"Kau kira aku akan membiarkanmu jatuh dan kalah begitu saja? Tidak akan! Mulutmu itu harus diberi pelajaran terlebih dahulu!"
Posisi keduanya kini berbalik. Birowo berada di bibir panggung, dan Aji bergerak melakukan serangan tanpa henti.
Setiono berusaha menangkis dan menghindari serangan Aji yang terus menerus terarah ke mukanya. Pendekar berjuluk Mayat Hidup tersebut tahu, sekali saja tubuhnya terkena serangan, dia akan langsung terjatuh dan kalah.
Sesekali dia melirik ke samping untuk memastikan posisi bibir panggung. Sekali saja dia salah menempatkan kakinya, dia akan terjerembab jatuh dari panggung. Dan itu sama artinya dia akan kalah.
Dalam satu kesempatan memanfaatkan serangan Aji yang mengendur, Birowo melompat dan berusaha menuju ke tengah panggung. Namun Aji lebih sigap, dia menangkap kaki lelaki berwajah dingin itu dan seketika membantingnya ke lantai panggung yang terbu
Kurang dari 30 detik, Birowo harus merelakan dadanya terkena pukulan hingga membuatnya terjungkal ke belakang sejauh 7 langkah. Tubuhnya mendarat di lantai panggung yang keras, dan sesaat berikutnya dia memuntahkan darah segar dari mulutnya. "Bedebah! Aku tidak boleh kalah!" dengusnya pelan. Diakui atau tidak, dia terkejut dengan kecepatan lawannya yang jauh meningkat. "Berdiri! Jangan jadi pendekar pengecut yang menyerah kalah sebelum menuntaskan pertarungan!" bentak Aji dengan keras. Tamparan begitu telak mendarat di pikiran Birowo. Rasa takut yang sempat dirasakannya akhirnya menghilang. Dia tahu, menyerah tidak akan membuat keadaan berubah. Lelaki yang menjadi lawannya itu pasti akan tetap berusaha memberinya pelajaran. Lelaki berwajah pucat yang tak lagi pucat itu berdiri dan menyeka darah yang masih menetes dari sudut bibirnya. Matanya tajam menatap ke arah Aji seolah hendak mengu
"Seharusnya dia juga mendapat jadwal bertanding hari ini." Aji bergumam pelan, tapi masih terdengar oleh telinga Ratih yang ada di sebelahnya.Beberapa gadis yang melintas di depan mereka berdua, menatap keduanya dengan pandangan iri. Rasa iri mereka dipicu dari paras yang dimiliki Aji dan Ratih. Tampan dan juga cantik. Para gadis itu tentu berharap bisa mendapatkan jodoh yang rupawan selayaknya Aji, meski itu kedengarannya sangat klise.Selang satu jam berikutnya, pendekar yang dimaksud Aji sudah berada di atas panggung. Di depannya, sudah berdiri seorang lelaki yang bertubuh jangkung dan kekar. Dia menunjukkan jari-jari tangannya yang sebesar buah pisang untuk mengintimidasi lawannya yang memiliki postur tubuh lebih kecil. Rahangnya mengeras mengeluarkan suara menggeram, seolah hendak memakan lelaki di depannya hidup-hidup.Sebelum turun dari panggung, pembawa acara berteriak dengan keras, "Untuk pertandingan berikutnya, mari kita saksikan Rangga m
Aji yang mendengar teriakan Warta, hanya tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke arah Warta. Sesaat berikutnya, dia memutar jempolnya hingga mengarah ke bawah.Warta mendengus kesal. Baginya, apa yang ditunjukkan Aji itu adalah sebuah penghinaan yang besar. Rahangnya mengeras dan kepalan tangannya semakin kuat menandakan emosinya semakin memuncak."Kalahkan aku dulu, baru kau bisa melawannya!" Rangga sedari tadi mencoba mencari kelemahan Warta. Berbagai gerakan yang dilakukan Warta di saat dia menyerangnya, terekam jelas di memori otaknya.Warta menatap tajam ke arah Rangga. Dalam detik berikutnya, dia bergerak menyerang lawannya tersebut dengan kedua kepalan tangannya yang besar dan berotot. Rangga yang unggul dalam kecepatan, bergerak lincah menghindari setiap serangan yang mengincarnya. Tubuhnya berkelit liar bagai seekor naga yang terbang hendak menerkam mangsanya.Hal yang diluar dug
Tanpa kesulitan berarti, gadis cantik itu bisa mengalahkan lawannya dengan cepat. Kecerobohan lawannya karena salah melangkah, membuat Ratih bisa melepaskan tendangan gunting, yang langsung membuat lawannya itu terjatuh ke lantai panggung dengan kepala terlebih dahulu. Dan akibatnya, lawannya itupun jatuh pingsan di tempat.Selepas pertarungan Ratih, Aji mengajak gadis itu untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Keserasian mereka berdua, kembali membuat para penduduk yang melihatnya, dibuat iri sekaligus kagum."Sungguh serasi sekali mereka berdua. Andai aku bisa bersanding denga lelaki itu, tentu aku akan sangat bahagia," ucap seorang gadis kepada temannya."Kamu bahagia, tapi lelaki itu tidak!" sahut temannya sambil tertawa," Sebaiknya kau melihat ke cermin, kira-kira kau pantas bersanding dengan lelaki tampan itu atau tidak?"Aji dan Ratih menyusuri desa itu untuk melihat-lihat keadaan sekitar
Dan pertandingan pun dimulai. Dengan keyakinan penuhnya, Subrata bergerak menyerang terlebih dahulu. Dia menyarangkan beberapa pukulan dari kedua kepalan tangannya. Namun Rangga dengan dingin menghindar, dan sesekali melakukan tepisan, untuk membuat arah serangan Subrata berubah.Beberapa penonton terlihat mendekati Aji. Mereka berharap lelaki tampan itu akan membuka suara terkait siapa yang akan memenangkan pertandingan yang sedang terjadi di atas panggung. Mereka adalah para petaruh yang belum menentukan, siapa yang mereka jagokan untuk menang. Dan jelas mereka berharap mendapat keuntungan besar dari taruhan yang akan mereka lakukan, itu jika Aji memberi petunjuk siapa yang akan melaju ke partai final melawan dirinya.Namun Aji sudah membaca gelagat yang mereka tunjukkan. Meski dia sudah bisa membaca siapa yang akan menang antara Rangga dan Subrata, Aji tidak sedikitpun berbicara kepada Ratih terkait pertandingan yang sedang terjadi. Dia m
Rangga berkelit menghindari serangan demi serangan yang menghujani tubuhnya. Sesekali dia melakukan tangkisan dan juga serangan balasan yang tidak kalah cepat.Pertarungan cepat tangan kosong itupun berlangsung dengan sengit. Mereka berdua menunjukkan kecepatan yang lumayan tinggi dalam pertarungan yang sedang mereka jalani.Akibat tangkisan demi tangkisan yang dilakukan Rangga, darah segar kembali mengalir keluar dari luka di tangan Subrata. Lelaki itu meringis kecil setiap kali tangannya yang terluka, berbenturan dengan tangan lawannya.Raut muka Subrata yang berubah-ubah, terlihat oleh pandangan mata Rangga. Dia mengubah gerakannya dan sedikit memfokuskan untuk menangkis daripada menghindar. Dan rencananya itupun berhasil.Darah mengalir semakin deras, dan luka robek yang ada di tangan Subrata menjadi semakin lebar dan dalam. Lelaki itu secara perlahan mulai kehilangan konsentrasinya, dan kesempatan itu dimanfaatkan Rangga dengan baik.
Para penonton tentu tidak ada yang menduga jika Rangga sampai kalah. Begitu juga dengan Ratih dan Aji yang sampai membelalakkan matanya, ketika melihat tubuh Rangga meluncur keluar dari panggung.Kekecewaan tampak terlihat dalam tatapan mata para penonton. Harapan untuk melihat pertarungan yang seimbang dalam partai final antara Aji dan Rangga akhirnya tidak terjadi."Sayang sekali!" hanya dua kata itu yang terucap dari bibir Aji. Padahal dia sudah sangat yakin kalau Rangga akan memenangkan pertandingan itu.Rangga berjalan mendekati Aji dan Ratih yang memandangnya tanpa henti. Senyuman hangat terlontar dari bibir lelaki itu, setelah dia sudah berada di dekat mereka berdua."Aku yakin kau besok akan memenangkan pertandingan melawannya, Pendekar. Secara kemampuan, kau jauh lebih unggul dari pada dia. Tapi berhati-hatilah, dia sangat licik!"Aji menanggapi ucapan Rangga dengan senyuman yang tak kalah hangat, "Tenang saja, Pendekar. Jika d
Subrata menatap ngeri jarum yang tertata di atas meja. Pikirannya mulai goyah dan mencoba untuk mencari cara lain mengobati lukanya."Apa tidak bisa jka tidak dijahit, Tabib? sebab besok aku harus bertanding dalam partai final?""Aku rasa akan sulit kalau besok bisa sembuh, Kisanak. Luka ini harus tetap dijahit biar tidak terjadi pembusukan, dan darah tidak terus mengalir keluar," kata tabib tersebut, setelah memeriksa luka di tangan Subrata."Apa tidak ada cara lain agar luka ini bisa menutup tanpa harus dijahit?""Ada, Kisanak. Tapi membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Kata muridmu, kau ingin lukamu bisa sembuh besok. Itu hal yang sangat mustahil!" kata tabib tersebut."Kalau dijahit, apa bisa sembuh besok?""Tetap tidak bisa, Kisanak. Luka luarnya mungkin bisa tertutup, tapi luka dalamnya belum. Kalau kau ingin sembuh benar, kau haru
Tak ingin membuang kesempatan bagus untuk membunuh lawan, Raja Wanajaya pun melanjutkan serangannya. "Pedang Penghancur Jagat!" teriak Raja Wanajaya, sembari melompat dan mengayunkan pedang Sabdo Bumi ke arah kepala Aji. Sigap Aji mengangkat pedang Naga Bumi ke atas kepalanya untuk menahan serangan yang sudah mengincar bagian tervitalnya.Kembali benturan dua pusaka itu menghasilkan dentuman dahsyat hingga membuat titik pertarungan bergetar hebat. Tidak sedikit pepohonan dan bangunan yang rubuh, tak mampu menahan getaran kuat yang terjadi beberapa detik lamanya.Raja Wanajaya terpental balik ke belakang, sedangkan kaki Aji terpendam sampai sebatas lutut. Namun, bisa terlihat jika kekuatan pusaka Aji lebih unggul dibanding pusaka Raja Wanajaya.Aji yang ingin mengakhiri pertarungan itu dengan cepat, langsung melompat tinggi sebelum kemudian melesat tajam dengan ujung pedang Naga Bumi berada di depan.Raja Wanajaya melompat mundur menjauh. Dia kini sudah menyadari bahwa kekuatan lawan
Melihat putri satu-satunya berusaha menjadi martir bagi orang yang ingin membunuhnya, Raja Wanajaya pun murka. Raut wajahnya menegang, namun dia masih berusaha menahannya. Bagaimanapun juga, Putri Larasati adalah anak kandungnya. Tidak mungkin juga dia tega untuk menghabisi darah dagingnya sendiri yang selama ini ia jaga. “Minggir, Putriku, menjauh dari manusia biadab itu. Jangan sampai kau membuat ayah gelap mata dan membunuhmu juga!” tegasnya. “Tidak Ayah! Aku tidak akan bergeser sedikitpun. Jika Ayah ingin membunuh Aji, maka langkahi dulu mayat anakmu ini!” bantah Putri Larasati. Matanya terlihat sembab oleh air mata yang tak henti mengalir. Pada dasarnya dia sudah muak melihat kelakuan ayahnya selama ini. Bahkan ibunya meninggal pun karena tidak kuat menahan derita berkepanjangan yang diakibatkan tingkah laku ayahnya. “Ayah peringatkan untukmu yang terakhir kali Larasati! Pergi dari situ atau ayah akan tega mencabut nyawamu!” Raja Wanajaya berteriak saking kesalnya.“Bunuh saj
Namun kecemasan Aji tersebut segera menghilang ketika melihat kemunculan Jaya di dekat putri Larasati. Entah Jaya baru dari mana, tapi kedatangan lelaki tersebut bisa membuatnya fokus untuk menghadapi Raja Wanajaya. Tanpa disadari Aji, pertarungan mereka yang semula digiringnya menjauh dari kotaraja, ternyata harus kembali berada di dekat Kotaraja. Runtuhnya bangunan dinding yang baru saja menimpanya seakan menyadarkannya, bahwa tempat pertarungannya melawan penguasa kerajaan Kalingga tersebut ternyata sudah bergeser cukup jauh dari titik awal pertarungan. Dan lapangan yang berada di luar Kotaraja tersebut merupakan tempat menyiapkan pasukan dalam skala besar jika terjadi perang dengan kerajaan lain. Selepas mengusapkan tangan untuk menyapu debu yang berada di wajahnya, Aji pun memasang kembali kuda-kudanya. Kali ini dia akan berupaya untuk mengajak Raja Wanajaya untuk kembali menjauhi Kotaraja. Mungkin Jaya masih bisa menyelamatkan nyawa Putri Larasati jika ada serangan nyasar, tap
Meski terkejut dengan mampu ditahannya aura pembunuh miliknya, Raja Wanajaya tetap memiliki kepercayaan diri tinggi bahwa lawannya itu bukan tandingannya dan dia sangat yakin akan bisa memenangkan pertarungan. "Ayo kita lanjutkan pertarungan yang tertunda!" ucapnya dengan nada meremehkan. Sang Raja yang memiliki ilmu kanuragan tinggi itupun kembali memasang kuda-kudanya, begitu pula dengan Aji yang sedari tadi sudah siap untuk melanjutkan pertarungan.Dalam satu tarikan napas, pertarungan pun kembali berlanjut setelah keduanya melesat maju dengan kecepatan tinggi."Pedang Penghancur Jagat!" teriak Raja Wanajaya dengan keras sambil menebaskan pedang Serat Alam ke arah leher Aji.Energi yang begitu besar bisa Aji rasakan dari jurus yang dikeluarkan oleh Raja Wanajaya. Sang pendekar berparas tampan itupun kemudian menarik Pedang Naga Bumi keluar dari wadahnya untuk memberikan tangkisan, dan sekaligus juga mengeluarkan perisai api untuk menahan serangan berenergi besar yang sudah menginc
Aji sedikit dibuat kerepotan meski pada akhirnya sudah bisa membaca serangan ayah dari Putri Larasati tersebut.Raja Wanajaya semakin beringas melakukan serangan. Dia mencabut pedang Serat Alam untuk segera memungkasi pertarungan. Aji sedikit terkesima dengan keluarnya pedang pusaka yang separuh kitab jurus ya kini ada padanya. Energi yang dikeluarkan pedang pusaka tersebut sangat halus, tapi begitu menekan.Suami Ratih itu lalu mencabut pedang Naga Bumi untuk melawan senjata pusaka lawan. Energi yang dikeluarkan pedang miliknya memberi tekanan balik hingga membuat Raja Wanajaya Murka. "Mati kau, Penghianat!" teriak Raja Wanajaya. Dia melompat maju sembari menebaskan pedangnya dengan. Kekuatan yang tidak sedikit. Kecepatan serangannya pun semakin meningkat dan bervariasi.Pedang Naga Bumi meliuk dengan cepat memberi tangkisan demi tangkisan yang membuat tangan lawannya gemetar setiap kali pedang mereka berdua berbenturan."Aku terlalu meremehkan kemampuannya!" Raja Wanajaya mendengu
Raja Wanajaya menatap geram lelaki tampan di depannya. Jari telunjuknya menunjuk Aji, gigi-giginya saling menggigit menahan emosinya yang memuncak. "Kau telah mempengaruhi putriku sehingga dia berani melawanku!"Aji tersenyum kecil menanggapinya. "Kalau Paduka mengira aku telah mempengaruhi Gusti Putri, maka Paduka sudah salah besar. Gusti Putri bisa berpikir untuk menentukan apa yang salah dan benar, dan apa yang sudah paduka lakukan selama ini adalah kesalahan yang teramat besar dan tidak terampuni.""Jangan mengguruiku tentang kebenaran, Bangsat! Aku hidup jauh lebih lama dari pada kau, dan kebenaran buatku adalah kekuasaan!"Aji memandang Putri Larasati yang sudah bercucuran air mata, "Tampaknya sulit menyadarkan paduka dengan kata-kata, Gusti Putri. Jadi jalan kekerasan harus hamba ambil."Putri Larasati mengangguk meski itu berat buatnya. Tapi dia sudah siap jika memang ayahnya harus mati di tangan Aji. "Lakukan apa yang harus kau
Tak butuh waktu lama bagi mereka berdua untuk menemukan kamar yang digunakan Raja Wanajaya untuk melakukan ritual.Tapi langkah mereka terhenti setelah terlihat empat orang prajurit yang berjaga di depan pintu kamar tersebut. Mereka berempat begitu ketat menjaga kamar itu seolah angin pun akan mereka halau jika hendak masuk melalui celah di bawah pintu.Beruntung malam itu bulan tidak bersinar begitu terang hingga keduanya tidak terlihat oleh para prajurit. Berbicara meski pelan jelas akan terdengar oleh keempat prajurit itu saking heningnya suasana. Hanya kode yang bisa mereka lakukan untuk merencanakan langkah selanjutnya yang harus mereka lakukan.Setelah memantapkan diri, Aji dan jaya bergerak secepat mungkin melumpuhkan keempat prajurit itu. Serangan cepat mengarah titik vital membuat keempat prajurit itu bergelatakan di tanah. Entah pingsan atau mati, keduanya tidak peduli tentang itu.Dalam satu tarikan napas, Jaya menendang
Kedua pendekar itu pergi keluar dari kamar setelah berembuk untuk beberapa saat. Mereka saat ini harus mencari di mana biasanya Raja Wanajaya melampiaskan nafsu bejatnya. Sebab tidak mungkin kamar pribadinya akan digunakan untuk hal seperti itu.Cukup lama mereka berkeliling di dalam istana, hingga pada satu titik mereka melihat belasan orang prajurit tampak berjaga di sebuah ruangan."Apa mungkin di situ?" bisik Aji pelan.Jaya memandang para prajurit yang berjarak sekitar 25 meter dari tempat mereka berdua berdiri. Suasana di dalam istana yang tidak terlalu terang sedikit banyak membantu mereka agar tidak terlihat oleh para prajurit. "Jika ruangan itu sampai dijaga begitu banyak prajurit, maka besar kemungkinan di dalam ruangan itu ada sesuatu yang penting. Atau bisa jadi Raja Wanajaya yang ada di dalamnya," balas Jaya menduga-duga. "Kita lumpuhkan para prajurit itu dulu, baru kita tahu apa yang ada
Ekspresi rasa terkejut Aji sempat tertangkap pandangan mata Putri Larasati. Putri cantik itu menundukkan wajahnya, dia malu atas kelakuan ayahnya."Sebenarnya Gusti Putri bermimpi tentang apa?" tanya Aji penasaran.Putri Larasati memejamkan matanya. Hembusan napasnya begitu berat terdengar keluar dari bibirnya yang ranum.Dia merasa sangat sulit buatnya untuk menjawab pertanyaan Aji. Bagaimanapun juga, dia takut jika Aji adalah sosok yang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya.Tapi, kelakuan bejat ayahnya harus ada yang menghentikan, meski ayahnya tadi berjanji jika ritual yang akan dilakukannya nanti adalah yang terakhir. Raja Wanajaya berjanji kepada Putri Larasati tidak akan menggauli gadis lagi untuk ke depannya."Aku kuatir jika kau yang ada dalam mimpiku," ucap Putri Larasati lirih.Aji semakin penasaran dengan mimpi yang dialami Putri Larasati, apalagi putri cantik itu juga menyebutnya.Sete