Rangga berkelit menghindari serangan demi serangan yang menghujani tubuhnya. Sesekali dia melakukan tangkisan dan juga serangan balasan yang tidak kalah cepat.
Pertarungan cepat tangan kosong itupun berlangsung dengan sengit. Mereka berdua menunjukkan kecepatan yang lumayan tinggi dalam pertarungan yang sedang mereka jalani.
Akibat tangkisan demi tangkisan yang dilakukan Rangga, darah segar kembali mengalir keluar dari luka di tangan Subrata. Lelaki itu meringis kecil setiap kali tangannya yang terluka, berbenturan dengan tangan lawannya.
Raut muka Subrata yang berubah-ubah, terlihat oleh pandangan mata Rangga. Dia mengubah gerakannya dan sedikit memfokuskan untuk menangkis daripada menghindar. Dan rencananya itupun berhasil.
Darah mengalir semakin deras, dan luka robek yang ada di tangan Subrata menjadi semakin lebar dan dalam. Lelaki itu secara perlahan mulai kehilangan konsentrasinya, dan kesempatan itu dimanfaatkan Rangga dengan baik.
Para penonton tentu tidak ada yang menduga jika Rangga sampai kalah. Begitu juga dengan Ratih dan Aji yang sampai membelalakkan matanya, ketika melihat tubuh Rangga meluncur keluar dari panggung.Kekecewaan tampak terlihat dalam tatapan mata para penonton. Harapan untuk melihat pertarungan yang seimbang dalam partai final antara Aji dan Rangga akhirnya tidak terjadi."Sayang sekali!" hanya dua kata itu yang terucap dari bibir Aji. Padahal dia sudah sangat yakin kalau Rangga akan memenangkan pertandingan itu.Rangga berjalan mendekati Aji dan Ratih yang memandangnya tanpa henti. Senyuman hangat terlontar dari bibir lelaki itu, setelah dia sudah berada di dekat mereka berdua."Aku yakin kau besok akan memenangkan pertandingan melawannya, Pendekar. Secara kemampuan, kau jauh lebih unggul dari pada dia. Tapi berhati-hatilah, dia sangat licik!"Aji menanggapi ucapan Rangga dengan senyuman yang tak kalah hangat, "Tenang saja, Pendekar. Jika d
Subrata menatap ngeri jarum yang tertata di atas meja. Pikirannya mulai goyah dan mencoba untuk mencari cara lain mengobati lukanya."Apa tidak bisa jka tidak dijahit, Tabib? sebab besok aku harus bertanding dalam partai final?""Aku rasa akan sulit kalau besok bisa sembuh, Kisanak. Luka ini harus tetap dijahit biar tidak terjadi pembusukan, dan darah tidak terus mengalir keluar," kata tabib tersebut, setelah memeriksa luka di tangan Subrata."Apa tidak ada cara lain agar luka ini bisa menutup tanpa harus dijahit?""Ada, Kisanak. Tapi membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Kata muridmu, kau ingin lukamu bisa sembuh besok. Itu hal yang sangat mustahil!" kata tabib tersebut."Kalau dijahit, apa bisa sembuh besok?""Tetap tidak bisa, Kisanak. Luka luarnya mungkin bisa tertutup, tapi luka dalamnya belum. Kalau kau ingin sembuh benar, kau haru
"Baiklah kalau itu keputusanmu. Tapi jangan pernah menyesal jika pada akhirnya kau harus kehilangan tanganmu itu. Dan ingat, aku tidak pernah memaksamu untuk tampil besok!" "Baik, Ketua. Semua sudah aku pertimbangkan baik buruknya. Aku berharap Ketua akan memberi dukungan sepenuhnya kepadaku," jawab Subrata yakin. "Selama anggota perguruan Harimau Hitam tetap berjalan di jalurnya, aku pasti akan memberi dukungan. Sekarang aku akan menyewa kamar untuk menginap malam ini." "Jadi Ketua akan tetap di sini untuk melihatku bertanding?" Lelaki sepuh itu menganggukkan kepalanya. Dia kemudian berdiri dan berjalan keluar dari kamar penginapan tersebut. Keesokan paginya, Aji, Ratih, dan Rangga keluar dari penginapan menuju panggung turnamen. Di sekeliling panggung, ratusan pasang mata sudah tidak sabar untuk melihat pertandingan final, dan juga untuk melihat siap
Aji tertawa lepas seolah ada hal yang lucu, "Lebih baik kau buktikan ucapanmu yang tinggi itu, Kisanak! Atau jangan-jangan kau hanya besar di mulut saja?" Subrata tidak membalas ucapan Aji yang sengaja mengejeknya itu. Dia memasang kuda-kudanya denga kokoh, sebelum bergerak menyerang. Aji tersenyum tipis melihat usahanya untuk memancing emosi Subrata berhasil. Secara tidak langsung, dia juga sadar kalau dukungan penonton kepadanya juga menambah emosi Subrata. Serangan awal yang dilepaskan Subrata bisa ditepis dengan mudah. Namun salah satu tetua di perguruan Harimau Hitam itu tidak memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menyerangnya. Dengan kecepatan yang dimilikinya, dia terus melakukan serangan beruntun untuk membuka celah di pertahanan Aji.
Subrata kembali melompat ke atas panggung. Dia berusaha membalas kekalahan yang sudah dialaminya dengan cara memalukan. Tak pernah terpikir dalam pikirannya jika hari ini dia dipermalukan dengan sebegitu rupa, oleh seorang lelaki muda pula.Napas lelaki tua itu menderu cepat. Goncangan di dadanya naik turun tidak karuan, menandakan emosinya sudah berada di puncak."Apa kau tidak terima dengan kekalahanmu, Tetua? Kalau memang benar kau tidak terima, silahkan menyerangku! Dengan senang hati aku akan melayani tantanganmu." Aji tersenyum tipis menatap Subrata."Bangsat ...! Aku akan membuatmu menderita sebelum nyawamu kucabut dari ragamu!"Ketua Perguruan Harimau Hitam yang melihat Subrata tidak bisa menerima kekalahan dengan lapang dada, hanya bisa menggelengkan kepalanya. Secara tidak langsung, dia menilai Subrata sudah mempermalukan nama perguruan yang sudah didirikannya tersebut.Di atas panggung, Subrata memasang kuda-kudanya de
Setelah acara pemberian hadiah selesai, Aji berjalan turun dari panggung. Dia disambut Ratih dan Rangga dengan senyuman yang lebar. Namun sebelum mereka meninggalkan tempat itu, lelaki sepuh yang juga ketua perguruan Harimau Hitam, memanggil mereka."Tunggu, Kisanak!" panggil Jayabaya, nama lelaki sepuh tersebut, sambil berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.Aji menolehkan kepalanya ke arah Jayabaya. Senyum terkembang di bibirnya melihat lelaki sepuh itu berjalan mendekatinya."Kalian mau ke mana?" tanya Jayabaya."Kami mau kembali ke penginapan, Tetua. Kira-kira Tetua ada keperluan apa dengan kami?"Jayabaya tersenyum hangat kepada Aji, "Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu secara pribadi. Kapan kamu ada waktu?"Aji menolehkan pandangannya ke arah Rangga dan Ratih, "Kalian berdua kembalilah dulu ke penginapan. Nanti aku akan menyusul kalian!" ucapnya sambil menyerahkan beberapa kantong uang kepada Ratih.
"Setelah ini kau mau kemana, Rangga? Apa kau sebaiknya ikut bersama kami saja?" tanya Aji.Rangga tidak bisa menjawab langsung. Dia perlu berpikir sejenak untuk mengambil keputusan ke arah mana dia melangkahkan kakinya."Kalian hendak ke mana sebenarnya?" Rangga balik bertanya."Setelah ini kami berdua mau menuju Perguruan Pedang Naga, apa kau mau ikut?"Raut wajah Rangga seketika berubah setelah mendengar Aji menyebut nama perguruan yang didirikan oleh ayahnya Ratih tersebut."Ada apa, Rangga? Kenapa kau sepertinya terkejut setelah aku menyebut perguruan pedang Naga?" Aji menatap heran perubahan wajah Rangga."Tidak apa-apa, aku hanya ..." ucapan Rangga tiba-tiba terhenti."Katakan saja! Apa kau pernah mempunyai masalah dengan Perguruan Pedang Naga atau mempunyai masalah dengan ayahku?" tanya Ratih cepat. Dia merasa ada yang aneh dengan sikap yang ditunjukkan Rangga.Kernyitan kembali terlih
Rangga menarik napas berat beberapa kali, sebelum menjawab pertanyaan Ratih."Ayah adalah seorang pemimpin yang disiplin dan juga keras. Tapi sayangnya ayah masih gampang terprovokasi oleh ucapan orang lain tanpa ada pembuktian terlebih dahulu.""Sebenarnya apa yang difitnahkan kepadamu sehingga kau harus terusir dari perguruan? Cepat katakan kepadaku dan jangan berbelit-belit lagi!" Ratih mulai tak sabar. jika di rasanya alasan rangga masuk akal, maka dia akan berupaya untuk membantunya membela diri di depan ayahnya."Jadi ceritanya begini, Ratih. Aku dituduh telah melakukan pencurian kepada salah satu rumah di desa tempat perguruan kita berdiri. Dan yang melakukan tuduhan itu adalah Sentono, Barda, Wicaksono, Dirman dan Janaka," balas Rangga menyebutkan kelima orang yang sudah memfitnahnya.Ratih terkejut mendengar nama-nama yang sudah disebutkan Rangga. Dahinya mengernyit tebal menunjukkan rasa tak percayanya."Bukankah mereka juga b