"Belum tentu juga!" Rangga tertawa pelan, sebelum melanjutkan ucapannya, "Tapi aku akan memberimu kesempatan untuk bertobat, dan menyadari semua kesalahan yang sudah kau lakukan."
"Apa aku tidak salah mendengar?" tanya pemimpin rampok itu heran. Namun tiba-tiba raut wajahnya berubah sendu, dan kedua bola matanya memperlihatkan mendung tebal.
"Tapi masyarakat mana yang mau menerimaku? Sedangkan aku sudah begitu banyak membuat kesalahan selama ini." tambahnya.
Sementara itu, pertarungan antara Aji dan Subrata masih terus berlangsung. Bekas salah satu tetua di perguruan Harimau Hitam itu terus menyerang Aji tanpa henti. Tebasan pedangnya terus mencecar Aji untuk membuka celah pertahanan lelaki tampan itu.
Terbakarnya emosi yang menguasai pikirannya, membuatnya lupa jika tangannya masih terluka. Tanpa disadarinya, luka di tangannya kembali terbuka dan mengeluarkan darah yang mengucur lumayan deras.
Aji tersenyum kecil melihat raut muk
"Aku merasa kau sudah menyembunyikan sesuatu dariku, Aji. Sudah dua kali aku melihatmu melakukan hal yang sama, kau memejamkan matamu dan menggeleng perlahan. Sebenarnya apa yang sudah kau simpan dari kami?" tanya Ratih.Aji memandang Ratih dengan tatapan sayu. Dia lalu mengalihkan pandangannya ketika bola matanya bertatapan dengan mata Ratih."Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang, Ratih. jika nanti saatnya sudah tiba, aku pasti akan bercerita kepadamu tentang masa laluku," jawab Aji, kemudian tersenyum hangat."Baiklah. Tapi kau harus janji untuk cerita kepadaku suatu saat nanti."Aji mengangguk pelan. Dia kemudian melangkah menepati salah satu peti dan mengangkatnya ke atas bahunya.Di luar ruangan, Bargowo sudah menyiapkan sebuah gerobak kuda untuk mengangkut bahan makanan dan juga 3 peti yang berisi koin uang.Setelah semuanya sudah tertata rapi di atas gerobak tersebut, Mereka pun melanjutkan perjal
Tidak ingin hanya berpangku tangan saja dan membiarkan Aji membagikan sendiri koin uang kepada gelandangan dan pengemis yang ada di Kadipaten Tanjungrejo, Ratih dan Rangga pun ikut turun dari atas kudanya. Sementara Bargowo tetap berada di atas gerobak untuk mengendalikan lajunya.Berita kebaikan yang dilakukan Aji dan ketiga temannya itu pun menyebar luas, dan akhirnya tercium juga oleh pihak istana.Mendapati laporan tentang adanya empat sosok asing yang kini sudah menjadi pusat perhatian penduduk Kadipaten Tanjung Rejo, Adipati Hanggareksa pun memberi perintah kepada beberapa orang prajurit untuk memanggil Aji dan yang lainnya menghadap ke istana.Di sebuah tempat makan setelah mereka memberi sedekah kepada pengemis yang terakhir, mereka dikejutkan dengan kedatangan 4 orang prajurit yang masuk ke dalam tempat makan, dan berhenti di dekat meja mereka menikmati makanan."Maaf mengganggu waktunya, Kisanak, Nisanak," ucap seorang prajurit denga
"Tenang saja. Kalau melawan prajurit-prajurit itu aku tidak takut sama sekali," balas Bargowo. Raut wajah percaya dirinya tampak begitu tegas.Aji tersenyum melihat perubahan sifat mantan pemimpin gerombolan perampok itu."Mari, Kisanak. Tuan Adipati sudah menunggu di aula," kata seorang prajurit."Baiklah. Mari kita temui beliau!"Aji, Rangga dan Ratih berjalan mengekor di belakang seorang prajurit. Sambil terus berpikir, mata mereka bertiga berkeliling mengamati bagian dalam istana yang kecil itu.Sejauh mata memandang, tidak terlihat ada sesuatu pun yang mencurigakan di bagian dalam istana. Namun mereka bertiga tidak mengendorkan kewaspadaan. Memang mereka bertiga tidak tahu benar bagaimana karakter Adipati Hanggareksa, tapi tidak ada salahnya juga bersikap waspada.Setelah berada di depan aula, salah satu dari dua prajurit yang berjaga bergegas membuka pintu aula dan mempersilahkan mereka bertiga untuk
Adipati Hanggareksa hanya tersenyum simpul. Dia kemudian mendekati Ratih yang duduk di samping Aji. "Siapa namamu, Nisanak?"Ratih melirik sebentar ke atas sebelum pandangan matanya kembali menatap lantai. "Nama hamba Ratih, Tuan Adipati."Adipati Hanggareksa mengangguk-angguk kecil. "Hmmm ... Ratih, nama yang bagus," ucapnya pelan, namun masih bisa terdengar Aji dan Ratih."Kalian semua keluarlah!" perintah Adipati Hanggareksa kepada 7 orang pejabat bawahannya.Ketujuh pejabat itu heran dengan sikap yang ditunjukkan pimpinannya tersebut. Namun mereka tidak sedikitpun berani untuk melawan perintah.Satu persatu dari ketujuh pejabat itu kemudian berdiri dan berjalan keluar dari aula, setelah memberi hormat kepada Adipati Hanggareksa.Setelah semua pejabat itu meninggalkan aula dan pintunya tertutup rapat, Adipati Hanggareksa kembali ke tempat duduknya."Ratih, maaf jika aku tadi melihatmu seperti itu. Kau mengingatkan
Adipati Hanggareksa mengernyitkan dahinya. Setahunya, nama Pangeran Dananjaya sebagai adik tiri Raja Wanajaya sangat dirahasiakan. Sebab mendiang Raja Suryajaya memang menyembunyikan status Pangeran Dananjaya yang merupakan anak dari seorang selir. Kalaupun ada yang tahu, bisa dipastikan orang itu mempunyai koneksi khusus ke dalam istana kerajaan Candipura.Rasa penasaran tentang sosok ayah dari Ratih, membuat Adipati Hanggareksa memberanikan diri untuk bertanya, "Siapa nama ayahmu?"Pertanyaan yang diajukan Adipati Hanggareksa membuat Ratih melirik Rangga untuk sesaat. Ada sebuah beban yang menghimpitnya jika berterus terang untuk mengatakan siapa ayahnya sebenarnya. Dia takut jika nama ayahnya akan terseret dalam pusaran masalah yang sedang terjadi."Ayah Ratih bernama Ki Mangkubumi, Tuan Adipati," jawab Rangga cepat.Ratih melotot menatap Rangga. Maksud hatinya untuk menutupi siapa ayahnya menjadi percuma saja, setelah Rangga secara t
Adipati Hanggareksa menganggukkan kepalanya. "Silahkan!"Aji beranjak berjalan menuju pintu aula. sesampainya di luar, dia melihat Bargowo sedang menenteng golok besarnya berhadapan dengan 7 orang prajurit."Bargowo, berhenti!" teriaknya dari jauh.Bekas pemimpin perampok yang memiliki tubuh tinggi besar dan berwajah sangar itu, seketika menolehkan arah pandangnya. begitu melihat Aji berjalan ke arahnya, golok besar yang sudah diangkatnya tinggi, kembali dia masukkan ke dalam sarungnya."Kenapa kau emosi seperti itu, Bargowo? Bukankah sudah kubilang untuk belajar mengontrol emosimu?" tanya Aji.Bargowo menundukkan kepalanya. Emosinya yang tadi memuncak, seketika mencair setelah Aji memberinya satu pertanyaan kecil."Aku minta maaf. Tapi mereka menatapku, seolah keberadaanku di sini seperti hendak berniat buruk."&nbs
Adipati Hanggareksa mengernyitkan dahinya, penasaran dengan ucapan Aji yang terhenti. "Tugas apa yang harus kau lakukan?"Aji tersenyum menutupi rasa gugupnya. "Bukan tugas yang penting, Tuan. Hanya tugas kecil yang masih bisa ditunda," jawabnya."Baiklah kalau begitu, ayo kita keluar sekarang!" Adipati Hanggareksa berjalan menuju pintu, tanpa menunggu Aji membalas ucapannya.Aji mengangguk pelan, Lalu berjalan mengikuti langkah kaki Adipati Hanggareksa."Jadi begini. Setelah masalah di kadipaten Tanjung Rejo ini usai, aku akan mengenalkan kalian pada paduka Raja Wanajaya. Tapi agar tidak terlalu mencolok dan bisa menimbulkan kecurigaan para pejabat, Aji dan Rangga harus ikut turnamen yang kebetulan akan diadakan istana untuk mencari sosok pengganti Senopati Wirabumi yang sudah mangkat."Aji, Rangga dan Ratih saling berpandangan. Mereka bertiga tersenyum kecil karena perkenalan mereka juga berawal dari sebuah turnamen."Itu
Meskipun pandangan mata mereka berdua terlihat biasa saja dan kuluman senyum tercetak di bibir keduanya, tapi itu tidak berarti membuat mereka berdua melepaskan ketajamannya.Dalam pandangan Aji, sosok lelaki yang sekarang berada di depannya itu memiliki fisik yang kokoh dan kondisi tubuh yang segar bugar. Jika dilihat dari segi kepantasan maupun kelayakan, lelaki itu tentunya sangat tidak memenuhi kriteria sebagai seorang pengemis. Pakaian yang dibuat kotor dan compang camping, tidak bisa menyembunyikan fakta jika dia bukanlah seorang pengemis, melainkan prajurit yang menyamar."Siapa nama, Paman?" tanya Ratih, sebelum memberikan beberapa koin perunggu yang ada di genggaman tangannya.Lelaki itu diam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Ratih, "Namaku Pranggolo, Nisanak,""Paman sudah lama mengemis seperti ini?""Sudah cukup lama, Nisanak. Sejak enam atau
Di dalam kamar, Aji tidak langsung berisitirahat. Kitab Pedang Naga Hitam yang sudah dihapalkannya ketika berada di perguruan Pedang Naga, kembali dibacanya ulang hingga benar-benar hapal di luar kepala. Setelah itu baru dia membaca kitab Serat Alam selama beberapa hari. Aji meyakini kedua kitab itu memiliki kerumitan yang sama, sebab seperti yang dikatakan Damarjaya, kedua kitab itu adalah satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dan saling terkait satu sama lain. Lima hari berlalu, Aji keluar dari kamar setelah berhasil menghapalkan kedua kitab tersebut. Dilihatnya Damarjaya tengah duduk sendirian sambil mengelus-elus sebilah pedang yang berwarna keemasan. Damarjaya menoleh ketika mendengar suara tapak kaki mendekat. Senyumnya mengembang melihat Aji yang baru keluar setelah lima hari berada di dalam kamar. “Duduklah.” Aji mengangguk sebelum meletakkan pantatnya di kursi. “Apa kau sudah menghapalkan kedua kitab itu?” tanya Damarjaya. “Sudah, Tetua. Hanya tinggal melatih gerakan
Setelah meninggalkan Aji, Damarjaya kembali ke tempatnya. diambilnya kedua pedang pusaka dan juga kitab yang berada di meja. Setelah itu dia membawanya menuju sebuah kamar. Di dalam kamar, Damarjaya duduk bersila. Kedua pedang pusaka diletakkannya persis di depannya. Setelah itu dia berkonsentrasi untuk menemui jiwa yang berada di dalam kedua pedang pusaka tersebut. “Damarjaya, akhirnya kita bertemu kembali,” Sosok yang diselimuti aura kemerahan dan juga merupakan leluhur Aji, tiba-tiba muncul di depan Damarjaya. “Pendekar Naga Hitam, sudah lama kita tidak bertemu,” kata Damarjaya, seraya menyebut julukan yang disandang leluhur Aji. “Aku sudah lama tersiksa menunggu kemunculan cucuku Aji. Tapi sekarang aku lega karena tak lama lagi kau akan memurnikan jiwaku.” “Ya. Tapi bukan hanya itu. Di dalam kitab Serat Alam yang kubaca, ternyata Pedang Naga Bumi dan Pedang Serat Alam adalah satu kesatuan. Dewata ternyata sudah membuat skenario yang begitu hebat buat cucumu.” Leluhur Aji men
Aji jelas terkejut mendapati dirinya harus bergulingan di tanah. Betapa tidak, dia tidak merasakan adanya energi sama sekali yang mengarah kepadanya, tapi kenapa tiba-tiba saja dirinya harus terpental seorlah ada kekuatan yang tidak menghendakinya untuk mendekat. Lelaki berparas tampan itu penasaran dengan situasi yang aneh menurutnya. Untuk membuktikan bahwa dia tidak sekedar terpental tanpa adanya serangan, Aji pun kembali berjalan mendekat dan kali ini dia memasang kewaspadaan tingkat tinggi. Bisa saja serangan itu muncul di saat dirinya sedang lengah. Lagi-lagi situasi yang aneh terjadi. Aji yang sudah memasang kewaspadaan tingkat tinggi, kembali harus mengalami kejadian yang sama. Dalam jarak 10 meter dari titik lelaki sedang bermeditasi, tubuhnya langsung terpental dan bergulingan beberapa kali di tanah. Bahkan dia seperti tidak memiliki kewenangan untuk menstabilkan tubuhnya. ‘Aneh’ gumamnya pelan. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mengambil keputusan untuk menggunakan
Detak jantung Santoso semakin tidak karuan ketika melihat kedatangan Aji dan Ratih. Sepasang pendekar yang sudah membuat karirnya hancur berkeping-keping itu kini sedang menatapnya tajam. “Aku tidak perlu membuktikan apapun tentang kesalahan fatal yang sudah kau perbuat. Laporan penduduk sudah lebih dari cukup bagiku untuk bisa menjatuhkan hukuman kepadamu,” kata Aji mengawali persidangan untuk Santoso.Penduduk desa begitu penasaran dengan hukuman apa yang akan dijatuhkan Aji kepada Santoso. Mereka menatap lelaki tampan itu begitu lekat, menunggu kata-kata berikutnya yang meluncur dari bibirnya. “Tapi karena bukan aku yang kau rugikan, maka aku menyerahkan kepada mereka, hukuman apa yang pantas untukmu,” imbuh Aji. “Hukum mati saja!”“Penggal kepalanya!”“Hukum gantung!”Teriakan memberi usulan bersahutan keluar dari bibir penduduk desa yang sudah kesal akan kelakuan Santoso. Mereka serasa tak sabar ingin segera memberi hukuman mati kepada bekas kepala desa yang sudah membuat hidu
Bukan hanya si Jampang yang harus menelan ludah ketakutan melihat kehadiran Aji. Lima puluh anggota perguruan Tengkorak Hitam pun merasakan hal yang sama. Jika guru mereka saja bisa dikalahkan, apalagi mereka yang hanya murid biasa? Jelas bukan masalah berat bagi lelaki tampan itu untuk menghabisi mereka semua. “Kenapa kau diam saja? Mana omong besarmu yang tadi kau tunjukkan kepadaku sebelum suamiku datang?” ejek Ratih. Dilihatnya ke dalam kamar untuk memastikan kepala desa Santoso masih tetap berada di situ. “Nanti giliranmu Santoso! Sekarang aku kebiri dulu makhluk tak punya moral ini!” sambungnya. Bingung dengan situasi tak menguntungkan yang kini sedang dihadapinya, si Jampang pun mencoba berpikir mencari jalan keluar terbaik. Kabur dari tempat tersebut tentu menjadi opsi yang harus diambil, tapi bagaimana caranya ketika jalan keluar yang ada sudah tertutup. Melawan sosok berparas tampan itu sudah pasti bukan jalan terbaik yang akan dia ambil. Dia berpikir akan menggunakan ang
Aji tersenyum menatap lawan yang sudah mencabut pedang pusakanya. “Apa kau sudah merasa kalah hingga perlu menggunakan senjata untuk melawanku?” “Jangan banyak bicara, cabut pedangmu dan lawan aku!” sahut Ki Bledek Suro. “Baiklah jika itu yang kau inginkan. Tapi kuharap kau tidak menyesal jika pedangku sudah tercabut keluar.” “Aku tidak akan pernah menyesali apa yang sudah kuputuskan! Bahkan jika aku harus mati oleh pedangmu sekalipun!” Ki Bledek Suro tersenyum mencibir. Keyakinannya begitu tinggi kalau pedang pusakanya tak terkalahkan. “Tapi aku tidak akan mati oleh pedang murahanmu itu … Hahahaha!” imbuhnya yang diakhiri dengan tawa lantang. Aji hanya menggelengkan kepala melihat keyakinan lawan yang begitu besar. Sudah sering dia dihadapkan dengan kejadian serupa, dimana lawannya begitu membanggakan senjata pusakanya dan akan bisa mengalahkannya. Namun yang terjadi kemudian orang-orang itu malah harus mati di tangannya. Tangan Aji memegang gagang Pedang Naga Bumi yang tergant
Belum juga Ki Bledek Suro melanjutkan ucapannya, Si Jampang juga tiba di tempat tersebut bersama sekitar 50 anggota perguruan Tengkorak Hitam. “Itu orangnya, Guru. Dia yang sudah membuat Masalah dengan Tuan Santoso,” kata Si Jampang, setelah berada di dekat Ki Bledek Suro. “Apa kau tidak salah, Jampang, dia masih begitu muda, mana mungkin bisa mengalahkanmu dan juga teman-temanmu?” tanya Ki Bledek Suro memastikan keraguannya salah.“Benar dia orangnya, Guru. Bahkan dia juga telah berani menantang Guru untuk bertarung dengannya,” balas Si Jampang memanas-manasi gurunya. “Bocah tengik! Kubuat hidupmu menderita hari ini!” Ki Bledek Suro yang terbakar amarahnya, menunjuk Aji dengan ujung pedangnya.Sementara itu, Ratih yang berada di dalam rumah kepala desa Santoso, terus berusaha mencari keberadaan lelaki tersebut. Satu persatu kamar ataupun ruangan tidak luput dari pemeriksaannya. Bahkan kamar mandi yang terletak di dalam rumah tersebut juga tak lupa diperiksanya. ‘Di mana kepala de
Aji menatap dingin bagian dalam kompleks rumah kepala desa Santoso yang seperti tak berpenghuni. Prediksinya bahwa akan disambut anak buah kepala desa lalim tersebut, pupuslah sudah. Tidak ada seorang pun yang menampakkan batang hidungnya, dan Aji menilai mereka sudah pasti bersembunyi karena takut akan kedatangannya. “Ratih, ayo masuk ke dalam,” ajak Aji. Ratih mengangguk, lalu berjalan mengikuti Aji dari belakang memasuki kompleks rumah kepala desa Santoso yang cukup luas. “Sepertinya penghuni rumah ini sudah pergi semua,” kata Ratih, setelah matanya bergerilya dan tak menemukan pergerakan apapun. Aji menggeleng. “Kepala desa Santoso masih di sini. Dia tidak pergi kemana-mana.” “Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu? Logikanya, orang yang ketakutan pasti akan mencari jalan untuk menyelematkan diri,” bantah Ratih. “Logikanya memang seperti itu, Istriku tercinta. Tapi …” “Tapi apa?” potong Ratih. “Begini, aku yakin kalau kepala desa Santoso bakal meminta bantuan Ki Bledek Sur
Si Jampang tidak langsung menjawab pertanyaan kepala desa Santoso. Dia berusaha menetralkan lagi pernapasannya yang tidak karuan, begitu juga rasa lelah karena berlari juga mendera kedua kakinya.Sejak menjadi kepala pengawal di rumah kepala desa Santoso dalam 10 tahun terakhir, si Jampang memang sudah tidak pernah berlatih lagi. Segala aktifitas fisik yang biasa dilakukannya di perguruan, sudah ditinggalkannya sama sekali. Wajarlah kiranya jika dia gampang merasa lelah. .“Begini, Tuan, saat ini ada dua orang pendatang yang membikin onar di desa dan hendak membuat perhitungan dengan Tuan. Semua anak buahku sudah mereka lumpuhkan, untungnya aku bisa menyelamatkan diri dan melaporkannya kepada Tuan” “Apa sebelumnya mereka berdua ada masalah denganku?” tanya kepala desa Santoso dengan mimik muka keheranan. “Aku tidak tahu, Tuan. Tapi kurasa mereka tahu apa yang sudah kita lakukan dalam belasan tahun terakhir. Ada penduduk yang sudah bercerita kepada mereka berdua,” jawab si Jampang be