Raden tiba di rumah sekitar jam 9 malam, mendapati istrinya sudah tidur pulas di kamar. Laptopnya masih menyala. Barusan dia habis menulis. Karena capek dan sudah tak tahan, dia memilih tidur dan meninggalkan pekerjaannya.
Raden teringat bahwa besok dia ada jadwal pergi ke acara festival pasar muslim tahunan. Ajakan dari Erika semakin menjauh saat dia mengingat kunjungan tadi ke rumah Masayu. Namun, saat dia membuka lemari dan bermaksud mengganti pakaian, dia melihat gamis, baju koko, sarung, dan celana cingkrang. Semuanya merupakan kostum yang dulu sering dia kenakan. Raden menggali memori-memori di kepalanya, mengingat-ingat masa beberapa tahun belakangan saat dia berada pada waktu awal pernikahan bersama Erika. Yang mana saat itu dia benar-benar menjadi seorang manusia yang tegak lurus dalam hal kebaikan. “Semua barang ini milikku?” bisiknya pada dirinya sendiri. Lantas dia pun berpikir tentang acara besok. Apa mungkinKenapa Erika bisa begitu dekat dengan Laura padahal dia cukup banyak kenalan dari teman pengajian? Manusia akan cenderung bergaul dengan sesama mereka saja. Satu frekuensi. Satu visi. Satu pemikiran. Satu hobi. Dari sekian banyak kenalannya, cuma Laura yang dikira sama seperti dirinya. Laura bukan berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Parahnya, dia cuma tamatan SD sehingga membuat dia agak minder kalau bergaul dengan orang lain. Karena pendidikan yang minim, dia cuma bisa bekerja di toko biasa dengan bayaran setengah dari UMR. Erika dan Laura bisa begitu dekat lantaran mereka punya nasib yang sama. Mereka bukanlah tipe wanita yang high class dan gila popularitas. Cenderung tertutup dan tidak suka asal pilih sahabat. Tidak suka main sosmed apalagi buka aurat dan joget-joget. Latar belakang keluarga pun tidak bisa dibanggakan. Namun satu hal yang memperkuat hubungan persahabatan mereka, yakni bersahabat memang tujuann
Erika sebenarnya mungkin tahu, tapi dia justru bertanya, “Apa memangnya alasannya?” Laura sejenak menghela napas sesal dan menjawab dengan nada yang tak enak. “Ya apa lagi kalau bukan karena tentang pendidikan. Ukhti, pria mana yang mau dengan ana yang cuma tamatan SD?” Beberapa tahun terakhir, ketika Laura menjajaki jalan ta’aruf dan mengenal sejumlah pria, dia pasti terhenti tatkala si pria tahu jika Laura tak mengenyam pendidikan yang cukup dulunya. Mereka semua pasti meniggalkan Laura lantaran hal tersebut. Itulah Laura sampai mengatakan alasannya sangat klasik. Tidak lain dan tidak bukan, tentu saja karena pendidikan. Laura sampai kesal ketika dia punya kenalan calon suami tapi tak kunjung sampai akhir, dan dia pun sangat sering berpikir untuk tidak lagi mencoba mencari karena frustasi. Dia mulai jenuh mencari calon pasangan hidup sebab tiap kali dia berusaha, selalu saja digagalkan lantaran si pria tidak mau kalau pu
Kenapa Erika tertarik? Karena kualifikasi yang tertulis di sana adalah minimal tamatan SMA, hafal sepuluh juz Qur’an, hafal lima ratus hadits, dan punya pengalaman mengajar. Dia merasa masuk dalam kriteria guru agama wanita yang sedang dibutuhkan. Ya, dia akan bersaing dengan pelamar lainnya. “Kapan lamaran pekerjaan ini ditutup?” tanyanya pada petugas stan. “Akhir bulan ini,” jawab pria itu. “Masih ada waktu sekitar satu minggu lagi.” “Baiklah. Terima kasih.” Kemudian Erika pun mengajak Laura beranjak dari sana, pulang. Sembari berjalan Laura berkata, “Semoga kau diterima, Ukhti. Aamiin.” Sebagai sahabat, Laura mendoakan yang terbaik buat Erika. Baginya, Erika memang orang yang punya ilmu agama yang baik. Hafalan cukup banyak dan terpenting adalah bisa bahasa Arab, baik membaca kitab maupun berbicara. Menurutnya Erika memang pantas menjadi guru di sekolah, bukan s
Pagi hari itu di Sekolah Dasar Islam Al-Mubarrok. Erika dengan gamis dan jilbab besar warna hitam berjalan memasuki gerbang sekolah. Di sana dia sempat berbicara dengan satpam sekolah sebelum diarahkan ke bagian kepegawaian. Setibanya di sana sekitar jam sembilan kurang tiga puluh. Kebetulan pada saat itu belum ada pendaftar atau pelamar lain yang tiba di sana. Bisa jadi karena lamaran ini telah berlangsung selama tiga minggu dan sisa satu minggu lagi, mungkin sudah banyak peserta yang sudah melamar kemarin-kemarin. Erika tiba lebih cepat. Jam sembilan nanti pintu ruangan tersebut baru dibuka buat para pelamar. Lalu dia pun duduk di kursi yang telah disediakan. Sembari menunggu selama tiga puluh menit, dia membaca Qur'an di mushaf yang selalu dia bawa. Ketika pintu itu dibuka, seorang pria berjenggot tipis menyapanya. “Assalamu'alaikum. Antum mau melamar?” “Waalaikumsalam warahmatullah.” Erika berdiri dan
Hari itu juga Erika langsung menandatangani kontrak kerja selama tiga tahun di SDI Al-Mubarrok. Dennis mendesak Pak Yahya agar prosesnya lebih dipercepat sebab khawatir kalau Erika nantinya malah melamar di tempat lain. “Bagaimana dengan ijazah ana, Pak Yahya? Ana kan cuma tamatan SMA.” Erika terharu sekaligus bingung. Namun, Pak Yahya tidak mungkin keliru dalam mengambil keputusan. “Ijazah mu SMA, tapi ilmu dan keahlian mu setara lulusan sarjana dari Timur Tengah. Itu kata Ustadz Dennis.” Terdengar sangat berlebihan. Meski Erika tak pernah merasa dirinya pintar apalagi dianggap seperti lulusan luar negeri, akan tetapi penilaian orang lain memang begitu, menganggap dia memang lebih dari sekadar tamatan SMA. Dennis melirik Erika sekilas dan berpikir bahwa jika wanita ini saja pintarnya bukan main, lantas bagaimana dengan suaminya? Dia berpikir bahwa bisa jadi suami Erika adalah ustadz atau guru di sekolah.
Setibanya di rumah, Erika segera melaporkan kabar baik ini pada suaminya. Namun, bukannya senang dan bahagia, Raden malah melempar pertanyaan : “Nanti berapa gaji mu di sana?” Dia masih pada posisi selonjoran sambil main HP. “Kata mereka aku akan dapat upah dua juta lima ratus per bulan dengan mengambil dua mata pelajaran.” Raden malah mendengus malas. “Huft. Kecil nian. Tapi ya tidak apa-apa lah. Dari pada menerima upah tidak tentu dari mengajar di musala dekat rumah.” Kenapa Raden tidak begitu antusias ketika mendengar kabar istrinya telah resmi menjadi guru di sekolah? Jawabannya adalah karena dia terlalu sibuk menghitung total kekalahan dia selama ini. Dari tadi dia membaca riwayat permainan selama satu bulan belakangan. Serta memikirkan berapa uang yang harus dia cari. Erika menaruh tasnya di atas meja di dalam kamar tidur. “Kak, apa kau pernah dapat kenalan bernama Dennis di tempat kaj
Pagi harinya di mushala dekat rumah. Pagi yang cerah dengan udara yang sejuk. Pagi yang indah karena mentari baru tampak dari salah satu ufuk. Namun, kesejukan dan keindahan pagi itu tak diiringi dengan suka cita oleh para anak-anak kecil yang sudah sekitar dua tahun ini diajar dan dididik oleh Erika. Wajah mereka tampak muram dan masam saat tahu kabar bahwa hari ini adalah hari terakhir mereka diajar. Anak-anak kecil tersebut tidak bisa menahan rasa sedih meskipun mereka memang terlalu kecil. Mereka tidak terima saat tahu bahwa guru mengaji kesayangan mereka lantas tidak akan mengajar lagi mulai hari ini dan seterusnya. Erika berdiri di hadapan mereka. “Mulai hari ini kalian bisa mencari tempat belajar lain ya. Masih banyak TPA dan juga guru lainnya yang dekat-dekat sini.” Namun, mereka belum bisa menerima kepergian Erika begitu saja. Satu dari puluhan mereka berdiri sambil men
Perpisahan itu pasti tetap terjadi. Keputusan Erika untuk meninggalkan murid-murid kesayangannya tidak bisa diganggu gugat. Apa yang dia tempuh saat ini merupakan sesuatu yang menurutnya sudah baik dan tepat. Meski dia memang amat bersedih, hanya saja kasih sayangnya juga terlampau besar. Melepas mereka merupakan hal sulit, akan tetapi dia berjanji suatu saat nanti, esok hari, mereka pasti berkumpul kembali. Tidak tega, akhirnya Erika membukakan pintu harapan pada anak-anak kecil itu supaya mereka semua tidak larut dalam kesedihan. “Kita pasti akan belajar bareng lagi. Nanti kita atur waktu ya. Mungkin satu minggu sekali.” Mereka yang tadinya sedih dengan wajah tertekuk kini mulai sedikit menerbitkan senyum gembira meskipun cuma mendengar kata satu minggu sekali. “Benar kah, Bu Erika akan mengajar kami lagi?” Murid perempuan itu berbinar matanya. “Aku masih Iqro tiga lho, Bu. Masih lama aku belajarnya. Tolonglah. Aku cuma m