Dan pertandingan pun dimulai. Dengan keyakinan penuhnya, Subrata bergerak menyerang terlebih dahulu. Dia menyarangkan beberapa pukulan dari kedua kepalan tangannya. Namun Rangga dengan dingin menghindar, dan sesekali melakukan tepisan, untuk membuat arah serangan Subrata berubah.
Beberapa penonton terlihat mendekati Aji. Mereka berharap lelaki tampan itu akan membuka suara terkait siapa yang akan memenangkan pertandingan yang sedang terjadi di atas panggung. Mereka adalah para petaruh yang belum menentukan, siapa yang mereka jagokan untuk menang. Dan jelas mereka berharap mendapat keuntungan besar dari taruhan yang akan mereka lakukan, itu jika Aji memberi petunjuk siapa yang akan melaju ke partai final melawan dirinya.
Namun Aji sudah membaca gelagat yang mereka tunjukkan. Meski dia sudah bisa membaca siapa yang akan menang antara Rangga dan Subrata, Aji tidak sedikitpun berbicara kepada Ratih terkait pertandingan yang sedang terjadi. Dia m
Rangga berkelit menghindari serangan demi serangan yang menghujani tubuhnya. Sesekali dia melakukan tangkisan dan juga serangan balasan yang tidak kalah cepat.Pertarungan cepat tangan kosong itupun berlangsung dengan sengit. Mereka berdua menunjukkan kecepatan yang lumayan tinggi dalam pertarungan yang sedang mereka jalani.Akibat tangkisan demi tangkisan yang dilakukan Rangga, darah segar kembali mengalir keluar dari luka di tangan Subrata. Lelaki itu meringis kecil setiap kali tangannya yang terluka, berbenturan dengan tangan lawannya.Raut muka Subrata yang berubah-ubah, terlihat oleh pandangan mata Rangga. Dia mengubah gerakannya dan sedikit memfokuskan untuk menangkis daripada menghindar. Dan rencananya itupun berhasil.Darah mengalir semakin deras, dan luka robek yang ada di tangan Subrata menjadi semakin lebar dan dalam. Lelaki itu secara perlahan mulai kehilangan konsentrasinya, dan kesempatan itu dimanfaatkan Rangga dengan baik.
Para penonton tentu tidak ada yang menduga jika Rangga sampai kalah. Begitu juga dengan Ratih dan Aji yang sampai membelalakkan matanya, ketika melihat tubuh Rangga meluncur keluar dari panggung.Kekecewaan tampak terlihat dalam tatapan mata para penonton. Harapan untuk melihat pertarungan yang seimbang dalam partai final antara Aji dan Rangga akhirnya tidak terjadi."Sayang sekali!" hanya dua kata itu yang terucap dari bibir Aji. Padahal dia sudah sangat yakin kalau Rangga akan memenangkan pertandingan itu.Rangga berjalan mendekati Aji dan Ratih yang memandangnya tanpa henti. Senyuman hangat terlontar dari bibir lelaki itu, setelah dia sudah berada di dekat mereka berdua."Aku yakin kau besok akan memenangkan pertandingan melawannya, Pendekar. Secara kemampuan, kau jauh lebih unggul dari pada dia. Tapi berhati-hatilah, dia sangat licik!"Aji menanggapi ucapan Rangga dengan senyuman yang tak kalah hangat, "Tenang saja, Pendekar. Jika d
Subrata menatap ngeri jarum yang tertata di atas meja. Pikirannya mulai goyah dan mencoba untuk mencari cara lain mengobati lukanya."Apa tidak bisa jka tidak dijahit, Tabib? sebab besok aku harus bertanding dalam partai final?""Aku rasa akan sulit kalau besok bisa sembuh, Kisanak. Luka ini harus tetap dijahit biar tidak terjadi pembusukan, dan darah tidak terus mengalir keluar," kata tabib tersebut, setelah memeriksa luka di tangan Subrata."Apa tidak ada cara lain agar luka ini bisa menutup tanpa harus dijahit?""Ada, Kisanak. Tapi membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Kata muridmu, kau ingin lukamu bisa sembuh besok. Itu hal yang sangat mustahil!" kata tabib tersebut."Kalau dijahit, apa bisa sembuh besok?""Tetap tidak bisa, Kisanak. Luka luarnya mungkin bisa tertutup, tapi luka dalamnya belum. Kalau kau ingin sembuh benar, kau haru
"Baiklah kalau itu keputusanmu. Tapi jangan pernah menyesal jika pada akhirnya kau harus kehilangan tanganmu itu. Dan ingat, aku tidak pernah memaksamu untuk tampil besok!" "Baik, Ketua. Semua sudah aku pertimbangkan baik buruknya. Aku berharap Ketua akan memberi dukungan sepenuhnya kepadaku," jawab Subrata yakin. "Selama anggota perguruan Harimau Hitam tetap berjalan di jalurnya, aku pasti akan memberi dukungan. Sekarang aku akan menyewa kamar untuk menginap malam ini." "Jadi Ketua akan tetap di sini untuk melihatku bertanding?" Lelaki sepuh itu menganggukkan kepalanya. Dia kemudian berdiri dan berjalan keluar dari kamar penginapan tersebut. Keesokan paginya, Aji, Ratih, dan Rangga keluar dari penginapan menuju panggung turnamen. Di sekeliling panggung, ratusan pasang mata sudah tidak sabar untuk melihat pertandingan final, dan juga untuk melihat siap
Aji tertawa lepas seolah ada hal yang lucu, "Lebih baik kau buktikan ucapanmu yang tinggi itu, Kisanak! Atau jangan-jangan kau hanya besar di mulut saja?" Subrata tidak membalas ucapan Aji yang sengaja mengejeknya itu. Dia memasang kuda-kudanya denga kokoh, sebelum bergerak menyerang. Aji tersenyum tipis melihat usahanya untuk memancing emosi Subrata berhasil. Secara tidak langsung, dia juga sadar kalau dukungan penonton kepadanya juga menambah emosi Subrata. Serangan awal yang dilepaskan Subrata bisa ditepis dengan mudah. Namun salah satu tetua di perguruan Harimau Hitam itu tidak memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menyerangnya. Dengan kecepatan yang dimilikinya, dia terus melakukan serangan beruntun untuk membuka celah di pertahanan Aji.
Subrata kembali melompat ke atas panggung. Dia berusaha membalas kekalahan yang sudah dialaminya dengan cara memalukan. Tak pernah terpikir dalam pikirannya jika hari ini dia dipermalukan dengan sebegitu rupa, oleh seorang lelaki muda pula.Napas lelaki tua itu menderu cepat. Goncangan di dadanya naik turun tidak karuan, menandakan emosinya sudah berada di puncak."Apa kau tidak terima dengan kekalahanmu, Tetua? Kalau memang benar kau tidak terima, silahkan menyerangku! Dengan senang hati aku akan melayani tantanganmu." Aji tersenyum tipis menatap Subrata."Bangsat ...! Aku akan membuatmu menderita sebelum nyawamu kucabut dari ragamu!"Ketua Perguruan Harimau Hitam yang melihat Subrata tidak bisa menerima kekalahan dengan lapang dada, hanya bisa menggelengkan kepalanya. Secara tidak langsung, dia menilai Subrata sudah mempermalukan nama perguruan yang sudah didirikannya tersebut.Di atas panggung, Subrata memasang kuda-kudanya de
Setelah acara pemberian hadiah selesai, Aji berjalan turun dari panggung. Dia disambut Ratih dan Rangga dengan senyuman yang lebar. Namun sebelum mereka meninggalkan tempat itu, lelaki sepuh yang juga ketua perguruan Harimau Hitam, memanggil mereka."Tunggu, Kisanak!" panggil Jayabaya, nama lelaki sepuh tersebut, sambil berjalan tergesa-gesa ke arah mereka.Aji menolehkan kepalanya ke arah Jayabaya. Senyum terkembang di bibirnya melihat lelaki sepuh itu berjalan mendekatinya."Kalian mau ke mana?" tanya Jayabaya."Kami mau kembali ke penginapan, Tetua. Kira-kira Tetua ada keperluan apa dengan kami?"Jayabaya tersenyum hangat kepada Aji, "Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu secara pribadi. Kapan kamu ada waktu?"Aji menolehkan pandangannya ke arah Rangga dan Ratih, "Kalian berdua kembalilah dulu ke penginapan. Nanti aku akan menyusul kalian!" ucapnya sambil menyerahkan beberapa kantong uang kepada Ratih.
"Setelah ini kau mau kemana, Rangga? Apa kau sebaiknya ikut bersama kami saja?" tanya Aji.Rangga tidak bisa menjawab langsung. Dia perlu berpikir sejenak untuk mengambil keputusan ke arah mana dia melangkahkan kakinya."Kalian hendak ke mana sebenarnya?" Rangga balik bertanya."Setelah ini kami berdua mau menuju Perguruan Pedang Naga, apa kau mau ikut?"Raut wajah Rangga seketika berubah setelah mendengar Aji menyebut nama perguruan yang didirikan oleh ayahnya Ratih tersebut."Ada apa, Rangga? Kenapa kau sepertinya terkejut setelah aku menyebut perguruan pedang Naga?" Aji menatap heran perubahan wajah Rangga."Tidak apa-apa, aku hanya ..." ucapan Rangga tiba-tiba terhenti."Katakan saja! Apa kau pernah mempunyai masalah dengan Perguruan Pedang Naga atau mempunyai masalah dengan ayahku?" tanya Ratih cepat. Dia merasa ada yang aneh dengan sikap yang ditunjukkan Rangga.Kernyitan kembali terlih
"Kau! Energi apa yang kau miliki itu?"Raja Iblis dibuat heran dengan kemampuan lawan yang bahkan menurutnya memiliki kekuatan lebih besar dari pada yang dibayangkannya. Selain itu, energi yang keluar dari tubuh lawan sejauh ini tidak pernah diketahuinya."Itu tadi belum seberapa, Iblis busuk! Kali ini aku akan mengeluarkan semua kemampuan yang kumiliki!" Aji yang sudah memegang pedang Mustika Naga Bumi, mengerahkan semua energi yang dimilikinya.‘Tidak mungkin!’ pekik Raja Iblis dalam hati. Dia terkejut dengan energi pemuda itu yang menjadi berlipat ganda, setelah pedang di tangannya mengeluarkan aura hijau terang."Sekarang terimalah ajalmu! Kembalilah kau ke alammu Iblis biadab!” Pedang Mustika Naga Bumi di tangan Aji memancarkan energi yang begitu besar, bahkan lebih besar dari energi yang dikeluarkan Raja Iblis di awal kemunculannya tadi.Tiba-tiba saja, suara tawa Raja Iblis terdengar menggelegar. "Hahaha ... Aku memang terkejut dengan kemampuanmu, manusia hina! Tapi kau pun ju
Setelah debu pekat yang menutupi pandangannya menghilang, Aji yang masih dalam keadaan tergeletak di tanah bisa melihat dengan jelas jika Caraka masih berdiri dengan kokoh di tempatnya berdiri. Bahkan tubuhnya tidak sedikit pun bergeser dari tempatnya semula. Pendekar yang belum genap 30 tahun tersebut merasakan nyeri yang begitu hebat di dadanya. Dia kemudian terbatuk kecil dan lalu memuntahkan darah segar dari mulutnya. ‘Kekuatannya sangat besar. Bahkan energiku saja tidak mampu untuk menggoyahkannya,’ gumam dalam hati. Tubuh Caraka kemudian melayang satu meter di atas tanah. Dia lalu bergerak maju mendekati Aji yang belum juga bangkit berdiri, "Apa kau sudah sadar betapa jauhnya perbedaan kekuatan kita berdua? Aku tahu kau belum mengeluarkan energi terkuatmu, tapi meskipun kau mengeluarkannya, itu tidak akan merubah apapun!" Caraka yang masih merasa geram dengan Aji langsung melesat tanpa terlihat seusai berbicara. Tendangan kerasnya mendarat dengan telak di perut Aji, hingga m
Rasa terkejut Aji belum selesai, tiba-tiba saja muncul bayangan hitam berbentuk cakar naga melayang di angkasa. Bayangan hitam itu menutupi matahari sehingga suasana yang semula terang menjadi redup. “Jurus apapun yang kau keluarkan tidak akan bisa mengalahkan aku!” ucap Ki Brenggolo Karang. Seusai berucap, energi yang lebih besar meluap dari tubuhnya. Secara perlahan energi tersebut semakin membuat Aji tertekan. Namun suami Ratih itu masih menunggu kesempatan untuk menjatuhkan jurus Naga Bumi Mengoyak Langit yang masih mengambang di angkasa. Dia terus menarik unsur alam yang ada di sekitar hutan tersebut untuk menambah daya hancur jurus yang hendak dikeluarkannya. Sejauh ini, Ki Brenggolo Karang belum menyadari apa yang dilakukan Aji. Dia menduga lawannya itu hanya menggunakan tenaga dalamnya untuk bertahan dari tekanan energi yang dikeluarkannya. Selain itu, redupnya sinar matahari juga menurutnya hanya karena tertutup awan tebal saja.Beberapa saat kemudian, Cakar Naga raksasa y
Aura hitam yang menyelimuti tubuh Ki Brenggolo Karang perlahan menghilang. Dia sadar jika terus menggunakannya dalam jangka panjang, yang ada tenaga dalamnya akan berkurang drastis. Murid Caraka itu juga berpikir harus bisa mengefektifkan serangannya lebih tepat lagi. Dia melihat jika lawannya itu masih menyimpan kekuatannya yang sebenarnya. Itu terlihat dari kondisinya yang masih terlihat bugar meski sudah terkena serangannya.Melihat aura hitam di tubuh Ki Brenggolo Karang menghilang, Aji tersenyum lebar. Kuat dugaan energi lawan sudah berkurang cukup signifikan. Memaksa menggunakan kabut beracun dalam jangka panjang jelas menguras energinya.Di antara reruntuhan pepohonan dan kepulan debu, pertarungan sengit masih terus terjadi di antara kedua pendekar yang tidak henti bertukar serangan. Beberapa pohon kembali bertumbangan terkena dampak pertarungan mereka berdua.Seperti terjadi kesepakatan, mereka berdua melompat mundur mengambil jarak. Nafas mereka tersengal-sengal terasa berat
Belum juga sempat menyeimbangkan tubuhnya, serangan kembali muncul tanpa terlihat oleh mata Aji. Dia hanya merasakan energi besar saja yang bergerak menyerangnya. Aji kembali bergerak menghindar. Dia melompat menyamping dua langkah. Namun tiba-tiba sebuah pukulan menghantam punggungnya dengan begitu keras, hingga membuatnya terjungkal dan bergulingan di tanah berulang kali. Batuk kecil terdengar dari mulut Aji. Sesaat kemudian, darah segar meleleh keluar dari sudut bibirnya. Sambil bangkit berdiri, dia mengusap darah tersebut dengan punggung tangannya. Belum sempat pemuda itu berdiri tegak, kembali sebuah serangan yang tidak bisa dilihat menghajar dadanya dengan telak. Beruntung Aji masih sempat menahannya dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada ketika merasakan energi besar yang bergerak ke arahnya. Meskipun bisa melindungi dadanya, tapi tak urung tubuh Aji harus kembali terlempar hampir 12 langkah ke belakang hingga membentur sebuah batang pohon.Batuk kecil kembali te
Sementara itu di sekitar lembah, terdapat sebuah gubuk kecil yang berdiri di dekat sungai kecil. Air di sungai itu berasal dari air terjun yang berada tidak jauh dari gubuk itu berdiri. Di dalam gubuk, Sanjaya terlihat duduk sendirian di sudut ruangan dengan wajah pucat pasi. Dia menunggu kedatangan Ki Brenggolo Karang yang menemui Caraka sejak dia baru datang di gubuk tersebut. Menjelang tengah malam, Ki Brenggolo Karang akhirnya kembali ke gubuknya yang biasa digunakannya beristirahat sehari-hari. Sanjaya yang tertidur sambil memeluk lutut, terbangun ketika terdengar suara pintu dibuka. “Ki, akhirnya kau kembali,” ucap Sanjaya pelan.“Kenapa kau kemari tanpa membawa gadis, Sanjaya? Apa kau tidak tahu jika proses yang dilakukan Guru Caraka sudah mendekati akhir?” tanya Ki Brenggolo Karang seraya menatap tajam Sanjaya yang menunduk ketakutan.“Maaf, Ki, sebenarnya tiga gadis tambahan yang dibutuhkan sudah tersedia, tapi sebelum aku membawanya kemari, ternyata anak buahku telah menc
Tubuh tinggi besar itupun terguling hingga menabrak dinding. Suara tubuhnya yang jatuh terdengar cukup keras. Aji berjalan mendekati lelaki itu dan berjongkok di sampingnya. ‘Hmmmm … ternyata pingsan,”’ batinnya. Aji bangkit berdiri untuk melihat kondisi istrinya yang masih berada di dalam kamar. Setelah Aji mengalirkan energinya ke dalam tubuh Ratih, wajah wanita cantik yang pucat itupun kembali segar seperti semula. “Kang, kenapa aku bisa ada di tempat ini?” tanya Ratih. “Panjang ceritanya, nanti saja kuceritakan. Sekarang kita selamatkan dulu gadis yang lain,” kata Aji. Dilihatnya tali tambang di atas sebuah lemari, kemudian diambilnya. ***Tiga orang gadis sudah dikeluarkan dari kamar, salah satunya adalah anak kepala desa Sudirjo. Sedang lelaki bertubuh besar terikat erat di sebuah kursi di ruang tamu. Setelah lelaki itu sadar, Aji pun melakukan interogasi. Dari pengakuannya, lelaki bernama Sanjaya itu diperintah oleh seorang lelaki tua yang merupakan bawahan dari Caraka, s
“Kalian kira aku sedang melucu?” Aji menggeleng dengan satu sudut bibir terangkat naik, “Tapi tidak apa-apa jika kalian berpikir seperti itu. Kalian nanti bisa tertawa sepuasanya setelah kucabut nyawa satu-satunya yang kalian miliki!” Hahahahaha! Semakin keraslah tawa 8 orang penjaga itu. Bahkan tawa mereka sampai terdengar masuk ke dalam dan memantik keingintahuan penjaga yang berada di dalam. Pintu gerbang pun terbuka, beberapa orang tampak keluar menemui 8 penjaga gerbang. “Kenapa kalian tertawa begitu keras, apa ada yang lucu?” tanya seorang penjaga yang baru saja keluar. “Lihatlah dia, katanya dia akan memberi hukuman kepada kita, bukankah itu sesuatu yang lucu? Apa hanya karena dia membawa pedang terus kita harus takut? Hahahaha!” “Kalian pasti akan ketakutan hingga meminta untuk tidak dibunuh!” sela Aji, kemudian bergerak begitu cepat hingga tiba-tiba sudah berada di depan penjaga yang sudah meremehkannya. Jari tangan Aji langsung mencengkeram leher orang itu hingga kesu
Jendela kamar pun terbuka. Dua orang langsung melompat masuk ke dalam. Suasana kamar yang gelap tidak menyulitkan mereka berdua untuk menemukan ranjang yang digunakan Ratih tidur. Perlahan tubuh Ratih diangkat dan dibawa keluar. Satu orang yang berada di luar menerima tubuh wanita cantik itu. Mereka tidak memeriksa terlebih dahulu, karena merasa sudah mendapatkan targetnya. Dari atas atap, Aji merasa heran karena tidak ada perlawanan sedikitpun dari istrinya. Padahal seharusnya jika dalam posisi tersebut, Ratih pasti terbangun. Aji menilai ketiga orang tersebut menggunakan bius untuk membuat istrinya tidak sadar. Ketiga orang itu kemudian pergi sambil membawa Ratih. Suasana yang sepi membuat aksi mereka berjalan lancar tanpa ada halangan hingga keluar desa. Aji terus mengikuti dari belakang, dia menjaga jarak agar tidak diketahui ketiga orang yang membawa istrinya hingga masuk ke dalam hutan. Hampir tiga jam berjalan di dalam hutan, ketiga orang itu akhirnya sampai di bibir hutan,