Beranda / Pendekar / Mustika Naga Bumi / Desa Pandan Pancur

Share

Desa Pandan Pancur

Setelah menghela nafas panjang, Aji melangkahkan kaki tegapnya menyusuri lebatnya hutan belantara yang tidak terjamah manusia. Keberadaan markas perampok di hutan lebat tersebut membuat orang-orang enggan untuk menjejakkan kakinya, walaupun hanya sekedar untuk mencari ranting kayu bakar.

Aji tidak tahu kemana harus melangkahkan kaki, karena tidak punya tujuan yang jelas harus mencari pendekar itu di mana. Yang dia tahu, dia hanya harus tetap melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak, selepasnya dia keluar dari hutan.

Seharian berjalan dan hari sudah mulai gelap, Aji tiba di sebuah desa besar yang terlihat ramai, meski matahari sudah tenggelam di ufuk barat.

Desa Pandan Pancur, nama yang tertulis di pintu gerbang masuk desa. Entah apa makna yang tersirat dari pengambilan nama tersebut, yang pasti Aji tidak melihat sedikitpun tanaman pandan sejauh matanya memandang.

"Tidak biasanya ada desa seramai ini saat malam tiba," gumam Aji pelan. Dia melangkah memasuki desa tersebut dengan pandangan mata menelisik mengamati.

Dilihatnya, begitu banyak pedagang yang menjajakan dagangannya dengan teriakan khasnya masing-masing. Juga rumah-rumah besar yang berderet rapi, menandakan strata ekonomi penduduk desa ini cukup tinggi. 

"Mohon maaf, Kisanak. Sebenarnya ada acara apa di desa ini?" tanya Aji kepada seorang lelaki yang melintas di depannya.

Lelaki itu memandang Aji dari atas sampai ke bawah, "Kisanak bukan warga desa ini?"

Aji menggelengkan kepalanya pelan.

"Pantas saja Kisanak tidak tahu. Juragan Subrata sedang menikahkan anak gadisnya dan dirayakan 3 hari 3 malam tanpa berhenti. Berbagai pertunjukkan juga diselenggarakan untuk merayakannya. Itu panggungnya di sana!" Lelaki itu menunjuk panggung besar yang berdiri menutupi jalan.

"Oh iya, besok juga ada pertandingan pendekar, kalau Kisanak berminat bisa ikut mendaftarkan diri juga," sambung lelaki tersebut.

"Tidak, Kisanak... aku tidak bisa bertarung dan hanya mau melihat saja. Terima kasih atas informasinya."

"Sama-sama, Kisanak. Mari, aku tinggal dulu!"

Aji tersenyum tipis dengan anggukan kepala sopan.

Dia kembali melangkahkan kakinya, berjalan menyusuri desa besar itu sambil terus memandang lapak dagangan yang dijajakan sepanjang jalan desa. 

Pandangan matanya tertuju kepada caping bambu yang ada di salah satu lapak dagangan. Aji berpikir, dia perlu sedikit menutupi wajahnya, karena kuatir ada korbannya dulu yang masih bisa mengenalinya. 

Setelah membayar, duda tampan tersebut memakai caping bambu pilihannya dan melanjutkan langkahnya menuju panggung besar yang berada tepat di depan rumah juragan Subrata.

"Kisanak, apa kau mau ikut dalam pertandingan besok?" tanya seorang lelaki kepada Aji. Di tangannya tergenggam sebuah pena dan kulit kering, "Kalau kisanak berminat, aku bisa mencatatnya di sini!" ucapnya seraya menunjukkan kulit kering di tangannya.

Aji hanya menggeleng sambil tersenyum, lalu melangkah pergi. Tapi lelaki itu tidak patah semangat, melihat tubuh Aji yang kekar, dia berpikir kalau Aji akan memiliki nilai jual tinggi dalam taruhan yang biasanya terjadi dalam suatu pertandingan silat.

"Ayolah, Kisanak. Sayang sekali kalau dilewatkan. Hadiahnya lumayan besar untuk ukuran kita," rayu lelaki itu.

"Aku tidak bisa bertarung, Kisanak, " balas Aji.

Lelaki itu tidak percaya jika Aji hanya lelaki biasa. Dilihat dari tongkrongannya yang kekar, ditambah dengan pedang yang tergantung di pundaknya, dia berkeyakinan kalau Aji adalah seorang pendekar.

"Ayolah, Kisanak..." ucapan lelaki itu terhenti setelah Aji menatapnya dengan tajam. Dia kemudian pergi sambil bersungut kesal.

Aji menggelengkan kepalanya pelan, kemudian berjalan menuju sebuah penginapan yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Setelah memesan sebuah kamar untuknya beristirahat malam ini, dia kembali keluar dari penginapan untuk mencari makan. Aji yakin masih ada tempat makan yang buka, karena dia melihat banyak pendekar dari luar yang berdatangan ke desa tersebut untuk mengikuti pertandingan yang akan dimulai besok pagi.

Aji memasuki sebuah tempat makan yang terlihat ramai di sudut desa. Pandangan matanya berkeliling untuk mencari meja yang kosong, namun tak ada satu pun meja yang terlihat kosong. Hanya ada satu meja yang ditempati seorang gadis cantik, dan berada paling sudut di tempat makan tersebut.

Dari tongkrongannya yang membawa sebuah pedang dan ditaruhnya di atas meja, Aji bisa menilai jika gadis cantik tersebut adalah seorang pendekar juga seperti dirinya. Dia lalu berjalan mendekat dan  dengan sopannya meminta ijin untuk duduk di meja itu. 

“Mohon maaf, Nisanak. Apakah meja ini tidak ada yang menempatinya lagi selain Nisanak?”

Wanita itu mengangkat wajahnya sekilas lalu menggeleng, “Silahkan kalau mau duduk di sini,” jawabnya singkat, kemudian melanjutkan makannya yang sempat terhenti. Tampaknya dia tidak memperhatikan wajah Aji yang tertutup caping bambu.

Aji menggeser sebuah kursi lalu mendudukinya. Pandangannya menelisik setiap orang yang ada di tempat makan itu, dan mencoba mengukur tenaga dalam mereka. Setelah itu pandangannya teralih kepada pelayan yang mengantarkan makanan kepadanya.

“Silahkan dinikmati makanannya selagi hangat, Kisanak!” ucap pelayan itu ramah. Senyum hangat semburat tercetak di bibirnya.

“Terima kasih, Kisanak.” Aji langsung memakan dengan lahap makanan yang sudah terhidang di mejanya hingga habis tidak tersisa lagi. Rasa lapar yang mendera membuatnya sampai lupa jika di depannya ada seorang gadis cantik yang sesekali meliriknya. 

"Sepertinya dia sangat kelaparan," ucap gadis cantik itu dalam hati.

Sesaat kemudian, wanita itu memanggil pelayan untuk membayar tagihannya. Namun raut muka wanita itu tiba-tiba seperti kebingungan, dan keringat dingin pun keluar membasahi pakaiannya.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Pangkal
bikin penasaran cerita nya
goodnovel comment avatar
Heriyanto
sangat menarik.
goodnovel comment avatar
Yanuar Arif
ya cukup bagus buat penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status