Beranda / Romansa / Mutiara Sang Rahwana / Menantu Unik & Keluarga Sempurna

Share

Menantu Unik & Keluarga Sempurna

Penulis: Asy'arie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Ternyata menjadi lakon untuk drama yang diciptakan sendiri tak semudah bayangan. Bahkan untuk belanja saja Tiara pusing, ia sibuk memperhatikan bandrol harga. Bukannya tak sanggup membayar, tetapi sayang jika harus membeli baju yang mahal.

Bosan setiap hari pulang hanya membawa lelah, hari ini bertekad untuk membeli sesuatu. Konter jaket menjadi pilihan. Matanya tertuju pada jaket parasut berwarna hijau tosca yang memang terlihat sangat manis. Ia bersemangat menuju jaket itu, kali ini tanpa peduli banderol harga, ia membelinya.

Dalam perjalanan pulang, beberapa kali Mang Ujang, sopir yang mengantar, mencuri pandang pada Tiara melalui kaca spion. Dari pantulan gambarnya, Tiara tampak melamun. Ingin sekadar basa-basi, tetapi bingung harus bagaimana membuka percakapan.

Jalanan siang ini cukup ramai, Mang Ujang memutuskan membiarkan saja Tiara melamun, ia takut dianggap ikut campur. Saat sedang konsentrasi di tengah kemacetan, tiba-tiba ia dikagetkan dengan Tiara yang terbahak-bahak. Mang Ujang panik, ia mengira Tiara kesurupan setelah tadi melamun.

“Nyebut, Neng. Nyebut.” Mang Ujang berusaha menyadarkan Tiara yang sampai mengeluarkan air mata di sela tawanya.

Tiara terus saja tertawa sambil sesekali mengentakkan kakinya. Mang Ujang semakin bingung, rasanya ingin ikut tertawa, tetapi ini sama sekali tidak lucu. Malah seram menurutnya.

Konsentrasi Mang Ujang terpecah antara jalan macet dan Tiara yang tertawa tak jelas kenapa. Sebisa mungkin Mang Ujang menepikan kendaraan, ia tak bisa jika harus terus berkendara dengan membawa penumpang kesurupan seperti ini.

Akhirnya mobil menepi. Tepat dengan berhasilnya Tiara mengendalikan tawanya.

"Kenapa berhenti, Mang?"

Mang Ujang yang heran juga merasa sekaligus lega, Tiara tampak sudah sadar.

"Neng Tiara barusan kenapa?"

"Hahahaha... aduh, Mang. Aku hampir gila ini rasanya," jawab Tiara yang kembali membuat dahi Mang Ujang berkerut.

"Iya, Neng. Gila karena apa?"

"Jaket, Mang. Jaket ini."

"Kenapa jaketnya?"

"Mang Ujang tau kenapa aku memilih jaket ini?"

"Enggak."

"Jadi, aku punya cerita ini, Mang. Gak tau sedih atau lucu. Waktu itu sih sedih tapi sekarang malah lucu kalo diinget."

"Neng Tiara cerita aja, sambil jalan ya, Neng."

Sambil kembali melajukan kemudi, Mang Ujang mendengar cerita Tiara. Tentang sebuah kenangan waktu remaja, kebetulan Tiara dan adiknya memiliki tanggal lahir yang berdekatan. Setiap ulang tahun, mereka diberi kesempatan memilih kado dengan budget ditentukan. Tentu Tiara harus memilih dengan nominal kembalian dari kado pilihan Dara.

“Harus ngalah sama adikmu, Ra.” Tiara mengulang kalimat ibunya.

“Jadi waktu itu aku kebagian dua ratus ribuan gitu, Mang. Aku pilih-pilih, eh, kok ada jaket. Cek harga, wah masih ada kembalian. Girang banget aku, dapet jaket masih ada sisa budget. Bisa untuk beli yang lain,” cerita Tiara semangat.

“Aku udah bayangin pake jaket warna hijau tosca, pasti keren banget. Dari tempat tunggu, aku lihat ibu menenteng kantong belanja. Saking girangnya aku nurut aja disuruh buka di rumah. Nah, pas sampai rumah, kecewa banget aku, Mang. Ternyata yang dibeli ibu bukan jaket yang tadi aku pilih. Cuma kaos yang enggak ada manis-manisnya,” lanjutnya.

“Nah terus kenapa Neng Tiara malah tertawa tadi?” tanya Mang Ujang penasaran.

“Hahaha ... iya, Mang. Bagaimana aku enggak ngakak, coba. Bayangin aja, jadi ternyata aku tuh salah lihat harga, Mang. Waktu milih jaket itu, aku kira harga cuma lima puluh ribuan. Lah, itu price tag enggak ada titiknya. Bablas aja gitu. Ternyata harganya lima ratus ribu, Mang. Aku enggak bayangin tuh bagaimana malunya ibu waktu di kasir. Sampai rumah ibu nyalahin aku gara-gara itu. Lah, ibu aja juga enggak sadar ya, kan?”

Cerita Tiara habis tepat saat mereka sampai rumah. Rasanya Tiara haus terlalu puas tertawa, ia hendak mengambil minum di dapur. Langkahnya terhenti melihat pemandangan di dapur. Seorang wanita sedang menemani Bima memasak. Tiara bersembunyi di balik dinding, mencuri dengar kedekatan ibu dan anak tersebut.

“Wanita memang susah dimengerti, tetapi jangan mengira tidak bisa disentuh hatinya”

“Tiara itu unik, Ma.”                       

“Ya makanya, kalo unik, pertahankan. Susah lho cari yang unik-unik.”

“Doakan, ya, Ma.”

“Selalu. Biar bagaimana pun, kamu mau istrimu seperti apa, lebih dulu kamu harus menjadi apa yang dia mau. Kasih contoh bagaimana seharusnya ia menyenangkan kamu. Baik buruknya istri tergantung suami. Memang istri adalah jantung rumah tangga, tetapi suami adalah otaknya.”

***

Ini tempat tidur apa ada mantra penghilang kantuk, ya?

Tiara mengeram jengkel. Malam ini kenapa susah sekali lelapnya. Sudah bolak kanan balik kiri, kantuk tak juga singgah.

Tiara mengacak rambutnya kesal. Dipelototinya jam dinding yang berdetak pelan. Jam sebelas malam.

Ada suara dari lantai bawah. Tiara mengernyit. Sepertinya Bima sedang membuat minuman. Suara sendok beradu dengan mug dan suara dispenser yang ditekan. Ah, raksasa satu ini memang mirip Rahwana yang kuat, enggak ada capeknya. Habis dari luar kota, malamnya langsung lembur.

Perlahan Tiara turun dari tempat tidur, berjalan keluar kamar. Mengendap-endap menuruni anak tangga dan duduk di anak tangga ke delapan dari atas. Dari situ Tiara bisa mengamati lewat pantulan cermin yang ditempel jadi aksesoris interior ruang tamu.

Bima tampak santai dengan kaos putih tanpa lengan dan celana pendek abu-abunya. Tubuh kekarnya menjulang dan tampak sangat penuh perlindungan. Rambut gondrong yang diikat dengan karet gelang malah memberi kesan maskulin yang terawat. Tidak ada berewok, janggut, atau kumis yang tumbuh asal-asalan. Meski bukan laki-laki pesolek, tetapi Bima jelas menjaga penampilannya tetap rapi dan bersih.

Samar-samar suara Bima terdengar berdendang mengikuti lagu dari earphone-nya. Tiara menajamkan pendengaran, mencoba mendengar lagu apa yang dinyanyikan Bima.

“Masak-masak sendiri, makan-makan sendiri. Cuci baju sendiri, tidur pun sendiri.”

Mata Tiara membulat menangkap pantulan bayangan Bima yang sedang mengerakkan tubuhnya. Pinggulnya digoyang ke kanan ke kiri, meliuk dengan gaya lucu. Laki-laki besar itu berjoget, berputar, menggoyangkan bahu, sambil membawa mug berisi teh yang masih mengepulkan asap dan menebar wangi menuju meja di ruang tamu. Di atas meja itu berserakan kertas-kertas, buku, dan laptop Bima.

Tiara cepat-cepat mendekap mulut sebelum tawanya menyembur keluar. Geli rasanya melihat Bima yang kekar meliuk bagai penari dangdut sensasional.

Namun, gerakan Tiara tertangkap mata Bima. Bima mengangkat alis, lalu nyengir lebar. Dia mendehem sebelum bertanya.

“Kucing apa maling?”

“Kucing!” spontan balasan Tiara yang langsung menggeplak bibirnya sendiri. “Eh!”

Bima terbahak. Diulurkannya tangan dari bawah tangga, meminta Tiara turun dan bergabung bersamanya.

“Aku enggak bisa tidur,” keluh Tiara jengkel begitu kakinya menjejak lantai bawah. “Padahal rasanya sudah ngantuk.”

“Apa aku mengganggu tidurmu? Suaraku atau jogetku mungkin.”

Tiara tertawa saat Bima mempraktikkan tarian pinggulnya sekali lagi. Laki-laki itu melepaskan earphone-nya sebelah dan menyematkan pada telinga Tiara.

“Aduh ... du, dududu ooo, ingin rasanya diriku. Bercinta seperti dulu. Tetapi kutakut gagal lagi.”

Heh! Pipi Tiara bersemu saat Bima menyanyikan kata-kata itu sambil menatapnya lekat. Cepat-cepat Tiara melepaskan earphone sembari menjulurkan lidah pada Bima.

Tentu tidak semudah itu, Bambang! Sadar kalau mereka belum merajut malam pertama berdua, seketika membuat Tiara bergidik membayangkan tubuh besar itu bersamanya melewati malam. Oh, Tidak! Bisa gempa! Bisa jadi remuk dia nanti! Maka jangan mengundang bahaya, membangunkan macan tidur, bisa-bisa besok pagi dia mesti keramas wajib pula!

“Aku mesti selesaikan semua laporan ini.” Bima menunjuk kertas kerjanya. “Kalau enggak bisa tidur, duduk saja di sini. Atau kamu mau nonton? Ada beberapa film sudah aku d******d.”

“Enggak, ah. Aku pinjam ini aja.” Tiara meraih asal majalah dari rak di bawah meja yang setelah diamati malah cepat-cepat dikembalikan pada Bima. “Enggak jadi.”

Bima tergelak sampai matanya berair. Majalah bertulis FHM –For Him Magazine, majalah laki-laki dewasa dengan gambar perempuan dewasa seksi di bagian sampul membuat pipi Tiara bagai kepiting rebus.

“Majalah ini punya Galung dan katanya kita disuruh belajar dari sini.”

“Belajar apa?”

“Ummm ... entah. Barangkali tentang kostum yang kurang bahan?”

Tiara dan Bima bertatapan lalu terbahak berdua.

“Kamu kerja, deh. Aku temani sampai kantuk datang.” Tiara mengucapkan itu sambil menguap lalu duduk di salah satu sofa, meraih remote TV dan mulai memencet mencari siaran. Bima tersenyum, mengangguk lalu melanjutkan kerjanya.

“Tiara itu unik, Ma.”

Sepotong kata itu tiba-tiba melompat di kepalanya. Tiara spontan memindahkan pandangannya dari TV ke Bima yang sama sekali tidak menyadari itu. Perkataan yang didengarnya saat Bima dan mama mertua sedang memasak di dapur, sedikitnya telah mencuri hati Tiara.

Bima menganggap Tiara unik setelah semua kegilaan yang sengaja Tiara lakukan. Wow. Dan apa kata mama mertua, kalau unik dipertahankan? Sentuh hatinya?

Keluarga macam apa ini? Tiara mendecak, antara bingung dan haru. Bagaimana mereka bisa menerima Tiara dengan semua tingkah ajaib dan konyol yang disengaja selama ini. Kalau dipikir ulang, Tiara jadi malu sendiri. Kekanakan sekali. Namun, balasan dari keluarga Bima justru sekalem ini.

Melihat mama mertua terhadap Bima, rasanya seperti melihat dua sahabat. Mereka begitu dekat. Apa saja bisa dibicarakan. Begitu pun Bima dengan papa mertua. Tiara limbung, ia tidak pernah diperlakukan seperti itu.

Ibu tidak pernah hangat padanya. Bapak juga sama. Pelukan, usapan, kecupan hanya untuk Dara. Bagi Tiara tidak ada yang namanya diskusi, yang ada hanya perintah. Suka atau tidak suka, jalankan saja. Adil tidak adil, lakukan saja. Tidak perlu banyak tanya, tidak ada yang perlu didiskusikan. Orang tua paling tahu apa yang baik dan benar, jadi laksanakan saja. Beda jika posisinya diganti dengan Dara. Semua bisa dibicarakan, semua ada jalan keluar.

“Sudah besar enggak usah manja.”

Tiara tercenung. Betapa rindunya dia pada ibu yang sebelum Dara hadir, begitu mencintainya. Ibu yang selalu mau diajak bicara. Ibu yang memandang Tiara sebagai anak, bukan sebagai kakak Dara.

Ah, luka itu basah lagi.

Bab terkait

  • Mutiara Sang Rahwana   Rencana Mengejutkan

    Tiara mengamati sekelilingnya. Ini sudah di kamar. Berarti Bima menggendong dan membaringkannya di tempat tidur tanpa sedikit pun Tiara terbangun.Pukul 04.55 wib. Bima pasti sudah ke musala. Tiara bangkit dari tidurnya dan bergegas turun ke lantai bawah. Pagi ini dia ingin sekali menyiapkan sarapan yang enak. Khusus untuk Bima. Ehem!Sarapan spageti istimewa dengan segelas jus jeruk segar sudah terhidang di atas meja. Lengkap dengan potongan garlic bread yang menebarkan aroma gurih nan lezat. Tiara tersenyum puas. Ia melepaskan celemek dan segera membereskan meja yang dipakai kerja Bima tadi malam. Mengelompokkan kertas dengan kertas tanpa mengubah susunannya, buku dengan buku, lalu menutup laptop.Hampir pukul enam saat Tiara mendengar pintu pagar di dorong dari luar. Bima pulang. Tiara bergegas naik ke lantai atas, buru-buru masuk ke balik selimutnya.Pura-pura tidur.Tiara senyum-senyum sendiri. Menanti dengan berdebar, apakah dia berh

  • Mutiara Sang Rahwana   Satu Kamar?

    "Aku dan Tiara sibuk, Pa. Kapan-kapan saja," sergah Bima yang membuat Tiara menghela napas lega. Setidaknya dia dan Bima satu suara kali ini. "Emang kalian berdua sibuk apa sih?" tanya papa Bima santai. Lelaki senja berperawakan mirip Bima minus rambut gondrong plus uban di beberapa bagian rambut itu menyalakan cerutu. Sementara Mama mertua Tiara sedang sibuk di dapur membuatkan minuman. Wanita berwajah hangat itu menolak bantuan Tiara dan menyuruh menantunya tetap duduk di samping Bima. "Papa kan tahu, kita mulai masuk masa panen. Ditambah investor dari Jepang mau datang buat lihat-lihat lahan dan hasil panen jengkol super beberapa bulan lalu. Belum lagi rapat .... " Kata-kata Bima terputus saat papanya mengangkat tangan. "Semua sudah papa limpahkan ke Pak Sastro. Serahkan aja sama kami, Anak Muda." Bima masih ingin mendebat ketika Pak Dwijaya menatap menantunya. "Lalu kamu, Tiara, sibuk apa?" Tiara tergagap, sesaat bingung. "Aku ada kelas me

  • Mutiara Sang Rahwana   Mutiara yang Berbeda

    Bulan madu bagi pasangan suami istri memang manis rasanya. Bagi Bima, berdekatan sepanjang hari, menikmati ekspresi lepas Tiara membuat hatinya hangat. Tiara sendiri sepertinya menikmati kebersamaan mereka, dia banyak tertawa dan malu-malu kalau digandeng dan difoto mesra berdua Bima. "Besok kita jalan-jalan ke pantai, ya. Pengen diving trus snorkeling nih, siapa tahu ketemu ikan duyung yang bisa kuajak pulang dan kujadikan istri kedua," seloroh Bima saat Tiara mencebikkan bibirnya. "Konon ikan duyung cantik dan seksi." "Dugong? Seksi?" Tiara memutar bola mata. "Asal jangan kamu bawa pulang trus kamu sembelih." "Apa aku sekejam itu?" "Kamu kan raksasa yang sadis. Jengkol aja bisa kamu gepret dijadikan kerupuk. Apalagi ikan duyung seksi dan lemah lembut begitu." "Apa kamu bilang? Raksasa? Coba bilang lagi ... coba kalau berani ... hey, Liliput!" Senja yang jatuh jadi saksi saat Tiara cekikikan dan lari meninggalkan Bima. Laki-laki itu m

  • Mutiara Sang Rahwana   Terseret Kenangan

    Masih dengan mengatur degub jantung yang tak beraturan, Bima mengangkat tubuh kecil Tiara. Rasa bersalah karena lupa mengawasi Tiara hingga kejadian ini menimpa, khawatir kehilangan, cemas dengan keadaannya kian berlomba-lomba menelusup dalam dada.Dibaringkannya tubuh basah itu segera kemudian melakukan pertolongan pertama sebisanya, berkali-kali dipanggilnya sang pemilik nama. Namun, terlalu lama tenggelam sepertinya telah merenggut seluruh kesadaran Tiara.Bima menunduk dengan niat memberi napas buatan, hingga wajah mereka tak lagi berjarak, mata yang tadi terpejam kembali terbuka.Tiara yang kaget dengan penampakan wajah Bima tepat di hadapannya segera mendorong sekuat tenaga. "Dasar Rahwana mesum!"Bima tersentak dengan respon Tiara, khawatir yang tadi sempat meraksasa berubah kesal."Harusnya aku yang marah! Kenapa kamu pergi sendirian? Kalau gak bisa berenang ngapain harus main ke tengah air sih! Kenapa enggak manggil aku dulu buat nemenin!"

  • Mutiara Sang Rahwana   Takdir Tak Terduga

    Di malam terakhir bulan madu mereka berdua. Tiara menyandarkan kepala di bahu kokoh Bima. Entah mengapa kini di sisi Bima Sena ditemuinya nyaman yang membuatnya enggan kehilangan.Dalam dekap tubuh lelaki berdada bidang itu, detak jantung Bima menjadi candu yang selalu menenangkan resahnya. Belaian demi belaian tangan dari Bima berubah menjadi hal yang selalu dinantikannya."Kenapa kamu harus baik kepadaku? Bukankah selama ini aku menyebalkan? Aku selalu berusaha mencipta jarak di antara kita, tapi kau, tak pernah menyerah untuk memutuskannya," ungkap Tiara."Karena kamulah Sinta yang dicari Rahwana. Pertemuan kita seperti roda, tak peduli kita yang berbeda. Kamu di atas, dan aku dibawah. Namun pada putarannya ada temu yang menyatukan kita. Pada dua pilihan selanjutnya yang disajikan untuk kita, bersama atau saling meninggalkan. Aku tetap ingin menjadi satu dalam kebersamaan." Bima menyunggingkan senyum yang lagi-lagi membuat Tiara tersipu untuk ke sekian kaliny

  • Mutiara Sang Rahwana   Kehamilan yang Merepotkan

    Hamil adalah hal terakhir yang diinginkan Tiara dari pernikahannya dengan Bima. Meski perlahan hatinya mulai luluh pada semua ketulusan lelaki itu, kehamilan adalah hal yang paling tidak dikehendakinya dalam hidup, selain pernikahan yang telanjur dijalani Tiara saat ini. Tiara merasa seperti tengah dipaksa harus memilih antara membenci kehamilan ini atau malah mencintai janin tak berdosa itu. Dia tak ingin terikat lebih lama dengan Bima, atau mungkin, dia juga tak ingin Bima membagi perhatian yang selama ini sangat disukainya. Namun, bagaimanapun bayi di kandungannya tak meminta untuk diciptakan atas kemauan sendiri, Tiara sendiri-lah yang membiarkan semua itu terjadi hingga menghadirkannya. Naluri keibuannya yang mulai muncul tanpa sadar terus mendorong Tiara untuk tetap bertahan. "Sayang, Honey Bunny Stroberi! Sarapan!" seru Bima riang saat masuk kamar dan membawa senampan sarapan berisi dua tangkup roti lapis dan susu hangat. Nampan itu belum menyentuh ran

  • Mutiara Sang Rahwana   Hantu Pemakan Bayi!

    Tiara merasakan ada yang menekan pelan kakinya, membuat terjaga. Sesuatu bersinar di bawah perutnya, dalam kegelapan. Apakah hantu? Wanita itu bergidik saat matanya sudah terbiasa dalam gelap, terlihat sosok putih-putih dengan penutup kepala seperti sedang bicara dengan perutnya. Tiara tercekat, tenggorokannya tiba-tiba kering dan lidahnya kelu. Itu pasti hantu pemakan bayi!Bima. Dia harus memanggil Bima sekarang juga. Ke mana sih lelaki itu saat Tiara butuh? Ketika Tiara sedang berupaya mengeluarkan suara, sosok di dekat kakinya lebih dulu bersuara. Berbisik, bukan dia bernyanyi. Ya, Tuhan! Tiara makin gemetaran. Makhluk itu pasti menyasar bayinya! Tak salah lagi!Tiara berusaha menggerakkan kakinya ketika terdengar deheman dan suara lelaki bicara,"Jago, baik-baik ya di dalam sana. Jadi laki-laki kuat yang tenang. Jangan bikin bundamu kesusahan." Itu suara Bima, bukan hantu pemakan bayi.Tunggu dulu! Darimana Bima yakin coba kalau bayi mereka laki-laki

  • Mutiara Sang Rahwana   Mencintai Dua Lelaki

    Sejak itu, Bima semakin perhatian. Selalu ada kapanpun Tiara membutuhkannya. Tidak akan membuat wanita yang sangat dikasihinya itu merasa terabaikan.Hujan cinta dari Bima membuat Tiara semakin membuka diri. Dia juga sudah mulai terbiasa dengan kandungannya. Sudah seperti calon-calon ibu yang lain yang tak sabar berjumpa buah hatinya.Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, saat itu akhirnya tiba.Tira terpekik saat merasakan ada sesuatu yang pecah di area bawahnya, disusul air yang merembes tanpa mampu ditahan.Dia menggoyang-goyangkan tubuh Bima yang masih tertidur di sampingnya."Bim… Bima, bangun!"Bima yang semalam lembur dan tidur larut, bukannya bangun malah memeluk guling semakin erat."Biiim, bangun!""Hemmm.""Biiim, salabiiim, Banguuuun! Ketubanku pecah!" suara Tiara mulai meninggi, melihat Bima yang tidur kaya kebo.Bima langsung terjaga, mendengar suara Tiara."Ah, eh … apa y

Bab terbaru

  • Mutiara Sang Rahwana   Jangan Pernah Menghilang Lagi!

    Bagi Bima, hal tersulit memahami Tiara karena wanita itu begitu tertutup. Tiara hampir tak pernah menceritakan dirinya sendiri dengan sukarela. Bahkan pertanyaan-pertanyaan Bima pun seringnya hanya dijawab sambil lalu. Sejujurnya, Bima hampir tak pernah benar-benar tahu apa yang dirasakan Tiara setiap kali mereka bertengkar, pun saat insiden malam itu.Tiara seperti bawang yang harus dikupas Bima selapis demi selapis untuk mengenal wanita itu. Tak masalah bagi Bima. Hanya saja dia ikut merasa lemah dan tak berdaya saat Tiara menenggelamkan diri dalam lautan luka dan sama sekali enggan menerima uluran tangannya.Sudah seminggu sejak insiden malang itu, seminggu pula tawa dan keceriaan Arjuna tak terdengar di rumah sejak Bima membawa bocah polos itu menginap ke rumah kakek neneknya, papa mama Bima. Lelaki itu sengaja melakukannya agar Tiara bisa menenangkan diri dan fokus kepada Anisa.Tiara juga semakin pendiam. Tidurnya menjauh dan enggan disentuh Bima. Namun be

  • Mutiara Sang Rahwana   Tak Pantas

    “Astagfirullah… Den Juna!” "Non Tiara! Nyonya!" Sambil berteriak memanggil Tiara dan Bu Tardi, Bik Yam bergegas mengangkat bantal yang menutup wajah Anissa. Di sampingnya, Arjuna terlihat kesal melihat adiknya ternyata masih bisa menangis. Bocah empat tahun itu beringsut ke pojokan, melihat Bunda dan neneknya yang masuk. Dia memang belum memahami apa yang terjadi, tetapi instingnya sepertinya memberi isyarat bahwa dia harus waspada. "Ada apa, Bik?" Tiara bertanya sambil mengambil Annisa dari dekapan Bik Yam. Melihat napas Annisa tersengal, Tiara mendadak panik. “Ya Allah, Nissa… kamu kenapa, Nak?” "Bik, Nissa kenapa?" Suara Tiara mulai meninggi. "Anu, Neng. Tadi wajah Anissa ketutup bantal!" Dengan sedikit takut dia memberanikan diri menceritakan kondisi Anissa saat tadi ia temukan. Mata Tiara langsung nyalang. Sepertinya dia dapat menduga bahwa itu perbuatan Arjuna. "Juna! Kamu apakan adikmu, hah!" Samb

  • Mutiara Sang Rahwana   Arjuna yang Terluka

    "Arjuna! Hentikan suara mobil-mobilan kamu itu. Apa kamu nggak lihat kalau adikmu sedang istirahat?""Tidur sendiri sana di kamarmu. Bunda harus tidurin Anissa sekarang.""Handuk baru itu bukan punya kamu, Arjuna! Itu punya adikmu! Kembalikan!"Rasanya Bima sekarang tak asing lagi dengan suara Tiara dalam nada tinggi, marah-marah dan mengomel sepanjang hari. Kehadiran Anissa merampas kewarasan bundanya. Tiara sering uring-uringan. Terutama kepada Arjuna.Bima memutuskan mengambil cuti panjang agar bisa menemani Tiara di rumah dan menjaga Arjuna. Laki-laki kecil berusia empat tahun itu pasti sudah menyadari kalau perhatian bunda kini tidak lagi utuh untuk dirinya. Ada adik Anissa tempat bunda melimpahkan semua sayang. Dan Arjuna mulai merasa kehilangan.Suasana rumah mulai terasa tidak senyaman dulu. Anissa dengan kondisi fisik kecil dan lemah, membuat Tiara over protektif dalam menjaga Anissa sehingga Arjuna merasa terabaikan.Hanya saat Bim

  • Mutiara Sang Rahwana   Kehamilan yang Melelahkan

    Dua garis.Tiara menyodorkan test pack pada Bima dengan lesu."Aku nggak mau punya anak lagi, Bim.""Tapi kita nggak akan membuangnya, Tiara. Ini hadiah cinta kita. Jangan ditolak ya, Sayang."Tiara menghela napas dalam. Tak berdaya.Hari berganti minggu, pada kehamilan kali ini Bima harus benar-benar menyimpan banyak stok kesabaran untuk menghadapi Tiara.“Bimaaa! Mandi sana! Kamu bau jengkol. Aku gak su- ....” Belum kalimat itu selesai, Tiara sudah menunduk dan memuntahkan kembali segelas susu ibu hamil yang sebelumnya susah payah diteguk untuk mengisi perut.“Tapi aku hari ini enggak nginjak kebun apalagi pegang pohon sama buah jengkolnya, Sayang!” Bima menciumi tangan, pakaian hingga rambutnya sendiri.“Keluaaar!” pekik Tiara keras meski tubuhnya sebenarnya tak berdaya. “Kamu pilih aja, mau ngurus jengkol atau ngurusin aku!”Pasrah, Bima melangkah keluar kamar sebelum T

  • Mutiara Sang Rahwana   Tetaplah Bersinar, Mutiara

    Bulan madu yang kedua, demi membiarkan Tiara beristirahat dan menghibur diri Bima sengaja menitipkan Arjuna pada kedua orang tuanya. Bima bertekad akan menyembuhkan luka yang telah diberikannya pada Tiara. Tiara tampak lebih segar sejak sampai. Meski beberapa kali sempat mengkhawatirkan Baby Juna, tapi Bima selalu berhasil meyakinkannya untuk cukup bersenang-senang selama liburan mereka. Berbeda dengan honeymoon sebelumnya, kali ini Tiara lebih antusias untuk menikmati kebersamaan dengan raksasa yang berhasil melelehkan gunung es di hatinya. Berbagai rencana telah disusun jauh-jauh hari dengan perasaan bahagia. Di hari pertama, Bima akan mengajak Tiara untuk melihat pianemo sesuai keinginan Tiara. Dengan berbekal ransel, pria itu mengikuti langkah istrinya yang bersemangat saat menaiki anak tangga. Keringat membasahi wajah wanita yang terlihat mungil jika bersanding dengan sang suami. “Biiim, cape!” keluh Tiara saat mereka sudah melewati lebi

  • Mutiara Sang Rahwana   Rahasia Besar

    "Aku tak boleh bermain ke luar agar kulitku tak berubah kusam. Sedang Tiara, bebas berlarian di luar bersama teman-temannya. Saat aku tak tahan gerah karena rambut yang senantiasa tergerai, ayah ibu melarangku untuk memotongnya. Mereka bilang wanita cantik itu yang rambutnya panjang." Tangan yang tadi terkepal, perlahan tergerak menarik rambutnya yang tergerai. Dililitkannya rambut itu kemudian menarik keras, membuat helai demi helainya berjatuhan ke lantai. Dara benci Tiara yang bahkan tetap terlihat cantik meski dengan rambut pendek!Tiara menatap tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya, saat ayah dan ibu selalu memuji kecantikan Dara, kulitnya yang senantiasa putih bersih dan rambut yang tergerai panjang. Kenyataannya ...."Saat Tiara boleh membeli apa yang dia sukai, aku diatur sedemikian rupa. Ayah ibu bilang wanita cantik itu yang anggun penampilannya. Ibu juga bilang berpenampilanlah yang menarik, jangan sampai ketinggalan zaman. Nyatanya, seperti rok bu

  • Mutiara Sang Rahwana   Bukan Rok Bunga

    Keesokannya, Dara langsung menemui atasannya itu untuk menagih tanggung jawab."Mana cincinnya, Mas?" tagih Dara."Cincin apa, Dara?" Bima sengaja memasang raut datar."Katanya aku disuruh menagih tanggung jawab di sini, sekarang."Kali ini Bima terkekeh, bahunya hingga terguncang mendengar adik iparnya seperti anak kecil menagih permen."Dara, Dara. Mau kamu apa? Kamu mau aku tanggung jawab seperti apa? Menikahi kamu? Bagaimana mungkin aku menikahi gadis yang ditiduri orang lain?""Maksud, Mas? Jangan mencoba lari dari tanggung jawab!""Dengar ini," Bima memutar rekaman suara yang sudah ia sambungkan ke speaker aktif. Terdengar jelas pengakuan Doni, mantan pacar Dara tentang hubungan mereka.Dara mematung mendengar suara Doni dari pengeras suara. Bima menyadari perubahan wajah Dara yang menegang. Entah malu atau mungkin ekspresi lainnya?"Dara, kamu tidak seharusnya merendahkan dirimu seperti ini. Tentang malam itu, aku

  • Mutiara Sang Rahwana   Rencana Bima

    Malam merangkak kian larut. Suara jangkrik sebagai satu-satunya pemecah hening. Bik Yam mempersilahkan mereka istirahat, sedang Baby Juna tetap tidur bersamanya.Rasa lelah membuat Bima tak menolak saat Bik Yam, menawarkannya menginap."Aku tidur bareng Bik Yam dan Juna, aja," ucap Tiara."Tapi, Non … kasihan Den Bim….""Gak apa-apa, Bik. Mungkin Tiara masih butuh waktu sendiri," ucap Bima memotong kalimat Bik Yam yang belum tuntas.Tiara sedikit lega. Setidaknya Bima tak memaksakan kehendak yang membuatnya justru semakin terluka.Tak menunggu lama, Tiara segera beranjak. Meninggalkan Bima dan Bik Yam yang masih saling tatap."Ya sudah, Den Bima istirahat dulu. Semoga besok Non Tiara sudah sedikit lebih tenang jadi bisa berpikir jernih," ucap Bik Yam yang hanya di balas anggukan oleh Bima.Bima memijat kepalanya yang mendadak pening.Dia merasa hampir frustrasi menghadapi ketidakpercayaan Tiara padanya.

  • Mutiara Sang Rahwana   Tuan Sok Polos

    "Bunda, mau maafin Ayah?" Bima bertanya penuh harap.Tiara bergeming, tapi sikapnya sudah tak sekeras tadi. Ada rasa ingin memaafkan, tapi rasa sakitnya membuatnya sulit melupakan.Lelaki itu merapatkan jaket. Suhu dingin di luar rumah membuatnya cemas. Apa yang akan terjadi pada anak istrinya jika berkeliaran dalam cuaca seekstrim ini?Saat ini sudah malam ketiga Bima menyusuri jalan-jalan kota hingga ke pelosok gang, tetapi tak juga menemukan tanda-tanda Tiara ataupun Juna.Bayangan Tiara dan Juna hidup menggelandang atau bertemu orang jahat membuat Bima bergidik ngeri lalu menggeleng kuat-kuat. Dia harus menemukan anak istrinya malam ini juga.Bima hendak memutar langkah ketika melihat seorang lelaki yang sibuk pamer dan menggoda wanita-wanita di pinggir jalan, tetapi tiba-tiba dia berhenti lalu berbalik.Lelaki itu, lelaki dengan jaket kulit dan tindik di kuping itu sangat tak asing bagi mata Bima.Menahan gusar, Bima menarik paks

DMCA.com Protection Status