Aji yang mendengar teriakan Warta, hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke arah Warta. Sesaat berikutnya, dia memutar jempolnya hingga mengarah ke bawah.
Warta mendengus kesal. Baginya, apa yang ditunjukkan Aji itu adalah sebuah penghinaan yang besar. Rahangnya mengeras dan kepalan tangannya semakin kuat menandakan emosinya semakin memuncak.
"Kalahkan aku dulu, baru kau bisa melawannya!" Rangga sedari tadi mencoba mencari kelemahan Warta. Berbagai gerakan yang dilakukan Warta di saat dia menyerangnya, terekam jelas di memori otaknya.
Warta menatap tajam ke arah Rangga. Dalam detik berikutnya, dia bergerak menyerang lawannya tersebut dengan kedua kepalan tangannya yang besar dan berotot. Rangga yang unggul dalam kecepatan, bergerak lincah menghindari setiap serangan yang mengincarnya. Tubuhnya berkelit liar bagai seekor naga yang terbang hendak menerkam mangsanya.
Hal yang diluar dug
Tanpa kesulitan berarti, gadis cantik itu bisa mengalahkan lawannya dengan cepat. Kecerobohan lawannya karena salah melangkah, membuat Ratih bisa melepaskan tendangan gunting, yang langsung membuat lawannya itu terjatuh ke lantai panggung dengan kepala terlebih dahulu. Dan akibatnya, lawannya itupun jatuh pingsan di tempat.Selepas pertarungan Ratih, Aji mengajak gadis itu untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Keserasian mereka berdua, kembali membuat para penduduk yang melihatnya, dibuat iri sekaligus kagum."Sungguh serasi sekali mereka berdua. Andai aku bisa bersanding denga lelaki itu, tentu aku akan sangat bahagia," ucap seorang gadis kepada temannya."Kamu bahagia, tapi lelaki itu tidak!" sahut temannya sambil tertawa," Sebaiknya kau melihat ke cermin, kira-kira kau pantas bersanding dengan lelaki tampan itu atau tidak?"Aji dan Ratih menyusuri desa itu untuk melihat-lihat keadaan sekitar
Dan pertandingan pun dimulai. Dengan keyakinan penuhnya, Subrata bergerak menyerang terlebih dahulu. Dia menyarangkan beberapa pukulan dari kedua kepalan tangannya. Namun Rangga dengan dingin menghindar, dan sesekali melakukan tepisan, untuk membuat arah serangan Subrata berubah.Beberapa penonton terlihat mendekati Aji. Mereka berharap lelaki tampan itu akan membuka suara terkait siapa yang akan memenangkan pertandingan yang sedang terjadi di atas panggung. Mereka adalah para petaruh yang belum menentukan, siapa yang mereka jagokan untuk menang. Dan jelas mereka berharap mendapat keuntungan besar dari taruhan yang akan mereka lakukan, itu jika Aji memberi petunjuk siapa yang akan melaju ke partai final melawan dirinya.Namun Aji sudah membaca gelagat yang mereka tunjukkan. Meski dia sudah bisa membaca siapa yang akan menang antara Rangga dan Subrata, Aji tidak sedikitpun berbicara kepada Ratih terkait pertandingan yang sedang terjadi. Dia m
Rangga berkelit menghindari serangan demi serangan yang menghujani tubuhnya. Sesekali dia melakukan tangkisan dan juga serangan balasan yang tidak kalah cepat.Pertarungan cepat tangan kosong itupun berlangsung dengan sengit. Mereka berdua menunjukkan kecepatan yang lumayan tinggi dalam pertarungan yang sedang mereka jalani.Akibat tangkisan demi tangkisan yang dilakukan Rangga, darah segar kembali mengalir keluar dari luka di tangan Subrata. Lelaki itu meringis kecil setiap kali tangannya yang terluka, berbenturan dengan tangan lawannya.Raut muka Subrata yang berubah-ubah, terlihat oleh pandangan mata Rangga. Dia mengubah gerakannya dan sedikit memfokuskan untuk menangkis daripada menghindar. Dan rencananya itupun berhasil.Darah mengalir semakin deras, dan luka robek yang ada di tangan Subrata menjadi semakin lebar dan dalam. Lelaki itu secara perlahan mulai kehilangan konsentrasinya, dan kesempatan itu dimanfaatkan Rangga dengan baik.
Para penonton tentu tidak ada yang menduga jika Rangga sampai kalah. Begitu juga dengan Ratih dan Aji yang sampai membelalakkan matanya, ketika melihat tubuh Rangga meluncur keluar dari panggung.Kekecewaan tampak terlihat dalam tatapan mata para penonton. Harapan untuk melihat pertarungan yang seimbang dalam partai final antara Aji dan Rangga akhirnya tidak terjadi."Sayang sekali!" hanya dua kata itu yang terucap dari bibir Aji. Padahal dia sudah sangat yakin kalau Rangga akan memenangkan pertandingan itu.Rangga berjalan mendekati Aji dan Ratih yang memandangnya tanpa henti. Senyuman hangat terlontar dari bibir lelaki itu, setelah dia sudah berada di dekat mereka berdua."Aku yakin kau besok akan memenangkan pertandingan melawannya, Pendekar. Secara kemampuan, kau jauh lebih unggul dari pada dia. Tapi berhati-hatilah, dia sangat licik!"Aji menanggapi ucapan Rangga dengan senyuman yang tak kalah hangat, "Tenang saja, Pendekar. Jika d
Subrata menatap ngeri jarum yang tertata di atas meja. Pikirannya mulai goyah dan mencoba untuk mencari cara lain mengobati lukanya."Apa tidak bisa jka tidak dijahit, Tabib? sebab besok aku harus bertanding dalam partai final?""Aku rasa akan sulit kalau besok bisa sembuh, Kisanak. Luka ini harus tetap dijahit biar tidak terjadi pembusukan, dan darah tidak terus mengalir keluar," kata tabib tersebut, setelah memeriksa luka di tangan Subrata."Apa tidak ada cara lain agar luka ini bisa menutup tanpa harus dijahit?""Ada, Kisanak. Tapi membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Kata muridmu, kau ingin lukamu bisa sembuh besok. Itu hal yang sangat mustahil!" kata tabib tersebut."Kalau dijahit, apa bisa sembuh besok?""Tetap tidak bisa, Kisanak. Luka luarnya mungkin bisa tertutup, tapi luka dalamnya belum. Kalau kau ingin sembuh benar, kau haru
"Baiklah kalau itu keputusanmu. Tapi jangan pernah menyesal jika pada akhirnya kau harus kehilangan tanganmu itu. Dan ingat, aku tidak pernah memaksamu untuk tampil besok!" "Baik, Ketua. Semua sudah aku pertimbangkan baik buruknya. Aku berharap Ketua akan memberi dukungan sepenuhnya kepadaku," jawab Subrata yakin. "Selama anggota perguruan Harimau Hitam tetap berjalan di jalurnya, aku pasti akan memberi dukungan. Sekarang aku akan menyewa kamar untuk menginap malam ini." "Jadi Ketua akan tetap di sini untuk melihatku bertanding?" Lelaki sepuh itu menganggukkan kepalanya. Dia kemudian berdiri dan berjalan keluar dari kamar penginapan tersebut. Keesokan paginya, Aji, Ratih, dan Rangga keluar dari penginapan menuju panggung turnamen. Di sekeliling panggung, ratusan pasang mata sudah tidak sabar untuk melihat pertandingan final, dan juga untuk melihat siap
Aji tertawa lepas seolah ada hal yang lucu, "Lebih baik kau buktikan ucapanmu yang tinggi itu, Kisanak! Atau jangan-jangan kau hanya besar di mulut saja?" Subrata tidak membalas ucapan Aji yang sengaja mengejeknya itu. Dia memasang kuda-kudanya denga kokoh, sebelum bergerak menyerang. Aji tersenyum tipis melihat usahanya untuk memancing emosi Subrata berhasil. Secara tidak langsung, dia juga sadar kalau dukungan penonton kepadanya juga menambah emosi Subrata. Serangan awal yang dilepaskan Subrata bisa ditepis dengan mudah. Namun salah satu tetua di perguruan Harimau Hitam itu tidak memberikan kesempatan kepada lawannya untuk menyerangnya. Dengan kecepatan yang dimilikinya, dia terus melakukan serangan beruntun untuk membuka celah di pertahanan Aji.
Subrata kembali melompat ke atas panggung. Dia berusaha membalas kekalahan yang sudah dialaminya dengan cara memalukan. Tak pernah terpikir dalam pikirannya jika hari ini dia dipermalukan dengan sebegitu rupa, oleh seorang lelaki muda pula.Napas lelaki tua itu menderu cepat. Goncangan di dadanya naik turun tidak karuan, menandakan emosinya sudah berada di puncak."Apa kau tidak terima dengan kekalahanmu, Tetua? Kalau memang benar kau tidak terima, silahkan menyerangku! Dengan senang hati aku akan melayani tantanganmu." Aji tersenyum tipis menatap Subrata."Bangsat ...! Aku akan membuatmu menderita sebelum nyawamu kucabut dari ragamu!"Ketua Perguruan Harimau Hitam yang melihat Subrata tidak bisa menerima kekalahan dengan lapang dada, hanya bisa menggelengkan kepalanya. Secara tidak langsung, dia menilai Subrata sudah mempermalukan nama perguruan yang sudah didirikannya tersebut.Di atas panggung, Subrata memasang kuda-kudanya de
“Namaku Sudirjo, kepala desa Jatisari.” Lelaki berkumis tebal itu memperkenalkan diri setelah Aji dan Ratih duduk di depannya. “ini Lastri, istriku.” “Namaku Aji, Kang, dan ini istriku Ratih. Kami berdua berasal dari tempat yang jauh dari sini.”Sudirjo menatap Aji dan Ratih bergantian. Hati kecilnya tak bisa menyangkal jika kedua tamunya itu pasangan yang sangat serasi. Tampan dan juga cantik.“Kata pengawalku tadi kalian ingin menawarkan bantuan untuk mencari gadis yang hilang. Apa betul seperti itu?” tanya Sudirjo. Tangan kirinya tak lepas memeluk istrinya yang masih terisak karena kehilangan anak gadisnya.“Benar, Kang. Namun, sebelumnya aku ingin tahu bagaimana asal muasalnya, sejak kapan gadis-gadis itu mulai hilang?” Sudirjo menghela napas berat. Terlihat dia begitu terpukul atas kejadian yang menimpa warga desa dan juga putrinya. Di sisi lain, Aji memandang dengan seksama kepala desa Jatisari tersebut. “Kejadiannya bermula sejak dua bulan lalu. Satu persatu gadis di desa Ja
Mendapat pertanyaan berondongan dari istrinya, Aji hanya diam sambil memandang gagang pedang berbentuk kepala naga yang saat ini dipegangnya. Benaknya mengingat kembali mimpi yang semalam dialaminya. Dia masih ingat betul setiap detil mimpi dari awal sampai akhir.“Kakang …” Ratih menggoyang tubuh Aji yang tengah melamun. “A_apa, Istriku?” Aji tergagap, sadar dari lamunannya. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Ratih seraya memandang wajah Aji yang tampak kebingungan. “Tidak ada. Aku cuma teringat dengan mimpiku semalam. Entah aku sedang bermimpi atau nyata, aku bingung,” kata Aji. Kembali dipandanginya gagang pedang Mustika Naga Bumi. “Memangnya Kakang bermimpi apa semalam?” Ratih begitu penasaran. “Aku bermimpi bertemu Tetua Damarjaya,” ucap Aji mengawali ceritanya. Setelah itu panjang lebar dia menceritakan proses yang dialaminya dalam mimpi semalam. “Pasti Kakang cuma bermimpi, sebab semalam aku sempat terbangun dan melihat Kakang tertidur pulas,” kata Ratih.“Kalau cuma b
Di dalam kamar, Aji tidak langsung berisitirahat. Kitab Pedang Naga Hitam yang sudah dihapalkannya ketika berada di perguruan Pedang Naga, kembali dibacanya ulang hingga benar-benar hapal di luar kepala. Setelah itu baru dia membaca kitab Serat Alam selama beberapa hari. Aji meyakini kedua kitab itu memiliki kerumitan yang sama, sebab seperti yang dikatakan Damarjaya, kedua kitab itu adalah satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dan saling terkait satu sama lain. Lima hari berlalu, Aji keluar dari kamar setelah berhasil menghapalkan kedua kitab tersebut. Dilihatnya Damarjaya tengah duduk sendirian sambil mengelus-elus sebilah pedang yang berwarna keemasan. Damarjaya menoleh ketika mendengar suara tapak kaki mendekat. Senyumnya mengembang melihat Aji yang baru keluar setelah lima hari berada di dalam kamar. “Duduklah.” Aji mengangguk sebelum meletakkan pantatnya di kursi. “Apa kau sudah menghapalkan kedua kitab itu?” tanya Damarjaya. “Sudah, Tetua. Hanya tinggal melatih gerakan
Setelah meninggalkan Aji, Damarjaya kembali ke tempatnya. diambilnya kedua pedang pusaka dan juga kitab yang berada di meja. Setelah itu dia membawanya menuju sebuah kamar. Di dalam kamar, Damarjaya duduk bersila. Kedua pedang pusaka diletakkannya persis di depannya. Setelah itu dia berkonsentrasi untuk menemui jiwa yang berada di dalam kedua pedang pusaka tersebut. “Damarjaya, akhirnya kita bertemu kembali,” Sosok yang diselimuti aura kemerahan dan juga merupakan leluhur Aji, tiba-tiba muncul di depan Damarjaya. “Pendekar Naga Hitam, sudah lama kita tidak bertemu,” kata Damarjaya, seraya menyebut julukan yang disandang leluhur Aji. “Aku sudah lama tersiksa menunggu kemunculan cucuku Aji. Tapi sekarang aku lega karena tak lama lagi kau akan memurnikan jiwaku.” “Ya. Tapi bukan hanya itu. Di dalam kitab Serat Alam yang kubaca, ternyata Pedang Naga Bumi dan Pedang Serat Alam adalah satu kesatuan. Dewata ternyata sudah membuat skenario yang begitu hebat buat cucumu.” Leluhur Aji men
Aji jelas terkejut mendapati dirinya harus bergulingan di tanah. Betapa tidak, dia tidak merasakan adanya energi sama sekali yang mengarah kepadanya, tapi kenapa tiba-tiba saja dirinya harus terpental seorlah ada kekuatan yang tidak menghendakinya untuk mendekat. Lelaki berparas tampan itu penasaran dengan situasi yang aneh menurutnya. Untuk membuktikan bahwa dia tidak sekedar terpental tanpa adanya serangan, Aji pun kembali berjalan mendekat dan kali ini dia memasang kewaspadaan tingkat tinggi. Bisa saja serangan itu muncul di saat dirinya sedang lengah. Lagi-lagi situasi yang aneh terjadi. Aji yang sudah memasang kewaspadaan tingkat tinggi, kembali harus mengalami kejadian yang sama. Dalam jarak 10 meter dari titik lelaki sedang bermeditasi, tubuhnya langsung terpental dan bergulingan beberapa kali di tanah. Bahkan dia seperti tidak memiliki kewenangan untuk menstabilkan tubuhnya. ‘Aneh’ gumamnya pelan. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mengambil keputusan untuk menggunakan
Detak jantung Santoso semakin tidak karuan ketika melihat kedatangan Aji dan Ratih. Sepasang pendekar yang sudah membuat karirnya hancur berkeping-keping itu kini sedang menatapnya tajam. “Aku tidak perlu membuktikan apapun tentang kesalahan fatal yang sudah kau perbuat. Laporan penduduk sudah lebih dari cukup bagiku untuk bisa menjatuhkan hukuman kepadamu,” kata Aji mengawali persidangan untuk Santoso.Penduduk desa begitu penasaran dengan hukuman apa yang akan dijatuhkan Aji kepada Santoso. Mereka menatap lelaki tampan itu begitu lekat, menunggu kata-kata berikutnya yang meluncur dari bibirnya. “Tapi karena bukan aku yang kau rugikan, maka aku menyerahkan kepada mereka, hukuman apa yang pantas untukmu,” imbuh Aji. “Hukum mati saja!”“Penggal kepalanya!”“Hukum gantung!”Teriakan memberi usulan bersahutan keluar dari bibir penduduk desa yang sudah kesal akan kelakuan Santoso. Mereka serasa tak sabar ingin segera memberi hukuman mati kepada bekas kepala desa yang sudah membuat hidu
Bukan hanya si Jampang yang harus menelan ludah ketakutan melihat kehadiran Aji. Lima puluh anggota perguruan Tengkorak Hitam pun merasakan hal yang sama. Jika guru mereka saja bisa dikalahkan, apalagi mereka yang hanya murid biasa? Jelas bukan masalah berat bagi lelaki tampan itu untuk menghabisi mereka semua. “Kenapa kau diam saja? Mana omong besarmu yang tadi kau tunjukkan kepadaku sebelum suamiku datang?” ejek Ratih. Dilihatnya ke dalam kamar untuk memastikan kepala desa Santoso masih tetap berada di situ. “Nanti giliranmu Santoso! Sekarang aku kebiri dulu makhluk tak punya moral ini!” sambungnya. Bingung dengan situasi tak menguntungkan yang kini sedang dihadapinya, si Jampang pun mencoba berpikir mencari jalan keluar terbaik. Kabur dari tempat tersebut tentu menjadi opsi yang harus diambil, tapi bagaimana caranya ketika jalan keluar yang ada sudah tertutup. Melawan sosok berparas tampan itu sudah pasti bukan jalan terbaik yang akan dia ambil. Dia berpikir akan menggunakan ang
Aji tersenyum menatap lawan yang sudah mencabut pedang pusakanya. “Apa kau sudah merasa kalah hingga perlu menggunakan senjata untuk melawanku?” “Jangan banyak bicara, cabut pedangmu dan lawan aku!” sahut Ki Bledek Suro. “Baiklah jika itu yang kau inginkan. Tapi kuharap kau tidak menyesal jika pedangku sudah tercabut keluar.” “Aku tidak akan pernah menyesali apa yang sudah kuputuskan! Bahkan jika aku harus mati oleh pedangmu sekalipun!” Ki Bledek Suro tersenyum mencibir. Keyakinannya begitu tinggi kalau pedang pusakanya tak terkalahkan. “Tapi aku tidak akan mati oleh pedang murahanmu itu … Hahahaha!” imbuhnya yang diakhiri dengan tawa lantang. Aji hanya menggelengkan kepala melihat keyakinan lawan yang begitu besar. Sudah sering dia dihadapkan dengan kejadian serupa, dimana lawannya begitu membanggakan senjata pusakanya dan akan bisa mengalahkannya. Namun yang terjadi kemudian orang-orang itu malah harus mati di tangannya. Tangan Aji memegang gagang Pedang Naga Bumi yang tergant
Belum juga Ki Bledek Suro melanjutkan ucapannya, Si Jampang juga tiba di tempat tersebut bersama sekitar 50 anggota perguruan Tengkorak Hitam. “Itu orangnya, Guru. Dia yang sudah membuat Masalah dengan Tuan Santoso,” kata Si Jampang, setelah berada di dekat Ki Bledek Suro. “Apa kau tidak salah, Jampang, dia masih begitu muda, mana mungkin bisa mengalahkanmu dan juga teman-temanmu?” tanya Ki Bledek Suro memastikan keraguannya salah.“Benar dia orangnya, Guru. Bahkan dia juga telah berani menantang Guru untuk bertarung dengannya,” balas Si Jampang memanas-manasi gurunya. “Bocah tengik! Kubuat hidupmu menderita hari ini!” Ki Bledek Suro yang terbakar amarahnya, menunjuk Aji dengan ujung pedangnya.Sementara itu, Ratih yang berada di dalam rumah kepala desa Santoso, terus berusaha mencari keberadaan lelaki tersebut. Satu persatu kamar ataupun ruangan tidak luput dari pemeriksaannya. Bahkan kamar mandi yang terletak di dalam rumah tersebut juga tak lupa diperiksanya. ‘Di mana kepala de