"Setelah ini kau mau kemana, Rangga? Apa kau sebaiknya ikut bersama kami saja?" tanya Aji.
Rangga tidak bisa menjawab langsung. Dia perlu berpikir sejenak untuk mengambil keputusan ke arah mana dia melangkahkan kakinya.
"Kalian hendak ke mana sebenarnya?" Rangga balik bertanya.
"Setelah ini kami berdua mau menuju Perguruan Pedang Naga, apa kau mau ikut?"
Raut wajah Rangga seketika berubah setelah mendengar Aji menyebut nama perguruan yang didirikan oleh ayahnya Ratih tersebut.
"Ada apa, Rangga? Kenapa kau sepertinya terkejut setelah aku menyebut perguruan pedang Naga?" Aji menatap heran perubahan wajah Rangga.
"Tidak apa-apa, aku hanya ..." ucapan Rangga tiba-tiba terhenti.
"Katakan saja! Apa kau pernah mempunyai masalah dengan Perguruan Pedang Naga atau mempunyai masalah dengan ayahku?" tanya Ratih cepat. Dia merasa ada yang aneh dengan sikap yang ditunjukkan Rangga.
Kernyitan kembali terlih
Rangga menarik napas berat beberapa kali, sebelum menjawab pertanyaan Ratih."Ayah adalah seorang pemimpin yang disiplin dan juga keras. Tapi sayangnya ayah masih gampang terprovokasi oleh ucapan orang lain tanpa ada pembuktian terlebih dahulu.""Sebenarnya apa yang difitnahkan kepadamu sehingga kau harus terusir dari perguruan? Cepat katakan kepadaku dan jangan berbelit-belit lagi!" Ratih mulai tak sabar. jika di rasanya alasan rangga masuk akal, maka dia akan berupaya untuk membantunya membela diri di depan ayahnya."Jadi ceritanya begini, Ratih. Aku dituduh telah melakukan pencurian kepada salah satu rumah di desa tempat perguruan kita berdiri. Dan yang melakukan tuduhan itu adalah Sentono, Barda, Wicaksono, Dirman dan Janaka," balas Rangga menyebutkan kelima orang yang sudah memfitnahnya.Ratih terkejut mendengar nama-nama yang sudah disebutkan Rangga. Dahinya mengernyit tebal menunjukkan rasa tak percayanya."Bukankah mereka juga b
Tatapan mata Aji terarah kepada dua pohon besar yang berdiri tidak jauh di depan mereka, sekitar 20 meter jauhnya. Dan juga sebuah pohon besar yang di sekelilingnya ditumbuhi semak-semak lebat.Rangga menggeleng pelan. Dia kagum dengan awasnya penglihatan Aji yang bisa mendeteksi adanya jebakan jaring terpasang di atas, dan juga tali tambang yang terpasang di tanah tertutupi dedaunan kering."Tapi di mana mereka semua? Kenapa yang terlihat hanya 4 orang saja?" tanya Rangga."Mereka tidak jauh dari sini. Berhati-hatilah! Kau juga Ratih, jangan sampai lengah! Biar aku berjalan di depan." Aji tersenyum tipis sebelum kembali menjalankan kudanya.Setelah kuda Aji melangkah tepat 20 meter, tiba-tiba jaring lebar melayang turun dengan cepat. Namun Aji lebih sigap, dia mencabut pedangnya dan melompat tinggi ke atas, lalu menyabetkan pedangnya berulang kali hingga jaring tersebut buyar berhamburan.Apa yang dilakukan Aji tidak berhenti sam
Subrata sebenarnya kesal mendapati Aji berada di situ, tapi dia tidak berusaha menunjukkan kekesalannya. dan menurutnya saat ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk membunuh Aji, kereta Jayabaya sudah tidak terlihat lagi "Kenapa kau masih sangat yakin bisa menang dariku, Subrata? Padahal sudah jelas, kalau aku mau, kau bisa saja kubunuh saat itu," Aji terkekeh pelan, dengan dengan salah satu ujung bibir terangkat naik. "Bajingan ... Apa kau tidak salah duga? Kalau tua bangka itu tidak menyelamatkanmu, aku yang akan membunuhmu saat itu!" Subrata berdecak kesal. "Sudahlah, Subrata. Kita tidak perlu banyak berdebat untuk membuktikan siapa yang pantas menang. Sekarang kita buktikan saja kau atau aku yang akan mati di tempat ini?" "bedebah, kubunuh kau!" teriak Subrata penuh emosi. Lelaki tua itu mencabut pedangnya. Tanpa memasang kuda-kuda dia langsung melesat memberi serangan. Pedang ditangannya berkelebat cepat menyusup mencari,
"Belum tentu juga!" Rangga tertawa pelan, sebelum melanjutkan ucapannya, "Tapi aku akan memberimu kesempatan untuk bertobat, dan menyadari semua kesalahan yang sudah kau lakukan.""Apa aku tidak salah mendengar?" tanya pemimpin rampok itu heran. Namun tiba-tiba raut wajahnya berubah sendu, dan kedua bola matanya memperlihatkan mendung tebal."Tapi masyarakat mana yang mau menerimaku? Sedangkan aku sudah begitu banyak membuat kesalahan selama ini." tambahnya.Sementara itu, pertarungan antara Aji dan Subrata masih terus berlangsung. Bekas salah satu tetua di perguruan Harimau Hitam itu terus menyerang Aji tanpa henti. Tebasan pedangnya terus mencecar Aji untuk membuka celah pertahanan lelaki tampan itu.Terbakarnya emosi yang menguasai pikirannya, membuatnya lupa jika tangannya masih terluka. Tanpa disadarinya, luka di tangannya kembali terbuka dan mengeluarkan darah yang mengucur lumayan deras.Aji tersenyum kecil melihat raut muk
"Aku merasa kau sudah menyembunyikan sesuatu dariku, Aji. Sudah dua kali aku melihatmu melakukan hal yang sama, kau memejamkan matamu dan menggeleng perlahan. Sebenarnya apa yang sudah kau simpan dari kami?" tanya Ratih.Aji memandang Ratih dengan tatapan sayu. Dia lalu mengalihkan pandangannya ketika bola matanya bertatapan dengan mata Ratih."Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang, Ratih. jika nanti saatnya sudah tiba, aku pasti akan bercerita kepadamu tentang masa laluku," jawab Aji, kemudian tersenyum hangat."Baiklah. Tapi kau harus janji untuk cerita kepadaku suatu saat nanti."Aji mengangguk pelan. Dia kemudian melangkah menepati salah satu peti dan mengangkatnya ke atas bahunya.Di luar ruangan, Bargowo sudah menyiapkan sebuah gerobak kuda untuk mengangkut bahan makanan dan juga 3 peti yang berisi koin uang.Setelah semuanya sudah tertata rapi di atas gerobak tersebut, Mereka pun melanjutkan perjal
Tidak ingin hanya berpangku tangan saja dan membiarkan Aji membagikan sendiri koin uang kepada gelandangan dan pengemis yang ada di Kadipaten Tanjungrejo, Ratih dan Rangga pun ikut turun dari atas kudanya. Sementara Bargowo tetap berada di atas gerobak untuk mengendalikan lajunya.Berita kebaikan yang dilakukan Aji dan ketiga temannya itu pun menyebar luas, dan akhirnya tercium juga oleh pihak istana.Mendapati laporan tentang adanya empat sosok asing yang kini sudah menjadi pusat perhatian penduduk Kadipaten Tanjung Rejo, Adipati Hanggareksa pun memberi perintah kepada beberapa orang prajurit untuk memanggil Aji dan yang lainnya menghadap ke istana.Di sebuah tempat makan setelah mereka memberi sedekah kepada pengemis yang terakhir, mereka dikejutkan dengan kedatangan 4 orang prajurit yang masuk ke dalam tempat makan, dan berhenti di dekat meja mereka menikmati makanan."Maaf mengganggu waktunya, Kisanak, Nisanak," ucap seorang prajurit denga
"Tenang saja. Kalau melawan prajurit-prajurit itu aku tidak takut sama sekali," balas Bargowo. Raut wajah percaya dirinya tampak begitu tegas.Aji tersenyum melihat perubahan sifat mantan pemimpin gerombolan perampok itu."Mari, Kisanak. Tuan Adipati sudah menunggu di aula," kata seorang prajurit."Baiklah. Mari kita temui beliau!"Aji, Rangga dan Ratih berjalan mengekor di belakang seorang prajurit. Sambil terus berpikir, mata mereka bertiga berkeliling mengamati bagian dalam istana yang kecil itu.Sejauh mata memandang, tidak terlihat ada sesuatu pun yang mencurigakan di bagian dalam istana. Namun mereka bertiga tidak mengendorkan kewaspadaan. Memang mereka bertiga tidak tahu benar bagaimana karakter Adipati Hanggareksa, tapi tidak ada salahnya juga bersikap waspada.Setelah berada di depan aula, salah satu dari dua prajurit yang berjaga bergegas membuka pintu aula dan mempersilahkan mereka bertiga untuk
Adipati Hanggareksa hanya tersenyum simpul. Dia kemudian mendekati Ratih yang duduk di samping Aji. "Siapa namamu, Nisanak?"Ratih melirik sebentar ke atas sebelum pandangan matanya kembali menatap lantai. "Nama hamba Ratih, Tuan Adipati."Adipati Hanggareksa mengangguk-angguk kecil. "Hmmm ... Ratih, nama yang bagus," ucapnya pelan, namun masih bisa terdengar Aji dan Ratih."Kalian semua keluarlah!" perintah Adipati Hanggareksa kepada 7 orang pejabat bawahannya.Ketujuh pejabat itu heran dengan sikap yang ditunjukkan pimpinannya tersebut. Namun mereka tidak sedikitpun berani untuk melawan perintah.Satu persatu dari ketujuh pejabat itu kemudian berdiri dan berjalan keluar dari aula, setelah memberi hormat kepada Adipati Hanggareksa.Setelah semua pejabat itu meninggalkan aula dan pintunya tertutup rapat, Adipati Hanggareksa kembali ke tempat duduknya."Ratih, maaf jika aku tadi melihatmu seperti itu. Kau mengingatkan