Kenapa Erika bisa begitu dekat dengan Laura padahal dia cukup banyak kenalan dari teman pengajian?
Manusia akan cenderung bergaul dengan sesama mereka saja. Satu frekuensi. Satu visi. Satu pemikiran. Satu hobi. Dari sekian banyak kenalannya, cuma Laura yang dikira sama seperti dirinya. Laura bukan berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Parahnya, dia cuma tamatan SD sehingga membuat dia agak minder kalau bergaul dengan orang lain. Karena pendidikan yang minim, dia cuma bisa bekerja di toko biasa dengan bayaran setengah dari UMR. Erika dan Laura bisa begitu dekat lantaran mereka punya nasib yang sama. Mereka bukanlah tipe wanita yang high class dan gila popularitas. Cenderung tertutup dan tidak suka asal pilih sahabat. Tidak suka main sosmed apalagi buka aurat dan joget-joget. Latar belakang keluarga pun tidak bisa dibanggakan. Namun satu hal yang memperkuat hubungan persahabatan mereka, yakni bersahabat memang tujuannErika sebenarnya mungkin tahu, tapi dia justru bertanya, “Apa memangnya alasannya?” Laura sejenak menghela napas sesal dan menjawab dengan nada yang tak enak. “Ya apa lagi kalau bukan karena tentang pendidikan. Ukhti, pria mana yang mau dengan ana yang cuma tamatan SD?” Beberapa tahun terakhir, ketika Laura menjajaki jalan ta’aruf dan mengenal sejumlah pria, dia pasti terhenti tatkala si pria tahu jika Laura tak mengenyam pendidikan yang cukup dulunya. Mereka semua pasti meniggalkan Laura lantaran hal tersebut. Itulah Laura sampai mengatakan alasannya sangat klasik. Tidak lain dan tidak bukan, tentu saja karena pendidikan. Laura sampai kesal ketika dia punya kenalan calon suami tapi tak kunjung sampai akhir, dan dia pun sangat sering berpikir untuk tidak lagi mencoba mencari karena frustasi. Dia mulai jenuh mencari calon pasangan hidup sebab tiap kali dia berusaha, selalu saja digagalkan lantaran si pria tidak mau kalau pu
Kenapa Erika tertarik? Karena kualifikasi yang tertulis di sana adalah minimal tamatan SMA, hafal sepuluh juz Qur’an, hafal lima ratus hadits, dan punya pengalaman mengajar. Dia merasa masuk dalam kriteria guru agama wanita yang sedang dibutuhkan. Ya, dia akan bersaing dengan pelamar lainnya. “Kapan lamaran pekerjaan ini ditutup?” tanyanya pada petugas stan. “Akhir bulan ini,” jawab pria itu. “Masih ada waktu sekitar satu minggu lagi.” “Baiklah. Terima kasih.” Kemudian Erika pun mengajak Laura beranjak dari sana, pulang. Sembari berjalan Laura berkata, “Semoga kau diterima, Ukhti. Aamiin.” Sebagai sahabat, Laura mendoakan yang terbaik buat Erika. Baginya, Erika memang orang yang punya ilmu agama yang baik. Hafalan cukup banyak dan terpenting adalah bisa bahasa Arab, baik membaca kitab maupun berbicara. Menurutnya Erika memang pantas menjadi guru di sekolah, bukan s
Pagi hari itu di Sekolah Dasar Islam Al-Mubarrok. Erika dengan gamis dan jilbab besar warna hitam berjalan memasuki gerbang sekolah. Di sana dia sempat berbicara dengan satpam sekolah sebelum diarahkan ke bagian kepegawaian. Setibanya di sana sekitar jam sembilan kurang tiga puluh. Kebetulan pada saat itu belum ada pendaftar atau pelamar lain yang tiba di sana. Bisa jadi karena lamaran ini telah berlangsung selama tiga minggu dan sisa satu minggu lagi, mungkin sudah banyak peserta yang sudah melamar kemarin-kemarin. Erika tiba lebih cepat. Jam sembilan nanti pintu ruangan tersebut baru dibuka buat para pelamar. Lalu dia pun duduk di kursi yang telah disediakan. Sembari menunggu selama tiga puluh menit, dia membaca Qur'an di mushaf yang selalu dia bawa. Ketika pintu itu dibuka, seorang pria berjenggot tipis menyapanya. “Assalamu'alaikum. Antum mau melamar?” “Waalaikumsalam warahmatullah.” Erika berdiri dan
Hari itu juga Erika langsung menandatangani kontrak kerja selama tiga tahun di SDI Al-Mubarrok. Dennis mendesak Pak Yahya agar prosesnya lebih dipercepat sebab khawatir kalau Erika nantinya malah melamar di tempat lain. “Bagaimana dengan ijazah ana, Pak Yahya? Ana kan cuma tamatan SMA.” Erika terharu sekaligus bingung. Namun, Pak Yahya tidak mungkin keliru dalam mengambil keputusan. “Ijazah mu SMA, tapi ilmu dan keahlian mu setara lulusan sarjana dari Timur Tengah. Itu kata Ustadz Dennis.” Terdengar sangat berlebihan. Meski Erika tak pernah merasa dirinya pintar apalagi dianggap seperti lulusan luar negeri, akan tetapi penilaian orang lain memang begitu, menganggap dia memang lebih dari sekadar tamatan SMA. Dennis melirik Erika sekilas dan berpikir bahwa jika wanita ini saja pintarnya bukan main, lantas bagaimana dengan suaminya? Dia berpikir bahwa bisa jadi suami Erika adalah ustadz atau guru di sekolah.
Setibanya di rumah, Erika segera melaporkan kabar baik ini pada suaminya. Namun, bukannya senang dan bahagia, Raden malah melempar pertanyaan : “Nanti berapa gaji mu di sana?” Dia masih pada posisi selonjoran sambil main HP. “Kata mereka aku akan dapat upah dua juta lima ratus per bulan dengan mengambil dua mata pelajaran.” Raden malah mendengus malas. “Huft. Kecil nian. Tapi ya tidak apa-apa lah. Dari pada menerima upah tidak tentu dari mengajar di musala dekat rumah.” Kenapa Raden tidak begitu antusias ketika mendengar kabar istrinya telah resmi menjadi guru di sekolah? Jawabannya adalah karena dia terlalu sibuk menghitung total kekalahan dia selama ini. Dari tadi dia membaca riwayat permainan selama satu bulan belakangan. Serta memikirkan berapa uang yang harus dia cari. Erika menaruh tasnya di atas meja di dalam kamar tidur. “Kak, apa kau pernah dapat kenalan bernama Dennis di tempat kaj
Pagi harinya di mushala dekat rumah. Pagi yang cerah dengan udara yang sejuk. Pagi yang indah karena mentari baru tampak dari salah satu ufuk. Namun, kesejukan dan keindahan pagi itu tak diiringi dengan suka cita oleh para anak-anak kecil yang sudah sekitar dua tahun ini diajar dan dididik oleh Erika. Wajah mereka tampak muram dan masam saat tahu kabar bahwa hari ini adalah hari terakhir mereka diajar. Anak-anak kecil tersebut tidak bisa menahan rasa sedih meskipun mereka memang terlalu kecil. Mereka tidak terima saat tahu bahwa guru mengaji kesayangan mereka lantas tidak akan mengajar lagi mulai hari ini dan seterusnya. Erika berdiri di hadapan mereka. “Mulai hari ini kalian bisa mencari tempat belajar lain ya. Masih banyak TPA dan juga guru lainnya yang dekat-dekat sini.” Namun, mereka belum bisa menerima kepergian Erika begitu saja. Satu dari puluhan mereka berdiri sambil men
Perpisahan itu pasti tetap terjadi. Keputusan Erika untuk meninggalkan murid-murid kesayangannya tidak bisa diganggu gugat. Apa yang dia tempuh saat ini merupakan sesuatu yang menurutnya sudah baik dan tepat. Meski dia memang amat bersedih, hanya saja kasih sayangnya juga terlampau besar. Melepas mereka merupakan hal sulit, akan tetapi dia berjanji suatu saat nanti, esok hari, mereka pasti berkumpul kembali. Tidak tega, akhirnya Erika membukakan pintu harapan pada anak-anak kecil itu supaya mereka semua tidak larut dalam kesedihan. “Kita pasti akan belajar bareng lagi. Nanti kita atur waktu ya. Mungkin satu minggu sekali.” Mereka yang tadinya sedih dengan wajah tertekuk kini mulai sedikit menerbitkan senyum gembira meskipun cuma mendengar kata satu minggu sekali. “Benar kah, Bu Erika akan mengajar kami lagi?” Murid perempuan itu berbinar matanya. “Aku masih Iqro tiga lho, Bu. Masih lama aku belajarnya. Tolonglah. Aku cuma m
Dan hari itu pun tiba. Hari di mana Erika resmi untuk kali pertama berstatus sebagai guru. Baginya hari ini adalah salah satu hari terindah di dalam hidupnya. Betapa tidak, ada banyak orang di luar sana yang ingin jadi seperti dirinya tapi belum kesampaian. Banyak orang di luar sana yang mau jadi guru namun belum juga tercapai. Oh, sudah sepantasnya Erika bersyukur pada Allah karena telah diberikan karunia ini dan dia pun mesti berjanji agar menjadi seorang guru yang amanah nantinya. Dia telah diberikan kesempatan, maka dari itu dia tidak boleh menyianyiakannya. Dan hebatnya lagi, ketika berjumpa dengan murid-murid barunya, dia begitu antusias menyambutnya, dan sungguh bersemangat dalam proses perkenalan. Dengan cepat Erika mampu mengambil hati anak-anak kecil itu dengan senyum dan sapa yang sangat ramah. Seperti punya aura tersendiri, dia bisa memikat hati para muridnya dalam waktu cepat sehingga suasana kelas pun terasa h
Mayoritas atau bahkan semua pria ingin punya istri cantik dan fisiknya bagus. Dan Dennis tidak mungkin bisa membohongi dirinya bahwa dia mau punya istri yang enak dipandang. “Istri yang cantik bisa buat pria betah di rumah. Dan kalau pria sudah merasa puas, ketika berada di luar rumah, dia tidak akan berani macam-macam, dia tidak akan melirik wanita lain.” Canda Dennis dan tidak mau terlalu serius ketika menjawab pertanyaan Erika. “Memang tidak ada jaminan bahwa pria akan pasti selamat ketika berada di luar. Tapi setidaknya begitu dia mendapatkan istri yang cantik dan bikin betah di rumah, peluang untuk berzina di luar akan jauh lebih berkurang.” Jawaban dari Dennis lebih diplomatis dan memang dari dirinya sendiri. Dan tentu saja jawaban tersebut sebenarnya mewakili dari sekian banyak pria di dunia ini. Mendengar jawaban tersebut, Erika cuma bisa menahan senyum kemudian menanggapi. “Tapi cantik itu
Raden bisa membaur dengan baik bersama warga sekitar. Lebih dari itu, pencapaian bagi dirinya sendiri tentu saja dia telah berhasil mengubah hidupnya kembali pada jalan yang benar. Meski dia masih menjadi buronan dari bos besar narkoba, namun setidaknya dia berhasil keluar dari kubangan lumpur maksiat yang telah menyeretnya pada banyak perkara dosa. Ketika malam hari dan sedang sendiri di beranda rumah milik temannya, Raden lantas teringat dengan sosok yang lebih dari tiga tahun ini menemani hidupnya. Dia teringat dengan Erika, istri yang selama ini selalu peduli padanya. Dia membatin, “Erika, maafkan aku karena selama ini aku kerap menyusahkan dan menyakiti mu. Maafkan aku.’ Mulai detik ini Raden berjanji akan menemui istrinya lagi. Dia mengakui bahwa dirinya memang salah besar karena telah menyiakan orang yang sangat baik pada dirinya. Dia menyesal telah membohongi istrinya dan bahkan berniat ingin menceraikan pula.
Pokok kesembilan adalah bersabar dalam mengemban ilmu dan mengamalkannya. Raden berkata, “Seseorang tidak akan meraih ilmu kecuali dengan kesabaran. Baik sabar dalam menuntut ilmu, mengamalkan, maupun menyampaikannya.” Para ulama bersabar dalam menahan lapar, sedikit tidur, dan berjalan kaki ribuan kilo meter dalam proses belajar. Selanjutnya Raden masuk pada pokok kesepuluh, yakni berpegang teguh pada adab-adab ilmu. “Ibnu Qayyim berkata : Adabnya seseorang adalah kunci kebahagiaan dan kesuksesannya. Dan tidak beradab merupakan kunci kehancuran dan kebinasaannya.” “Seorang ulama berkata : Dengan adab engkau akan memahami ilmu.” “Ibnu Sirin berkata : Dahulu mereka mempelajari adab layaknya mereka mempelajari ilmu.” Bahkan dari para salaf mendahulukan untuk mempelajari adab sebelum mempelajari ilmu. Oleh karena itu, penting bagi setiap muslim untuk mempelajari adab
Meski Raden merasa berat menerima permintaan tersebut, namun karena terus didesak, akhirnya dia pun menerimanya. Dia berusaha menguatkan diri dan menumbuhkan kepercayaandiri. “Insya Allah, semoga Allah mudahkan.” Pak Syarif sontak mengucapkan kata syukur. “Alhamdulilah.” Karena Raden tidak tahu kapan dia akan pergi dari kampung ini, maka dia bilang pada Pak Syarif supaya jadwal mengajar dia dipercepat saja. Mungkin bisa jadi tiga hari lagi, atau satu pekan lagi dia mesti meninggalkan kampung ini.*** Keesokan paginya. Tepatnya pada hari Minggu di masjid. Lebih dari lima puluh jamaah pria dan wanita dari berbagai kalangan usia telah hadir di sana. Pak Syarif sebagai salah satu ketua di kampung tersebut telah meminta kepada masyarakat sekitar untuk menghadiri sebuah kajian. Maka sebagian masyarakat pun berbondong-bondong untuk pergi. Dan baiknya Pak Syarif, dia mengeluarkan uang sekitar satu juta untuk membeli k
Keberadaan Raden di sana telah membuat suasana baru dalam beribadah dan itulah yang semestinya terjadi. Tidak ada maksud apa pun sebelumnya dari Raden untuk mencari perhatian atau pun dengan sengaja ingin menata ulang sesuatu yang telah lama terjadi. Pastinya ini adalah kehendak dari Yang Maha Kuasa. Setidaknya dengan ini dia telah melakukan sesuatu yang benar dan sesuai dengan tuntunan. Lebih dari itu, setelah terpuruk karena ditimpa masalah yang amat berat, kini dia kembali mendapatkan ketenangan dan juga hidayah untuk kembali pada jalur yang benar. “Aku cuma menyampaikan kebenaran,” tuturnya pada semua orang di sana. Mayoritas orang-orang di masjid tersebut bersyukur atas kehadiran Raden yang telah meluruskan apa yang selama ini bengkok. Pasalnya urusan agama bukanlah sesuatu yang dianggap enteng, jika ada suatu kebenaran yang datang, entah itu dari siapa berasal, maka sudah barang tentu semestinya diterima.
Kemudian Raden membuat analogi sederhana. Ada orang tua yang mewariskan sebuah rumah pada anaknya dan berpesan pada anaknya tersebut untuk tetap menjaga rumah itu tanpa melakukan perubahan apa pun sama sekali. Orang tua itu melarang anaknya melakukan perubahan sedikit pun. Cukup tinggal dan menjaganya saja. Tidak lebih dari itu. Namun, karena anaknya mereka sok pintar dari orang tuanya dan punya pemikiran lebih baik, akhirnya dia pun mengubah warna cat rumah, membongkar, mengganti pajangan, merombak isi di dalamnya, sehingga rumah tersebut sangat berbeda dari pada sebelumnya. “Kalian sebagai orang tua suka dengan anak yang suka berinovasi seperti itu?” tanya Raden. Mereka semua serempak menggeleng. Tidak ada satu pun dari mereka yang setuju. Seperti itu juga dalam beragama. Nabi telah mewariskan sesuatu yang sempurna pada umatnya. Ketika kita menerima segalanya, lantas apa hak kita untuk mengub
Raden memimpin shalat berjamaah di masjid tersebut. Tak pernah terpikir di benaknya sama sekali setelah melewati masa-masa kelam dan penuh dosa akhirnya Allah memberikan hidayah dan keberkahan padanya. Jika Allah hendak membuat hamba berada pada jalan yang lurus, maka tidak ada satu pun yang bisa menghalangi. Sekarang hidayah dan pertolongan itu pun datang dan Raden tidak akan menyiakannya. Tentu saja hal yang saat ini dia lakukan menjadi pemicu untuk dia segera bangkit dari keterpurukan. Tidak ada tempat berserah diri dan meminta tolong, kecuali hanya pada Allah semata. Usai memimpin shalat maghrib berjamaah tadi, Raden membalik badan dan duduk menghadap jamaah, lalu berdzikir dengan suara kecil. Hal yang dia lakukan tentu tak biasa seperti yang biasa dilakukan masyarakat sekitar. Biasanya mereka melakukan dzikir dan doa bersama. Namun malam ini ceritanya sedikit berbeda, dan itu tentu saja membuat mereka bertanya-tanya.
“Coba kalau kemarin Anti kasih lihat foto Dennis pada ana. Mungkin ceritanya bakal beda,” ujar Erika. “Kan kemarin ana pernah mau lihat wajah pria terakhir yang jadi kenalan Anti.” Laura mengangguk. “Benar sih. Coba waktu itu ana kasih lihat fotonya. Hm. Tapi kok bisa kebetulan gitu yah.” “Qadarullah. Jadi, Ukhti masih kesal sama ana?” Cepat Laura menggelengkan kepala. “Tidak. Tidak lagi. Untuk apa pula ana kesal sama Ukhti?” “Baguslah kalau begitu.” Erika punya ide, dan mudah-mudahan idenya nanti berhasil. *** Sementara itu, di suatu tempat yang cukup jauh, Raden sedang berusaha menghilangkan kegelisahan dan keresahan di hati saat dia masih saja berada pengejaran bosnya. Tidak disangka kehidupannya bakal jadi berantakan seperti sekarang. Jika saja waktu itu dia tidak terjerat judi online, jika saja waktu itu dia tidak bekerja di tempa
Ketika sudah berada di kosnya, Erika mencoba menelepon Laura bermaksud menanyakan kenapa tiba-tiba dia hari ini tampak berbeda. Tapi Laura tidak mengangkat telepon itu sama sekali. Begitu Erika mengirimkan chat, Laura pun tidak juga membalasnya. Hal itu membuat Erika lantas semakin bertanya-tanya, kira-kira apakah gerangan yang membuat Laura begitu jutek padanya. Saat ini Erika tidak punya sahabat yang sangat dekat selain Laura. Tidak ada tempat curhat bagi Erika kecuali hanya pada Laura seorang. Namun kini Laura tidak menanggapinya sama sekali. Karena penasaran, akhirnya keesokan harinya dia berkeinginan mengunjungi rumah Laura selepas dari pulang mengajar. Mulanya Laura tidak menerima kehadiran Erika di rumahnya, tapi tidak mungkin juga Laura mengusirnya. “Ada apa mau main ke sini?” tanya Laura dengan cuek. Erika senyum dan berkata, “Maaf, Laura. Ada sesuatu yang ingin ana bicarakan. Bisakah minta waktunya