"Ayah pulang...!" Seorang lelaki tampan berteriak sedikit keras, ketika sudah berada di depan pintu sebuah rumah yang tertutup rapat. Tangan kanannya membawa dua biji kelapa muda, sedangkan tangan kirinya memegang erat sebilah pedang.
"Aneh...! Tidak biasanya siang begini pintu rumah tertutup rapat," gumamnya pelan.
"Ningsih, Bayu, ayah pulang... buka pintunya, Nak!" kembali lelaki itu berteriak sedikit keras, sambil mengetuk pintu dengan gagang pedangnya.
Tak kunjung mendapat jawaban, lelaki berumur sekitar 25 tahun tersebut dengan sedikit membungkuk, meletakkan dua buah kelapa hijau di atas tanah.
Sekilas matanya melihat tetesan darah yang mengarah ke dalam rumahnya. Dia menoleh ke belakang untuk melihat bercak darah yang masih segar tersebut.
"Darah siapa?" Hatinya bertanya-tanya.
Lelaki itu menyusuri tetesan darah segar yang mengarah ke pintu belakang rumah. Rasa penasarannya semakin besar setelah tetesan darah yang terlihat semakin banyak. Bahkan gagang pintu pun dipenuhi bercak darah.
Beribu pertanyaan seketika membanjiri pikirannya, lelaki tampan itupun membuka pintu rumah, lalu menghambur ke dalam rumah. Benaknya semakin kalut karena bercak darah di dalam rumah terlihat jauh lebih banyak. Lelaki itu tak kuasa menahan kekuatirannya, matanya menyaksikan darah menggenang yang mengalir keluar dari dalam kamar.
"Bayu...!" Lelaki itu berteriak sekuat tenaga, sesaat setelah membuka pintu kamar anaknya yang bernama Bayu. Dia melihat jasad anak lelakinya yang baru berumur 3 tahun dengan luka gorokan di leher. Darah menggenang memenuhi lantai hingga mengalir ke luar kamar.
"Bayu, Anakku... Jangan tinggalkan ayah, Nak!" teriaknya kalut. Lelaki itu berlutut di samping jasad anaknya. Dia mulai menitikkan air mata karena kesedihan yang luar biasa.
"Ningsih...?" Dia kemudian teringat dengan anak perempuannya yang berumur 2 tahun lebih tua dari pada Bayu.
Lelaki itu berlari mencari anak gadisnya di kamar satunya. Hal serupa pun dia dapati di kamar tersebut. Anak perempuannya juga sudah tak bernyawa dengan banyak sekali luka tusukan. Sekujur tubuhnya penuh dengan darah yang masih segar.
"Ningsih...!" kembali dia berteriak sekuat tenaga, hingga terdengar sampai di rumah tetangganya yang berjarak sekitar 30 meter dari rumahnya.
"Nilam., jangan-jangan dia..." Pikiran lelaki itu beralih kepada istrinya. Dia curiga jika istrinya yang telah membunuh kedua anaknya.
Lelaki itu berlari sekuat tenaga ke kamarnya sendiri. Pintu yang tertutup rapat didobraknya hingga jebol.
Pemandangan tidak kalah mengenaskan juga terpampang di depan matanya. Istrinya yang cantik duduk di lantai, dan bersandar di dinding dengan memegangi perutnya yang bersimbah darah. Pakaiannya sudah koyak tidak karuan bentuknya, sehingga memperlihatkan bagian-bagian sensitifnya.
Kecurigaan lelaki itu kepada istrinya pun pudar seiring melihat kondisinya yang tidak kalah mengenaskan.
"Siapa yang melakukan ini, Nilam?" Lelaki itu menangis memeluk istrinya. Dia menduga istrinya diperkosa, dan kedua anaknya dibunuh pelaku yang takut belangnya terkuak.
"Win... Winarto pelakunya, Kakang Aji," jawab Nilam terbata-bata dengan suara yang sangat pelan. Nafasnya tersengal-sengal. Detak jantungnya pun sudah sangat lemah.
"Winarto...?"
Belum sempat mendapat jawaban, lelaki itu melihat istrinya menghembuskan nafas terakhir di pangkuannya.
"Biadab kau, Winarto...! Aku akan membalas perlakuanmu ini!" Aji menggeram marah. Dia tidak menduga jika Winarto yang juga merupakan pemimpinnya di sebuah kawanan perampok, begitu tega berbuat seperti itu kepada keluarganya.
Aji tiba-tiba teringat ketika Winarto menyuruhnya beserta 7 orang temannya untuk merampok di sebuah hutan.
"Jadi ternyata itu alasannya menyuruhku merampok tadi!" ucapnya dalam hati.
Dia menyesal pernah mengajak Winarto ke rumahnya beberapa hari yang lalu. Ternyata di balik keramahannya, Winarto menyimpan niat buruk kepada istrinya.
Lelaki tampan berusia 25 tahun itu mengayunkan langkahnya cepat keluar dari rumahnya menuju rumah tetangganya, untuk memberitahu kejadian yang baru saja terjadi pada keluarganya.
Tak lama, suara kentongan pun terdengar tanpa berhenti. Di pedesaan, kentongan yang ditabuh berulang kali dengan cepat adalah sebuah tanda sedang terjadi Rojopati atau pembunuhan, bisa juga kejadian kebakaran rumah dan peristiwa besar lainnya.
Aji terduduk di sebuah kursi ketika belasan orang tetangganya berlalu lalang mengurus penguburan anak istrinya. Pandangan matanya sayu seolah tiada semangat untuk hidup. Dia begitu terpukul dengan kejadian itu.
Perlahan, Lelaki tampan itu kembali menangis sesenggukan membayangkan kedua anaknya yang lucu, dan istri yang begitu perhatian kepadanya, kini sudah meninggal dunia. Dia tidak menyangka jika kebahagiaan rumah tangga mereka hanya sebentar saja dirasakannya.
Kegarangannya ketika menjadi perampok seolah sirna, setelah dia merasakan sendiri bagaimana kesedihan yang mungkin dirasakan oleh para korbannya.
Setelah acara penguburan selesai, beberapa tetangga kembali ke rumahnya masing-masing. Mereka tampaknya ikut terpukul dengan kejadian yang menimpa anak dan istri Aji. Padahal keluarga yang baru ditimpa kemalangan itu adalah sebuah keluarga yang harmonis.
Aji yang masih terpaku duduk di kursi sedari tadi, kemudian bangkit dari duduknya. Dia berjalan mencari pedang yang selalu dibawanya ketika merampok.
"Pedangku, aku tidak akan menggunakanmu untuk berbuat kejahatan lagi. Sekali lagi, bantulah aku untuk membunuh pelaku pembunuh istri dan anakku!" Aji berbicara kepada pedangnya, seolah pedang di genggamannya itu bisa mendengar curahan hatinya.
Setelah menggantung pedang di pundaknya, Aji mengambil tudung kepala yang tergantung di dinding dan memakainya.
"Selamat tinggal rumah kenanganku. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi," ucap Aji pelan. Dia menyulut salah satu bagian rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu dengan api hingga terbakar.
Aji keluar dari pintu belakang dan berlari dengan kencang menyusuri hutan yang terletak di belakang rumahnya. Dari jauh, dia bisa melihat rumahnya terbakar dengan hebat, dan para tetangganya bergotong royong berusaha memadamkannya. Tatapannya nanar menatap setiap bagian rumahnya yang ambruk satu persatu. Rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan beratap rumbai itupun habis terbakar dalam waktu singkat. Tidak ada barang berharga yang bisa diselamatkan, semua hangus terbakar. Lelaki 25 tahun itu melanjutkan larinya tanpa berhenti. Ayunan langkahnya menyibak dedaunan kering dan rerumputan yang tumbuh subur di dalam hutan. Degup jantung dan nafasnya memburu bagai genderang perang yang ditabuh bertalu-talu. Tujuannya adalah markas para perampok yang dipimpin oleh Winarto. Ambisinya untuk membalas dendam sudah berada di ubun-ubun, tapi tidak serta merta dia melakukannya, melainkan dengan sebuah rencana.
"Manusia pilihan apanya? Kalau aku manusia pilihan, aku pasti bisa menyelamatkan anak dan istriku!" bantah Aji pelan namun penuh tekanan. Pandangan matanya tetap lesu seperti kemarin setelah kehilangan anak dan istrinya. "Anak Muda, aku tahu kau akan sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi, apa kau tidak ingin membalas dendam kepada pembunuh istri dan anakmu? Apa kau ingin membiarkan mereka hidup dan terus berbuat kejahatan kembali? Kalau kau membiarkan mereka hidup, itu sama saja kau membantu mereka berbuat kejahatan!" berondong lelaki tua itu. Aji mengangkat wajahnya yang tertunduk sedari tadi. Bola matanya berkaca-kaca menatap lelaki tua yang sudah menyelamatkannya. "Tapi, Kek... aku juga bukan orang baik-baik." Aji mulai meneteskan air matanya. Bayangan orang-orang yang telah dirampoknya, bahkan ada yang dibunuhnya, menghantui di pelupuk matanya. Bayangan jerit tangis mereka menari-nari di pikirannya. "Aku adalah perampok dan juga pembunuh. Apak
1 bulan lamanya Aji berlatih fisik. Tubuhnya kini sangat berotot dan terlihat kekar. Namun kulitnya sedikit hitam karena terlalu seringnya dia berlatih di bawah sinar matahari.Latihan berikutnya yang harus dia lakukan adalah pengolahan tenaga dalam. Prayoga mengajak Aji ke sebuah lubang kawah bekas letusan yang ada di atas gunung.Meski sudah meletus, namun kawah gunung tersebut masih mengeluarkan lava panas yang mengepulkan asap tebal.Prayoga memberi perintah kepada Aji untuk duduk bersila di bibir kawah yang sangat panas tersebut. Awalnya, Aji masih ragu untuk melakukannya. Namun sebuah penjelasan dari Prayoga membuatnya melupakan rasa takutnya."Takut itu tempatnya ada di dalam pikiran, Aji. Panas, dingin dan semua yang ada di bumi ini hanyalah makhluk ciptaan Dewata, termasuk kita. Jika kita bisa menyatu dengan makhluk lainnya, tidak mungkin mereka akan menyakiti kita," Papar
Saking besarnya tenaga dalam yang dikeluarkan Aji, pintu gerbang itu sampai jebol dan mengeluarkan suara yang begitu keras. Winarto yang baru keluar dari kediamannya dibuat murka, apalagi setelah melihat Aji berdiri menatapnya dengan tajam. "Kau masih hidup ternyata, Bajingan tengik! Aku pastikan hari ini tidak ada lagi yang akan menyelamatkanmu!" bentak Winarto. Di belakangnya, 40 anak buahnya sudah memegang senjatanya masing-masing dan bersiap untuk menyerang. Mereka hanya menunggu perintah dari Winarto untuk mencincang tubuh Aji. "Kau terlalu percaya diri, Winarto! Semua yang ada di tempat ini tidak akan aku biarkan keluar hidup-hidup," dengus Aji. Diam-diam dia mengalirkan tenaga dalam ke tangannya. "Bangsat! Cincang dia...!" Wiranto berteriak memberi perintah kepada anak buahnya. 40 orang anak buah Wiranto merangsek maju menyerang Aji bersama-sama. Desingan senjata mereka terdengar bersahutan membelah udara, saat se
Setelah menghela nafas panjang, Aji melangkahkan kaki tegapnya menyusuri lebatnya hutan belantara yang tidak terjamah manusia. Keberadaan markas perampok di hutan lebat tersebut membuat orang-orang enggan untuk menjejakkan kakinya, walaupun hanya sekedar untuk mencari ranting kayu bakar.Aji tidak tahu kemana harus melangkahkan kaki, karena tidak punya tujuan yang jelas harus mencari pendekar itu di mana. Yang dia tahu, dia hanya harus tetap melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak, selepasnya dia keluar dari hutan.Seharian berjalan dan hari sudah mulai gelap, Aji tiba di sebuah desa besar yang terlihat ramai, meski matahari sudah tenggelam di ufuk barat.Desa Pandan Pancur, nama yang tertulis di pintu gerbang masuk desa. Entah apa makna yang tersirat dari pengambilan nama tersebut, yang pasti Aji tidak melihat sedikitpun tanaman pandan sejauh matanya memandang."Tidak biasanya ada desa seramai ini saat malam tiba," gumam Aji pelan. Dia melangkah mem
Sesaat kemudian, gadis cantik itu memanggil pelayan untuk membayar tagihannya. Namun tiba-tiba raut muka kebingungan tercetak jelas di wajah cantiknya. Keringat dingin secara perlahan meronta keluar membasahi pakaiannya.Aji sedikit mengernyitkan dahinya saat melihat kebingungan di wajah gadis cantik tersebut. Lelaki tampan itu kemudian bertanya kepadanya, "Ada masalah apa, Nisanak? Apa ada yang bisa kubantu?"Gadis cantik itu menatap Aji sebentar lalu menundukkan kepalanya. Dia takut jika lelaki tampan itu akan meminta balas budi jika dia menerimanya. Dan yang lebih ditakutkannya lagi, bisa saja lelaki itu meminta membalas jasanya dengan cara menikmati tubuhnya.Dia bergidik ngeri. Tapi dia juga dibuat bingung dengan situasi yang saat ini bisa benar-benar membuatnya malu besar. Tak bisa membayar makanan yang sudah berpindah ke dalam perutnya tentu adalah hal yang sangat memalukan buatnya."Kenapa kau malah melamun, Nisanak? Apa ada yang bisa
Sesampainya di penginapan, mereka menuju kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Aji tidak segera merebahkan tubuhnya. Dia duduk bersila di atas ranjang dan Pedang Kegelapan berada tepat di depan tubuhnya.Selama Pedang Kegelapan belum memberinya petunjuk kemana dia harus melangkah, dia akan mencoba terus untuk bertanya. Selain rasa penasaran besar tentang siapa yang harus ditemuinya, dia juga penasaran tugas apa yang harus dilakukannya, sehingga dia harus menerima berkah memiliki darah murni di dalam tubuhnya.Seperti semula, Pedang Kegelapan hanya diam tak bergerak. Bahkan ketika Aji mengeluarkan pedang berwarna hitam kelam itu dari sarungnya.Lama tak kunjung mendapat jawaban, Aji berpikir mungkin ada rencana lain untuknya, sebelum dia menemukan sosok yang harus ditemuinya. Lelaki tampan berumur 25 tahun itupun memasukkan kembali bilah pedang Kegelapan ke dalam sarungnya.Setelah itu dia merebahkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya
Hanya dengan anggukan kepala, keduanya menjawab pertanyaan tersebut. Selepas itu, pembawa acara menghela napas lega lalu menuruni panggung.Di bawah panggung, seorang lelaki yang merupakan bandar judi, berteriak keras memancing para penonton agar bertaruh dan memilih salah satu petarung yang sudah ada di atas panggung. Berbagai upaya dia lakukan agar partai pembuka dalam turnamen kali ini bisa sarat orang-orang yang bertaruh."Satu banding dua ... satu banding dua!" teriaknya mempromosikan.Karena tidak ada yang meresponnya, bandar tersebut menaikkan lagi tawarannya, "Satu banding tiga ... satu banding tiga!"Satu persatu penonton mulai tertarik memasang taruhan. Mayoritas dari mereka memilih Sapto sebagai pemenangnya, dan hanya dua orang saja yang memilih Aji. Salah satunya adalah Ratih yang menggunakan sisa uang dari Aji kemarin sebagai bahannya bertaruh.Gadis cantik itu