Setelah menghela nafas panjang, Aji melangkahkan kaki tegapnya menyusuri lebatnya hutan belantara yang tidak terjamah manusia. Keberadaan markas perampok di hutan lebat tersebut membuat orang-orang enggan untuk menjejakkan kakinya, walaupun hanya sekedar untuk mencari ranting kayu bakar.
Aji tidak tahu kemana harus melangkahkan kaki, karena tidak punya tujuan yang jelas harus mencari pendekar itu di mana. Yang dia tahu, dia hanya harus tetap melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak, selepasnya dia keluar dari hutan.
Seharian berjalan dan hari sudah mulai gelap, Aji tiba di sebuah desa besar yang terlihat ramai, meski matahari sudah tenggelam di ufuk barat.
Desa Pandan Pancur, nama yang tertulis di pintu gerbang masuk desa. Entah apa makna yang tersirat dari pengambilan nama tersebut, yang pasti Aji tidak melihat sedikitpun tanaman pandan sejauh matanya memandang.
"Tidak biasanya ada desa seramai ini saat malam tiba," gumam Aji pelan. Dia melangkah memasuki desa tersebut dengan pandangan mata menelisik mengamati.
Dilihatnya, begitu banyak pedagang yang menjajakan dagangannya dengan teriakan khasnya masing-masing. Juga rumah-rumah besar yang berderet rapi, menandakan strata ekonomi penduduk desa ini cukup tinggi.
"Mohon maaf, Kisanak. Sebenarnya ada acara apa di desa ini?" tanya Aji kepada seorang lelaki yang melintas di depannya.
Lelaki itu memandang Aji dari atas sampai ke bawah, "Kisanak bukan warga desa ini?"
Aji menggelengkan kepalanya pelan.
"Pantas saja Kisanak tidak tahu. Juragan Subrata sedang menikahkan anak gadisnya dan dirayakan 3 hari 3 malam tanpa berhenti. Berbagai pertunjukkan juga diselenggarakan untuk merayakannya. Itu panggungnya di sana!" Lelaki itu menunjuk panggung besar yang berdiri menutupi jalan.
"Oh iya, besok juga ada pertandingan pendekar, kalau Kisanak berminat bisa ikut mendaftarkan diri juga," sambung lelaki tersebut.
"Tidak, Kisanak... aku tidak bisa bertarung dan hanya mau melihat saja. Terima kasih atas informasinya."
"Sama-sama, Kisanak. Mari, aku tinggal dulu!"
Aji tersenyum tipis dengan anggukan kepala sopan.
Dia kembali melangkahkan kakinya, berjalan menyusuri desa besar itu sambil terus memandang lapak dagangan yang dijajakan sepanjang jalan desa.
Pandangan matanya tertuju kepada caping bambu yang ada di salah satu lapak dagangan. Aji berpikir, dia perlu sedikit menutupi wajahnya, karena kuatir ada korbannya dulu yang masih bisa mengenalinya.
Setelah membayar, duda tampan tersebut memakai caping bambu pilihannya dan melanjutkan langkahnya menuju panggung besar yang berada tepat di depan rumah juragan Subrata.
"Kisanak, apa kau mau ikut dalam pertandingan besok?" tanya seorang lelaki kepada Aji. Di tangannya tergenggam sebuah pena dan kulit kering, "Kalau kisanak berminat, aku bisa mencatatnya di sini!" ucapnya seraya menunjukkan kulit kering di tangannya.
Aji hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu melangkah pergi. Tapi lelaki itu tidak patah semangat, melihat tubuh Aji yang kekar, dia berpikir kalau Aji akan memiliki nilai jual tinggi dalam taruhan yang biasanya terjadi dalam suatu pertandingan silat.
"Ayolah, Kisanak. Sayang sekali kalau dilewatkan. Hadiahnya lumayan besar untuk ukuran kita," rayu lelaki itu.
"Aku tidak bisa bertarung, Kisanak, " balas Aji.
Lelaki itu tidak percaya jika Aji hanya lelaki biasa. Dilihat dari tongkrongannya yang kekar, ditambah dengan pedang yang tergantung di pundaknya, dia berkeyakinan kalau Aji adalah seorang pendekar.
"Ayolah, Kisanak..." ucapan lelaki itu terhenti setelah Aji menatapnya dengan tajam. Dia kemudian pergi sambil bersungut kesal.
Aji menggelengkan kepalanya pelan, kemudian berjalan menuju sebuah penginapan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Setelah memesan sebuah kamar untuknya beristirahat malam ini, dia kembali keluar dari penginapan untuk mencari makan. Aji yakin masih ada tempat makan yang buka, karena dia melihat banyak pendekar dari luar yang berdatangan ke desa tersebut untuk mengikuti pertandingan yang akan dimulai besok pagi.
Aji memasuki sebuah tempat makan yang terlihat ramai di sudut desa. Pandangan matanya berkeliling untuk mencari meja yang kosong, namun tak ada satu pun meja yang terlihat kosong. Hanya ada satu meja yang ditempati seorang gadis cantik, dan berada paling sudut di tempat makan tersebut.
Dari tongkrongannya yang membawa sebuah pedang dan ditaruhnya di atas meja, Aji bisa menilai jika gadis cantik tersebut adalah seorang pendekar juga seperti dirinya. Dia lalu berjalan mendekat dan dengan sopannya meminta ijin untuk duduk di meja itu.
“Mohon maaf, Nisanak. Apakah meja ini tidak ada yang menempatinya lagi selain Nisanak?”
Wanita itu mengangkat wajahnya sekilas lalu menggeleng, “Silahkan kalau mau duduk di sini,” jawabnya singkat, kemudian melanjutkan makannya yang sempat terhenti. Tampaknya dia tidak memperhatikan wajah Aji yang tertutup caping bambu.
Aji menggeser sebuah kursi lalu mendudukinya. Pandangannya menelisik setiap orang yang ada di tempat makan itu, dan mencoba mengukur tenaga dalam mereka. Setelah itu pandangannya teralih kepada pelayan yang mengantarkan makanan kepadanya.
“Silahkan dinikmati makanannya selagi hangat, Kisanak!” ucap pelayan itu ramah. Senyum hangat semburat tercetak di bibirnya.
“Terima kasih, Kisanak.” Aji langsung memakan dengan lahap makanan yang sudah terhidang di mejanya hingga habis tidak tersisa lagi. Rasa lapar yang mendera membuatnya sampai lupa jika di depannya ada seorang gadis cantik yang sesekali meliriknya.
"Sepertinya dia sangat kelaparan," ucap gadis cantik itu dalam hati.
Sesaat kemudian, wanita itu memanggil pelayan untuk membayar tagihannya. Namun raut muka wanita itu tiba-tiba seperti kebingungan, dan keringat dingin pun keluar membasahi pakaiannya.
Sesaat kemudian, gadis cantik itu memanggil pelayan untuk membayar tagihannya. Namun tiba-tiba raut muka kebingungan tercetak jelas di wajah cantiknya. Keringat dingin secara perlahan meronta keluar membasahi pakaiannya.Aji sedikit mengernyitkan dahinya saat melihat kebingungan di wajah gadis cantik tersebut. Lelaki tampan itu kemudian bertanya kepadanya, "Ada masalah apa, Nisanak? Apa ada yang bisa kubantu?"Gadis cantik itu menatap Aji sebentar lalu menundukkan kepalanya. Dia takut jika lelaki tampan itu akan meminta balas budi jika dia menerimanya. Dan yang lebih ditakutkannya lagi, bisa saja lelaki itu meminta membalas jasanya dengan cara menikmati tubuhnya.Dia bergidik ngeri. Tapi dia juga dibuat bingung dengan situasi yang saat ini bisa benar-benar membuatnya malu besar. Tak bisa membayar makanan yang sudah berpindah ke dalam perutnya tentu adalah hal yang sangat memalukan buatnya."Kenapa kau malah melamun, Nisanak? Apa ada yang bisa
Sesampainya di penginapan, mereka menuju kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Aji tidak segera merebahkan tubuhnya. Dia duduk bersila di atas ranjang dan Pedang Kegelapan berada tepat di depan tubuhnya.Selama Pedang Kegelapan belum memberinya petunjuk kemana dia harus melangkah, dia akan mencoba terus untuk bertanya. Selain rasa penasaran besar tentang siapa yang harus ditemuinya, dia juga penasaran tugas apa yang harus dilakukannya, sehingga dia harus menerima berkah memiliki darah murni di dalam tubuhnya.Seperti semula, Pedang Kegelapan hanya diam tak bergerak. Bahkan ketika Aji mengeluarkan pedang berwarna hitam kelam itu dari sarungnya.Lama tak kunjung mendapat jawaban, Aji berpikir mungkin ada rencana lain untuknya, sebelum dia menemukan sosok yang harus ditemuinya. Lelaki tampan berumur 25 tahun itupun memasukkan kembali bilah pedang Kegelapan ke dalam sarungnya.Setelah itu dia merebahkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya
Hanya dengan anggukan kepala, keduanya menjawab pertanyaan tersebut. Selepas itu, pembawa acara menghela napas lega lalu menuruni panggung.Di bawah panggung, seorang lelaki yang merupakan bandar judi, berteriak keras memancing para penonton agar bertaruh dan memilih salah satu petarung yang sudah ada di atas panggung. Berbagai upaya dia lakukan agar partai pembuka dalam turnamen kali ini bisa sarat orang-orang yang bertaruh."Satu banding dua ... satu banding dua!" teriaknya mempromosikan.Karena tidak ada yang meresponnya, bandar tersebut menaikkan lagi tawarannya, "Satu banding tiga ... satu banding tiga!"Satu persatu penonton mulai tertarik memasang taruhan. Mayoritas dari mereka memilih Sapto sebagai pemenangnya, dan hanya dua orang saja yang memilih Aji. Salah satunya adalah Ratih yang menggunakan sisa uang dari Aji kemarin sebagai bahannya bertaruh.Gadis cantik itu
"Itu hanya kebetulan saja," jawab Aji. Bibirnya tersungging tipis menimbulkan misteri bagi Ratih yang melihatnya."Tidak mungkin," gumam Ratih dalam hati. Dia sangat yakin jika Aji tidak asal menebak. Dan menurutnya, Jika Aji bisa membaca pergerakan mereka yang sedang bertarung dan juga menebak siapa yang kalah dan menang, pastinya Aji bukan pendekar biasa.Beberapa orang yang mendengar tebakan Aji , merangsek mendekati lelaki tampan tersebut. Mereka berharap Aji akan menebak lagi pertarungan berikutnya yang akan segera digelar. Dengan begitu mereka akan mendapatkan keuntungan besar dari bertaruh.Namun mereka dibuat kecewa, Aji berjalan menjauh secara tiba-tiba sambil menggandeng tangan Ratih. Gadis cantik berlesung pipi itupun dibuat kaget setelah Aji menggandeng tangannya dengan erat.Seumur hidupnya, hanya ayahnya, lelaki satu-satunya yang pernah bersentuhan kulit denganny
Lelaki tersebut terpancing emosinya mendengar ejekan yang dilontarkan Ratih. Dia berdiri hendak melompat ke atas panggung, tapi temannya langsung memegang lengannya seraya menggelengkan kepalanya. "Jangan mencari masalah sekarang!" ucap lelaki lainnya sambil melirik ke arah Aji yang sedang melihat mereka. Lelaki tersebut menoleh sebentar ke arah Aji, lalu kembali memegang lengan Si Bogang dan membantunya berdiri. Kedua lelaki itu menyibak puluhan penonton dan memapah tubuh Si Bogang yang sudah tidak berdaya menjauhi panggung. Ratih dengan ringan melompat dari atas panggung. Setelah itu dia berjalan mendekati lelaki tampan yang sedikit telat melihat kemampuannya tadi. "Untung tadi lawanmu tidak melihat kelemahanmu," bisik Aji di telinga Ratih. Gadis cantik itu mengernyitkan dahinya, "Kalau boleh tahu, di mana letak kelemahanku?" "Nanti di penginapan saja aku akan tunjukkan celah pertahananmu yan
Selepas kepergian Aji, Ratih menghela napas panjang sebelum meloloskan semua kain yang melekat di tubuhnya, dan memakai pakaian lainnya.Entah kenapa, sejak Aji menggandeng tangannya, pikiran Ratih tak bisa lepas dari wajah tampan yang selalu bersliweran di otaknya. Bahkan ketika dia sudah merebahkan tubuhnya untuk beristirahat, bayangan wajah tampan Aji sampai masuk ke dalam alam mimpinya.Keesokan paginya, suasana di sekitar panggung sudah dijubeli oleh para penonton dan peserta yang masih bertahan masuk ke babak kedua. Aji dan Ratih juga tampak berdiri berdampingan di antara ratusan orang di sekitarnya.Wajah rupawan yang mereka berdua miliki, menjadi pusat perhatian puluhan pasang mata yang berada di tempat itu. Mereka menilai jika Aji dan Ratih adalah pasangan pendekar yang sangat serasi, baik dari segi wajah maupun penampilan.Tak berapa lama, pembawa acara menaiki panggung. S
"Kau kira aku akan membiarkanmu jatuh dan kalah begitu saja? Tidak akan! Mulutmu itu harus diberi pelajaran terlebih dahulu!"Posisi keduanya kini berbalik. Birowo berada di bibir panggung, dan Aji bergerak melakukan serangan tanpa henti.Setiono berusaha menangkis dan menghindari serangan Aji yang terus menerus terarah ke mukanya. Pendekar berjuluk Mayat Hidup tersebut tahu, sekali saja tubuhnya terkena serangan, dia akan langsung terjatuh dan kalah.Sesekali dia melirik ke samping untuk memastikan posisi bibir panggung. Sekali saja dia salah menempatkan kakinya, dia akan terjerembab jatuh dari panggung. Dan itu sama artinya dia akan kalah.Dalam satu kesempatan memanfaatkan serangan Aji yang mengendur, Birowo melompat dan berusaha menuju ke tengah panggung. Namun Aji lebih sigap, dia menangkap kaki lelaki berwajah dingin itu dan seketika membantingnya ke lantai panggung yang terbu
Kurang dari 30 detik, Birowo harus merelakan dadanya terkena pukulan hingga membuatnya terjungkal ke belakang sejauh 7 langkah. Tubuhnya mendarat di lantai panggung yang keras, dan sesaat berikutnya dia memuntahkan darah segar dari mulutnya. "Bedebah! Aku tidak boleh kalah!" dengusnya pelan. Diakui atau tidak, dia terkejut dengan kecepatan lawannya yang jauh meningkat. "Berdiri! Jangan jadi pendekar pengecut yang menyerah kalah sebelum menuntaskan pertarungan!" bentak Aji dengan keras. Tamparan begitu telak mendarat di pikiran Birowo. Rasa takut yang sempat dirasakannya akhirnya menghilang. Dia tahu, menyerah tidak akan membuat keadaan berubah. Lelaki yang menjadi lawannya itu pasti akan tetap berusaha memberinya pelajaran. Lelaki berwajah pucat yang tak lagi pucat itu berdiri dan menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya. Matanya tajam menatap ke arah Aji seolah hendak mengu