Subrata sebenarnya kesal mendapati Aji berada di situ, tapi dia tidak berusaha menunjukkan kekesalannya. dan menurutnya saat ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk membunuh Aji, kereta Jayabaya sudah tidak terlihat lagi
"Kenapa kau masih sangat yakin bisa menang dariku, Subrata? Padahal sudah jelas, kalau aku mau, kau bisa saja kubunuh saat itu," Aji terkekeh pelan, dengan dengan salah satu ujung bibir terangkat naik.
"Bajingan ... Apa kau tidak salah duga? Kalau tua bangka itu tidak menyelamatkanmu, aku yang akan membunuhmu saat itu!" Subrata berdecak kesal.
"Sudahlah, Subrata. Kita tidak perlu banyak berdebat untuk membuktikan siapa yang pantas menang. Sekarang kita buktikan saja kau atau aku yang akan mati di tempat ini?"
"bedebah, kubunuh kau!" teriak Subrata penuh emosi.
Lelaki tua itu mencabut pedangnya. Tanpa memasang kuda-kuda dia langsung melesat memberi serangan. Pedang ditangannya berkelebat cepat menyusup mencari,
"Belum tentu juga!" Rangga tertawa pelan, sebelum melanjutkan ucapannya, "Tapi aku akan memberimu kesempatan untuk bertobat, dan menyadari semua kesalahan yang sudah kau lakukan.""Apa aku tidak salah mendengar?" tanya pemimpin rampok itu heran. Namun tiba-tiba raut wajahnya berubah sendu, dan kedua bola matanya memperlihatkan mendung tebal."Tapi masyarakat mana yang mau menerimaku? Sedangkan aku sudah begitu banyak membuat kesalahan selama ini." tambahnya.Sementara itu, pertarungan antara Aji dan Subrata masih terus berlangsung. Bekas salah satu tetua di perguruan Harimau Hitam itu terus menyerang Aji tanpa henti. Tebasan pedangnya terus mencecar Aji untuk membuka celah pertahanan lelaki tampan itu.Terbakarnya emosi yang menguasai pikirannya, membuatnya lupa jika tangannya masih terluka. Tanpa disadarinya, luka di tangannya kembali terbuka dan mengeluarkan darah yang mengucur lumayan deras.Aji tersenyum kecil melihat raut muk
"Aku merasa kau sudah menyembunyikan sesuatu dariku, Aji. Sudah dua kali aku melihatmu melakukan hal yang sama, kau memejamkan matamu dan menggeleng perlahan. Sebenarnya apa yang sudah kau simpan dari kami?" tanya Ratih.Aji memandang Ratih dengan tatapan sayu. Dia lalu mengalihkan pandangannya ketika bola matanya bertatapan dengan mata Ratih."Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang, Ratih. jika nanti saatnya sudah tiba, aku pasti akan bercerita kepadamu tentang masa laluku," jawab Aji, kemudian tersenyum hangat."Baiklah. Tapi kau harus janji untuk cerita kepadaku suatu saat nanti."Aji mengangguk pelan. Dia kemudian melangkah menepati salah satu peti dan mengangkatnya ke atas bahunya.Di luar ruangan, Bargowo sudah menyiapkan sebuah gerobak kuda untuk mengangkut bahan makanan dan juga 3 peti yang berisi koin uang.Setelah semuanya sudah tertata rapi di atas gerobak tersebut, Mereka pun melanjutkan perjal
Tidak ingin hanya berpangku tangan saja dan membiarkan Aji membagikan sendiri koin uang kepada gelandangan dan pengemis yang ada di Kadipaten Tanjungrejo, Ratih dan Rangga pun ikut turun dari atas kudanya. Sementara Bargowo tetap berada di atas gerobak untuk mengendalikan lajunya.Berita kebaikan yang dilakukan Aji dan ketiga temannya itu pun menyebar luas, dan akhirnya tercium juga oleh pihak istana.Mendapati laporan tentang adanya empat sosok asing yang kini sudah menjadi pusat perhatian penduduk Kadipaten Tanjung Rejo, Adipati Hanggareksa pun memberi perintah kepada beberapa orang prajurit untuk memanggil Aji dan yang lainnya menghadap ke istana.Di sebuah tempat makan setelah mereka memberi sedekah kepada pengemis yang terakhir, mereka dikejutkan dengan kedatangan 4 orang prajurit yang masuk ke dalam tempat makan, dan berhenti di dekat meja mereka menikmati makanan."Maaf mengganggu waktunya, Kisanak, Nisanak," ucap seorang prajurit denga
"Tenang saja. Kalau melawan prajurit-prajurit itu aku tidak takut sama sekali," balas Bargowo. Raut wajah percaya dirinya tampak begitu tegas.Aji tersenyum melihat perubahan sifat mantan pemimpin gerombolan perampok itu."Mari, Kisanak. Tuan Adipati sudah menunggu di aula," kata seorang prajurit."Baiklah. Mari kita temui beliau!"Aji, Rangga dan Ratih berjalan mengekor di belakang seorang prajurit. Sambil terus berpikir, mata mereka bertiga berkeliling mengamati bagian dalam istana yang kecil itu.Sejauh mata memandang, tidak terlihat ada sesuatu pun yang mencurigakan di bagian dalam istana. Namun mereka bertiga tidak mengendorkan kewaspadaan. Memang mereka bertiga tidak tahu benar bagaimana karakter Adipati Hanggareksa, tapi tidak ada salahnya juga bersikap waspada.Setelah berada di depan aula, salah satu dari dua prajurit yang berjaga bergegas membuka pintu aula dan mempersilahkan mereka bertiga untuk
Adipati Hanggareksa hanya tersenyum simpul. Dia kemudian mendekati Ratih yang duduk di samping Aji. "Siapa namamu, Nisanak?"Ratih melirik sebentar ke atas sebelum pandangan matanya kembali menatap lantai. "Nama hamba Ratih, Tuan Adipati."Adipati Hanggareksa mengangguk-angguk kecil. "Hmmm ... Ratih, nama yang bagus," ucapnya pelan, namun masih bisa terdengar Aji dan Ratih."Kalian semua keluarlah!" perintah Adipati Hanggareksa kepada 7 orang pejabat bawahannya.Ketujuh pejabat itu heran dengan sikap yang ditunjukkan pimpinannya tersebut. Namun mereka tidak sedikitpun berani untuk melawan perintah.Satu persatu dari ketujuh pejabat itu kemudian berdiri dan berjalan keluar dari aula, setelah memberi hormat kepada Adipati Hanggareksa.Setelah semua pejabat itu meninggalkan aula dan pintunya tertutup rapat, Adipati Hanggareksa kembali ke tempat duduknya."Ratih, maaf jika aku tadi melihatmu seperti itu. Kau mengingatkan
Adipati Hanggareksa mengernyitkan dahinya. Setahunya, nama Pangeran Dananjaya sebagai adik tiri Raja Wanajaya sangat dirahasiakan. Sebab mendiang Raja Suryajaya memang menyembunyikan status Pangeran Dananjaya yang merupakan anak dari seorang selir. Kalaupun ada yang tahu, bisa dipastikan orang itu mempunyai koneksi khusus ke dalam istana kerajaan Candipura.Rasa penasaran tentang sosok ayah dari Ratih, membuat Adipati Hanggareksa memberanikan diri untuk bertanya, "Siapa nama ayahmu?"Pertanyaan yang diajukan Adipati Hanggareksa membuat Ratih melirik Rangga untuk sesaat. Ada sebuah beban yang menghimpitnya jika berterus terang untuk mengatakan siapa ayahnya sebenarnya. Dia takut jika nama ayahnya akan terseret dalam pusaran masalah yang sedang terjadi."Ayah Ratih bernama Ki Mangkubumi, Tuan Adipati," jawab Rangga cepat.Ratih melotot menatap Rangga. Maksud hatinya untuk menutupi siapa ayahnya menjadi percuma saja, setelah Rangga secara t
Adipati Hanggareksa menganggukkan kepalanya. "Silahkan!"Aji beranjak berjalan menuju pintu aula. sesampainya di luar, dia melihat Bargowo sedang menenteng golok besarnya berhadapan dengan 7 orang prajurit."Bargowo, berhenti!" teriaknya dari jauh.Bekas pemimpin perampok yang memiliki tubuh tinggi besar dan berwajah sangar itu, seketika menolehkan arah pandangnya. begitu melihat Aji berjalan ke arahnya, golok besar yang sudah diangkatnya tinggi, kembali dia masukkan ke dalam sarungnya."Kenapa kau emosi seperti itu, Bargowo? Bukankah sudah kubilang untuk belajar mengontrol emosimu?" tanya Aji.Bargowo menundukkan kepalanya. Emosinya yang tadi memuncak, seketika mencair setelah Aji memberinya satu pertanyaan kecil."Aku minta maaf. Tapi mereka menatapku, seolah keberadaanku di sini seperti hendak berniat buruk."&nbs
Adipati Hanggareksa mengernyitkan dahinya, penasaran dengan ucapan Aji yang terhenti. "Tugas apa yang harus kau lakukan?"Aji tersenyum menutupi rasa gugupnya. "Bukan tugas yang penting, Tuan. Hanya tugas kecil yang masih bisa ditunda," jawabnya."Baiklah kalau begitu, ayo kita keluar sekarang!" Adipati Hanggareksa berjalan menuju pintu, tanpa menunggu Aji membalas ucapannya.Aji mengangguk pelan, Lalu berjalan mengikuti langkah kaki Adipati Hanggareksa."Jadi begini. Setelah masalah di kadipaten Tanjung Rejo ini usai, aku akan mengenalkan kalian pada paduka Raja Wanajaya. Tapi agar tidak terlalu mencolok dan bisa menimbulkan kecurigaan para pejabat, Aji dan Rangga harus ikut turnamen yang kebetulan akan diadakan istana untuk mencari sosok pengganti Senopati Wirabumi yang sudah mangkat."Aji, Rangga dan Ratih saling berpandangan. Mereka bertiga tersenyum kecil karena perkenalan mereka juga berawal dari sebuah turnamen."Itu