Perpisahan itu pasti tetap terjadi. Keputusan Erika untuk meninggalkan murid-murid kesayangannya tidak bisa diganggu gugat. Apa yang dia tempuh saat ini merupakan sesuatu yang menurutnya sudah baik dan tepat.
Meski dia memang amat bersedih, hanya saja kasih sayangnya juga terlampau besar. Melepas mereka merupakan hal sulit, akan tetapi dia berjanji suatu saat nanti, esok hari, mereka pasti berkumpul kembali. Tidak tega, akhirnya Erika membukakan pintu harapan pada anak-anak kecil itu supaya mereka semua tidak larut dalam kesedihan. “Kita pasti akan belajar bareng lagi. Nanti kita atur waktu ya. Mungkin satu minggu sekali.” Mereka yang tadinya sedih dengan wajah tertekuk kini mulai sedikit menerbitkan senyum gembira meskipun cuma mendengar kata satu minggu sekali. “Benar kah, Bu Erika akan mengajar kami lagi?” Murid perempuan itu berbinar matanya. “Aku masih Iqro tiga lho, Bu. Masih lama aku belajarnya. Tolonglah. Aku cuma mDan hari itu pun tiba. Hari di mana Erika resmi untuk kali pertama berstatus sebagai guru. Baginya hari ini adalah salah satu hari terindah di dalam hidupnya. Betapa tidak, ada banyak orang di luar sana yang ingin jadi seperti dirinya tapi belum kesampaian. Banyak orang di luar sana yang mau jadi guru namun belum juga tercapai. Oh, sudah sepantasnya Erika bersyukur pada Allah karena telah diberikan karunia ini dan dia pun mesti berjanji agar menjadi seorang guru yang amanah nantinya. Dia telah diberikan kesempatan, maka dari itu dia tidak boleh menyianyiakannya. Dan hebatnya lagi, ketika berjumpa dengan murid-murid barunya, dia begitu antusias menyambutnya, dan sungguh bersemangat dalam proses perkenalan. Dengan cepat Erika mampu mengambil hati anak-anak kecil itu dengan senyum dan sapa yang sangat ramah. Seperti punya aura tersendiri, dia bisa memikat hati para muridnya dalam waktu cepat sehingga suasana kelas pun terasa h
Setelah menguntit dari tadi dan melakukan pengawasan dari jauh, pada akhirnya Rani pun tahu bahwa sepertinya memang ada yang tidak beres. ‘Erika sangat dekat dengan Dennis. Apa hubungan di antara mereka berdua? Padahal bukankah Erika sudah punya suami?’ Tidak puas mengintai dari jauh, Rani pun beranjak dari sana dan menuju kantin sekolah. Dia sengaja dan pura-pura tidak tahu tentang keberadaan Dennis dan Erika di sana, padahal dia bisa mendengar dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Rani begitu fokus mendengarkan apa yang saat ini dibicarakan oleh dua orang itu. Erika tadi ditawari makan oleh Dennis tapi dia menolak. Dia cuma pesan minum saja. “Alhamdulillah hari ini lancar dan tidak ada masalah,” kata Erika pada Dennis. Mendengar itu, Dennis bernapas lega. “Syukurlah kalau begitu. Semoga antum betah dan nyaman ya dengan dua kelas yang antum ajar.” Erika menganggukkan kepala. “Aamiin.
“Erika, kita sudah tiga tahun menikah. Tapi sampai saat ini kita masih belum juga mempunyai anak. Aku sudah habis duit banyak untuk promil dan semacamnya supaya kau bisa mengandung. Ah, semua tidak ada hasilnya. Kita tidak akan pernah punya keturunan.” Erika terpekur saat mendengar kata-kata yang menghujam keras sampai ke lubuk hatinya. Sebagai istri, dia merasa sangat terpukul setelah mendengar ucapan kasar seperti itu. Setelah sekian lama menahan hati dan bersabar, akhirnya Raden tidak bisa lagi untuk tidak bicara pada Erika tentang keadaan yang begitu pelik. Erika menarik napas dalam-dalam. Dalam keadaan menunduk, dia bicara. “Kak Raden, ini adalah cobaan dari Tuhan untuk kita berdua. Banyak orang di luar sana yang juga diberikan cobaan seperti kita.” Namun, Raden tidak bisa lagi terus-terusan mendengar ucapan lembut semacam itu lagi. Lantas dia menyentak, “Kemarin aku sudah pergi ke rumah sakit dan memeriksa sperma-ku. Berdasarkan pemeriksaan dari dokter ternyata tidak ada ma
“Ibu Erika mengidap gangguan autoimun : Lupus.” Dokter itu bicara pada Raden. “Hal yang sangat kami sayangkan adalah kenapa baru sekarang beliau dibawa ke rumah sakit guna dilakukan pemeriksaan. Jika beliau sudah sejak dulu diperiksa dan diobati, mungkin dampaknya tidak akan begitu besar.” Mendengar penjelasan tersebut, dada Raden bergoncang. Lupus? Penyakit mematikan seperti kanker? Yang jadi pertanyaan adalah kenapa baru sekarang Raden mengetahuinya? Andai saja dari dulu Raden tahu kalau Erika mengidap Lupus, dia tidak akan pernah mau menjadikan Erika sebagai istri. Setahu dia, lupus akan mengakibatkan seorang wanita akan sulit hamil, meskipun peluang untuk hamil tetap ada tapi sangat kecil. Beberapa tanda yang ada pada Erika dianggap biasa saja dan tidak pernah pula Raden mengkhawatirkannya. Seperti Erika lebih sering lesu. Raden pikir itu memang bawaan fisiknya dan juga pribadinya yang kalem. Atau seperti rambutnya yang gampang rontok. Hal tersebut bukanlah hal aneh b
Erika membaca lagi laporan hasil pemeriksaan yang ada di tangannya sambil menangis. Fisik dan raut wajahnya tampak melemah. Tapi dia punya jiwa yang kuat meskipun ujian yang amat berat semakin membuatnya tertekan. Dia tetap seperti biasanya menjadi seorang istri yang lemah lembut dan bersabar. Erika menguatkan diri walaupun perkataannya begitu lirih, “Aku ikhlas menerima apa pun yang Tuhan berikan kepadaku. Aku ridho menerima penyakit ini. Aku yakin aku bisa menjalaninya karena Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan yang tidak disanggupi hamba-Nya.” Biasanya suaminya selalu tersentuh hati ketika dia bicara seperti demikian. Namun sekarang suasana hati suaminya begitu kacau sehingga apa pun yang dia katakan terasa tak berguna. Omongan Erika seperti angin lalu. Sebaliknya, Raden malah membentaknya. “Ini bukan cobaan, tapi siksaan!” Erika terhenyak dan putih matanya sedikit melebar. “Kak Raden, kau tidak boleh bicara seperti itu. Astaghfirullah.” Raden ampai meracau, “Tuhan sedan
Kebetulan sekarang Erika tidak sedang berada di rumah. Dia mengikuti kajian rutin mulai dari selepas ashar sampai selesai maghrib. Begitu mertua dan iparnya tahu bahwa dia rupanya menderita Lupus dan kemungkinan besar tidak akan bisa hamil, mereka benar-benar kaget dengan ekspresi beragam. Mertuanya menghela napas panjang seraya menyandarkan punggungnya. “Astaga! Kenapa baru sekarang kita menyadarinya?” Adik iparnya menggelengkan kepala dengan raut wajah terkejut. “Iparku penyakitan? Perasaan, dia seperti biasa saja dan tidak tampak seperti penderita Lupus. Aneh.” Sementara ibu mertuanya sangat syok. Dia membelalakan mata dan mulutnya menganga. Dan dia adalah orang yang paling cerewet di antara kami. “Erika tidak bisa hamil? Apa? Selama ini aku punya menantu mandul?” Ibu mertuanya adalah orang yang paling bersemangat ingin segera punya cucu. Selama tiga tahun dia sangat sering berbicara dengan orang di rumah tentang keinginannya menggendong cucu pertama. Namun hingga saat ini
Pagi hari ini Erika sebetulnya hendak keluar rumah beraktivitas seperti biasa, yakni mengajar tahsin di mushala dekat sini. Dia jadi guru mengaji bagi anak-anak kecil dari usia empat sampai dua belas tahun. Tidak terlalu mengharapkan upah yang tak seberapa, dia cuma ingin dapat menyalurkan ilmu yang telah dia kuasai kepada orang lain agar lebih bermanfaat.Namun, saat dia baru saja melewati ruang tamu di depan, dia disahuti oleh ibu mertuanya. “Erika, kenalkan, dia Masayu. Oh, kau mau berangkat kerja ya. Tunggu dulu. Kita butuh ngobrol sebentar. Tidak lama kok. Palingan lima menit.”Erika tidak mungkin menolak walaupun dia tahu kalau apa yang terjadi nanti bakalan mengusik hatinya. “Baiklah, Bu,” ucapnya dengan kepolosan seperti biasanya.Selama satu bulan ini ibu mertuanya selalu menahan hati ketika mesti terus-terusan satu rumah dengan dirinya. Akan tetapi, Molek tidak mungkin juga untuk langsung secara terang-terangan mengusirnya dari sini sebab ayah mertuanya sudah memberikan l
Molek lantas menggerenyotkan bibir lalu mengoceh. “Erika kena penyakit Lupus bertahun-tahun.” Dia menceritakan apa yang sudah diketahui oleh Masayu. “Erika tidak akan pernah bisa punya anak keturunan. Sementara aku sangat ingin punya cucu. Masayu, wanita mana pun tidak mungkin bisa ikhlas kalau punya menantu yang mandul. Bukankah begitu?” Masayu satu frekuensi dengan Molek dan sangat bertolak belakang dengan kepribadian Erika. Masayu mengerutkan bibir lalu mengomel, “Aku tidak akan pernah sudi punya menantu mandul, Bu. Kalau aku jadi Ibu, sudah aku usir dia dari rumah ini.” Tampak dua pangkal alis Masayu bertemu dan matanya menyiratkan rasa sinis yang mendalam. Jika Erika lebih kalem, pendiam, dan introvert, maka sebaliknya, Masayu lebih bergairah, cerewet, dan ekstrovert. Masayu mencerocos sesuka hati mengiyakan semua ocehan ibuku. “Kak Raden, kau orang Palembang kenapa mau jadi suami wanita dusun? Kau sarjana dan dia c