Adipati Hanggareksa mengernyitkan dahinya, penasaran dengan ucapan Aji yang terhenti. "Tugas apa yang harus kau lakukan?"
Aji tersenyum menutupi rasa gugupnya. "Bukan tugas yang penting, Tuan. Hanya tugas kecil yang masih bisa ditunda," jawabnya.
"Baiklah kalau begitu, ayo kita keluar sekarang!" Adipati Hanggareksa berjalan menuju pintu, tanpa menunggu Aji membalas ucapannya.
Aji mengangguk pelan, Lalu berjalan mengikuti langkah kaki Adipati Hanggareksa.
"Jadi begini. Setelah masalah di kadipaten Tanjung Rejo ini usai, aku akan mengenalkan kalian pada paduka Raja Wanajaya. Tapi agar tidak terlalu mencolok dan bisa menimbulkan kecurigaan para pejabat, Aji dan Rangga harus ikut turnamen yang kebetulan akan diadakan istana untuk mencari sosok pengganti Senopati Wirabumi yang sudah mangkat."
Aji, Rangga dan Ratih saling berpandangan. Mereka bertiga tersenyum kecil karena perkenalan mereka juga berawal dari sebuah turnamen.
"Itu
Meskipun pandangan mata mereka berdua terlihat biasa saja dan kuluman senyum tercetak di bibir keduanya, tapi itu tidak berarti membuat mereka berdua melepaskan ketajamannya.Dalam pandangan Aji, sosok lelaki yang sekarang berada di depannya itu memiliki fisik yang kokoh dan kondisi tubuh yang segar bugar. Jika dilihat dari segi kepantasan maupun kelayakan, lelaki itu tentunya sangat tidak memenuhi kriteria sebagai seorang pengemis. Pakaian yang dibuat kotor dan compang camping, tidak bisa menyembunyikan fakta jika dia bukanlah seorang pengemis, melainkan prajurit yang menyamar."Siapa nama, Paman?" tanya Ratih, sebelum memberikan beberapa koin perunggu yang ada di genggaman tangannya.Lelaki itu diam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Ratih, "Namaku Pranggolo, Nisanak,""Paman sudah lama mengemis seperti ini?""Sudah cukup lama, Nisanak. Sejak enam atau
"Siapa mereka berdua? Kenapa gerak gerik mereka begitu mencurigakan?" sosok yang memakai jubah hitam dan penutup kepala yang juga berwarna hitam, memandang tajam terarah kepada Aji dan Ratih yang mulai berjalan meninggalkan tempat mereka semula."Apa Tuan menaruh kecurigaan kepada mereka berdua?" Lelaki pengemis yang tadi meminta sedekah dari Aji dan Ratih, sudah berdiri di belakang lelaki berjubah hitam itu."Lain kali jangan mengagetkan seperti itu jika tidak ingin dihukum, Pranggolo!" dengus lelaki berjubah."Maafkan hamba, Tuan." Pranggolo menundukkan kepalanya ketakutan."Saat-saat seperti ini kita harus curiga kepada siapapun. Terlebih mereka berdua adalah orang baru di kadipaten ini. Aku lihat tadi kau berbicara dengan mereka, apa yang kalian bicarakan?""Tidak ada yang penting, Tuan. Mereka hanya bertanya, kenapa aku sampai menjadi pengemis, padahal aku
Tak berapa lama, gadis pelayan membawa makanan pesanan mereka berdua, dan meletakkannya di atas meja.Senyum hangat pun terlontar dari bibir gadis pelayan itu kepada Aji. "Silahkan dinikmati makanannya selagi hangat, Kisanak!""Terima kasih." Aji membalas dengam senyuman yang hangat pula.Melihat senyum gadis pelayan itu kepada Aji, dada Ratih seakan bergemuruh. Ada perasaan benci dan juga tak rela, terutama ketika Aji juga membalas senyuman yang tertuju kepadanya.Raut muka tertekuk dan cemberut pun seketika tercipta di wajah gadis cantik itu. Makanan yang seharusnya begitu menggiurkan untuk disantap, kini sudah tidak menggairahkan di matanya. Semua tertutupi oleh rasa cemburunya yang teramat besar.Aji dengan lahap menikmati makanan yang ada di depannya. Dia bahkan tidak menyadari jika gadis cantik di depannya itu sudah tidak bernafsu untuk mengisi perutnya. S
Setelah makanan yang sudaj mulai dingin terbungkus rapi, Aji membayar dan kemudian mengajak Ratih pergi dari tempat makan itu.Senyum yang dibuat semanis mungkin oleh gadis pelayan kepadanya, tidak dihiraukannya sama sekali. Baginya, lebih baik menjaga perasaan Ratih dari pada membalas senyuman gadis pelayan tersebut.Apa yang dilakukan Aji dengan tidak menghiraukan senyumannya membuat gadis pelayan tersebut mengomel gak jelas. "Tampan tidak seberapa saja, sombongnya minta ampun!"Mendengar omelan gadis pelayan itu, Ratih berbalik arah untuk memberinya pelajaran. Tapi Aji segera meraih tangannya dan menggandengnya keluar dari tempat makan."Sudah, tidak usah meladeni ucapannya," kata Aji, sekeluarnya mereka dari tempat makan."Apa kau mau membelanya!?" Ratih yang masih terbakar emosinya, melampiaskannya kepada Aji."Bukan begitu, Ratih
Bargowo dan Rangga bingung dengan apa yang dimaksud lelaki tampan yang memiliki rahang kokoh dan garis wajah tegas itu . Keduanya memandang Aji dan Ratih bergantian.Aji sadar ucapannya bisa membuat pembicaraan mereka terganggu, dia kemudian mengalihkannya kembali kepada masalah yang sedang dihadapi kadipaten Tanjung Rejo."Aku butuh secepatnya menemui Tuan Adipati untuk mengatakan masalah ini kepada beliau. Masalah ini hanya kita berempat yang tahu, jangan ada yang membocorkannya, baik kepada teliksandi atau orang kepercayaan Tuan Adipati," kata Aji."Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Bargowo."Tetap sesuai rencana. Kau dan Rangga jual bahan makanan yang kita punya kepada tengkulak besok. Ingat, kalian jaga sikap kalian dan jangan terlalu mencolok. Copot juga anting besarmu itu, biar mereka tidak curiga!"Bargowo menggaruk kepalanya pelan lalu mencopot an
Sebelum keluar dari pintu penginapan, Aji melongok melihat situasi di jalanan kadipaten yang terlihat lengang. Hanya terlihat beberapa orang pengemis yang masih beroperasi di kegelapan malam.Setelah berjalan dan sudah berada tidak jauh dari Istana, Aji menyipitkan kedua matanya untuk melihat lebih jelas, beberapa sosok hitam yang bergerombol di seberang depan istanaAji mengernyit sesaat melihat keganjilan tersebut. Tadi ketika dia dan Ratih berjalan-jalan untuk mencari bukti, hanya ada satu pemgemis saja yang berada di seberang depan istana. Tapi kenapa sekarang ada 5 orang pengemis dan posisi duduk mereka berdempetan?Keganjilan itulah yang membuat Aji harus mencari tempat sepi untuk melompat ke atas atap rumah penduduk, agar bisa mencari jalan memasuki istana tanpa ketahuan seorang pun.Setelah dirasa tidak ada yang memperhatikannya, lelaki tampan itu menyelinap memasuki gang antar rumah penduduk dan kemudian melompat denga ringan ke
Yoga yang berada di depan pintu tentu saja dibuat terkejut, ketika Aji membuka pintu secara tiba-tiba.Adipati Hanggareksa pun terhenyak tak percaya. Yoga, sosok yang sangat dipercaya olehnya sebagai kepala teliksandi kadipaten Tanjung Rejo, ternyata adalah seorang terduga penghianat.Setelah tersadar dari rasa terkejutnya, Yoga tiba-tiba berusaha melarikan diri. Dia berlari secepat mungkin meninggalkan aula.Aji dengan sigap melakukan pengejaran. Dan dalam waktu yang relatif singkat, duda tampan itu berhasil menyusul Yoga, sebelum kepala teliksandi itu berhasil keluar dari gerbang istana.Yoga seketika menghentikan ayunan cepat langkahnya. Ternyata kemampuan ilmu meringankan diri yang dimiliknya, masih jauh di bawah lelaki tampan yang kini sudah menghadang jalannya.Raut keterkejutan pun seketika tercetak di wajahnya. "Cepat sekali!" gumamnya dalam hati."Kau mau lari kemana, Yoga? Apakah tidak sebaiknya kau me
Segera dia alirkan tenaga dalamnya untuk mengeluarkan efek racun dari tubuhnya. Asap kehitaman keluar perlahan dan tak lama wajahnya terlihat segar kembali. Tanpa disadarinya, Pedang kegelapan yang tergantung di punggungnya, turut menyerap racun yang bersarang di tubuhnya. Sehingga Aji tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga dalam untuk mengeluarkan sisa-sisa racun yang ada.Mata lelaki berpakaian hitam itu pun terbelalak lebar melihat Aji dengan mudahnya menghilangkan efek jurus beracunnya. "Siapa sebenarnya dia, kekuatan macam apa yang dimilikinya?""Ternyata kau seorang pendekar yang licik." Aji tersenyum mencibir."Bedebah ...! Apa kau tidak tahu, kami pendekar aliran hitam tidak peduli dengan aturan dalam pertarungan. Aturan yang kami pakai adalah kemenangan, apapun caranya!"Seusai berkata, lelaki berpakaian serba hitam itu kemudian lagi-lagi menghilang.Aji yang sudah mulai memahami cara licik lawannya, kemudian memusatkan konsentrasiny
Di dalam kamar, Aji tidak langsung berisitirahat. Kitab Pedang Naga Hitam yang sudah dihapalkannya ketika berada di perguruan Pedang Naga, kembali dibacanya ulang hingga benar-benar hapal di luar kepala. Setelah itu baru dia membaca kitab Serat Alam selama beberapa hari. Aji meyakini kedua kitab itu memiliki kerumitan yang sama, sebab seperti yang dikatakan Damarjaya, kedua kitab itu adalah satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dan saling terkait satu sama lain. Lima hari berlalu, Aji keluar dari kamar setelah berhasil menghapalkan kedua kitab tersebut. Dilihatnya Damarjaya tengah duduk sendirian sambil mengelus-elus sebilah pedang yang berwarna keemasan. Damarjaya menoleh ketika mendengar suara tapak kaki mendekat. Senyumnya mengembang melihat Aji yang baru keluar setelah lima hari berada di dalam kamar. “Duduklah.” Aji mengangguk sebelum meletakkan pantatnya di kursi. “Apa kau sudah menghapalkan kedua kitab itu?” tanya Damarjaya. “Sudah, Tetua. Hanya tinggal melatih gerakan
Setelah meninggalkan Aji, Damarjaya kembali ke tempatnya. diambilnya kedua pedang pusaka dan juga kitab yang berada di meja. Setelah itu dia membawanya menuju sebuah kamar. Di dalam kamar, Damarjaya duduk bersila. Kedua pedang pusaka diletakkannya persis di depannya. Setelah itu dia berkonsentrasi untuk menemui jiwa yang berada di dalam kedua pedang pusaka tersebut. “Damarjaya, akhirnya kita bertemu kembali,” Sosok yang diselimuti aura kemerahan dan juga merupakan leluhur Aji, tiba-tiba muncul di depan Damarjaya. “Pendekar Naga Hitam, sudah lama kita tidak bertemu,” kata Damarjaya, seraya menyebut julukan yang disandang leluhur Aji. “Aku sudah lama tersiksa menunggu kemunculan cucuku Aji. Tapi sekarang aku lega karena tak lama lagi kau akan memurnikan jiwaku.” “Ya. Tapi bukan hanya itu. Di dalam kitab Serat Alam yang kubaca, ternyata Pedang Naga Bumi dan Pedang Serat Alam adalah satu kesatuan. Dewata ternyata sudah membuat skenario yang begitu hebat buat cucumu.” Leluhur Aji men
Aji jelas terkejut mendapati dirinya harus bergulingan di tanah. Betapa tidak, dia tidak merasakan adanya energi sama sekali yang mengarah kepadanya, tapi kenapa tiba-tiba saja dirinya harus terpental seorlah ada kekuatan yang tidak menghendakinya untuk mendekat. Lelaki berparas tampan itu penasaran dengan situasi yang aneh menurutnya. Untuk membuktikan bahwa dia tidak sekedar terpental tanpa adanya serangan, Aji pun kembali berjalan mendekat dan kali ini dia memasang kewaspadaan tingkat tinggi. Bisa saja serangan itu muncul di saat dirinya sedang lengah. Lagi-lagi situasi yang aneh terjadi. Aji yang sudah memasang kewaspadaan tingkat tinggi, kembali harus mengalami kejadian yang sama. Dalam jarak 10 meter dari titik lelaki sedang bermeditasi, tubuhnya langsung terpental dan bergulingan beberapa kali di tanah. Bahkan dia seperti tidak memiliki kewenangan untuk menstabilkan tubuhnya. ‘Aneh’ gumamnya pelan. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mengambil keputusan untuk menggunakan
Detak jantung Santoso semakin tidak karuan ketika melihat kedatangan Aji dan Ratih. Sepasang pendekar yang sudah membuat karirnya hancur berkeping-keping itu kini sedang menatapnya tajam. “Aku tidak perlu membuktikan apapun tentang kesalahan fatal yang sudah kau perbuat. Laporan penduduk sudah lebih dari cukup bagiku untuk bisa menjatuhkan hukuman kepadamu,” kata Aji mengawali persidangan untuk Santoso.Penduduk desa begitu penasaran dengan hukuman apa yang akan dijatuhkan Aji kepada Santoso. Mereka menatap lelaki tampan itu begitu lekat, menunggu kata-kata berikutnya yang meluncur dari bibirnya. “Tapi karena bukan aku yang kau rugikan, maka aku menyerahkan kepada mereka, hukuman apa yang pantas untukmu,” imbuh Aji. “Hukum mati saja!”“Penggal kepalanya!”“Hukum gantung!”Teriakan memberi usulan bersahutan keluar dari bibir penduduk desa yang sudah kesal akan kelakuan Santoso. Mereka serasa tak sabar ingin segera memberi hukuman mati kepada bekas kepala desa yang sudah membuat hidu
Bukan hanya si Jampang yang harus menelan ludah ketakutan melihat kehadiran Aji. Lima puluh anggota perguruan Tengkorak Hitam pun merasakan hal yang sama. Jika guru mereka saja bisa dikalahkan, apalagi mereka yang hanya murid biasa? Jelas bukan masalah berat bagi lelaki tampan itu untuk menghabisi mereka semua. “Kenapa kau diam saja? Mana omong besarmu yang tadi kau tunjukkan kepadaku sebelum suamiku datang?” ejek Ratih. Dilihatnya ke dalam kamar untuk memastikan kepala desa Santoso masih tetap berada di situ. “Nanti giliranmu Santoso! Sekarang aku kebiri dulu makhluk tak punya moral ini!” sambungnya. Bingung dengan situasi tak menguntungkan yang kini sedang dihadapinya, si Jampang pun mencoba berpikir mencari jalan keluar terbaik. Kabur dari tempat tersebut tentu menjadi opsi yang harus diambil, tapi bagaimana caranya ketika jalan keluar yang ada sudah tertutup. Melawan sosok berparas tampan itu sudah pasti bukan jalan terbaik yang akan dia ambil. Dia berpikir akan menggunakan ang
Aji tersenyum menatap lawan yang sudah mencabut pedang pusakanya. “Apa kau sudah merasa kalah hingga perlu menggunakan senjata untuk melawanku?” “Jangan banyak bicara, cabut pedangmu dan lawan aku!” sahut Ki Bledek Suro. “Baiklah jika itu yang kau inginkan. Tapi kuharap kau tidak menyesal jika pedangku sudah tercabut keluar.” “Aku tidak akan pernah menyesali apa yang sudah kuputuskan! Bahkan jika aku harus mati oleh pedangmu sekalipun!” Ki Bledek Suro tersenyum mencibir. Keyakinannya begitu tinggi kalau pedang pusakanya tak terkalahkan. “Tapi aku tidak akan mati oleh pedang murahanmu itu … Hahahaha!” imbuhnya yang diakhiri dengan tawa lantang. Aji hanya menggelengkan kepala melihat keyakinan lawan yang begitu besar. Sudah sering dia dihadapkan dengan kejadian serupa, dimana lawannya begitu membanggakan senjata pusakanya dan akan bisa mengalahkannya. Namun yang terjadi kemudian orang-orang itu malah harus mati di tangannya. Tangan Aji memegang gagang Pedang Naga Bumi yang tergant
Belum juga Ki Bledek Suro melanjutkan ucapannya, Si Jampang juga tiba di tempat tersebut bersama sekitar 50 anggota perguruan Tengkorak Hitam. “Itu orangnya, Guru. Dia yang sudah membuat Masalah dengan Tuan Santoso,” kata Si Jampang, setelah berada di dekat Ki Bledek Suro. “Apa kau tidak salah, Jampang, dia masih begitu muda, mana mungkin bisa mengalahkanmu dan juga teman-temanmu?” tanya Ki Bledek Suro memastikan keraguannya salah.“Benar dia orangnya, Guru. Bahkan dia juga telah berani menantang Guru untuk bertarung dengannya,” balas Si Jampang memanas-manasi gurunya. “Bocah tengik! Kubuat hidupmu menderita hari ini!” Ki Bledek Suro yang terbakar amarahnya, menunjuk Aji dengan ujung pedangnya.Sementara itu, Ratih yang berada di dalam rumah kepala desa Santoso, terus berusaha mencari keberadaan lelaki tersebut. Satu persatu kamar ataupun ruangan tidak luput dari pemeriksaannya. Bahkan kamar mandi yang terletak di dalam rumah tersebut juga tak lupa diperiksanya. ‘Di mana kepala de
Aji menatap dingin bagian dalam kompleks rumah kepala desa Santoso yang seperti tak berpenghuni. Prediksinya bahwa akan disambut anak buah kepala desa lalim tersebut, pupuslah sudah. Tidak ada seorang pun yang menampakkan batang hidungnya, dan Aji menilai mereka sudah pasti bersembunyi karena takut akan kedatangannya. “Ratih, ayo masuk ke dalam,” ajak Aji. Ratih mengangguk, lalu berjalan mengikuti Aji dari belakang memasuki kompleks rumah kepala desa Santoso yang cukup luas. “Sepertinya penghuni rumah ini sudah pergi semua,” kata Ratih, setelah matanya bergerilya dan tak menemukan pergerakan apapun. Aji menggeleng. “Kepala desa Santoso masih di sini. Dia tidak pergi kemana-mana.” “Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu? Logikanya, orang yang ketakutan pasti akan mencari jalan untuk menyelematkan diri,” bantah Ratih. “Logikanya memang seperti itu, Istriku tercinta. Tapi …” “Tapi apa?” potong Ratih. “Begini, aku yakin kalau kepala desa Santoso bakal meminta bantuan Ki Bledek Sur
Si Jampang tidak langsung menjawab pertanyaan kepala desa Santoso. Dia berusaha menetralkan lagi pernapasannya yang tidak karuan, begitu juga rasa lelah karena berlari juga mendera kedua kakinya.Sejak menjadi kepala pengawal di rumah kepala desa Santoso dalam 10 tahun terakhir, si Jampang memang sudah tidak pernah berlatih lagi. Segala aktifitas fisik yang biasa dilakukannya di perguruan, sudah ditinggalkannya sama sekali. Wajarlah kiranya jika dia gampang merasa lelah. .“Begini, Tuan, saat ini ada dua orang pendatang yang membikin onar di desa dan hendak membuat perhitungan dengan Tuan. Semua anak buahku sudah mereka lumpuhkan, untungnya aku bisa menyelamatkan diri dan melaporkannya kepada Tuan” “Apa sebelumnya mereka berdua ada masalah denganku?” tanya kepala desa Santoso dengan mimik muka keheranan. “Aku tidak tahu, Tuan. Tapi kurasa mereka tahu apa yang sudah kita lakukan dalam belasan tahun terakhir. Ada penduduk yang sudah bercerita kepada mereka berdua,” jawab si Jampang be