Lelaki tersebut terpancing emosinya mendengar ejekan yang dilontarkan Ratih. Dia berdiri hendak melompat ke atas panggung, tapi temannya langsung memegang lengannya seraya menggelengkan kepalanya.
"Jangan mencari masalah sekarang!" ucap lelaki lainnya sambil melirik ke arah Aji yang sedang melihat mereka.
Lelaki tersebut menoleh sebentar ke arah Aji, lalu kembali memegang lengan Si Bogang dan membantunya berdiri. Kedua lelaki itu menyibak puluhan penonton dan memapah tubuh Si Bogang yang sudah tidak berdaya menjauhi panggung.
Ratih dengan ringan melompat dari atas panggung. Setelah itu dia berjalan mendekati lelaki tampan yang sedikit telat melihat kemampuannya tadi.
"Untung tadi lawanmu tidak melihat kelemahanmu," bisik Aji di telinga Ratih.
Gadis cantik itu mengernyitkan dahinya, "Kalau boleh tahu, di mana letak kelemahanku?"
"Nanti di penginapan saja aku akan tunjukkan celah pertahananmu yan
Selepas kepergian Aji, Ratih menghela napas panjang sebelum meloloskan semua kain yang melekat di tubuhnya, dan memakai pakaian lainnya.Entah kenapa, sejak Aji menggandeng tangannya, pikiran Ratih tak bisa lepas dari wajah tampan yang selalu bersliweran di otaknya. Bahkan ketika dia sudah merebahkan tubuhnya untuk beristirahat, bayangan wajah tampan Aji sampai masuk ke dalam alam mimpinya.Keesokan paginya, suasana di sekitar panggung sudah dijubeli oleh para penonton dan peserta yang masih bertahan masuk ke babak kedua. Aji dan Ratih juga tampak berdiri berdampingan di antara ratusan orang di sekitarnya.Wajah rupawan yang mereka berdua miliki, menjadi pusat perhatian puluhan pasang mata yang berada di tempat itu. Mereka menilai jika Aji dan Ratih adalah pasangan pendekar yang sangat serasi, baik dari segi wajah maupun penampilan.Tak berapa lama, pembawa acara menaiki panggung. S
"Kau kira aku akan membiarkanmu jatuh dan kalah begitu saja? Tidak akan! Mulutmu itu harus diberi pelajaran terlebih dahulu!"Posisi keduanya kini berbalik. Birowo berada di bibir panggung, dan Aji bergerak melakukan serangan tanpa henti.Setiono berusaha menangkis dan menghindari serangan Aji yang terus menerus terarah ke mukanya. Pendekar berjuluk Mayat Hidup tersebut tahu, sekali saja tubuhnya terkena serangan, dia akan langsung terjatuh dan kalah.Sesekali dia melirik ke samping untuk memastikan posisi bibir panggung. Sekali saja dia salah menempatkan kakinya, dia akan terjerembab jatuh dari panggung. Dan itu sama artinya dia akan kalah.Dalam satu kesempatan memanfaatkan serangan Aji yang mengendur, Birowo melompat dan berusaha menuju ke tengah panggung. Namun Aji lebih sigap, dia menangkap kaki lelaki berwajah dingin itu dan seketika membantingnya ke lantai panggung yang terbu
Kurang dari 30 detik, Birowo harus merelakan dadanya terkena pukulan hingga membuatnya terjungkal ke belakang sejauh 7 langkah. Tubuhnya mendarat di lantai panggung yang keras, dan sesaat berikutnya dia memuntahkan darah segar dari mulutnya. "Bedebah! Aku tidak boleh kalah!" dengusnya pelan. Diakui atau tidak, dia terkejut dengan kecepatan lawannya yang jauh meningkat. "Berdiri! Jangan jadi pendekar pengecut yang menyerah kalah sebelum menuntaskan pertarungan!" bentak Aji dengan keras. Tamparan begitu telak mendarat di pikiran Birowo. Rasa takut yang sempat dirasakannya akhirnya menghilang. Dia tahu, menyerah tidak akan membuat keadaan berubah. Lelaki yang menjadi lawannya itu pasti akan tetap berusaha memberinya pelajaran. Lelaki berwajah pucat yang tak lagi pucat itu berdiri dan menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya. Matanya tajam menatap ke arah Aji seolah hendak mengu
"Seharusnya dia juga mendapat jadwal bertanding hari ini." Aji bergumam pelan, tapi masih terdengar oleh telinga Ratih yang ada di sebelahnya.Beberapa gadis yang melintas di depan mereka berdua, menatap keduanya dengan pandangan iri. Rasa iri mereka dipicu dari paras yang dimiliki Aji dan Ratih. Tampan dan juga cantik. Para gadis itu tentu berharap bisa mendapatkan jodoh yang rupawan selayaknya Aji, meski itu kedengarannya sangat klise.Selang satu jam berikutnya, pendekar yang dimaksud Aji sudah berada di atas panggung. Di depannya, sudah berdiri seorang lelaki yang bertubuh jangkung dan kekar. Dia menunjukkan jari-jari tangannya yang sebesar buah pisang untuk mengintimidasi lawannya yang memiliki postur tubuh lebih kecil. Rahangnya mengeras mengeluarkan suara menggeram, seolah hendak memakan lelaki di depannya hidup-hidup.Sebelum turun dari panggung, pembawa acara berteriak dengan keras, "Untuk pertandingan berikutnya, mari kita saksikan Rangga m
Aji yang mendengar teriakan Warta, hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke arah Warta. Sesaat berikutnya, dia memutar jempolnya hingga mengarah ke bawah.Warta mendengus kesal. Baginya, apa yang ditunjukkan Aji itu adalah sebuah penghinaan yang besar. Rahangnya mengeras dan kepalan tangannya semakin kuat menandakan emosinya semakin memuncak."Kalahkan aku dulu, baru kau bisa melawannya!" Rangga sedari tadi mencoba mencari kelemahan Warta. Berbagai gerakan yang dilakukan Warta di saat dia menyerangnya, terekam jelas di memori otaknya.Warta menatap tajam ke arah Rangga. Dalam detik berikutnya, dia bergerak menyerang lawannya tersebut dengan kedua kepalan tangannya yang besar dan berotot. Rangga yang unggul dalam kecepatan, bergerak lincah menghindari setiap serangan yang mengincarnya. Tubuhnya berkelit liar bagai seekor naga yang terbang hendak menerkam mangsanya.Hal yang diluar dug
Tanpa kesulitan berarti, gadis cantik itu bisa mengalahkan lawannya dengan cepat. Kecerobohan lawannya karena salah melangkah, membuat Ratih bisa melepaskan tendangan gunting, yang langsung membuat lawannya itu terjatuh ke lantai panggung dengan kepala terlebih dahulu. Dan akibatnya, lawannya itupun jatuh pingsan di tempat.Selepas pertarungan Ratih, Aji mengajak gadis itu untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Keserasian mereka berdua, kembali membuat para penduduk yang melihatnya, dibuat iri sekaligus kagum."Sungguh serasi sekali mereka berdua. Andai aku bisa bersanding denga lelaki itu, tentu aku akan sangat bahagia," ucap seorang gadis kepada temannya."Kamu bahagia, tapi lelaki itu tidak!" sahut temannya sambil tertawa," Sebaiknya kau melihat ke cermin, kira-kira kau pantas bersanding dengan lelaki tampan itu atau tidak?"Aji dan Ratih menyusuri desa itu untuk melihat-lihat keadaan sekitar
Dan pertandingan pun dimulai. Dengan keyakinan penuhnya, Subrata bergerak menyerang terlebih dahulu. Dia menyarangkan beberapa pukulan dari kedua kepalan tangannya. Namun Rangga dengan dingin menghindar, dan sesekali melakukan tepisan, untuk membuat arah serangan Subrata berubah.Beberapa penonton terlihat mendekati Aji. Mereka berharap lelaki tampan itu akan membuka suara terkait siapa yang akan memenangkan pertandingan yang sedang terjadi di atas panggung. Mereka adalah para petaruh yang belum menentukan, siapa yang mereka jagokan untuk menang. Dan jelas mereka berharap mendapat keuntungan besar dari taruhan yang akan mereka lakukan, itu jika Aji memberi petunjuk siapa yang akan melaju ke partai final melawan dirinya.Namun Aji sudah membaca gelagat yang mereka tunjukkan. Meski dia sudah bisa membaca siapa yang akan menang antara Rangga dan Subrata, Aji tidak sedikitpun berbicara kepada Ratih terkait pertandingan yang sedang terjadi. Dia m
Rangga berkelit menghindari serangan demi serangan yang menghujani tubuhnya. Sesekali dia melakukan tangkisan dan juga serangan balasan yang tidak kalah cepat.Pertarungan cepat tangan kosong itupun berlangsung dengan sengit. Mereka berdua menunjukkan kecepatan yang lumayan tinggi dalam pertarungan yang sedang mereka jalani.Akibat tangkisan demi tangkisan yang dilakukan Rangga, darah segar kembali mengalir keluar dari luka di tangan Subrata. Lelaki itu meringis kecil setiap kali tangannya yang terluka, berbenturan dengan tangan lawannya.Raut muka Subrata yang berubah-ubah, terlihat oleh pandangan mata Rangga. Dia mengubah gerakannya dan sedikit memfokuskan untuk menangkis daripada menghindar. Dan rencananya itupun berhasil.Darah mengalir semakin deras, dan luka robek yang ada di tangan Subrata menjadi semakin lebar dan dalam. Lelaki itu secara perlahan mulai kehilangan konsentrasinya, dan kesempatan itu dimanfaatkan Rangga dengan baik.
Setelah meninggalkan Aji, Damarjaya kembali ke tempatnya. diambilnya kedua pedang pusaka dan juga kitab yang berada di meja. Setelah itu dia membawanya menuju sebuah kamar. Di dalam kamar, Damarjaya duduk bersila. Kedua pedang pusaka diletakkannya persis di depannya. Setelah itu dia berkonsentrasi untuk menemui jiwa yang berada di dalam kedua pedang pusaka tersebut. “Damarjaya, akhirnya kita bertemu kembali,” Sosok yang diselimuti aura kemerahan dan juga merupakan leluhur Aji, tiba-tiba muncul di depan Damarjaya. “Pendekar Naga Hitam, sudah lama kita tidak bertemu,” kata Damarjaya, seraya menyebut julukan yang disandang leluhur Aji. “Aku sudah lama tersiksa menunggu kemunculan cucuku Aji. Tapi sekarang aku lega karena tak lama lagi kau akan memurnikan jiwaku.” “Ya. Tapi bukan hanya itu. Di dalam kitab Serat Alam yang kubaca, ternyata Pedang Naga Bumi dan Pedang Serat Alam adalah satu kesatuan. Dewata ternyata sudah membuat skenario yang begitu hebat buat cucumu.” Leluhur Aji men
Aji jelas terkejut mendapati dirinya harus bergulingan di tanah. Betapa tidak, dia tidak merasakan adanya energi sama sekali yang mengarah kepadanya, tapi kenapa tiba-tiba saja dirinya harus terpental seorlah ada kekuatan yang tidak menghendakinya untuk mendekat. Lelaki berparas tampan itu penasaran dengan situasi yang aneh menurutnya. Untuk membuktikan bahwa dia tidak sekedar terpental tanpa adanya serangan, Aji pun kembali berjalan mendekat dan kali ini dia memasang kewaspadaan tingkat tinggi. Bisa saja serangan itu muncul di saat dirinya sedang lengah. Lagi-lagi situasi yang aneh terjadi. Aji yang sudah memasang kewaspadaan tingkat tinggi, kembali harus mengalami kejadian yang sama. Dalam jarak 10 meter dari titik lelaki sedang bermeditasi, tubuhnya langsung terpental dan bergulingan beberapa kali di tanah. Bahkan dia seperti tidak memiliki kewenangan untuk menstabilkan tubuhnya. ‘Aneh’ gumamnya pelan. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mengambil keputusan untuk menggunakan
Detak jantung Santoso semakin tidak karuan ketika melihat kedatangan Aji dan Ratih. Sepasang pendekar yang sudah membuat karirnya hancur berkeping-keping itu kini sedang menatapnya tajam. “Aku tidak perlu membuktikan apapun tentang kesalahan fatal yang sudah kau perbuat. Laporan penduduk sudah lebih dari cukup bagiku untuk bisa menjatuhkan hukuman kepadamu,” kata Aji mengawali persidangan untuk Santoso.Penduduk desa begitu penasaran dengan hukuman apa yang akan dijatuhkan Aji kepada Santoso. Mereka menatap lelaki tampan itu begitu lekat, menunggu kata-kata berikutnya yang meluncur dari bibirnya. “Tapi karena bukan aku yang kau rugikan, maka aku menyerahkan kepada mereka, hukuman apa yang pantas untukmu,” imbuh Aji. “Hukum mati saja!”“Penggal kepalanya!”“Hukum gantung!”Teriakan memberi usulan bersahutan keluar dari bibir penduduk desa yang sudah kesal akan kelakuan Santoso. Mereka serasa tak sabar ingin segera memberi hukuman mati kepada bekas kepala desa yang sudah membuat hidu
Bukan hanya si Jampang yang harus menelan ludah ketakutan melihat kehadiran Aji. Lima puluh anggota perguruan Tengkorak Hitam pun merasakan hal yang sama. Jika guru mereka saja bisa dikalahkan, apalagi mereka yang hanya murid biasa? Jelas bukan masalah berat bagi lelaki tampan itu untuk menghabisi mereka semua. “Kenapa kau diam saja? Mana omong besarmu yang tadi kau tunjukkan kepadaku sebelum suamiku datang?” ejek Ratih. Dilihatnya ke dalam kamar untuk memastikan kepala desa Santoso masih tetap berada di situ. “Nanti giliranmu Santoso! Sekarang aku kebiri dulu makhluk tak punya moral ini!” sambungnya. Bingung dengan situasi tak menguntungkan yang kini sedang dihadapinya, si Jampang pun mencoba berpikir mencari jalan keluar terbaik. Kabur dari tempat tersebut tentu menjadi opsi yang harus diambil, tapi bagaimana caranya ketika jalan keluar yang ada sudah tertutup. Melawan sosok berparas tampan itu sudah pasti bukan jalan terbaik yang akan dia ambil. Dia berpikir akan menggunakan ang
Aji tersenyum menatap lawan yang sudah mencabut pedang pusakanya. “Apa kau sudah merasa kalah hingga perlu menggunakan senjata untuk melawanku?” “Jangan banyak bicara, cabut pedangmu dan lawan aku!” sahut Ki Bledek Suro. “Baiklah jika itu yang kau inginkan. Tapi kuharap kau tidak menyesal jika pedangku sudah tercabut keluar.” “Aku tidak akan pernah menyesali apa yang sudah kuputuskan! Bahkan jika aku harus mati oleh pedangmu sekalipun!” Ki Bledek Suro tersenyum mencibir. Keyakinannya begitu tinggi kalau pedang pusakanya tak terkalahkan. “Tapi aku tidak akan mati oleh pedang murahanmu itu … Hahahaha!” imbuhnya yang diakhiri dengan tawa lantang. Aji hanya menggelengkan kepala melihat keyakinan lawan yang begitu besar. Sudah sering dia dihadapkan dengan kejadian serupa, dimana lawannya begitu membanggakan senjata pusakanya dan akan bisa mengalahkannya. Namun yang terjadi kemudian orang-orang itu malah harus mati di tangannya. Tangan Aji memegang gagang Pedang Naga Bumi yang tergant
Belum juga Ki Bledek Suro melanjutkan ucapannya, Si Jampang juga tiba di tempat tersebut bersama sekitar 50 anggota perguruan Tengkorak Hitam. “Itu orangnya, Guru. Dia yang sudah membuat Masalah dengan Tuan Santoso,” kata Si Jampang, setelah berada di dekat Ki Bledek Suro. “Apa kau tidak salah, Jampang, dia masih begitu muda, mana mungkin bisa mengalahkanmu dan juga teman-temanmu?” tanya Ki Bledek Suro memastikan keraguannya salah.“Benar dia orangnya, Guru. Bahkan dia juga telah berani menantang Guru untuk bertarung dengannya,” balas Si Jampang memanas-manasi gurunya. “Bocah tengik! Kubuat hidupmu menderita hari ini!” Ki Bledek Suro yang terbakar amarahnya, menunjuk Aji dengan ujung pedangnya.Sementara itu, Ratih yang berada di dalam rumah kepala desa Santoso, terus berusaha mencari keberadaan lelaki tersebut. Satu persatu kamar ataupun ruangan tidak luput dari pemeriksaannya. Bahkan kamar mandi yang terletak di dalam rumah tersebut juga tak lupa diperiksanya. ‘Di mana kepala de
Aji menatap dingin bagian dalam kompleks rumah kepala desa Santoso yang seperti tak berpenghuni. Prediksinya bahwa akan disambut anak buah kepala desa lalim tersebut, pupuslah sudah. Tidak ada seorang pun yang menampakkan batang hidungnya, dan Aji menilai mereka sudah pasti bersembunyi karena takut akan kedatangannya. “Ratih, ayo masuk ke dalam,” ajak Aji. Ratih mengangguk, lalu berjalan mengikuti Aji dari belakang memasuki kompleks rumah kepala desa Santoso yang cukup luas. “Sepertinya penghuni rumah ini sudah pergi semua,” kata Ratih, setelah matanya bergerilya dan tak menemukan pergerakan apapun. Aji menggeleng. “Kepala desa Santoso masih di sini. Dia tidak pergi kemana-mana.” “Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu? Logikanya, orang yang ketakutan pasti akan mencari jalan untuk menyelematkan diri,” bantah Ratih. “Logikanya memang seperti itu, Istriku tercinta. Tapi …” “Tapi apa?” potong Ratih. “Begini, aku yakin kalau kepala desa Santoso bakal meminta bantuan Ki Bledek Sur
Si Jampang tidak langsung menjawab pertanyaan kepala desa Santoso. Dia berusaha menetralkan lagi pernapasannya yang tidak karuan, begitu juga rasa lelah karena berlari juga mendera kedua kakinya.Sejak menjadi kepala pengawal di rumah kepala desa Santoso dalam 10 tahun terakhir, si Jampang memang sudah tidak pernah berlatih lagi. Segala aktifitas fisik yang biasa dilakukannya di perguruan, sudah ditinggalkannya sama sekali. Wajarlah kiranya jika dia gampang merasa lelah. .“Begini, Tuan, saat ini ada dua orang pendatang yang membikin onar di desa dan hendak membuat perhitungan dengan Tuan. Semua anak buahku sudah mereka lumpuhkan, untungnya aku bisa menyelamatkan diri dan melaporkannya kepada Tuan” “Apa sebelumnya mereka berdua ada masalah denganku?” tanya kepala desa Santoso dengan mimik muka keheranan. “Aku tidak tahu, Tuan. Tapi kurasa mereka tahu apa yang sudah kita lakukan dalam belasan tahun terakhir. Ada penduduk yang sudah bercerita kepada mereka berdua,” jawab si Jampang be
Dalam pandangan ratusan pasang mata, si Jampang tiba-tiba membuang pedangnya. Bahkan dia langsung berlutut memohon ampun. Rasa malu tidak dipedulikannya lagi, yang terpenting baginya adalah menyelematkan nyawa satu-satunya yang dia miliki.“Maafkan aku, Nisanak. Aku telah melakukan kesalahan besar.” ucapnya mengiba. Ratih memandang sinis sosok lelaki yang kini berlutut di depannya dengan pandangan tertunduk ke tanah. “Tidak semudah itu kau meminta maaf. Aku yakin kau selama ini sudah berbuat buruk dan semena-mena di desa ini,” kata Ratih, kemudian mengarahkan pandangannya kepada Aji. Seakan mengerti maksud istrinya, Aji mendekati salah satu penduduk yang memakai tudung kepala dan berdiri tidak jauh darinya. Cangkul tampak terpanggul di pundak kanannya. Sebelum berangkat ke ladang, lelaki itu berhenti karena adanya pertarungan di jalanan.“Maaf, Kisanak, ada yang ingin kutanyakan mengenai kelompok mereka,” ucapnya. Lelaki berusia sekitar 60 tahun yang ditanyai Aji tampak kebingunga