"Manusia pilihan apanya? Kalau aku manusia pilihan, aku pasti bisa menyelamatkan anak dan istriku!" bantah Aji pelan namun penuh tekanan. Pandangan matanya tetap lesu seperti kemarin setelah kehilangan anak dan istrinya.
"Anak Muda, aku tahu kau akan sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi, apa kau tidak ingin membalas dendam kepada pembunuh istri dan anakmu? Apa kau ingin membiarkan mereka hidup dan terus berbuat kejahatan kembali? Kalau kau membiarkan mereka hidup, itu sama saja kau membantu mereka berbuat kejahatan!" berondong lelaki tua itu.
Aji mengangkat wajahnya yang tertunduk sedari tadi. Bola matanya berkaca-kaca menatap lelaki tua yang sudah menyelamatkannya.
"Tapi, Kek... aku juga bukan orang baik-baik." Aji mulai meneteskan air matanya. Bayangan orang-orang yang telah dirampoknya, bahkan ada yang dibunuhnya, menghantui di pelupuk matanya. Bayangan jerit tangis mereka menari-nari di pikirannya.
"Aku adalah perampok dan juga pembunuh. Apakah pantas bila aku balas dendam?" sambungnya bertanya.
Lelaki tua itu menggaruk kepalanya, "Apa kau sedang mengigau, Anak muda?"
"Tidak, Kek. Aku sudah sadar. Memang benar aku adalah perampok dan pembunuh juga," jawab Aji.
"Bukan itu, tapi setelahnya! Apa kau kemarin tidak berniat balas dendam kepada mereka?"
Aji menganggukkan kepanya pelan tanpa daya.
"Lalu kenapa kau bertanya apakah kau pantas bila membalas dendam?"
Aji terkekeh pelan teringat kebodohannya. Entah kenapa, harapan besar yang diberikan lelaki tua itu sedikit demi sedikit membuat semangatnya untuk hidup semakin besar.
"Apa Kakek benar-benar ingin melatihku?" tanyanya penuh harap, sebesar keinginannya untuk membunuh Winarto dan semua anak buahnya.
" buat apa aku menyelamatkanmu jika tidak ingin melatihmu? Meski bukan ilmu terkuat yang akan kau miliki, tapi kalau untuk mengalahkan para pembunuh anak dan istrimu saja, aku rasa bukan hal yang sulit untuk dilakukan!" sahut lelaki tua itu cepat.
Aji tersenyum lebar. Tapi sedetik kemudian, senyumannya itu menghilang dan berganti kerutan di dahinya.
"Apa maksud Kakek dengan bukan ilmu terkuat yang aku miliki?"
"Dengarkan baik-baik! Jadi begini, Anak Muda... Memang aku akan melatihmu, tapi ilmu kanuragan yang akan kuberikan padamu, bukanlah ilmu kanuragan terkuat yang akan kau miliki nantinya. Kau masih harus berlatih lagi kepada orang lain, yang nantinya akan menyempurnakan darah murni yang ada di tubuhmu." Lelaki tua itu memandang langit-langit gua dan kemudian menghembuskan nafas panjangnya.
"Darah murnimu masih kotor akibat perbuatanmu sendiri yang mengotorinya. Hanya orang itu yang bisa memurnikannya, tapi tentunya itu harus didukung dengan niat yang ada di dalam hatimu." tambahnya.
Aji mengangguk memahami ucapan lelaki tua itu, "Baiklah, Kek. Kalau begitu aku akan menuruti saran Kakek. Jadikan aku pendekar yang kuat. Aku akan membuat mereka yang sudah membunuh istri dan anakku menyesal karena telah dilahirkan di dunia ini!" tekadnya.
Lelaki tua itu menggelengkan kepalanya, "Aku tidak bisa menjadikanmu kuat, Anak muda. Tapi hanya kau sendiri yang bisa membuat dirimu kuat. Aku hanya bisa mengarahkan saja."
Aji mengangguk mantap. "Aku paham apa yang Kakek maksudkan."
"Baiklah, untuk sementara aku akan memulihkan tubuhmu dulu. Kau harus sembuh agar kau bisa menerima semua yang aku ajarkan kepadamu." Lelaki tua itu berdiri dan berjalan menuju sebuah lemari kecil dari kayu. Tangannya meraih sebuah pedang berwarna hitam kelam yang terletak di atas lemari kecil itu. Setelah itu dia memasukkannya ke dalam lemari.
"Namaku Prayoga. Siapa namamu, Anak Muda?"
"Namaku Aji, Kakek."
Hari demi hari dilalui mereka berdua untuk memulihkan tubuh Aji yang penuh dengan luka. Di saat Prayoga pergi untuk mencari dedaunan obat-obatan, Aji tidak diam begitu saja. Dia belajar meramu obat meski luka-lukanya belum sembuh benar.
Ilmu pengobatan yang juga diajarkan Prayoga kepadanya, diserapnya dengan baik, meski dia masih sedikit kesulitan menghapalkan jenis dedaunan yang begitu banyak.
Dua minggu berlalu dengan cepat. Luka luar yang diderita Aji sudah menutup sepenuhnya. Kini dia sudah bisa dan siap untuk belajar ilmu kanuragan yang akan diajarkan Prayoga kepadanya.
Di suatu pagi, Aji yang baru bangun dari tidurnya, keluar dari gua dan berjalan mendekati Prayoga yang sedang membelah kayu bakar dengan kapak kecil di tangannya.
"Kau sudah bangun rupanya. Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Prayoga. Senyum kecil tersungging di bibirnya yang dipenuhi keriputan.
"Luka di tubuhku sudah sepenuhnya sembuh, Kakek." Aji tersenyum lebar menunjukkan bekas lukanya yang sudah menutup sepenuhnya.
"Untung saja kau hanya mengalami luka luar, jadi pemulihanmu bisa lebih cepat. Apa sekarang kau sudah siap untuk berlatih kanuragan?"
"Aku sudah sangat siap, Kek. Bahkan aku sudah tidak sabar untuk segera berlatih di bawah bimbingan Kakek," jawab Aji. Anggukan kepalanya begitu mantap tanpa keraguan sedikitpun.
"Sabar, Aji. Belajar ilmu kanuragan ada tahapan-tahapan yang harus dilalui sebelum berlatih jurus." Prayoga mulai menjelaskan tahapan yang harus dilakukan Aji untuk bisa mempelajari ilmu kanuragan.
Lelaki tua itu melemparkan kapak kecilnya dengan cepat dan menancap di sebuah batang pohon, yang besar batangnya tiga kali rangkulan tangan orang dewasa.
Aji menatap dengan kagum melihat kecepatan dan ketepatan lelaki tua itu membidik sebuah pohon tanpa harus berkonsentrasi. Menurutnya, Lelaki tua yang akan menjadi gurunya itu tentu memiliki kemampuan ilmu kanuragan yang tinggi.
"Tahap pertama kau harus berlatih fisik. Tujuannya selain untuk membuat tubuhmu yang kurus itu menjadi berotot, juga untuk memperkuat tulang-tulangmu. Tulang yang kuat akan membuat tenaga dalammu bisa kau tampung di dalamnya."
"Baik, Kek. Latihan fisik apa yang pertama harus aku lakukan?" tanya Aji penasaran.
"Tebanglah pohon besar itu dengan kapak yang menancap di batangnya. Buatlah menjadi ukuran kecil-kecil agar aku tidak bersusah payah lagi membelah kayu."
"Pohon sebesar itu harus aku potong dengan kapak sekecil itu?" gumam Aji bertanya-tanya dalam hati. Dia menggaruk kepalanya berkali-kali karena tidak percaya dengan latihan pertama yang akan dia lakukan.
Tanpa membantah, Aji berjalan menuju pohon besar yang harus dia tebang. Dia menguatkan tekadnya agar tidak mengecewakan Prayoga.
"Kau mau kemana?" tanya Prayoga.
Aji menghentikan ayunan tegap langkahnya, lalu membalikkan badannya. "Menebang pohon itu, Kek,"
"Makanlah dulu! Aku tidak mau kau pingsan sebelum menyelesaikan latihan pertamamu." Prayoga melemparkan sebuah bungkusan daun pisang berisi ketela pohon yang sudah dibakarnya.
Dengan sigap Aji menangkap dan membuka bungkusan itu. Perutnya yang memang lapar karen baru bangun dari tidur, membuatnya makan dengan lahap. Tak sampai berapa lama, ketela bakar yang masih hangat itupun berpindah ke dalam perutnya.
Selesai makan, Aji berlari menuju pohon besar itu dan mulai menebangnya dengan penuh semangat. Dalam bayangannya, pohon itu adalah Winarto dan anak buahnya yang menjadi sasaran kemarahannya.
1 bulan lamanya Aji berlatih fisik. Tubuhnya kini sangat berotot dan terlihat kekar. Namun kulitnya sedikit hitam karena terlalu seringnya dia berlatih di bawah sinar matahari.Latihan berikutnya yang harus dia lakukan adalah pengolahan tenaga dalam. Prayoga mengajak Aji ke sebuah lubang kawah bekas letusan yang ada di atas gunung.Meski sudah meletus, namun kawah gunung tersebut masih mengeluarkan lava panas yang mengepulkan asap tebal.Prayoga memberi perintah kepada Aji untuk duduk bersila di bibir kawah yang sangat panas tersebut. Awalnya, Aji masih ragu untuk melakukannya. Namun sebuah penjelasan dari Prayoga membuatnya melupakan rasa takutnya."Takut itu tempatnya ada di dalam pikiran, Aji. Panas, dingin dan semua yang ada di bumi ini hanyalah makhluk ciptaan Dewata, termasuk kita. Jika kita bisa menyatu dengan makhluk lainnya, tidak mungkin mereka akan menyakiti kita," Papar
Saking besarnya tenaga dalam yang dikeluarkan Aji, pintu gerbang itu sampai jebol dan mengeluarkan suara yang begitu keras. Winarto yang baru keluar dari kediamannya dibuat murka, apalagi setelah melihat Aji berdiri menatapnya dengan tajam. "Kau masih hidup ternyata, Bajingan tengik! Aku pastikan hari ini tidak ada lagi yang akan menyelamatkanmu!" bentak Winarto. Di belakangnya, 40 anak buahnya sudah memegang senjatanya masing-masing dan bersiap untuk menyerang. Mereka hanya menunggu perintah dari Winarto untuk mencincang tubuh Aji. "Kau terlalu percaya diri, Winarto! Semua yang ada di tempat ini tidak akan aku biarkan keluar hidup-hidup," dengus Aji. Diam-diam dia mengalirkan tenaga dalam ke tangannya. "Bangsat! Cincang dia...!" Wiranto berteriak memberi perintah kepada anak buahnya. 40 orang anak buah Wiranto merangsek maju menyerang Aji bersama-sama. Desingan senjata mereka terdengar bersahutan membelah udara, saat se
Setelah menghela nafas panjang, Aji melangkahkan kaki tegapnya menyusuri lebatnya hutan belantara yang tidak terjamah manusia. Keberadaan markas perampok di hutan lebat tersebut membuat orang-orang enggan untuk menjejakkan kakinya, walaupun hanya sekedar untuk mencari ranting kayu bakar.Aji tidak tahu kemana harus melangkahkan kaki, karena tidak punya tujuan yang jelas harus mencari pendekar itu di mana. Yang dia tahu, dia hanya harus tetap melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak, selepasnya dia keluar dari hutan.Seharian berjalan dan hari sudah mulai gelap, Aji tiba di sebuah desa besar yang terlihat ramai, meski matahari sudah tenggelam di ufuk barat.Desa Pandan Pancur, nama yang tertulis di pintu gerbang masuk desa. Entah apa makna yang tersirat dari pengambilan nama tersebut, yang pasti Aji tidak melihat sedikitpun tanaman pandan sejauh matanya memandang."Tidak biasanya ada desa seramai ini saat malam tiba," gumam Aji pelan. Dia melangkah mem
Sesaat kemudian, gadis cantik itu memanggil pelayan untuk membayar tagihannya. Namun tiba-tiba raut muka kebingungan tercetak jelas di wajah cantiknya. Keringat dingin secara perlahan meronta keluar membasahi pakaiannya.Aji sedikit mengernyitkan dahinya saat melihat kebingungan di wajah gadis cantik tersebut. Lelaki tampan itu kemudian bertanya kepadanya, "Ada masalah apa, Nisanak? Apa ada yang bisa kubantu?"Gadis cantik itu menatap Aji sebentar lalu menundukkan kepalanya. Dia takut jika lelaki tampan itu akan meminta balas budi jika dia menerimanya. Dan yang lebih ditakutkannya lagi, bisa saja lelaki itu meminta membalas jasanya dengan cara menikmati tubuhnya.Dia bergidik ngeri. Tapi dia juga dibuat bingung dengan situasi yang saat ini bisa benar-benar membuatnya malu besar. Tak bisa membayar makanan yang sudah berpindah ke dalam perutnya tentu adalah hal yang sangat memalukan buatnya."Kenapa kau malah melamun, Nisanak? Apa ada yang bisa
Sesampainya di penginapan, mereka menuju kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Aji tidak segera merebahkan tubuhnya. Dia duduk bersila di atas ranjang dan Pedang Kegelapan berada tepat di depan tubuhnya.Selama Pedang Kegelapan belum memberinya petunjuk kemana dia harus melangkah, dia akan mencoba terus untuk bertanya. Selain rasa penasaran besar tentang siapa yang harus ditemuinya, dia juga penasaran tugas apa yang harus dilakukannya, sehingga dia harus menerima berkah memiliki darah murni di dalam tubuhnya.Seperti semula, Pedang Kegelapan hanya diam tak bergerak. Bahkan ketika Aji mengeluarkan pedang berwarna hitam kelam itu dari sarungnya.Lama tak kunjung mendapat jawaban, Aji berpikir mungkin ada rencana lain untuknya, sebelum dia menemukan sosok yang harus ditemuinya. Lelaki tampan berumur 25 tahun itupun memasukkan kembali bilah pedang Kegelapan ke dalam sarungnya.Setelah itu dia merebahkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya
Hanya dengan anggukan kepala, keduanya menjawab pertanyaan tersebut. Selepas itu, pembawa acara menghela napas lega lalu menuruni panggung.Di bawah panggung, seorang lelaki yang merupakan bandar judi, berteriak keras memancing para penonton agar bertaruh dan memilih salah satu petarung yang sudah ada di atas panggung. Berbagai upaya dia lakukan agar partai pembuka dalam turnamen kali ini bisa sarat orang-orang yang bertaruh."Satu banding dua ... satu banding dua!" teriaknya mempromosikan.Karena tidak ada yang meresponnya, bandar tersebut menaikkan lagi tawarannya, "Satu banding tiga ... satu banding tiga!"Satu persatu penonton mulai tertarik memasang taruhan. Mayoritas dari mereka memilih Sapto sebagai pemenangnya, dan hanya dua orang saja yang memilih Aji. Salah satunya adalah Ratih yang menggunakan sisa uang dari Aji kemarin sebagai bahannya bertaruh.Gadis cantik itu
"Itu hanya kebetulan saja," jawab Aji. Bibirnya tersungging tipis menimbulkan misteri bagi Ratih yang melihatnya."Tidak mungkin," gumam Ratih dalam hati. Dia sangat yakin jika Aji tidak asal menebak. Dan menurutnya, Jika Aji bisa membaca pergerakan mereka yang sedang bertarung dan juga menebak siapa yang kalah dan menang, pastinya Aji bukan pendekar biasa.Beberapa orang yang mendengar tebakan Aji , merangsek mendekati lelaki tampan tersebut. Mereka berharap Aji akan menebak lagi pertarungan berikutnya yang akan segera digelar. Dengan begitu mereka akan mendapatkan keuntungan besar dari bertaruh.Namun mereka dibuat kecewa, Aji berjalan menjauh secara tiba-tiba sambil menggandeng tangan Ratih. Gadis cantik berlesung pipi itupun dibuat kaget setelah Aji menggandeng tangannya dengan erat.Seumur hidupnya, hanya ayahnya, lelaki satu-satunya yang pernah bersentuhan kulit denganny
Lelaki tersebut terpancing emosinya mendengar ejekan yang dilontarkan Ratih. Dia berdiri hendak melompat ke atas panggung, tapi temannya langsung memegang lengannya seraya menggelengkan kepalanya. "Jangan mencari masalah sekarang!" ucap lelaki lainnya sambil melirik ke arah Aji yang sedang melihat mereka. Lelaki tersebut menoleh sebentar ke arah Aji, lalu kembali memegang lengan Si Bogang dan membantunya berdiri. Kedua lelaki itu menyibak puluhan penonton dan memapah tubuh Si Bogang yang sudah tidak berdaya menjauhi panggung. Ratih dengan ringan melompat dari atas panggung. Setelah itu dia berjalan mendekati lelaki tampan yang sedikit telat melihat kemampuannya tadi. "Untung tadi lawanmu tidak melihat kelemahanmu," bisik Aji di telinga Ratih. Gadis cantik itu mengernyitkan dahinya, "Kalau boleh tahu, di mana letak kelemahanku?" "Nanti di penginapan saja aku akan tunjukkan celah pertahananmu yan
“Namaku Sudirjo, kepala desa Jatisari.” Lelaki berkumis tebal itu memperkenalkan diri setelah Aji dan Ratih duduk di depannya. “ini Lastri, istriku.” “Namaku Aji, Kang, dan ini istriku Ratih. Kami berdua berasal dari tempat yang jauh dari sini.”Sudirjo menatap Aji dan Ratih bergantian. Hati kecilnya tak bisa menyangkal jika kedua tamunya itu pasangan yang sangat serasi. Tampan dan juga cantik.“Kata pengawalku tadi kalian ingin menawarkan bantuan untuk mencari gadis yang hilang. Apa betul seperti itu?” tanya Sudirjo. Tangan kirinya tak lepas memeluk istrinya yang masih terisak karena kehilangan anak gadisnya.“Benar, Kang. Namun, sebelumnya aku ingin tahu bagaimana asal muasalnya, sejak kapan gadis-gadis itu mulai hilang?” Sudirjo menghela napas berat. Terlihat dia begitu terpukul atas kejadian yang menimpa warga desa dan juga putrinya. Di sisi lain, Aji memandang dengan seksama kepala desa Jatisari tersebut. “Kejadiannya bermula sejak dua bulan lalu. Satu persatu gadis di desa Ja
Mendapat pertanyaan berondongan dari istrinya, Aji hanya diam sambil memandang gagang pedang berbentuk kepala naga yang saat ini dipegangnya. Benaknya mengingat kembali mimpi yang semalam dialaminya. Dia masih ingat betul setiap detil mimpi dari awal sampai akhir.“Kakang …” Ratih menggoyang tubuh Aji yang tengah melamun. “A_apa, Istriku?” Aji tergagap, sadar dari lamunannya. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Ratih seraya memandang wajah Aji yang tampak kebingungan. “Tidak ada. Aku cuma teringat dengan mimpiku semalam. Entah aku sedang bermimpi atau nyata, aku bingung,” kata Aji. Kembali dipandanginya gagang pedang Mustika Naga Bumi. “Memangnya Kakang bermimpi apa semalam?” Ratih begitu penasaran. “Aku bermimpi bertemu Tetua Damarjaya,” ucap Aji mengawali ceritanya. Setelah itu panjang lebar dia menceritakan proses yang dialaminya dalam mimpi semalam. “Pasti Kakang cuma bermimpi, sebab semalam aku sempat terbangun dan melihat Kakang tertidur pulas,” kata Ratih.“Kalau cuma b
Di dalam kamar, Aji tidak langsung berisitirahat. Kitab Pedang Naga Hitam yang sudah dihapalkannya ketika berada di perguruan Pedang Naga, kembali dibacanya ulang hingga benar-benar hapal di luar kepala. Setelah itu baru dia membaca kitab Serat Alam selama beberapa hari. Aji meyakini kedua kitab itu memiliki kerumitan yang sama, sebab seperti yang dikatakan Damarjaya, kedua kitab itu adalah satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dan saling terkait satu sama lain. Lima hari berlalu, Aji keluar dari kamar setelah berhasil menghapalkan kedua kitab tersebut. Dilihatnya Damarjaya tengah duduk sendirian sambil mengelus-elus sebilah pedang yang berwarna keemasan. Damarjaya menoleh ketika mendengar suara tapak kaki mendekat. Senyumnya mengembang melihat Aji yang baru keluar setelah lima hari berada di dalam kamar. “Duduklah.” Aji mengangguk sebelum meletakkan pantatnya di kursi. “Apa kau sudah menghapalkan kedua kitab itu?” tanya Damarjaya. “Sudah, Tetua. Hanya tinggal melatih gerakan
Setelah meninggalkan Aji, Damarjaya kembali ke tempatnya. diambilnya kedua pedang pusaka dan juga kitab yang berada di meja. Setelah itu dia membawanya menuju sebuah kamar. Di dalam kamar, Damarjaya duduk bersila. Kedua pedang pusaka diletakkannya persis di depannya. Setelah itu dia berkonsentrasi untuk menemui jiwa yang berada di dalam kedua pedang pusaka tersebut. “Damarjaya, akhirnya kita bertemu kembali,” Sosok yang diselimuti aura kemerahan dan juga merupakan leluhur Aji, tiba-tiba muncul di depan Damarjaya. “Pendekar Naga Hitam, sudah lama kita tidak bertemu,” kata Damarjaya, seraya menyebut julukan yang disandang leluhur Aji. “Aku sudah lama tersiksa menunggu kemunculan cucuku Aji. Tapi sekarang aku lega karena tak lama lagi kau akan memurnikan jiwaku.” “Ya. Tapi bukan hanya itu. Di dalam kitab Serat Alam yang kubaca, ternyata Pedang Naga Bumi dan Pedang Serat Alam adalah satu kesatuan. Dewata ternyata sudah membuat skenario yang begitu hebat buat cucumu.” Leluhur Aji men
Aji jelas terkejut mendapati dirinya harus bergulingan di tanah. Betapa tidak, dia tidak merasakan adanya energi sama sekali yang mengarah kepadanya, tapi kenapa tiba-tiba saja dirinya harus terpental seorlah ada kekuatan yang tidak menghendakinya untuk mendekat. Lelaki berparas tampan itu penasaran dengan situasi yang aneh menurutnya. Untuk membuktikan bahwa dia tidak sekedar terpental tanpa adanya serangan, Aji pun kembali berjalan mendekat dan kali ini dia memasang kewaspadaan tingkat tinggi. Bisa saja serangan itu muncul di saat dirinya sedang lengah. Lagi-lagi situasi yang aneh terjadi. Aji yang sudah memasang kewaspadaan tingkat tinggi, kembali harus mengalami kejadian yang sama. Dalam jarak 10 meter dari titik lelaki sedang bermeditasi, tubuhnya langsung terpental dan bergulingan beberapa kali di tanah. Bahkan dia seperti tidak memiliki kewenangan untuk menstabilkan tubuhnya. ‘Aneh’ gumamnya pelan. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mengambil keputusan untuk menggunakan
Detak jantung Santoso semakin tidak karuan ketika melihat kedatangan Aji dan Ratih. Sepasang pendekar yang sudah membuat karirnya hancur berkeping-keping itu kini sedang menatapnya tajam. “Aku tidak perlu membuktikan apapun tentang kesalahan fatal yang sudah kau perbuat. Laporan penduduk sudah lebih dari cukup bagiku untuk bisa menjatuhkan hukuman kepadamu,” kata Aji mengawali persidangan untuk Santoso.Penduduk desa begitu penasaran dengan hukuman apa yang akan dijatuhkan Aji kepada Santoso. Mereka menatap lelaki tampan itu begitu lekat, menunggu kata-kata berikutnya yang meluncur dari bibirnya. “Tapi karena bukan aku yang kau rugikan, maka aku menyerahkan kepada mereka, hukuman apa yang pantas untukmu,” imbuh Aji. “Hukum mati saja!”“Penggal kepalanya!”“Hukum gantung!”Teriakan memberi usulan bersahutan keluar dari bibir penduduk desa yang sudah kesal akan kelakuan Santoso. Mereka serasa tak sabar ingin segera memberi hukuman mati kepada bekas kepala desa yang sudah membuat hidu
Bukan hanya si Jampang yang harus menelan ludah ketakutan melihat kehadiran Aji. Lima puluh anggota perguruan Tengkorak Hitam pun merasakan hal yang sama. Jika guru mereka saja bisa dikalahkan, apalagi mereka yang hanya murid biasa? Jelas bukan masalah berat bagi lelaki tampan itu untuk menghabisi mereka semua. “Kenapa kau diam saja? Mana omong besarmu yang tadi kau tunjukkan kepadaku sebelum suamiku datang?” ejek Ratih. Dilihatnya ke dalam kamar untuk memastikan kepala desa Santoso masih tetap berada di situ. “Nanti giliranmu Santoso! Sekarang aku kebiri dulu makhluk tak punya moral ini!” sambungnya. Bingung dengan situasi tak menguntungkan yang kini sedang dihadapinya, si Jampang pun mencoba berpikir mencari jalan keluar terbaik. Kabur dari tempat tersebut tentu menjadi opsi yang harus diambil, tapi bagaimana caranya ketika jalan keluar yang ada sudah tertutup. Melawan sosok berparas tampan itu sudah pasti bukan jalan terbaik yang akan dia ambil. Dia berpikir akan menggunakan ang
Aji tersenyum menatap lawan yang sudah mencabut pedang pusakanya. “Apa kau sudah merasa kalah hingga perlu menggunakan senjata untuk melawanku?” “Jangan banyak bicara, cabut pedangmu dan lawan aku!” sahut Ki Bledek Suro. “Baiklah jika itu yang kau inginkan. Tapi kuharap kau tidak menyesal jika pedangku sudah tercabut keluar.” “Aku tidak akan pernah menyesali apa yang sudah kuputuskan! Bahkan jika aku harus mati oleh pedangmu sekalipun!” Ki Bledek Suro tersenyum mencibir. Keyakinannya begitu tinggi kalau pedang pusakanya tak terkalahkan. “Tapi aku tidak akan mati oleh pedang murahanmu itu … Hahahaha!” imbuhnya yang diakhiri dengan tawa lantang. Aji hanya menggelengkan kepala melihat keyakinan lawan yang begitu besar. Sudah sering dia dihadapkan dengan kejadian serupa, dimana lawannya begitu membanggakan senjata pusakanya dan akan bisa mengalahkannya. Namun yang terjadi kemudian orang-orang itu malah harus mati di tangannya. Tangan Aji memegang gagang Pedang Naga Bumi yang tergant
Belum juga Ki Bledek Suro melanjutkan ucapannya, Si Jampang juga tiba di tempat tersebut bersama sekitar 50 anggota perguruan Tengkorak Hitam. “Itu orangnya, Guru. Dia yang sudah membuat Masalah dengan Tuan Santoso,” kata Si Jampang, setelah berada di dekat Ki Bledek Suro. “Apa kau tidak salah, Jampang, dia masih begitu muda, mana mungkin bisa mengalahkanmu dan juga teman-temanmu?” tanya Ki Bledek Suro memastikan keraguannya salah.“Benar dia orangnya, Guru. Bahkan dia juga telah berani menantang Guru untuk bertarung dengannya,” balas Si Jampang memanas-manasi gurunya. “Bocah tengik! Kubuat hidupmu menderita hari ini!” Ki Bledek Suro yang terbakar amarahnya, menunjuk Aji dengan ujung pedangnya.Sementara itu, Ratih yang berada di dalam rumah kepala desa Santoso, terus berusaha mencari keberadaan lelaki tersebut. Satu persatu kamar ataupun ruangan tidak luput dari pemeriksaannya. Bahkan kamar mandi yang terletak di dalam rumah tersebut juga tak lupa diperiksanya. ‘Di mana kepala de