa membedakan tugas istri dan suami aja enggak bisa?” tanya Tiara dengan nada meremehkan yang tak ayal membuat Bima terganggu.
“Tugas istri itu berbakti kepada suami dan … tugas suami itu memenuhi kebutuhan istri! Semuanya, sandang, pangan, papan. Pakaian siap pakai, makanan siap makan, rumah berteduh yang nyaman. Gitu aja enggak tahu, Bos?” ejek Tiara sambil menggoyangkan kepalanya di depan Bima meski dia harus mendongak.
“Oke. Kamu enggak usah ngapa-ngapain. Nanti biar aku yang kerjain semua. Deal?” tanya Bima yang disambut anggukan Tiara.
“Eh, tetapi kamu mau ke mana?”
“Kan tadi udah dibilang mau kerja, Honey!” Bima berbalik dan memaksakan senyum manis yang membuat Tiara bersorak dalam hati. Lelaki raksasa itu sudah mulai kehilangan sabar rupanya.
“Lah, terus aku ngapain? Masa bengong sendiri di rumah? Bosan!” seru Tiara sambil mengempaskan tubuhnya ke sofa lalu menaikkan kedua kaki di atas meja.
Terdengar Bima mendengkus saat mendekati Tiara, lalu menurunkan kedua kaki istrinya perlahan.
“Ini. Di dalam sini ada cukup banyak uang. Pakai sesuai kebutuhan. Kamu bisa belanja, minta ditemani Mang Ujang.” Bima berlutut lalu menyodorkan ATM ke wajah Tiara.
“Oke, tetapi aku belanja apa, ya?” Tanpa sadar Tiara bertanya. Shopping bukan hobinya. ATM itu kalau jatuh di tangan Dara, pasti akan terkuras habis-habisan dan berganti dengan tas-tas berisi barang mahal.
“Tentu saja, belanja semua kebutuhanmu untuk berbakti kepada suami dong,” bisik Bima yang entah kapan sudah memajukan wajahnya hingga berjarak hanya beberapa senti dari Tiara. “Lingerie, G-String, obat kuat, jamu pegel linu ....”
Tanpa sadar Tiara memekik histeris lalu beringsut menjauh sambil meletakkan kedua tangan di depan dada. Sementara Bima sudah beranjak meninggalkannya dengan tawa membahana yang bikin bulu kuduk merinding.
Tiara bersungut kesal, “Dasar Rahwana mesum!” Lalu sebuah kesadaran menamparnya, kembali membuat wanita mungil itu bergidik ngeri. Ya Tuhan! Sepertinya Tiara perlu beli semprotan merica untuk jaga-jaga juga kunci pintu baru untuk menahan Bima yang nekat menerobos masuk kamar saat tak bisa mengendalikan diri.
***
Geraman Bima di lantai bawah membuat Tiara tertawa cekikikan. Puas dia mengerjai Bima beberapa hari ini, minta menu makanan aneh-aneh dan harus dimasak tangan Bima sendiri, bukan beli dari rumah makan.
“Kenapa sih enggak beli makan di luar aja? Toh sama aja makanan, siap makan,” protes Bima saat Tiara menolak mentah-mentah makanan dari restoran Italia yang dibawa Bima.
“Kebanyakan micin dan belum tentu higienis!” Alasan Tiara tentu Cuma dibuat-buat.
Bima tahu benar Tiara hanya mengada-ada dan berniat menjahilinya, tetapi lelaki besar itu tak punya pilihan selain menurut. Bukan, Bima menolak dibilang suami-suami takut istri, malu dong sama otot. Dia menurut semata-mata untuk mendapatkan kemenangan yang lebih manis. Bukankah lelaki sejati mengalah untuk menang? Tiara kelak yang harus bertekuk lutut kepadanya. Bayangan manis itulah yang menguatkan Bima menjalani ‘penindasan’ sang istri.
Maka, hari ini Bima terpaksa harus menahan kesal meladeni belasan cumi-cumi yang terus meletup dan menyerangnya tanpa ampun dari penggorengan. Seolah mereka semua berkomplot dengan Tiara untuk menyusahkannya. Entah besok permintaan aneh apa lagi yang harus dihadapinya.
Tiara berjengit kaget dari ranjang ketika pintu kamar diterobos Bima. Astaga, dia lalai mengunci lima belas gerendel yang sudah dipasangnya minggu lalu. Rahwana KW itu terlihat kusut dengan baju penuh minyak.
“Eh, mau ngapain?” Tiara berseru kaget lalu menutup wajah dengan kedua tangan ketika Bima membuka baju, memamerkan tubuh terawat dan berkotak-kotak yang biasa ada di kemasan minuman berkalsium pria dewasa.
“Ganti baju! Emang mau apa lagi?” sahut Bima santai sambil mencari-cari di dalam lemari. “Kaos bolaku yang biru mana sih? Yang nomor punggung 55.”
“Mana kutahu. Tanya aja sama Bibi kalau dia datang!” sahut Tiara jutek sambil menurunkan suhu AC. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa gerah di kamar ini, apalagi dengan Bima yang hilir mudik bertelanjang dada begitu.
Tiara menutupi wajahnya dengan majalah ketika Bima mendekat. Sebelah tangannya refleks mencari-cari sesuatu di nakas samping tempat tidur ketika tangan Bima terulur membuatnya panas dingin. Wanita mungil itu mendesah frustrasi saat tak menemukan yang dicari dan wajah Bima semakin mendekat, dekat, begitu dekat.
“Astagfirullah hal adzim! Nyebut, nyebut, Tiara. Bima, kamu juga nyebut! Ayo istigfar!” Tiara berseru spontan membuat gerak Bima terhenti dan lelaki itu memandangnya aneh. Detik berikutnya, Bima dengan cuek mengulurkan tangan dan mengambil sesuatu di belakang Tiara. Kaos bola yang langsung dipakainya dengan cepat, membuat Tiara rasa-rasanya ingin sembunyi di kolong ranjang.
“Istigfar kenapa coba? Kamu mikirin apa?” selidik Bima dengan tatapan penasaran yang membuat Tiara membuang muka.
“Enggak apa-apa. Sana, masak lagi! Lain kali jangan keliaran telanjang dada begitu di depanku. Aurat tahu, aurat!”
Kata-kata Tiara kontan membuat Bima terbahak-bahak, sampai-sampai burung kakaktua yang hinggap di jendela terjun bebas saking kagetnya.
“Aurat itu kalau kita bukan mahram. Emang kamu lupa kalau kita udah nikah? Lagian, aku aja udah sering kok lihat kamu ... topless!” goda Bima setengah berbisik di akhir bicara yang membuat Tiara memekik tak terima.
“Kamu ngintipin aku mandi? Bimasena! Kamu enggak ada akhlak!” jerit Tiara murka yang disambut tawa puas Bima lagi.
“Kamu mungkin lupa, kamar ini kamarku dan aku tahu benar seluk-beluk tempat ini lebih dari siapa pun!” ungkap Bima misterius lalu beranjak pergi sebelum Tiara melempar bantal guling ke arahnya.
“Enggak ada akhlak! Dasar Rahwana mesum!”
Ternyata menjadi lakon untuk drama yang diciptakan sendiri tak semudah bayangan. Bahkan untuk belanja saja Tiara pusing, ia sibuk memperhatikan bandrol harga. Bukannya tak sanggup membayar, tetapi sayang jika harus membeli baju yang mahal.Bosan setiap hari pulang hanya membawa lelah, hari ini bertekad untuk membeli sesuatu. Konter jaket menjadi pilihan. Matanya tertuju pada jaket parasut berwarna hijau tosca yang memang terlihat sangat manis. Ia bersemangat menuju jaket itu, kali ini tanpa peduli banderol harga, ia membelinya.Dalam perjalanan pulang, beberapa kali Mang Ujang, sopir yang mengantar, mencuri pandang pada Tiara melalui kaca spion. Dari pantulan gambarnya, Tiara tampak melamun. Ingin sekadar basa-basi, tetapi bingung harus bagaimana membuka percakapan.Jalanan siang ini cukup ramai, Mang Ujang memutuskan membiarkan saja Tiara melamun, ia takut dianggap ikut campur. Saat sedang konsentrasi di tengah kemacetan, tiba-tiba ia dikagetk
Tiara mengamati sekelilingnya. Ini sudah di kamar. Berarti Bima menggendong dan membaringkannya di tempat tidur tanpa sedikit pun Tiara terbangun.Pukul 04.55 wib. Bima pasti sudah ke musala. Tiara bangkit dari tidurnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Pagi ini dia ingin sekali menyiapkan sarapan yang enak. Khusus untuk Bima. Ehem!Sarapan spageti istimewa dengan segelas jus jeruk segar sudah terhidang di atas meja. Lengkap dengan potongan garlic bread yang menebarkan aroma gurih nan lezat. Tiara tersenyum puas. Ia melepaskan celemek dan segera membereskan meja yang dipakai kerja Bima tadi malam. Mengelompokkan kertas dengan kertas tanpa mengubah susunannya, buku dengan buku, lalu menutup laptop.Hampir pukul enam saat Tiara mendengar pintu pagar di dorong dari luar. Bima pulang. Tiara bergegas naik ke lantai atas, buru-buru masuk ke balik selimutnya.Pura-pura tidur.Tiara senyum-senyum sendiri. Menanti dengan berdebar, apakah dia berh
"Aku dan Tiara sibuk, Pa. Kapan-kapan saja," sergah Bima yang membuat Tiara menghela napas lega. Setidaknya dia dan Bima satu suara kali ini. "Emang kalian berdua sibuk apa sih?" tanya papa Bima santai. Lelaki senja berperawakan mirip Bima minus rambut gondrong plus uban di beberapa bagian rambut itu menyalakan cerutu. Sementara Mama mertua Tiara sedang sibuk di dapur membuatkan minuman. Wanita berwajah hangat itu menolak bantuan Tiara dan menyuruh menantunya tetap duduk di samping Bima. "Papa kan tahu, kita mulai masuk masa panen. Ditambah investor dari Jepang mau datang buat lihat-lihat lahan dan hasil panen jengkol super beberapa bulan lalu. Belum lagi rapat .... " Kata-kata Bima terputus saat papanya mengangkat tangan. "Semua sudah papa limpahkan ke Pak Sastro. Serahkan aja sama kami, Anak Muda." Bima masih ingin mendebat ketika Pak Dwijaya menatap menantunya. "Lalu kamu, Tiara, sibuk apa?" Tiara tergagap, sesaat bingung. "Aku ada kelas me
Bulan madu bagi pasangan suami istri memang manis rasanya. Bagi Bima, berdekatan sepanjang hari, menikmati ekspresi lepas Tiara membuat hatinya hangat. Tiara sendiri sepertinya menikmati kebersamaan mereka, dia banyak tertawa dan malu-malu kalau digandeng dan difoto mesra berdua Bima. "Besok kita jalan-jalan ke pantai, ya. Pengen diving trus snorkeling nih, siapa tahu ketemu ikan duyung yang bisa kuajak pulang dan kujadikan istri kedua," seloroh Bima saat Tiara mencebikkan bibirnya. "Konon ikan duyung cantik dan seksi." "Dugong? Seksi?" Tiara memutar bola mata. "Asal jangan kamu bawa pulang trus kamu sembelih." "Apa aku sekejam itu?" "Kamu kan raksasa yang sadis. Jengkol aja bisa kamu gepret dijadikan kerupuk. Apalagi ikan duyung seksi dan lemah lembut begitu." "Apa kamu bilang? Raksasa? Coba bilang lagi ... coba kalau berani ... hey, Liliput!" Senja yang jatuh jadi saksi saat Tiara cekikikan dan lari meninggalkan Bima. Laki-laki itu m
Masih dengan mengatur degub jantung yang tak beraturan, Bima mengangkat tubuh kecil Tiara. Rasa bersalah karena lupa mengawasi Tiara hingga kejadian ini menimpa, khawatir kehilangan, cemas dengan keadaannya kian berlomba-lomba menelusup dalam dada.Dibaringkannya tubuh basah itu segera kemudian melakukan pertolongan pertama sebisanya, berkali-kali dipanggilnya sang pemilik nama. Namun, terlalu lama tenggelam sepertinya telah merenggut seluruh kesadaran Tiara.Bima menunduk dengan niat memberi napas buatan, hingga wajah mereka tak lagi berjarak, mata yang tadi terpejam kembali terbuka.Tiara yang kaget dengan penampakan wajah Bima tepat di hadapannya segera mendorong sekuat tenaga. "Dasar Rahwana mesum!"Bima tersentak dengan respon Tiara, khawatir yang tadi sempat meraksasa berubah kesal."Harusnya aku yang marah! Kenapa kamu pergi sendirian? Kalau gak bisa berenang ngapain harus main ke tengah air sih! Kenapa enggak manggil aku dulu buat nemenin!"
Di malam terakhir bulan madu mereka berdua. Tiara menyandarkan kepala di bahu kokoh Bima. Entah mengapa kini di sisi Bima Sena ditemuinya nyaman yang membuatnya enggan kehilangan.Dalam dekap tubuh lelaki berdada bidang itu, detak jantung Bima menjadi candu yang selalu menenangkan resahnya. Belaian demi belaian tangan dari Bima berubah menjadi hal yang selalu dinantikannya."Kenapa kamu harus baik kepadaku? Bukankah selama ini aku menyebalkan? Aku selalu berusaha mencipta jarak di antara kita, tapi kau, tak pernah menyerah untuk memutuskannya," ungkap Tiara."Karena kamulah Sinta yang dicari Rahwana. Pertemuan kita seperti roda, tak peduli kita yang berbeda. Kamu di atas, dan aku dibawah. Namun pada putarannya ada temu yang menyatukan kita. Pada dua pilihan selanjutnya yang disajikan untuk kita, bersama atau saling meninggalkan. Aku tetap ingin menjadi satu dalam kebersamaan." Bima menyunggingkan senyum yang lagi-lagi membuat Tiara tersipu untuk ke sekian kaliny
Hamil adalah hal terakhir yang diinginkan Tiara dari pernikahannya dengan Bima. Meski perlahan hatinya mulai luluh pada semua ketulusan lelaki itu, kehamilan adalah hal yang paling tidak dikehendakinya dalam hidup, selain pernikahan yang telanjur dijalani Tiara saat ini. Tiara merasa seperti tengah dipaksa harus memilih antara membenci kehamilan ini atau malah mencintai janin tak berdosa itu. Dia tak ingin terikat lebih lama dengan Bima, atau mungkin, dia juga tak ingin Bima membagi perhatian yang selama ini sangat disukainya. Namun, bagaimanapun bayi di kandungannya tak meminta untuk diciptakan atas kemauan sendiri, Tiara sendiri-lah yang membiarkan semua itu terjadi hingga menghadirkannya. Naluri keibuannya yang mulai muncul tanpa sadar terus mendorong Tiara untuk tetap bertahan. "Sayang, Honey Bunny Stroberi! Sarapan!" seru Bima riang saat masuk kamar dan membawa senampan sarapan berisi dua tangkup roti lapis dan susu hangat. Nampan itu belum menyentuh ran
Tiara merasakan ada yang menekan pelan kakinya, membuat terjaga. Sesuatu bersinar di bawah perutnya, dalam kegelapan. Apakah hantu? Wanita itu bergidik saat matanya sudah terbiasa dalam gelap, terlihat sosok putih-putih dengan penutup kepala seperti sedang bicara dengan perutnya. Tiara tercekat, tenggorokannya tiba-tiba kering dan lidahnya kelu. Itu pasti hantu pemakan bayi!Bima. Dia harus memanggil Bima sekarang juga. Ke mana sih lelaki itu saat Tiara butuh? Ketika Tiara sedang berupaya mengeluarkan suara, sosok di dekat kakinya lebih dulu bersuara. Berbisik, bukan dia bernyanyi. Ya, Tuhan! Tiara makin gemetaran. Makhluk itu pasti menyasar bayinya! Tak salah lagi!Tiara berusaha menggerakkan kakinya ketika terdengar deheman dan suara lelaki bicara,"Jago, baik-baik ya di dalam sana. Jadi laki-laki kuat yang tenang. Jangan bikin bundamu kesusahan." Itu suara Bima, bukan hantu pemakan bayi.Tunggu dulu! Darimana Bima yakin coba kalau bayi mereka laki-laki
Bagi Bima, hal tersulit memahami Tiara karena wanita itu begitu tertutup. Tiara hampir tak pernah menceritakan dirinya sendiri dengan sukarela. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Bima pun seringnya hanya dijawab sambil lalu. Sejujurnya, Bima hampir tak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Tiara setiap kali mereka bertengkar, pun saat insiden malam itu.Tiara seperti bawang yang harus dikupas Bima selapis demi selapis untuk mengenal wanita itu. Tak masalah bagi Bima. Hanya saja dia ikut merasa lemah dan tak berdaya saat Tiara menenggelamkan diri dalam lautan luka dan sama sekali enggan menerima uluran tangannya.Sudah seminggu sejak insiden malang itu, seminggu pula tawa dan keceriaan Arjuna tak terdengar di rumah sejak Bima membawa bocah polos itu menginap ke rumah kakek neneknya, papa mama Bima. Lelaki itu sengaja melakukannya agar Tiara bisa menenangkan diri dan fokus kepada Anisa.Tiara juga semakin pendiam. Tidurnya menjauh dan enggan disentuh Bima. Namun be
“Astagfirullah… Den Juna!” "Non Tiara! Nyonya!" Sambil berteriak memanggil Tiara dan Bu Tardi, Bik Yam bergegas mengangkat bantal yang menutup wajah Anissa. Di sampingnya, Arjuna terlihat kesal melihat adiknya ternyata masih bisa menangis. Bocah empat tahun itu beringsut ke pojokan, melihat Bunda dan neneknya yang masuk. Dia memang belum memahami apa yang terjadi, tetapi instingnya sepertinya memberi isyarat bahwa dia harus waspada. "Ada apa, Bik?" Tiara bertanya sambil mengambil Annisa dari dekapan Bik Yam. Melihat napas Annisa tersengal, Tiara mendadak panik. “Ya Allah, Nissa… kamu kenapa, Nak?” "Bik, Nissa kenapa?" Suara Tiara mulai meninggi. "Anu, Neng. Tadi wajah Anissa ketutup bantal!" Dengan sedikit takut dia memberanikan diri menceritakan kondisi Anissa saat tadi ia temukan. Mata Tiara langsung nyalang. Sepertinya dia dapat menduga bahwa itu perbuatan Arjuna. "Juna! Kamu apakan adikmu, hah!" Samb
"Arjuna! Hentikan suara mobil-mobilan kamu itu. Apa kamu nggak lihat kalau adikmu sedang istirahat?""Tidur sendiri sana di kamarmu. Bunda harus tidurin Anissa sekarang.""Handuk baru itu bukan punya kamu, Arjuna! Itu punya adikmu! Kembalikan!"Rasanya Bima sekarang tak asing lagi dengan suara Tiara dalam nada tinggi, marah-marah dan mengomel sepanjang hari. Kehadiran Anissa merampas kewarasan bundanya. Tiara sering uring-uringan. Terutama kepada Arjuna.Bima memutuskan mengambil cuti panjang agar bisa menemani Tiara di rumah dan menjaga Arjuna. Laki-laki kecil berusia empat tahun itu pasti sudah menyadari kalau perhatian bunda kini tidak lagi utuh untuk dirinya. Ada adik Anissa tempat bunda melimpahkan semua sayang. Dan Arjuna mulai merasa kehilangan.Suasana rumah mulai terasa tidak senyaman dulu. Anissa dengan kondisi fisik kecil dan lemah, membuat Tiara over protektif dalam menjaga Anissa sehingga Arjuna merasa terabaikan.Hanya saat Bim
Dua garis.Tiara menyodorkan test pack pada Bima dengan lesu."Aku nggak mau punya anak lagi, Bim.""Tapi kita nggak akan membuangnya, Tiara. Ini hadiah cinta kita. Jangan ditolak ya, Sayang."Tiara menghela napas dalam. Tak berdaya.Hari berganti minggu, pada kehamilan kali ini Bima harus benar-benar menyimpan banyak stok kesabaran untuk menghadapi Tiara.“Bimaaa! Mandi sana! Kamu bau jengkol. Aku gak su- ....” Belum kalimat itu selesai, Tiara sudah menunduk dan memuntahkan kembali segelas susu ibu hamil yang sebelumnya susah payah diteguk untuk mengisi perut.“Tapi aku hari ini enggak nginjak kebun apalagi pegang pohon sama buah jengkolnya, Sayang!” Bima menciumi tangan, pakaian hingga rambutnya sendiri.“Keluaaar!” pekik Tiara keras meski tubuhnya sebenarnya tak berdaya. “Kamu pilih aja, mau ngurus jengkol atau ngurusin aku!”Pasrah, Bima melangkah keluar kamar sebelum T
Bulan madu yang kedua, demi membiarkan Tiara beristirahat dan menghibur diri Bima sengaja menitipkan Arjuna pada kedua orang tuanya. Bima bertekad akan menyembuhkan luka yang telah diberikannya pada Tiara. Tiara tampak lebih segar sejak sampai. Meski beberapa kali sempat mengkhawatirkan Baby Juna, tapi Bima selalu berhasil meyakinkannya untuk cukup bersenang-senang selama liburan mereka. Berbeda dengan honeymoon sebelumnya, kali ini Tiara lebih antusias untuk menikmati kebersamaan dengan raksasa yang berhasil melelehkan gunung es di hatinya. Berbagai rencana telah disusun jauh-jauh hari dengan perasaan bahagia. Di hari pertama, Bima akan mengajak Tiara untuk melihat pianemo sesuai keinginan Tiara. Dengan berbekal ransel, pria itu mengikuti langkah istrinya yang bersemangat saat menaiki anak tangga. Keringat membasahi wajah wanita yang terlihat mungil jika bersanding dengan sang suami. “Biiim, cape!” keluh Tiara saat mereka sudah melewati lebi
"Aku tak boleh bermain ke luar agar kulitku tak berubah kusam. Sedang Tiara, bebas berlarian di luar bersama teman-temannya. Saat aku tak tahan gerah karena rambut yang senantiasa tergerai, ayah ibu melarangku untuk memotongnya. Mereka bilang wanita cantik itu yang rambutnya panjang." Tangan yang tadi terkepal, perlahan tergerak menarik rambutnya yang tergerai. Dililitkannya rambut itu kemudian menarik keras, membuat helai demi helainya berjatuhan ke lantai. Dara benci Tiara yang bahkan tetap terlihat cantik meski dengan rambut pendek!Tiara menatap tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, saat ayah dan ibu selalu memuji kecantikan Dara, kulitnya yang senantiasa putih bersih dan rambut yang tergerai panjang. Kenyataannya ...."Saat Tiara boleh membeli apa yang dia sukai, aku diatur sedemikian rupa. Ayah ibu bilang wanita cantik itu yang anggun penampilannya. Ibu juga bilang berpenampilanlah yang menarik, jangan sampai ketinggalan zaman. Nyatanya, seperti rok bu
Keesokannya, Dara langsung menemui atasannya itu untuk menagih tanggung jawab."Mana cincinnya, Mas?" tagih Dara."Cincin apa, Dara?" Bima sengaja memasang raut datar."Katanya aku disuruh menagih tanggung jawab di sini, sekarang."Kali ini Bima terkekeh, bahunya hingga terguncang mendengar adik iparnya seperti anak kecil menagih permen."Dara, Dara. Mau kamu apa? Kamu mau aku tanggung jawab seperti apa? Menikahi kamu? Bagaimana mungkin aku menikahi gadis yang ditiduri orang lain?""Maksud, Mas? Jangan mencoba lari dari tanggung jawab!""Dengar ini," Bima memutar rekaman suara yang sudah ia sambungkan ke speaker aktif. Terdengar jelas pengakuan Doni, mantan pacar Dara tentang hubungan mereka.Dara mematung mendengar suara Doni dari pengeras suara. Bima menyadari perubahan wajah Dara yang menegang. Entah malu atau mungkin ekspresi lainnya?"Dara, kamu tidak seharusnya merendahkan dirimu seperti ini. Tentang malam itu, aku
Malam merangkak kian larut. Suara jangkrik sebagai satu-satunya pemecah hening. Bik Yam mempersilahkan mereka istirahat, sedang Baby Juna tetap tidur bersamanya.Rasa lelah membuat Bima tak menolak saat Bik Yam, menawarkannya menginap."Aku tidur bareng Bik Yam dan Juna, aja," ucap Tiara."Tapi, Non … kasihan Den Bim….""Gak apa-apa, Bik. Mungkin Tiara masih butuh waktu sendiri," ucap Bima memotong kalimat Bik Yam yang belum tuntas.Tiara sedikit lega. Setidaknya Bima tak memaksakan kehendak yang membuatnya justru semakin terluka.Tak menunggu lama, Tiara segera beranjak. Meninggalkan Bima dan Bik Yam yang masih saling tatap."Ya sudah, Den Bima istirahat dulu. Semoga besok Non Tiara sudah sedikit lebih tenang jadi bisa berpikir jernih," ucap Bik Yam yang hanya di balas anggukan oleh Bima.Bima memijat kepalanya yang mendadak pening.Dia merasa hampir frustrasi menghadapi ketidakpercayaan Tiara padanya.
"Bunda, mau maafin Ayah?" Bima bertanya penuh harap.Tiara bergeming, tapi sikapnya sudah tak sekeras tadi. Ada rasa ingin memaafkan, tapi rasa sakitnya membuatnya sulit melupakan.Lelaki itu merapatkan jaket. Suhu dingin di luar rumah membuatnya cemas. Apa yang akan terjadi pada anak istrinya jika berkeliaran dalam cuaca seekstrim ini?Saat ini sudah malam ketiga Bima menyusuri jalan-jalan kota hingga ke pelosok gang, tetapi tak juga menemukan tanda-tanda Tiara ataupun Juna.Bayangan Tiara dan Juna hidup menggelandang atau bertemu orang jahat membuat Bima bergidik ngeri lalu menggeleng kuat-kuat. Dia harus menemukan anak istrinya malam ini juga.Bima hendak memutar langkah ketika melihat seorang lelaki yang sibuk pamer dan menggoda wanita-wanita di pinggir jalan, tetapi tiba-tiba dia berhenti lalu berbalik.Lelaki itu, lelaki dengan jaket kulit dan tindik di kuping itu sangat tak asing bagi mata Bima.Menahan gusar, Bima menarik paks